Mar 8, 2005

Hujan Kemanten

Hujan Kemanten
Oleh: Heyder Affan

Kutulis surat itu, di pertengahan tahun 1998, dengan penuh perenungan, di sebuah malam, dengan harapan, pesanku itu bisa diterima ibuku. Tapi, aku selalu menimang-nimang, apakah isi surat itu bisa diterima ibuku --dengan hati terbuka-- lantaran membaca suratku yang bak ancaman Malin Kundang.
Tetapi, tidak tahu kenapa, surat yang terlanjur setengah jadi itu, baru cuma selembar, tak jadi kukirim --dan kusimpan. Sekian tahun kemudian, belakangan, surat itu kutunjukkan ke istriku, dengan mata berlinang. “Aku selalu gagal berbicara baik-baik dengan ibuku,” kataku lirih, hampir tak terdengar. Istriku, yang rambutnya lurus, hanya terdiam.
***
Namun, suatu saat, aku begitu mengebu-gebu. Mungkin lantaran aku pengecut dan tidak berani menghadapi ibuku secara langsung. Didampingi istriku, yang menepuk-nepuk atau membelai bahuku yang ringkih, aku menulis surat yang sama seperti itu, di bulan panas Agustus 2000, dengan bergelora. Tuts komputer, yang kusewa di lantai dua sebuah pertokoan di kawasan Blok M, begitu berirama --mirip istriku saat memainkan piano miliknya, dengan orkestra milik Chopin kesayangannya, nocturne. “Aku minta doa restu, sebab pertengahan Nopember nanti, saya akan menikahi Ika…” begitu poin isi suratku.
Kurang dari dua puluh empat jam, surat itu sudah kumasukkan di kantor pos tak jauh dari rumah. Agar menguatkan hati, kuuucapkan bismillah. Aku agaknya begitu tidak peduli seperti apa nanti jika ibuku membaca itu. Surat itu kukirim lewat kakakku lelaki di Surabaya.
***
Pagi itu hujan sangat deras. Hujan bulan November. Saking derasnya, aku menjadi takut sendiri, dan merasa seolah-olah itu kutukan atas pembangkanganku. Isi surat itu, dan tangisan sesenggukan ibuku terus membayang. Padahal, waktu terus berjalan. Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam. Acara akad nikah tak bisa ditunda -- atas nama apapun. (Aku jadi teringat, suatu pagi di kotaku, saat aku begitu ngotot di hadapan ibu dan kakak perempuanku -- yang begitu sabar, agar acara pernikahanku pada pertengahan Nopember itu tak ditunda. Dan, kalimatku sempat meninggi. Aku masih mengingat itu, dan tidak akan terlupa, sampai kapanpun).
“Tenang, ini cuma hujan kemanten. Harus kamu insafi,” suara Om-ku, Ubaydillah, memecah risauku. Aku tinggal di rumahnya saat-saat menjelang pernikahan, sebagai titik berangkat ke lokasi aqad- nikah dan resepsi. Tangannya memegang pundakku yang pendek. Kulihat dia tulus, senyumnya tidak dibuat-buat.
***
Tapi, hatiku tetap tak tentram. Waktu betul-betul membelengguku. Bayangan nafas ibu yang naik-turun, dan jalannya yang gontai dan renta, kembali melesat sekian detik, mengisi pikiranku. Di loteng itu, aku begitu tak berdaya. Hujan begitu tiba-tiba mengguyur Jakarta, dan langit gelap yang menggantung di atas Condet, seolah menertawakan.
“Cobalah berdoa, baca shalawat,” kali ini, suara itu keluar dari mulut kakak lelakiku, Kazim. Entah kenapa, aku dengan sadar kemudian berkomat-komit membaca doa-doa, yang kuakui jarang kulakukan. Aku jadi ingat Tuhan.
