Jun 6, 2005

Aida, National Geographic dan Ayahku

KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah itu, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku menyusuri kembali masa laluku, dan berjumpa kembali dengan ayahku, untuk untuk sebuah percakapan yang tertunda.

**
EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, beberapa menit sebelum aku terbang ke Bali, untuk liputan Kongres PDI Perjuangan di Sanur -- akhir Maret 2005. Saat kukeluarkan uang dan kubayarkan kepada petugas kasir di toko buku berukuran sekitar 4 meter kali 5 meter itu, perasaanku begitu hidup: aku akhirnya mampu membeli majalah itu, dan baru!

Dan, setelah keluar dari ruangan toko buku berukuran sekitar 4 meter itu, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu -- sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat. Ada perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya bangga, saat tanganku menggapitnya -- ha, ha, aku jadi menertawakan diriku sendiri, karena aku teringat perangai temanku di masa mahasiswa dulu, yang begitu bangga menggapit Majalah Time, saat melenggang di antara teman-temannya. Kekonyolan temanku itu tadi, kini kulakoni -- dengan sadar!

Itulah yang terjadi pada diriku, pada siang yang terang itu. Bagian depan majalah itu, yang laporan utamanya tentang penemuan fosil manusia purba di Pulau Flores, sengaja kuletakkan di bagian depan. Perasaan seperti ini berlanjut saat aku merebahkan diri di kursi ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk pesawat. Kuhabiskan waktu untuk membuka halaman demi halaman majalah itu. Kubaca dari kata per kata -- dengan diselingi gerakan mataku melirik ke penjuru sudut ruangan: adakah calon penumpang membaca majalah yang sama.

Jun 1, 2005

Berduaan dengan Aida (1 Juni 2005 di heyderaffan.blogspot.com)

 


AKU bakal berduaan kembali dengan Aida, anakku, akhir pekan ini -- 5 Juni 2005. Inilah momen yang kutunggu-tunggu. Istriku, Ika, dan teman-temannya, pada hari itu, mesti menyelesaikan acara diskusinya. Aku sudah membayangkan kira-kira acara apa yang akan kami lakukan berdua -- dan, inilah pekerjaan yang sungguh mengasyikkan! Ke kebun binatang lagikah? Atau ke museum, atau ke toko buku? Atau menonton pertandingan sepakbola di Lebakbulus -- ha, ha, untuk yang terakhir ini, istriku pasti memprotesnya, "Bagaimana kalau ada tawuran?"

Apapun, berjalan-jalan dengan Aida adalah kesenangan baruku -- selain membaca dan mengutak-atik kliping sepakbola, tentunya. Kalau ditanya, di mana letak kesenangannya, aku akan mengatakan, selama perjalanan itu, yaitu di saat-saat mendengarkan celoteh, pertanyaan-pertanyaan jujurnya, serta tawa Aida -- juga mungkin rengek manjanya.

Rengek manjanya? Heem, anakku -- nama lengkapnya Aida Ameera Alkaff -- memang luar biasa manjanya -- apalagi bila dia ada di kerumunan, sementara dia tahu, aku dan Ika ada di sampingnya. Dia akan segera menggelayut, entah ke mama atau walidnya -- istriku dulu yang usul agar Aida memanggilku Walid, kata lain dari ayah, dari bahasa Arab. Harus kuakui, kadang-kadang tingkahnya menyebalkan, utamanya bila anakku ini seolah berperan seperti bayi, lewat ucapan-ucapannya.

Itulah Aida. Meski terkadang membuat jengkel, tapi tatkala melihat bulat matanya yang bening, dan kaki kecilnya yang lincah meloncat-loncat, serta tangannya yang tiba-tiba merangkul leherku, hati siapa yang tidak akan luruh. Dan, aku paling merasa sedih, kalau tiba-tiba melihat dia lesu dan terbaring sakit -- sedih sekali!

Tapi, dalam banyak hal, memang dibutuhkan kesabaran luar biasa, selama berduaan dengan Aida. Kesabaran untuk memahami bahwa Aida adalah seorang bocah berumur 3 tahun 6 bulan, yang belum banyak tahu tentang apa itu hak dan kewajiban. Inilah tantanganku, untuk pandai-pandai menyelami apa yang ada di benaknya -- kalau sudah begini, aku sadar, mesti banyak tahu lagi tentang psikologi anak-anak.

