Dec 21, 2007

aku dan ulang tahun ke-6 anakku...

APA perasaan seorang bapak saat mendampingi anaknya berulang tahun, sementara pada tahun-tahun sebelumnya dia hampir selalu jauh dari anaknya? 

Sejujurnya pertanyaan itu buat saya. Maklumlah,  baru dua kali ini saya bisa mendampingi anakku saat perayaan ulang tahunnya. Sisanya, saya disibukkan masalah pekerjaan...  

Dan seolah ingin membayar perasaan bersalah, maka pada hari itu, Kamis 20 Desember, di hari ulang tahunnya ke-6, saya memutuskan lebih banyak berada di sampingnya. Memperhatikan dari dekat wajahnya, gerak tangan-kakinya, serta celotehnya. Itu kulakukan semenjak  dia bangun pagi, mandi, meniup lilin, membuka kertas kado, hingga mengutak-atik isi kadonya...  

Kukatakan saya hampir selalu jauh dari Aida di saat ulang tahunnya, itu bukanlah mengada-ada. Ada faktor di luar kehendak, yang menyebabkan saya mesti rela meninggalkannya, yaitu faktor pekerjaan. Desember tahun lalu (2006), misalnya, saya tengah bertugas meliput Asian Games di Doha, Qatar, sementara tahun sebelumnya (2005) saya meliput setahun tsunami di Aceh dan proses penyerahan senjata GAM di tempat yang sama.

Sebetulnya kesempatan itu ada pada Desember 2004, karena saat itu saya berada di Jakarta. Namun entah kenapa, saya tidak memilih berada di sampingnya saat pesta itu dirayakan di sekolahnya. Aku tidak ingat persisnya, tapi ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda -- tapi seharusnya aku bisa datang barang dalam hitungan menit saat itu...        

Tetapi yang bikin sesak dada, adalah ulang tahunnya ke-1 tahun 2002. Jelas aku hanya bisa memendam rindu, dan berulang-ulang hanya bisa memandang fotonya dari kota London -- foto-foto yang dikirim istriku melalui email itu, akhirnya kucetak dan kupasang di tembok, di dekat tempat tidurku, di penginapan milik kantorku. Dan akhirnya, keindahan kota London, yang hanya kunikmati sendiri, membuat perjalanan tugas itu menjadi kurang sepenuhnya berkesan..  

Beruntung tahun 2003 (ulang tahunnya ke 2), aku bisa disampingnya. Aku ingat saat itu dia mengenakan baju putri warna putih gading dengan mahkota warna perak. Sebuah pesta kecil, dengan mengundang teman-teman sebaya di komplek rumah neneknya, pun digelar. Ini adalah pesta pertamanya dengan mengundang teman-temannya. Mulai saat itu pula dia mulai mengenal "pesta ulang tahun" dan "kado"... 

Dan hari Kamis lalu, tanpa pesta, Aida kembali merayakan hari ulang tahunnya, dan saya kembali hadir disampingnya. Saya dan istri sengaja tidak membuatkan pesta buat dia. "Tidak ada keharusan merayakan ulang tahun dengan sebuah pesta," kata kami, berulang-ulang. Namun kami hadirkan kekhasan perayaan ulang tahun, dengan sebuah kue tart coklat (plus lilin angka 6), kado ulang tahun, dan nasi kuning -- yang disebut belakangan ini produk neneknya. Saya, istriku, nenek-kakeknya serta tantenya menjadi saksi usianya memasuki 6 tahun... 

Lega rasanya akhir tahun ini, aku berada dekat di samping Aida-ku...    

 

 

aku dan ulang tahun ke-6 anakku...

APA perasaan seorang bapak saat mendampingi anaknya berulang tahun, sementara pada tahun-tahun sebelumnya dia hampir selalu jauh dari anaknya?
Sejujurnya pertanyaan itu buat saya. Maklumlah, baru dua kali ini saya bisa mendampingi anakku saat perayaan ulang tahunnya. Sisanya, saya disibukkan masalah pekerjaan...
Dan seolah ingin membayar perasaan bersalah, maka pada hari itu, Kamis 20 Desember, di hari ulang tahunnya ke-6, saya memutuskan lebih banyak berada di sampingnya. Memperhatikan dari dekat wajahnya, gerak tangan-kakinya, serta celotehnya. Itu kulakukan semenjak dia bangun pagi, mandi, meniup lilin, membuka kertas kado, hingga mengutak-atik isi kadonya...
Kukatakan saya hampir selalu jauh dari Aida di saat ulang tahunnya, itu bukanlah mengada-ada. Ada faktor di luar kehendak, yang menyebabkan saya mesti rela meninggalkannya, yaitu faktor pekerjaan. Desember tahun lalu (2006), misalnya, saya tengah bertugas meliput Asian Games di Doha, Qatar, sementara tahun sebelumnya (2005) saya meliput setahun tsunami di Aceh dan proses penyerahan senjata GAM di tempat yang sama.

Dec 16, 2007

Rabu (19/12), Borussia Dortmund lawan Tim Nasional Indonesia

Start:     Dec 19, '07 05:00a
Location:     Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta
SETENGAH tidak percaya, kabar rencana kedatangan kesebelasan Borussia Dortmund (salah-satu klub sepak bola peserta Liga Utama Jerman, yang kini di urutan 9) ke Jakarta, saya terima dari rekan sekantor, awal pekan lalu. Klub berseragam kuning-hitam itu akan bertanding melawan tim senior nasional Indonesia, hari Rabu, 19 Desember ini, di Stadion Gelora Bung Karno. "Jangan-jangan yang datang hanya pemain cadangannya," tanyaku, setengah berkelakar.

Saya kurang percaya, karena sejauh ini minim sekali promosi atas rencana pertandingan itu. Itulah sebabnya, diwarnai penasaran, saya lantas mengecek langsung ke website milik PSSI, dan ternyata rencana itu tidak salah. Menurut situs web itu, Dortmund akan membawa 18 pemain terbaiknya, tapi minus dua pemain bintangnya. Striker asal Swiss Alexander Frei dan gelandang Jerman Lars Ricken, dipastikan tidak hadir di Jakarta, karena alasan cidera.