Kakakku yang lelaki ini memang, anak kesayangan ibuku, setidaknya itulah penilaianku setelah tinggal bersama dia hampir lima belas tahun --aku berpisah secara fisik dengan dia saat dia kuliah di Jember, saat dia bekerja di Jakarta, dan ketika dia bersama istrinya pindah ke Surabaya. Lewat dia, surat untuk ibuku, kutitipkan. Aku percaya kepada dia ketimbang saudara-saudara perempuanku lainnya. Kakak lelakiku itu anak ketiga, sementara aku adalah anak keempat dari lima bersaudara. Dalam banyak hal, kakakku itu --usianya dua tahun lebih tua dari aku-- begitu melindungi. Terkadang dia menempatku sebagai adik yang harus dilindungi. Aku begitu mengaguminya. Dulu saat kanak-kanak aku sering menaruh rasa iri kepadanya, karena perangainya yang membuat ibuku begitu percaya kepadanya. Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com
Aku jadi teringat, saat kakakku sedih lantaran ditolak lamarannya oleh sebuah keluarga keturunan Arab dengan alasan tak jelas. Kakakku menjadi down, dan gampang melamun --suatu hal yang jarang kujumpai sebelumnya. Ini terjadi, saat kakakku itu kerja di sebuah percetakan di Jalan Pramuka, Jakarta. Kerutnya di dahi menonjol, dan tatapan matanya kosong. “Menurutmu bagaimana, Fan” (aku berfikir lama, dan aku tak bisa menjawab).
Dan, aku menangis bahagia saat kakakku lelaki itu menikah. Aku yang saat itu sudah di Jakarta, dan baru bisa sampai di kotaku sehari menjelang hari H, tak banyak membantu kakakku. Alih-alih bantuan uang, bantuan fisik-pun tak kulakukan. Barangkali, itulah tangisanku yang begitu keras terdengar seumur hidupku.
***
Minggu, 19 November 2000, di atas jam 10 pagi, dengan mendung masih tersisa. Aku dan istriku, akhirnya, duduk di pelaminan, dan di sisi kiri tidak ada ibu dan ayahku (ayahku saat itu sudah renta, dan tidak siap berpergian jauh). Kakakku lelaki, Kazim, dan kakak perempuanku tertua, Salmah, menggantikan posisi mereka.Image hosted by Photobucket.com Aku, sebetulnya, adalah orang yang tidak suka keramaian, tapi rasanya aku bahagia sekali pada pesta di pagi hari itu. Kami menikah dalam pakaian kemanten yang didominasi warna coklat --warna kesukaan istriku. Kebahagian itu terasa lengkap, utamanya setelah beberapa menit yang lalu aku mendengar suara ibuku di ujung telepon. “Aku restui kamu,” katanya pelan, sesenggukan menangis.
***
Aku tahu kenapa ibuku tidak mau datang ke resepsiku pernikahanku, dan aku berusaha memahami, mengapa sikap itu diambilnya. Aku juga bisa memaklumi kenapa adik perempuanku, Henny, yang tinggal di Banjarmasin bersama suami dan anaknya, mengambil sikap yang sama. Dalam beberapa hal, aku dapat mengerti alasan ketidak-datangan kakak perempuanku, Mila, yang jauh tinggal di Abu Dhabi --dia tinggal di sana sejak 1986, bersama suami dan anak-anaknya. “'Kamu mengerti kan, kenapa saya tidak bisa datang,”' kurang-lebih begitulah alasan adik perempuanku, Henny, yang tinggal di
Banjarmasin, seolah mewakili sikap ibu dan kakakku di Abu Dhabi. Aku tidak banyak berkomentar untuk soal ini, dan lebih banyak memilih diam --seperti biasanya.
***
”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya; apakah saya keturunan Arab.” Aku terheran-heran dengan sederet kalimat ini, sekitar tujuh tahun yang lalu. Kucermati berulang kali, tidak juga nyambung. Seolah untuk menyelaminya, dan mengerti dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku mencoba melupakan kalimat itu --yang dimunculkan dalam sebuah wawancara sebuah tabloid dengan seorang mantan menteri, yang menurut pewawancara adalah seorang lelaki keturunan Arab.