Sebagai wartawan yang jam kerjanya bisa sampai larut malam, aku mesti mencari akal, bagaimana pertemuanku dengan Aida, tetap terjaga, setidaknya dalam sepekan, aku bisa seharian bersama dia pada Sabtu dan Minggu. Inilah yang dulu menjadi kesepakatan antara aku dan istriku, kecuali ada masalah pekerjaan yang mendesak untuk didahulukan. Makanya, aku sampai tidak tega meninggalkan istri dan anakku, bila harus piket ke kantor pada Sabtu atau Minggu -- itulah sebabnya, aku beberapa kali mengajak anakku dan istri ke kantor, saat piket. Jadilah ruangan kantorku sedikit berantakan karena kehadiran Affan junior.


Terakhir Aida kuajak ke kebun binatang Ragunan, beberapa pekan lalu. Selama di sana, aku berusaha menikmati segala ucapan dan tingkah-lakunya. Kuperankan diriku seolah-seolah seumur dengan dia. Aida loncat-loncat diantara gundukan tanah, aku ikut pula. Dia menirukan suara macan tutul, aku ikut pula mengaum. Aku bahagia sekali kalau dia tertawa lepas. Segala pertanyaan yang muncul dari mulut mungilnya, akan kujawab -- meski dalam banyak hal aku menjawabnya dengan kalimat ''Walid belum tahu ya, nanti kita tanya mama atau lihat buku ya."

Sebelumnya, anakku yang pada Desember nanti berusia 4 tahun ini, pernah kuajak keliling museum nasional di depan Monas. Dia pernah takjub saat kuajak naik bus butut, meski kadang-kadang keluar kalimat polosnya "panas walid!" Kami pernah pula hampir jatuh di dalam busway, akibat pegangan tangannya, jebol.



Yang mengasyikkan, Aida sudah mengetahui di mana dia harus mencari rak buku anak-anak, di toko buku Gramedia, Pondok Indah Mall -- bila dia kugiring ke rak buku filsafat (Hah! Aida di usia 2 tahun, sudah sering mengucapkan Nietzche, dan menirukan gerakan mulutnya, seraya membayangkan kumis filosof urakan itu bergerak ke sana-sini) atau sastra, dia akan protes "ini bukan buku anak-anak". Otomatis, aku balik badan, kembali ke rak buku anak-anak. Tentu saja, pernah pula kami berdua menghabiskan waktu dengan bermain di sejumlah mal -- seharian main permainan, sambil menunggu mamanya yang tengah pijat.

Kalau sudah menemukan kenikmatan berjalan berdua dengan anakku, aku biasanya teringat secuil sejarah yang jarang diungkap, yaitu kisah Bung Hatta dan Bung Syahrir, tentang buku dan anak kecil. Kisah ini terjadi ketika mereka, di tahun awal 40-an, harus meninggalkan Bandaneira menjelang Jepang masuk Maluku -- dua orang itu diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke pulau itu.

Syahdan, dalam hitungan menit, dua orang itu harus segera meninggalkan pulau itu, dengan sebuah pesawat kecil yang disediakan pihak Belanda. Sebuah pilihan harus diambil, siapa dan apa-apa saja yang harus didahulukan, karena ruangan pesawat sungguh terbatas. Beberapa saksi mata menulis, Hatta yang digambarkan berwatak serius, dibuat frustasi karena gagal membawa ribuan bukunya -- dalam beberapa peti. Sebaliknya, masih menurut saksi mata itu, Syahrir merelakan bukunya ditinggal -- konon, buku-bukunya habis dibagikan kepada anak-anak di sana, usai dibaca.

Syahrir, yang digambarkan lebih memilih berenang seharian ketimbang membaca buku di kamar, akhirnya memilih mengajak seorang anak lelaki ke dalam pesawat -- belakangan, anak kecil itu diangkatnya sebagai anak angkatnya. Sebaliknya, Hatta masih berpikir keras: bagaimana buku-buku itu bisa segera dikirim ke Jawa. "Syahrir lebih mencintai anak-anak ketimbang buku," itulah tafsir seorang penulis, mengomentari kisah tersebut.

Aku tak bermaksud membandingkan pengalamanku dengan kisah dua orang itu. Tapi, rasanya sulit, untuk melupakan kisah itu, ketika kenikmatan timbul di saat saya berdua dengan Aida. Mudah-mudahan kenikmatan yang kuperoleh, juga dirasakan Aida. **

Attachment: cafesamawalid.JPG