Situs PSSI menjelaskan, selain membawa 18 pemain, klub yang pernah melahirkan pemain bertahan tim nasional Jerman, Jurgen Kohler dan Matthias Sammer ini, akan menghadirkan sang pelatih utama, yang juga mantan pemain timnas Jerman Thomas Doll.

Borussia Dortmund dijadwalkan tiba di Jakarta pada hari Senin (17/12) pukul 19:20 WIB lewat penerbangan SQ. Tim akan menginap di Jakarta Intercontinental Hotel. Menurut PSSI, pada Selasa (18/12), para pemain Dortmund akan berlatih di Stadion Utama Gelora Bung Karno mulai pukul 09:30 WIB. Latihan ini sekaligus digunakan untuk mencoba lapangan yang akan menjadi arena pertandingan nanti.

Acara jumpa pers dengan para wartawan pra pertandingan akan dilangsungkan di Jakarta Intercontinental Hotel pukul 13.00 WIB. Selanjutnya para pemain akan mengadakan coaching clinic dengan sekolah sepakbbola dan sekolah Jerman di Jakarta. Acara ini berlangsung di kawasan Mesjid Al Bina, Senayan Jakarta. Dalam kesempatan tesebut juga sekaligus dijadikan ajang jumpa fans.

Acara pada hari Selasa (18/12) itu akan diakhiri dengan welcome dinner para pemain dan ofisial Dortmund dengan direksi Media Nusantara Citra di Jakarta Intercontinental Hotel. Panitia juga akan memberikan undangan khusus kepada media dalam acara ini.

Pertandingan antara timnas Indonesia vs Borussia Dortmund sendiri akan berlangsung mulai pukul 17:00 WIB. Pertandingan tersebut, menurut PSSI, akan disiarkan langsung oleh Stasiiun Televisi RCTI.

Skuad Dortmund :
Goalkeepers
Roman Weidenfeller (Jerman)
Marc Ziegler (Jerman)

Defenders
Martin Amedick (Jerman)
Markus Brzenska (Jerman)
Dede (Brasil)
Robert Kovac (Kroasia)
Cristian Worns (Jerman)

Midfielders
Jaukb Blaszczykowski (Polandia)
Giovanni Federico (Jerman)
Daniel Gordon (Inggris)
Sebastian Kehl (Jerman)
Florian Kringe (Jerman)
Marc-Andres Kruska (Jerman)
Sebastian Tyrala (Jerman)

Strikers
Delron Buckley (Afrika Selatan)
Diego Fernando Klimowicz (Argentina)
Mladen Petric (Kroasia)
Nelson Valdez (Paraguay)

Dec 12, 2007

Fuad Hassan, kematian, dan kalimat itu...

KEMATIAN adalah bagian dari kehidupan itu sendiri -- jadi, jangan terlalu difikirkan, begitu kata kaum eksistensialis. Tapi tetap saja, kematian hampir selalu mengundang ratapan, tangisan, dan membuat orang untuk mengenang -- seolah mereka menolak apa yang disebut sebagai keterpisahan... 

Kematian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, pada Jumat (7 Desember) pekan lalu, membuatku teringat  aforisme itu. Mendiang Fuad, yang dilahirkan di Semarang, tahun 1929 ini, memang dikenal dekat pemikiran eksistensialis. Tapi kenapa aku tergoda mengenang almarhum?  

Kepergian Fuad memang tak membuatku sampai meratap, namun peristiwa itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang pernah dia utarakan, lebih dari 13 tahun silam -- sebuah kalimat yang kelak mewarnai sikapku dalam menjalani hidup.  Kini  saya terkenang kembali kalimat itu,  yang dia utarakan dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Detik, tahun 1993. 

”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya, apakah saya keturunan Arab..."

Begitulah Fuad Hassan menjawab pertanyaan "apakah betul Anda keturunan Arab"  yang diutarakan reporter tabloid tersebut. Saat itu, saya merasa gagal memahami apa maksud kalimat guru besar Universitas Indonesia itu, yang pernah belajar filsafat di Universitas Toronto, Kanada. Berulangkali kucermati, tapi tetap saja tidak nyambung.

Seolah untuk menyelami, dan mengerti kalimat itu dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku akhirnya dipaksa melupakan kalimat tersebut.   

Ternyata, seperti dikatakan sejumlah orang yang pernah belajar filsafat, pemahaman itu biasanya muncul dalam ruang dan waktu tertentu -- Bryan Magee, filosof-seniman asal Inggris, misalnya, butuh menyepi di sebuah kota kecil di Perancis untuk bisa memahami makna pikiran filosof Schopenhauer.

Dan saya butuh pengalaman kongkrit, dengan menikahi seorang perempuan bernama Ika, dan hidup satu rumah sejak akhir tahun 2000. Perempuan  yang kunikahi itu, meminjam kalimat wartawan tabloid itu tadi, bukanlah "keturunan Arab". Dia dilahirkan dari seorang kelahiran Kerinci (di pinggiran propinsi Jambi) dan ibu kelahiran Solo, Jawa Tengah.

Hidup bersama, dan setiap detik, menatap matanya dan mendengarkan kata-katanya, juga suasana hatinya. Tidur satu kasur, berpelukan, hingga lahir satu anak perempuan, setahun kemudian. Dari sinilah kemudian kalimat Fuad Hassan itu tadi menemukan bentuk kongkritnya..

Melalui kalimatnya itu, kutafsirkan Fuad tidak sepenuhnya setuju dengan pertanyaan wartawan itu, yang ingin merangkum atau mengkategorikan sosoknya sebagai "keturunan Arab" semata -- atau Cina, Jawa, atau Madura, sebutlah. Dia menolak kategori bernada sosiologis itu karena dirinya sepenuhnya bebas, tidak tunduk kepada latar suku, atau ras, yang ditempelkan orang lain kepadanya. "Saya-lah yang berhak menentukan siapa diri saya..."  