Kini, aku bisa sedikit memahami kalimat itu, setelah hampir empat tahun aku hidup satu rumah dengan istriku, Ika. Perempuan yang kunikahi ini bukanlah keturunan Arab. Dia dilahirkan dari seorang Ayah kelahiran Jambi, dan ibu seorang Jawa. Hidup bersama, dan setiap detik, menatap matanya dan mendengarkan kata-katanya, juga suasana hatinya. Tidur satu kasur, berpelukan, hingga lahir satu anak perempuan, 20 Desember 2001, Aida. Rambutnya tidak keriting, tidak begitu mancung --seperti aku. “Apakah kamu nantinya akan memaksa Aida untuk menikah dengan sesama keturunan Arab,” istriku seolah tidak bosan, selalu menanyakan hal ini kepadaku.
Aku tidak menjawab langsung, soalnya aku selalu merasa gagal, bila memberi jawaban yang pendek-pendek. (Makanya, selalu kuajak istriku, di tengah malam, untuk sebuah perbincangan yang panjang-lebar - kadang sambil lenganku merengkuh lehernya).
“Jawabanku adalah pengalamanku,” begitulah yang kubisikkan kepada istriku.
Aku lantas mulai bercerita. Kebetulan, di sekitar Februari, dua tahun lalu, aku bertemu seorang teman, bekas aktivis pers mahasiswa, dan kini wartawan sebuah koran ibukota. Dia mengenalkan aku ke seorang pengurus ormas Islam, dan sambil tertawa dia bilang: “Ini juga jamaah, habib, asal Malang.” Aku tak tertarik dengan kalimat itu, dan seperti biasa aku cuma diam. Kepada istriku, aku lantas bilang yang ada di pikiranku, lalu muncul selebatan pertanyaan dan sekaligus jawaban, yang saling masuk dan tindih. Aku berdialog dengan diri sendiri, kataku lagi, dan tidak membutuhkan kesaksian orang lain.
Istriku balik merangkulku, dan masih takzim mendengarkan ceritaku. “Aku bisa memutuskan siapa aku sebenarnya, bukan temanku tadi, atau siapa saja.” Makanya aku merasa heran, kenapa orang melihat seseorang dari penampilan fisiknya, hanya karena hidungnya, atau rambutnya yang setengah ikal. “Tapi, aku cuma diam, tertawa, menertawakan betapa tak ada gunanya mengeluarkan kata-kata,” timpalku, saat istriku mulai bertanya kenapa aku tidak menangkis omongan orang itu. (Yang sering kukutip adalah ucapan pelukis minimalis asal Bandung, Jeihan, diam adalah pusat dinamika, dan aku memilih itu).
Istriku akhirnya tertidur di dadaku yang tipis, sementara ceritaku belum tuntas. Sambil menahan dingin malam, aku malam itu teringat pengalaman sekitar sepuluh tahun lalu: aku hampir beradu fisik lantaran temanku memanggilku Arab.
***
Image hosted by Photobucket.com

Pikiranku kemudian menerawang jauh. Aku teringat, saat aku menjelang remaja, ayahku, memberikan sebuah copy yang isinya puisi seorang Arab-Maronit asal Lebanon, Khalil Gibran. Sebuah puisi tentang hubungan orang tua dan anak, yang sebetulnya pernah kubaca di majalah Tempo, terbitan tahun 80-an. Belakangan ini, aku mulai bertanya-tanya, kenapa puisi itu diberikan kepadaku, dan kenapa tidak dihibahkan kepada kakak lelakiku. Peristiwa itu, awalnya, tidak saya pikirkan, setidak-tidaknya saat menjelang pernikahanku.