Saya tidak menampik latar belakang budaya, lingkungan, yang membesarkan saya. Tapi dalam konteks ini, saya memilih di pihak Fuad. Dan ini bukan sekedar lontaran dari otak sebelah kananku, dan bukan 'kebenaran' hasil sekedar analisa semata. Namun, “Jawabanku adalah pengalamanku,” demikian kataku, yang acap kubisikkan kepada istriku. Kukatakan sebagai "pengalamanku" karena menurutku dari sanalah aku ada sekarang.. 

Kubayangkan mendiang Fuad berfikir keras atas pertanyaan wartawan itu, sebelum menjawabnya. Seolah-olah dia ingin mengatakan, alangkah piciknya bila  seseorang dinilai hanya dari hidungnya, rambutnya, atau kulitnya.  Dan aku begitu yakin, dia bukan sekedar menjawab, tapi mengajak berfikir si penanya, untuk menunjukkan sikapnya dalam berfikir dan menghadapi hidup. “Aku bisa memutuskan siapa aku sebenarnya, bukan orang lain," kira-kira begini tafsirku atas kalimat Fuad Hassan.. 

Fuad Hassan memang telah tiada. Walau saya tak pernah mengenalnya secara pribadi,  kalimat itu akan hidup terus, setidaknya pada diriku saat ini. Dan dalam ruang dan waktu di mana budaya komunal begitu mencengkeram kuat, kalimat mendiang Fuad itu kuanggap masih relevan -- paling tidak direnungkan ulang. Kuakui ide yang tertuang dalam kalimat itu memang tidak orisinal, karena telah difikirkan oleh para pemikir bahkan sebelum abad ini. Tapi kufikir Fuad meneguhkan kembali pikiran itu, dan menemukan momentumnya saat ini. 

Aku tahu, kau akan mengatakan kematian adalah bagian dari kehidupan, dan berulang-ulang kau meminta agar aku enyahkan ratapan, karena "riwayatku hanya sampai di sini". Tapi, untuk kali ini, biarkanlah aku berucap: selamat jalan Fuad Hassan -- entah kemana.  

   

Fuad Hassan, kematian, dan kalimat itu...

KEMATIAN adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, begitu kata kaum eksistensialis. Tapi tetap saja, kematian hampir selalu mengundang ratapan, tangisan, dan membuat orang untuk mengenang -- seolah menolak keterpisahan...
Setidaknya seperti itulah pengalamanku saat mendengar kematian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, pada Jumat (7 Desember) pekan lalu.
Kepergian Fuad memang tak membuatku sampai meratap, namun peristiwa itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang pernah dia utarakan, lebih dari 13 tahun silam -- sebuah kalimat yang kelak mewarnai sikapku dalam menjalani hidup. Kini saya terkenang kembali kalimat itu, yang dia utarakan dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Detik, tahun 1993.
”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya, apakah saya keturunan Arab..."
Begitulah Fuad Hassan menjawab pertanyaan "apakah betul Anda keturunan Arab" yang diutarakan reporter tabloid tersebut. Saat itu, saya merasa gagal memahami apa maksud kalimat guru besar Universitas Indonesia itu, yang pernah belajar filsafat di Universitas Toronto. Berulangkali kucermati, tapi tetap saja tidak nyambung.

Dec 11, 2007

Main bola di taman sekolah anakku...

DUA pahaku sejak Senin lalu terasa pegal. Setiap jongkok, dan berdiri lagi, nyerinya luar biasa! Kuingat-ingat, apa penyebab rasa nyeri itu, tapi tetap tak terjawab. Sampai tadi pagi, barulah aku ingat. Rupanya ini akibat aktivitas olahraga dadakan yang kulakukan saat menemani istri ke sekolah anakku, Sabtu lalu (8 Desember). 

Aku berolahraga? Boleh percaya atau tidak, setelah lebih dari 10 tahun istirahat tidak bermain bola (secara amatir, tentunya), aku hari itu memainkan bola bulat itu, lebih dari setengah jam. Lokasinya di taman sekolah anakku -- disaksikan anakku dan teman-temannya..

Ya, anakku di hadapan dua teman cowoknya, lantas dengan santainya nyeletuk, "Lihat walidku jago main bola.. Coba Lid, pakai kepala.." Aku yang semula segan, ternyata menuruti kemauannya itu tadi. Bola kulit itu kumainkan dengan kepala, berulang-ulang, dan disusul dengan kaki kanan-kiri. Semuanya kulakukan dengan sadar..

Semula hari itu aku bertugas jaga anakku, sementara istriku menghadiri rapat pembentukan organisasi orang tua di sekolah anakku -- dihadiri mayoritas para ibu-ibu. Aku memilih duduk tidak jauh dari taman yang rindang, seraya memegang buku, dan memperhatikan anakku bermain. Taman sekolah anakku, meski tidak luas, tapi nyaman: ada pohon tinggi, rumput yang tebal, ayunan, serta tempat duduk. 

Terkadang aku mesti berdiri dan menghampiri anakku -- bila tingkahnya aneh atau membahayakan.  Tetapi aktivitas ini tidak lama, setelah kulihat anakku asyik dan terlihat aman bermain. Mulailah aku bisa sedikit konsetrasi membaca. Namun konsentrasiku mulai buyar tatkala teman cowok anakku mengambil bola kulit (dari keranjang), dan bermain di taman itu. Sampai di sini, kakiku mulai gatal, dan otakku berputar: wah, asyik juga nih main bola...      