Ayahku adalah anak tunggal, dari ayah seorang pedagang keturunan Arab, sementara ibunya seorang Jawa (namanya Sofiatun, dan aku tidak pernah melihat fotonya, meski kadang-kadang aku berimajinasi wajahnya seperti kebanyakan orang Jawa). Aku ingat betul, ayah acap bercerita ihwal ibunya yang bukan keturunan Arab. Tetapi, sebetulnya yang lebih banyak bercerita soal ini adalah ibuku, Syifa, dan selalu diulang-ulang, sehingga aku --juga saudara-saudaraku-- ingat betul ditail-ditail ceritanya. “Walid kasihan sekali, mulai kecil dia dipisahkan dari ibunya,” Ibuku, suatu saat, membuka cerita. Aku dan tiga saudara perempuanku dan kakak lelakiku, dengan seksama, mendengarkannya.
Walid adalah nama istilah lain ayah, yang kami gunakan untuk memanggil ayahku, yang bernama Ahmad. Karena kakekku bernama Muhammad, sementara pada keluarga keturunan Arab, nama keturunan di belakangnya --selain nama fam-- selalu dicantumkan, maka ayahku memendekkan namanya menjadi AM Alkaff (A adalah sinonim Ahmad, sementara M kependekan dari Muhammad, sedangkan Alkaff adalah fam keluarga Walid). Penyingkatan nama seperti ini lazim, atau tepatnya mode, pada jamannya Walid muda. Saat itu, ada bintang filem Indonesia, yang juga menyingkat namanya menjadi AN Alcaf.
Cerita tentang Walid yang dipisahkan dari ibuku, seingatku, tidak pernah diungkap secara gamblang. Kadang-kadang, tatkala aku yang mulai beranjak dewasa, timbul keinginan menganalisa kenapa peristiwa itu terjadi. Aku tidak begitu ingat, tetapi samar-samar aku teringat cerita, hal itu dilakukan keluarga Walid karena ibunya bukan keturunan Arab. “Bayangkan betapa sedih ibunya, bertahun-tahun tidak melihat anaknya. Barulah saat Walid menginjak usia 17 tahun, ibunya sakit, dan dibawalah dia ke Jember, tempat ibunya berbaring sakit,” papar ibuku.
Belasan tahun lalu, aku barangkali tidak bisa menyelami perasaan Walid, juga bagaimana kesedihannya. Tetapi aku ingat, suatu saat Walid ingin betul berziarah ke makam ibunya, yang menurutnya, tidak diketahui tempatnya. Dalam hari-hari besar agama, di sela-sela bertemu keluarga, ada tradisi keluarga kami untuk menziarahi makam keluarga. Saat itulah, Walid mengajak beberapa anaknya, termasuk aku, untuk mencari makam ibunya, yang letaknya di pinggiran kota Jember, Jawa Timur. Beruntung, ada saudara jauh Walid dari ibunya yang mengetahui makam tersebut. “Fan, kamu itu punya saudara dari Indonesia asli, loh,” begitulah yang keluar dari mulut Walid, yang diucapkan kepada aku dan anak-anaknya yang lain.
Beberapa kali Walid, dengan mengajak ibuku, menghadiri pertemuan keluarga dari ibunya, di sebuah kota kecamatan, di luar kota Malang. Beberapa orang diantaranya dikenal Walid sebagai aktivis PDI, pengagum Soekarno. Dalam beberapa kali pertemuan, Walid lantas diberi silsilah keluarga ibunya, yang kalau dilacak-lacak, maka saya adalah keturunan Sultan Banten. “Jadi, kamu itu keturunan raja-raja Banten,” cetus Walid, yang dibarengi ketawa kami semua. Foto-kopian silsilah itu masih saya simpan.
***

Sejak pindah ke kota Malang, sebuah kota di pedalaman di Jawa Timur, kira-kira 90 kilometer dari Surabaya, di tahun 1970, Walid jarang bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali masyarakat keturunan Arab, di kota ini. Sebelumnya kami tinggal di kota Palembang, tempat Walid dibesarkan. Hanya saat-saat undangan pernikahan, halal bi halal lebaran, ayahku baru bertemu dengan orang lain.