Dasar anak-anak, tidak bisa konsentrasi pada satu permainan, bola itu akhirnya ditinggal. Anak cowok itu pindah ke mainan ayunan, bermain dengan anakku dan satu cowok lagi. Aku pun dengan kesadaran penuh, mendekati bola itu dan kemudian memainkannya -- ya, ampun, luar biasa nyamannya bisa memainkan bola! Tentu saja, seraya memainkannya, aku menoleh ke kanan-kiri, apakah ada yang melihat aktivitasku -- ternyata aman-aman saja (tujuh meter dari taman itu, di dalam klas istriku dan para ibu sedang rapat, sementara anakku berjarak sekitar 4 meter dari tempatku bermain).

Mengetahui bapaknya asyik bermain bola, anakku pun berkomentar. Dia berkata kepada dua teman cowoknya, kalau bapaknya jago main bola. Dia lantas meminta aku memainkan bola dengan kepalaku. Anehnya, aku menurutinya, seraya kuperhatikan senyum kemudian mengembang di bibir anakku -- dan kupikir "apa ya yang ada di benak anakku melihat bapaknya yang sudah berumur bermain bola sendiri.."

Tapi, itulah, hampir setengah jam aku habiskan waktu dengan bermain bola, seorang diri. Keringat pun keluar, yang membuat badanku menjadi hangat -- aku saat itu agak flu. Badan rasanya jadi agak segar. Namun yang membuat aku puas, aku akhirnya bisa bermain bola kembali, setelah lebih dari 10 tahun berhenti total -- terakhir aku dan teman-teman wartawan di Kota Malang, bertanding informal dengan tim Arema di Stadion Gajayana, tahun 1995.. 

Sejak 'pertandingan' terakhir itulah, aku tak pernah lagi menyentuh bola bundar, sampai kejadian di taman sekolah anakku, akhir pekan lalu. Padahal, sejak umur 9 tahun, aku tergila-gila bermain bola. Alun-alun kota Malang, stadion sepakbola kota Malang, stadion kampus Unibraw (dulu sempat jadi anggota tim cadangan kampusku) adalah saksi hidup perjalanan itu.

Setiap ada kesempatan, di manapun (di dalam kamar tidur sekalipun sampai Stadion Petrokimia Gresik saat masuk tim remaja Persema, tahun 1983), aku selalu memainkan bola. Semuanya ini berhenti pelan-pelan saat aku mulai kerja sebagai kartunis sebuah koran lokal di Malang (tahun 1994)..     

Kini, walau sadar fisik tak lagi muda, masih ada keinginan bermain bola -- setidaknya ikut bertanding dalam sebuah tim, misalnya. Tapi selalu tidak ada waktu dan kesempatan. Itulah sebabnya hal ini akhirnya menjadi semacam keinginan yang terpendam. Makanya, saat ada kesempatan sekecil apapun, dan ada bola bundar serta lapangan rumput seadanya, aku pun memanfaatkannya. Ini yang terjadi di taman sekolah anakku, Sabtu kemarin -- walaupun akhirnya paha kakiku terasa pegal-pegal.

Sekarang, saat menuliskan kisah ini, aku tertawa sendiri melihat tingkahku..   

Main bola di taman sekolah anakku...

DUA pahaku sejak Senin lalu terasa pegal. Setiap jongkok, dan berdiri lagi, nyerinya luar biasa! Kuingat-ingat, apa penyebab rasa nyeri itu, tapi tetap tak terjawab. Sampai tadi pagi, barulah aku ingat. Rupanya ini akibat aktivitas olahraga dadakan yang kulakukan saat menemani istri ke sekolah anakku, Sabtu lalu (8 Desember).
Aku berolahraga? Boleh percaya atau tidak, setelah lebih dari 10 tahun istirahat tidak bermain bola (secara amatir, tentunya), aku hari itu memainkan bola bulat itu, lebih dari setengah jam. Lokasinya di taman sekolah anakku -- disaksikan anakku dan teman-temannya..
Ya, anakku di hadapan dua teman cowoknya, lantas dengan santainya nyeletuk, "Lihat walidku jago main bola.. Coba Lid, pakai kepala.." Aku yang semula segan, ternyata menuruti kemauannya itu tadi. Bola kulit itu kumainkan dengan kepala, berulang-ulang, dan disusul dengan kaki kanan-kiri. Semuanya kulakukan dengan sadar..
Semula hari itu aku bertugas jaga anakku, sementara istriku menghadiri rapat pembentukan organisasi orang tua di sekolah anakku -- dihadiri mayoritas para ibu-ibu. Aku memilih duduk tidak jauh dari taman yang rindang, seraya memegang buku, dan memperhatikan anakku bermain. Taman sekolah anakku, meski tidak luas, tapi nyaman: ada pohon tinggi, rumput yang tebal, ayunan, serta tempat duduk.
Terkadang aku mesti berdiri dan menghampiri anakku -- bila tingkahnya aneh atau membahayakan. Tetapi aktivitas ini tidak lama, setelah kulihat anakku asyik dan terlihat aman bermain. Mulailah aku bisa sedikit konsetrasi membaca. Namun konsentrasiku mulai buyar tatkala teman cowok anakku mengambil bola kulit (dari keranjang), dan bermain di taman itu. Sampai di sini, kakiku mulai gatal, dan otakku berputar: wah, asyik juga nih main bola...

Dec 10, 2007

The Conductors, sebuah filem tentang dirigen suporter sepakbola..

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Documentary
"KALAU elo nggak nonton filem gue, layak dipertanyakan semangat Aremania elo..." Begitu kira-kira pesan bernada seloroh yang masuk ke telepon selulerku, pekan lalu. Pengirimnya adalah Andi Yusuf Bachtiar, alias Ucup, pembuat filem dokumenter...

Rupanya, Ucup tengah mempromosikan filem dokumenter barunya, The Conductors, yang terpilih untuk diputar dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest 2007). Dia mengundang saya untuk menyaksikan pemutaran filemnya yang berkisah tentang dirigen atau konduktor suporter sepakbola klub sepakbola..

Dan Minggu sore kemarin (9 Desember), saya pun memenuhi undangannya. Filemnya diputar di bioskop Blitz 7, di komplek pertokoan Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ucup, didampingi istri dan anaknya (yang masih bayi), terlihat bersemangat saat memberikan kata sambutan sebelum filemnya diputar.

Seperti filem dokumenter pertamanya, The Jak (versi pendeknya memenangkan sebuah festival filem dokumenter di Berlin, Jerman, tahun 2005), yang memotret fanatisme suporter Persija Jakarta, filem ini juga berlatar pendukung klub sepakbola. Bedanya, filem ini lebih menampilkan sosok dirigen yang memimpin para suporter bernyanyi selama pertandingan. "Itu kan gila, bagaimana penjelasannya, seseorang bisa memimpin sekitar 50 ribu-an, untuk bernyanyi selama pertandingan berlangsung," jelas Yusuf, dalam sesi tanya-jawab, saat ditanya kenapa memilih tema tersebut.

Dan saat filem diputar, penonton langsung dihipnotis gambar ribuan suporter Arema Malang tengah bernyanyi di sebuah stadion, serta seorang lelaki kurus yang bertindak sebagai dirigen. Lelaki itu, Yuli ‘Soemphil’ Sugianto, berdiri di atas pagar besi, memainkan dua tangannya, memimpin para suporter itu untuk bernyanyi. Kamera bergantian menyorot Yuli dan terkadang para penonton itu..

Tapi, tentu saja, kamera tidak berhenti sekedar menyorot peristiwa di stadion. Sebagai filem dokumenter, Yusuf mengajak penonton untuk menyelami sisi keseharian Yuli, si konduktor itu tadi. Selain mewawancarainya, filem itu juga menyelusuri bagaimana kehidupan ekonomi Yuli -- dia ternyata agen penjual minuman mineral (ada pemandangan syahdu, saat Ucup berhasil merekam Yuli mendorong galon air mineral ke pelanggannya..)

Namun apakah kemudian filem berdurasi 85 menit itu hanya berputar pada konduktor sepakbola? Di sinilah kecerdikan Yusuf. Mungkin dilatari motivasi agar penonton lebih menyelami peran konduktor alami ala Yuli itu tadi, Yusuf memasukkan dua tokoh lainnya dalam filemnya. Dua orang itu berprofesi sebagai konduktor dalam arti sesungguhnya, yaitu Addie MS, pemimpin orkestra terkemuka Twilite Orchestra, dan satu lagi seorang pria pemimpin paduan suara Universitas Indonesia, AG Sudibyo. Mirip si Yuli, Yusuf merekam pula keseharian dan mewawancarai dua orang itu.

Sepanjang filem, kamera Yusuf berpindah-pindah dari tiga sosok itu -- mulai aktivitasnya, kesehariannya, hingga obsesi mereka atas profesinya. Terlihat sekali, pembuat filem ingin membandingkan bagaimana mereka 'menghipnotis' orang-orang untuk menyanyi, atau memainkan alat musiknya secara rancak, dengan caranya masing-masing.

Dan dari gambar-gambar yang ditampilkan, tanpa harus berkhotbah, Yusuf terlihat berhasil menampilkan perbedaan itu. Misalnya saja, bagaimana Addie MS menyusun persiapan konsernya, yang terkesan tidak gampang, serius, dengan bantuan komputer segala. Dengan sedikit perbedaan, konduktor Sudibyo dideskripsikan pula bagaimana pandangannya tentang profesinya. Sementara, sebaliknya, Yuli digambarkan lebih mengandalkan improvisasi di lapangan. "Saya tak butuh persiapan apa-apa.." tandas Yuli, seraya tertawa.

Usai pemutaran filem, Yusuf mengatakan, filem ini dibuat karena rasa cintanya terhadap dunia sepakbola, berikut persoalan sosial yang ada di sekelilingnya. Dia menolak anggapan bila filemnya membawa pesan seolah-olah sepakbola Indonesia melulu berisi tawuran antar suporter. "Terserah penilaian orang, tetapi faktanya seperti inilah sepakbola Indonesia.. dan kayaknya, ya, di mana-mana seperti itulah fanatisme sepakbola.." kata Yusuf Bachtiar seraya menambahkan, ke depan dia masih ingin membuat dokumenter tentang sepakbola...

Sebagai pegila sepakbola, tentu kutunggu filem-filemmu berikutnya, Cup..


Dec 3, 2007

Persepolis, filem Perancis berlatar Revolusi Iran.. (Jiffest 2007)

Start:     Dec 9, '07 09:30a
End:     Dec 13, '07 07:00a
Location:     Jakarta
AKHIR pekan lalu, saya membaca buklet acara Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2007, di kantorku. Ini adalah pagelaran ke-9 semenjak festival ini dilaksanakan sekian tahun lalu -- acaranya mulai digelar tanggal 7 Desember (Jumat) dan berakhir 16 Desember Minggu).

Sekilas melihat isi buklet itu, yang berisikan jadwal pemutaran filem berikut bioskopnya, saya menemukan satu filem pembuka berjudul Persepolis. Khusus untuk undangan, filem ini diputar tanggal 7 Desember, sementara untuk umum tanggal 9 Desember di Djakarta Theatre 1 (21.30 WIB) dan tanggal 13 Desember di bioskop Blitz, pukul 19.00 WIB.

Dari buklet itu, filem ini disebutkan bercerita tentang seorang perempuan Iran yang hidup di Teheran, tahun 1978. Saat itu dia menikmati kehidupannya dengan bermimpi menjadi pemimpin masa depan, dan mendengarkan musik punk atau lagu-lagu ABBA.

Tapi, kehidupan Marjane berubah saat revolusi Islam mulai digencarkan di negara itu, dan memaksa orang tua Marjane memindahkannya ke Austria saat dia berusia 14 tahun. Sempat merasakan kebahagiaan di tempat baru, walaupun akhirnya merasa kesepian, Marjane memutukan untuk kembali ke Iran selesai sekolah, dan mengenakan jilbab.