Hidupnya banyak dihabiskan duduk di kursi, di mana dia memberi les privat Bahasa Inggris, selain membaca (di rak bukunya, aku melihat Sejarah Komunisme di Dunia dan Sejarah Muhammad versi Orientalis) . Perawakan ayahku tidak seperti orang-orang keturunan Arab kebanyakan. Tingginya sekitar 160 sentimeter, berkacamata minus, dan rambutnya hampir semuanya beruban. Orang-orang Arab di kota ini kerap memanggil Walid dengan istilah ustad atau guru.
Agaknya keengganan Walid bergaul dengan orang-orang keturunan Arab di sekitarnya, ditiru oleh anak-anaknya. Rumah kami (bekas gereja, milik seorang Jawa-Kristen) yang letaknya di pinggir sungai, relatif jauh dari Kampung Arab, meskipun letaknya di kelurahan Kauman, di pusat kota. Sejak kecil-kecil, kami lima saudara menghabiskan waktu di sekolah sekuler, meski sore hari, kami juga diwajibkan mengaji di belakang mesjid Jami’. (Dibandingkan saudara-saudaraku, aku sendiri yang tidak tamat membaca Alquran, dan setahuku, saat itu, aku lebih banyak menghabiskan bermain bola ketimbang mengaji di depan guruku, yang acap mengatakan aku tidak seperti anak Arab kebanyakan, yang fasih membaca kita suci itu).
Aku dan saudara-saudaraku lebih banyak bergaul dengan anak-anak Jawa yang tinggal di belakang rumah. Pernah ibuku menasihati agar anak-anaknya membuka pergaulan dengan anak-anak keturunan Arab, tapi gagal. Apalagi, untuk menuju ke kampung Arab, kami harus melalui beberapa jalan besar --sebuah hal yang tidak mungkin bagi kami yang masih kecil-kecil. Jadi pertimbangan praktis yang lebih menentukan, begitulah kesimpulanku, belakangan ini, tentang alasan kami tidak bergaul dengan sesama keturunan Arab. Tetapi kadang-kadang ada masalah kecil juga di kampung. Mungkin, karena fisikku yang relatif berbeda dengan teman-teman di kampung, julukan Arab acap kuterima, saat itu: urap-urap bumbune kelopo, arek Arab irunge dowo (urap-urap bumbunya kelapa, anak Arab hidungnya panjang), begitulah canda mereka.
Saban hari aku --setidaknya sejak TK hingga mahasiswa-- bergaul dengan anak-anak kampung di belakang rumahku, lama-lama membuat aku merasa bagian dari mereka. Tidak ada jarak rasanya, meski saat aku pulang ke rumah, jarak itu diperlihatkan dan dipelihara. Tetapi, setahuku, hidupku lebih banyak habis di kampung. Kedekatanku itu kadang-kadang membuat aku bertanya-tanya, seperti yang kualami saat mendengarkan pengajian seorang ustad, di serambi masjid, di bulan Ramadhan. “Kamu kalau bicara dengan orang tua harus pakai Bahasa Jawa-Kromo (Bahasa Jawa halus), itu namanya sopan,” ujar ustad itu. Aku, yang saat itu berumur sekitar 10 tahun, setelah itu dibuat bertanya-tanya, karena aku tidak pernah memakai bahasa itu dengan kedua orang tuaku. Pengalamanku itu tidak pernah hilang dari ingatanku.
***
Tapi, beberapa detik kemudian, aku teringat potongan adegan dalam sebuah film independen, yang kutonton di Erasmus Huis, di komplek Kedutaan Belanda, di Jakarta, di tahun 1997, yang bercerita tentang imigran Cina di sejumlah negara barat –Jerman, Australia. Anak-anaknya yang perempuan menikah dengan pria-pria barat, dan dari situ cerita dijalin. Dan, potongan adegan atau tepatnya ucapan seseorang di antaranya kuingat betul, sampai sekarang, detik ini. “Agaknya, hidupku tak sepenuhnya mampu menjebol akar masalaluku, juga akar budayaku. Tampaknya, aku mengambang, tak jebol akarku, juga tak kuat akarku.”