Namun, waktu terus berjalan dan saat Marjane sudah menginjak dewasa. Marjane sadar bahwa dia tidak bisa tinggal di Iran. Marjane akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya dan pindah ke Perancis dengan semangat untuk membuat masa depannya lebih baik.

Tentu saja, ada filem-filem lainnya yang diputar serempak selama sepekan, sebagai rangkaian dari Jakarta International Filem Festival 2007 itu sendiri. Selamat menikmati...

Aida dan adik-adiknya: Kasta, Oscar, Little Lamb..

DUA pekan lalu, anakku  tiba-tiba mengajakku bermain boneka. Ini bukan kali pertama. Sudah berulangkali dia mengajakku, dan permintaannya terkadang tak kupenuhi. Tapi dua pekan lalu, aku sepenuhnya menuruti kemauannya itu.. 

Kejadiannya selalu menjelang tidur malam -- setelah aku mandi, usai pulang kerja. Biasanya Aida minta agar aku memerankan 3 boneka kesayangannya: Kasta Trilili, Oscar Amir dan Little Lamb (lihat foto di samping). Dia meminta agar aku mengeluarkan suara-suara, seolah-olah atas nama bonekanya..

Terkadang permintaannya memang tak kupenuhi, dengan berbagai alasan -- dan biasanya kualihkan dengan aktivitas lain, misalnya membaca, atau mendongeng. Namun malam itu aku tak kuasa menolaknya..

Dan disaksikan istriku, malam itu berlagaklah aku seperti wujud boneka-boneka itu. Kalau boneka Kasta, kira-kira wujud anak perempuan berusia 4 atau 5 tahun, sementara Oscar adalah nama bayi lelaki usia 1 tahun, sedangkan Little lamb adalah boneka anak kambing yang bisa bicara (yang terakhir ini bonekanya sejak bayi, yang kemanapun sering dia gendong)...

Kutafsirkan, Aida sangat menikmati tatkala aku bersuara --  seolah-olah para boneka itu sendiri sedang bercakap dengan dirinya. Seraya kupegang 3 boneka secara bergantian, aku buat boneka itu memerankan figur yang tengah gembira, sedih, atau bercanda. Anakku selalu menjawab pertanyaan atau tanggapan 'adik-adiknya' itu. Terkadang dia terbahak-bahak, kalau jawabannya membuat perutnya terkocok-kocok. "Lagi dong Lid, omongin suara si Kasta..." terus dia mengajukan permintaannya itu. 

Aida suatu saat berkata padaku, boneka-boneka itu adalah adik-adiknya. Dia tidak mau kalau boneka Kasta, yang perawakannya paling besar, adalah kakaknya. Dan boneka Oscar, berkepala botak persis bayi, adalah adiknya nomor dua, dan terakhir adalah anak kambing itu..

Malam itu, aku sungguh menuruti kemauannya -- dengan sepenuh hati. Di saat memerankan boneka itulah, kadang mataku berkaca-kaca.  Ada semacam perasaan nelangsa yang hinggap di otakku. Semacam ada pertanyaan, apakah dia begitu kesepian sehingga boneka-boneka itu dia tahbiskan sebagai 'adik-adiknya' (3 boneka itu dia pilih dari lebih dari 20 boneka, dan dia letakkan di sudut tempat tidurnya)..

Aku jadi ingat pula, dia begitu bahagia sekali tatkala sepupunya datang ke rumah -- yang selalu dia rindukan setiap saat. Itulah sebabnya, di saat perasaan seperti itu muncul, aku ada perasaan berdosa meninggalkan dia berlama-lama. Dan memang, kenyataannya, dalam banyak hal, tak gampang merealisasikan agar bisa bersamanya -- dalam waktu yang berlebih...

Tapi betulkah anakku kesepian? Seperti apakah kesepian pada anak-anak seumur dia? Apakah pertemanan harus seusianya, dan bagaimana bila temannya itu orang dewasa?

Saya jadi ingat, kisah rekan senior di kantorku. Saat tinggal di London, dia mengaku pernah menangis sendiri, tatkala melihat anak tunggalnya bermain sendiri di depan komputer. Dia membandingkan masa kanak-kanaknya -- saat dia bermain dengan teman-teman sebayanya di Jawa Tengah, di sebuah kampung. "Saya membayangkan anak saya kesepian, yang seharian hanya 'bermain' di depan komputer," katanya kepada saya.

Di tengah pertanyaan seperti itu, yang sebagian belum terjawab, saya sejauh ini akhirnya memilih menuruti kemauan anakku untuk bermain boneka. Saya ingin memerankan sebagai temannya, selain ayahnya -- yang masih kesulitan punya waktu berlebih dengannya.

Maafkan ayahmu, nak.. 

 

  

Tahu Campur 'Arteri Pondok Indah'

Rating:★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Jakarta Selatan
HARUS menunggu lebih dari 4 tahun, semenjak tinggal di Jakarta (tahun 1997, Februari), saya akhirnya bisa merasakan Tahu Campur Lamongan, yang cocok di lidah -- sebelumnya hampir tak pernah, kecuali jika saat mudik ke Malang...

Kejadiannya antara tahun 2000-2001, itu pun atas inisiatif istriku, yang kebetulan pernah mampir dan makan di warung Tahu Campur Lamongan (nama kota pesisir di Jatim, sekitar 80 kilometer dari Surabaya), di Jalan Arteri Pondok Indah (sekarang, Jalan Iskandar Muda), Jakarta Selatan. Hampir tiap malam, sepulang kerja, kami lewati jalan itu, sehingga mau-tidak-mau mata kami tertuju ke warung tersebut..

Kalau ditanya kenapa harus menunggu lebih dari 4 tahun, jawabannya bisa macam-macam. Pertama, barangkali lantaran saya awalnya kurang begitu tertarik wisata kuliner -- sehingga tak bernafsu memburu makanan kesukaan. Kedua, ini jawaban klasik, alasan kesibukan pekerjaan (sehingga cari makan sekenanya, yang sesuai selera, dan bisa mengganjal rasa lapar). Tapi semua alasan ini hilang perlahan semenjak saya menikah...

Akhir pekan lalu, saya dan istri kembali menggoyang lidah, mengudap tahu campur Lamongan itu. Saat pulang dari kantor, di tengah-tengah kebingungan "harus makan apa", tiba-tiba terlintas untuk mampir ke warung di pinggir jalan itu -- letaknya di sisi kiri Jalan Iskandar Muda, dari arah Kebayoran Lama (baru), setelah toko Holland Bakery. "Kita udah lama nggak makan di sana, kayaknya enak laper-laper begini," kataku seraya melirik istriku.

Walaupun kami sadar agak butuh energi untuk mengambil jalan ke posisi kiri, karena padatnya lalu-lintas, dan polusi yang lumayan tinggi, tapi kami memutuskan untuk mampir ke sana. "Perut kosong rupanya mengalahkan segalanya," begitulah saya berkata pada diri-sendiri, hampir selalu, seolah menisbihkan faktor-faktor itu tadi..

Tapi memang rasa tahu campur itu tidak mengecewakan, setidaknya itu menurutku. Istriku yang dulu kurang begitu suka, belakangan mengatakan "lumayan enak juga". Saya, seperti biasa, kesulitan mendeskripsikan apa faktor penyebab makanan itu pas di lidah. Akhirnya yang kulakukan, membandingkan dengan makanan serupa yang kupesan di tempat lain. "Bedanya pada bumbunya, lebih terasa, nggak anyep," jelasku, kalau ditanya apa enaknya tahu campur 'arteri pondok indah'...

Setahuku, isi makanan Tahu Campur itu terdiri: tahu goreng, sayur sawi, daging sapi yang dipotong kecil-kecil, lengkap dengan tulang lunaknya, serta cingur (istilah lainnya apa ya?), perkedel kentang. Lainnya adalah bumbu petis, mie kuning.. dan krupuk..

Sebagian orang-orang asal Jatim yang kukenal, mengaku pernah mampir ke warung itu. Salah-satunya teman asal Jember, yang sudah lama tinggal di London. Kuajak pertama kali 3 tahun silam, sekarang dia selalu bertanya "masih mampir ke warung tahu campur itu Fan.." Pertanyaan ini kutafsirkan bahwa seleranya sama denganku..

Mungkin kekurangan warung itu (atau justru kelebihannya?), letaknya di pinggir jalan -- walaupun tetap saja banyak mobil berderet parkir di depan warung itu, yang pemiliknya beraksen Jawa Timur-an, pada malam-malam tertentu (belakangan, pemilik warung itu menyewa lahan parkir gedung kantor di belakangnya, sebagai lokasi parkir)..

Juga tempat duduknya yang terbatas, membuat konsumen harus menunggu di luar bila kursi penuh -- ini tentu sulit kalau Jakarta tengah diguyur hujan. Lainnya? "Itu vitamin D, yang selalu kita hirup kalau lagi nongkrong di warung itu," seloroh istriku. Vitamin D yang dimaksud itu adalah "Debu"...

Pada malam itu, usai makan 1 piring ditambah sepotong lontong, saya iseng tanya, kenapa tidak pindah ke lokasi yang lebih baik, pemiliknya cuma tertawa. Dia cuma cerita, warung ini didirikan tahun 1994, dan tidak pernah ke mana-mana. "Dulu warung kita di sebelah sana, karena pemilik gedungnya nggak berkenan kita sewa lagi, ya lantas kita pindah" jelasnya. Sekarang keluarga asal Lamongan itu mendirikan tenda di depan sebuah gedung lainnya (kira-kira 200 meter dari lokasi yang lama), dengan cara "membayar kepada petugas tramtib" secara teratur dan membayar sewa lahan parkir pemilik gedung...

Nov 20, 2007

cari kelom geulis sampai ke Bandung…




APALAGI yang bisa disinggahi dari kota Bandung, selain deretan factory outlet, tempat kuliner, dan identitas kosmopolitan lainnya? Pertanyaan ini kami ajukan, di saat mobil kami yang berplat B, melaju kencang di jalan tol Padalarang, menuju kota itu, akhir pekan lalu (17-18 November). Tidak ada nada gugatan dari pertanyaan itu, cuma selintas kerinduan agar plesiran jelang ulang tahun pernikahan kami, 19 November lalu itu, tidak cuma berujung di situs-situs seperti itu...

Kerinduan semacam itu ada, juga lantaran kami tengah dituntut cari sandal kayu khas Sunda untuk anakku. Hampir saban hari dia menagih kami, sejak sekolahnya berencana bikin acara 'Sundanese Day', awal Desember nanti. Dan di Jakarta, di tengah rutinitas kerja dan alasan kesibukan, kami belum sempat juga mencarinya. Jadi, pencarian kelom geulis -- sandal selop yang terbuat dari kayu -- pun kami lakukan di sela jalan-jalan ke Bandung...

Berbekal semangat, tapi tanpa rencana yang matang, kami akhirnya masuk Bandung menjelang sore. Suasana cerah, beda seratus delapan puluh derajat saat kami berangkat: hujan deras sempat mewarnai separoh perjalanan di sepanjang tol Padalarang. Berbahagialah istriku yang begitu terobsesi kalimat "alangkah indahnya perjalanan di kala hujan"...

Dan tatkala mobil kami mulai merayap di jalan-jalan kota Bandung, pertanyaan berikutnya adalah, dimana kami harus menginap. Kami menanyakannya seraya tertawa -- menertawakan diri sendiri, persisnya. Untungnya, sebuah hotel kecil di atas Dago masih menyediakan satu kamar kosong...