Seolah mendapatkan jawaban yang kutunggu-tunggu, aku tersentak. Kuungkapkan pengalaman batinku ini kepada temanku, Krisna, yang ikut menemani menonton film itu (Krisna adalah temanku di aktivitas pers mahasiswa, dan kami bertemu lagi saat menggeluti dunia wartawan di Koran Nusa di Bali, dan kemudian di Jakarta. Krisna yang ibunya Katolik dan ayahnya Muslim kini menetap di Swiss, beristrikan orang sana. ‘’Saya masih Islam ‘Fan, tetapi tidak percaya lagi beberapa doktrin Islam’’)
***
“Kata adikku, kamu bakal susah meninggalkan akar budayamu. Suatu saat kita bertengkar, dan kamu kecewa, maka kamu akan kembali ke akarmu.” Kalimat ini jika keluar dari mulut orang yang tidak begitu kukenal, maka mungkin segera akan kulupa, tapi bila itu diucapkan istriku, masalahnya jadi lain. Ia, kalimat itu, akan menetap lama di otak kecilku. Sulit untuk kulupa. Itulah yang diucapkannya, tatkala kami dibenturkan konflik menjelang pernikahan. Sikap keluargaku yang menolak rencanaku, saat itu, memang sedang mencapai klimaks. Suasana murung menyelimutiku. Di malam hari, saat itu kuhabiskan dengan melamun sendiri di kamar. Dan, aku sulit tidur.
Tapi, saat kalimat itu meluncur di hadapanku, yang ada kemudian bukanlah aku lalu balik ke belakang atau mulai menaruh rasa ragu, tapi sebaliknya. Aku mengajak Ika, yang saat itu calon istriku, di sela-sela minum capucino di suatu malam, untuk menjelaskan sikapku, yang kuharapkan bukan sekedar apologi. Dengan bergetar, aku bicara panjang tentang perjalanan mulai hingga detik-detik saat kupegang tangan calon istriku malam itu. “Kenapa harus kembali ke akar, kenapa kita mau dimanjakan perasaan itu, padahal kaki kita seharian, dari menit ke menit, adalah disibukkan dengan nulis atau cari berita. Kita kembali ke akar, atau tepatnya mampir, hanya saat aku ketemu ibuku atau keluargaku. Itu pun hanya saat hari raya…”
Calon istriku jika mendengarkan aku berceloteh biasanya lalu tertawa manis, lalu menggelayut. Matanya itu yang membuat aku jatuh cinta, kembali berbinar. Lantas, dia berkata lirih: “Kamu seksi sekali, kalau sudah omong serius.” Sekelabat kemudian, perkara akar itu menguap, kemudian fikiran kita (atau perasaan) sudah menginjak yang lain. Inilah yang terjadi setiap kali, kapan dan dimanapun. Lantas, kenapa kita selalu memanjakan perasaan kita yang timbul-tenggelam itu?
***
Hari-hari itu, sekitar tahun 2000, aku punya keinginan yang meluap-luap: memburu buku yang ditulis sarjana barat yang menulis tentang sejarah timbulnya suku-suku Arab asal Hadramut yang kini menetap di Indonesia. Sebetulnya, saat kuliah, aku pernah menemukan buku itu di perpustakaan kampus. Tapi, saat itu, aku belum sadar akan akar, seperti sekarang ini. Aku lupa, sebetulnya ada yang memberitahu perihal buku itu, entah kapan. Tapi, yang jelas, aku pernah lihat buku itu –berupa fotocopian– di rumah salah-satu keponakan bapakku, juga kakakku pernah cerita soal buku itu. Saat hari raya tahun lalu, aku kembali melihat copi buku itu, di rak milik kakakku di Surabaya, Kazim. “Kalau masih sempat aku bisa copy di sini, lalu kukirim ke Jakarta.” Kakakku yang satu ini sebetulnya tertarik dengan dunia intelektual, mirip ayahku.
***
Terkadang perasaanku kubiarkan terhanyut saat mendengarkan suara Hadad Alwi, pelantun lagu keturunan Arab. Aku lupa judulnya. Kuulang-ulang kuputar, dengan harapan kerinduan itu segera mati. Kerinduan kepada sebuah akar, sebuah kerinduan psikologis yang pernah kuselami saat aku kecil. “Apapun kamu akan kembali ke akar,” begitulah celetukan teman SMA-ku, Abubakar, entah serius atau tidak, saat dia menceritakan istrinya yang sesuku dan sekampung. Seolah, dia ingin menyejukkan hatiku yang saat itu memberontak’. (Abubakar adalah kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, teman sebangku di SMA Islam, persisnya saat kelas 2 jurusan Sosial. Dia menikah dengan perempuan satu kampung, dan kini masih tinggal di Malang).
Seperti biasa, aku tak mendebat kalimat itu, dengan menampakkan urat yang mengencang di leher. Aku bukanlah orang yang pandai berdebat. Cuma tertawa, begitulah, meski otakku jalan terus, dan mencari jawaban sendiri, dan menemukan jawaban akhirnya, bahwa temanku tak selalu benar. “Kamu itu sebenarnya keras kepala, persis seperti aku,” kali ini kata istriku.
***
Seperti lazimnya anak-anak muda lain, di saat akil baliq, aku pun belajar memahami perempuan, dan berusaha mengaguminya. Setahuku, sampai batas mengagumi itulah, yang bisa kulakukan, saat itu, setidaknya sampai masa kuliah. Di kota Malang, sebuah kota yang kecil, segala aktivitasku seolah-olah dalam posisi diteropong, gampang diketahui. Tidak mungkin, rasanya, batas mengagumi perempuan itu bisa terlampaui, misalnya, dengan kemudian mengkonkritkan rasa mengagumi tersebut.
Kebetulan yang aku kagumi, saat itu, tidak ada satu pun yang berasal dari perempuan keturunan Arab. Mereka, di kota Malang, jarang sekolah di sekolah-sekolah negeri. Di kampung, taman kanak-kanak, sekolah dasar, lanjutan pertama dan atas, juga kuliah, tidak kujumpai perempuan keturunan Arab yang kukagumi. Masalahnya, di dalam keluargaku, ada peraturan tidak tertulis, agar nantinya anak-anaknya, juga keturunan di bawahnya, menikahi sesama keturunan Arab.
Karena itulah, rasa mengagumi perempuan itu, akhirnya berujung kepada puisi, yang kusimpan rapat-rapat. Kejadian ini berulang terus, dan barangkali sepertinya bukan dianggap masalah oleh keluargaku. Aku sempat terpikir, barangkali aku harus bisa melampaui batas mengagumi itu, setelah aku keluar dari kota Malang. Dan, semenjak di Bali, keinginan itu akhirnya terlampaui. Di pulau itu, dan berlanjut di Jakarta, rasanya penaku mulai tumpul untuk sebuah puisi.
***
”Jadi, bagaimana sikapmu kalau anakmu ini menikah dengan orang bukan keturunan Arab.” Istriku kembali mengulang pertanyaan itu, seolah dia tidak puas dengan ceritaku yang panjang-lebar, malam itu. Kubilang, itu terserah Aida, biarlah dia memilih siapa calon suaminya, nanti. “Tapi, bagaimana kalau Aida, memilih calon suami yang keturunan Arab. Lagipula, orang-orang keturunan Arab kan cakep-cakep,” cetusku, seraya tertawa.
Percakapan ini, setahuku, kemudian terhenti, dan kadang diulang lagi oleh istriku. Belakangan, aku tak pernah mendengarnya lagi.
***
Saat Idul Fitri, kira-kira satu bulan setelah kami menikah, aku menelpon ke Malang. Kuajak istriku untuk bersapah dengan keluargaku. Di ujung telepon sana, Ibuku berbicara. Tidak ada suasana seperti menjelang pernikahan. “Apa kabar Ika. Sini, aku pengin ngomong sama dia,” kata Ibuku membuka pembicaraan. Intinya, kami membuka pintu, untuk saling memaafkan.
Sejak lebaran itu, aku berharap semuanya bisa dimulai dari titik nol. Rela baru, begitulah di benakku, bisa dibangun hubungan yang betul-betul baru antara aku-istri-anakku dan keluarga di Malang. Situasinya tampak nyaman, saat Ika kuajak ke Malang, beberapa hari setelah lebaran. Puncaknya, saat Aida Ameera , anakku, kuajak pula menjenguk neneknya di Malang. Aku sempat bertanya-tanya kenapa Aida awalnya tidak mau digendong neneknya, tetapi segera kuhapus bayangan-bayangan jelekku. Tetapi, saat itu, apa yang kunamakan ketakutan-ketakutan yang dulunya pernah terlontar di keluargaku –misalnya, sulit mempertautkan orang bukan Arab di keluarga kami-- tidak kujumpai. Ibuku sendiri pernah kuajak mampir ke rumah orang tua Ika, di Bintaro, dan ketakutan-ketakutan itu rasanya cuma isapan jempol.
***
Aida anakku, pada 20 Desember 2003, telah memasuki usia 2 tahun. Parasnya, kata banyak orang, ngangeni. Kulitnya putih dan bola-matanya coklat muda, mirip mataku. Aku lupa persis waktunya, tetapi sambil tertawa ibuku, entah serius atau tidak, suatu saat nyeletuk: ”Jodohkan saja Aida dengan Nazif. Mudah-mudahan nanti Nazif jadi anak pintar.”
Nazif adalah anak kedua adik perempuanku, Henny. Nazif dua tahun lebih tua dari Aida. Di kamar ibuku, di Malang, potret diri Aida dan Nazif di pasang berdempetan, terpisah dari foto cucu ibuku yang lainnya. Aku tidak menjawab celetukan ibuku, tetapi pertanyaan istriku: “Jadi, bagaimana sikapmu kalau anakmu ini menikah dengan orang bukan keturunan Arab,” muncul membayangi kembali.
***

Mar 7, 2005

Hujan Kemanten

Hujan Kemanten
Oleh: Heyder Affan

Kutulis surat itu, di pertengahan tahun 1998, dengan penuh perenungan, di sebuah malam, dengan harapan, pesanku itu bisa diterima ibuku. Tapi, aku selalu menimang-nimang, apakah isi surat itu bisa diterima ibuku --dengan hati terbuka-- lantaran membaca suratku yang bak ancaman Malin Kundang.
Tetapi, tidak tahu kenapa, surat yang terlanjur setengah jadi itu, baru cuma selembar, tak jadi kukirim --dan kusimpan. Sekian tahun kemudian, belakangan, surat itu kutunjukkan ke istriku, dengan mata berlinang. “Aku selalu gagal berbicara baik-baik dengan ibuku,” kataku lirih, hampir tak terdengar. Istriku, yang rambutnya lurus, hanya terdiam.
***
Namun, suatu saat, aku begitu mengebu-gebu. Mungkin lantaran aku pengecut dan tidak berani menghadapi ibuku secara langsung. Didampingi istriku, yang menepuk-nepuk atau membelai bahuku yang ringkih, aku menulis surat yang sama seperti itu, di bulan panas Agustus 2000, dengan bergelora. Tuts komputer, yang kusewa di lantai dua sebuah pertokoan di kawasan Blok M, begitu berirama --mirip istriku saat memainkan piano miliknya, dengan orkestra milik Chopin kesayangannya, nocturne. “Aku minta doa restu, sebab pertengahan Nopember nanti, saya akan menikahi Ika…” begitu poin isi suratku.
Kurang dari dua puluh empat jam, surat itu sudah kumasukkan di kantor pos tak jauh dari rumah. Agar menguatkan hati, kuuucapkan bismillah. Aku agaknya begitu tidak peduli seperti apa nanti jika ibuku membaca itu. Surat itu kukirim lewat kakakku lelaki di Surabaya.