Tapi berhasilkah niatan kami untuk tak mampir ke factory outlet? Tidak sepenuhnya, ternyata. Kami akhirnya kompromi -- mendatangi kembali tempat-tempat itu, walaupun dalam intensitas yang rendah: kami cuma beli sepatu boot pink untuk anakku (dia pernah memiliki boot biru, tapi sudah terlalu sempit kini), itu saja. Dan di penghujung malam, warung bubur Pak Zaenal, masih di kawasan Dago, kami datangi..

Keesokan hari, perburuan kelom geulis itu kami lakukan. Seolah masih hafal situs ekonomi kota itu, istriku masih yakin akan menemukannya di sejumlah tempat keramaian: Pasar dekat alun-alun hingga Jalan Braga -- tapi hasilnya nihil. Jawaban pasti diperoleh setelah dia menelpon kawannya asal kota itu..

"Kami berdiri sejak tahun 1942, dulu toko kami tidak di sini," lelaki tua itu berkata, seraya tangannya cekatan membetulkan posisi semacam paku pada kelom anakku. Diwarnai bunyi "ketak-ketok" (bunyi palu bertemu kulit dan kayu), saya amati sudut-sudut toko itu: semua bahannya hampir terbuat dari kayu, mulai kelom, payung kertas, sampai tempat penyimpanan barang-barang itu -- rasanya seperti melihat masa lalu kota Bandung, bisikku..

Saya lupa menanyakan nama bapak berambut perak itu, tapi wujud tokonya yang terletak di sebuah situs komersiil, Jalan Cihampelas, Bandung, sudah cukup menunjukkan jati dirinya....

Sebelum berburu kelom itu, kami makan siang di cafe Cisangkuy, dan mampir ke ke sebuah mal (kami membeli permen dari bahan susu dari daerah Pengalengan, Kabupaten Bandung). Kami sempatkan pula mencari oleh-oleh di pusat penganan di Cihampelas, serta mengabadikan sejumlah situs peninggalan kolonial kota itu..

Beranjak sore, kami meninggalkan kota Bandung, melalui Setiabudi, lalu Lembang. Tujuannya: pemandian air panas Ciater, Kabupaten Subang (ini kedatanganku kedua kalinya). Pemandangan drastis berubah, dari situs kota yang serba beton digantikan hamparan kebun teh, dan terkadang hutan pinus, dan kabut dikejauhan. Sekitar pukul 5, menjelang petang, saya dan anakku sudah berendam di kolam air belerang, yang hangat, dan berasap. Beserta adik iparku, istriku lebih memilih dipijat kakinya...

Menjelang malam kami akhirnya tinggalkan lembah Ciater. Seraya mampir membeli buah nenas di wilayah Subang, kami berpacu dengan malam, untuk segera kembali ke dunia nyata, dunia keseharian Jakarta... Esok harinya, tanggal 19 November, adalah hari ulang tahun pernikahan kami...

Yogurt ala Cafe Cisangkui

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Desserts
Location:Bandung, Jawa Barat
URUSAN restoran mana di Kota Bandung yang wajib dikunjungi, lantaran kelezatan menunya, memang istriku jagoannya. Itulah sebabnya, tatkala telunjuknya mengarah kepada sebuah lokasi kudapan di kota itu, saya hampir tak pernah menolak -- maklum, selain menggemari wisata kuliner, dia pernah lebih dari 7 tahun tinggal di kota itu.

Dan pada akhir pekan lalu (17-18 November), saat plesir ke Bandung, saya, istri dan anakku kembali mendatangi sebuah restoran "wajib kunjung" itu. Lokasinya tidak jauh dari Gedung Sate, di pusat kota Bandung. Persisnya di Jalan Cisangkui, yang tempatnya rindang karena pepohonannya. Namanya Cafe Cisangkui, sesuai nama jalannya...

"Yoghurt-nya paling top, nggak ada bandingnya," begitu komentar istriku, saat mengajakku pertama kalinya ke warung itu, tahun 2000. Saya, seingatku, tak menolak ajakannya, saat itu. Kufikir, layaklah diamini ajakannya mengingat kegemarannya itu tadi, serta tentu dia lebih memahami peta tempat kudapan di Bandung..

Hasilnya? Tak mengecewakan, sungguh! Ujung-ujungnya, setiap kami plesir ke Bandung, kami biasanya makan siang di tempat itu -- biasanya kami memilih tempat duduk di halaman atau teras, dengan harapan dapat merasakan semilir angin dari rimbun pepohonannya. (Harus diakui pula, kami pilih restoran bekas bangunan masa kolonial Belanda itu juga didasari konsep rumah makan tamannya)

Jika daftar menu sudah di tangan, saya biasanya memilih soto bandung sebagai makanan utamanya (istriku kemarin memilih siomay, sementara anakku biasanya plih kentang dan sosis). Setelah itu, barulah yoghurt strawberry atau leci saya pilih sebagai minuman pendampingnya -- atau utama?

"Coba diperhatikan, di dalamnya selalu disertakan buah strawberry atau leci, atau anggur.. Ini barangkali yang membedakan dengan yoghurt lainnya..," jelas istriku. Aku sendiri kesulitan mendeskripsikan faktor kelezatan yoghurt Cisangkui, selain rasanya yang tak sepenuhnya masam, ada rasa manis, dan tak sepenuhnya bikin nek..

Dan siang itu, yoghurt cisangkui, memang betul-betul kami nikmati. Kami pesan 3 gelas ukuran besar, 1 rasa leci dan 2 strawberry... Dan lantaran anakku, Aida, kurang berkenan dengan rasa yoghurtnya, maka saya dan istriku menggenapkan kelezatan yoghurt restoran itu, dengan menghabiskan sisa jatah anakku..





Nov 16, 2007

Rujak Manis 'Semeru'

Rating:★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Malang, Jawa Timur
APA beda rujak manis di Jalan Semeru, Malang, dengan rujak manis di daerah lain? Bukannya materi buah-buahannya sama saja -- mulai mangga muda, jambu air, nanas, jambu biji, atau bengkoang? Sebagai penggemar rujak manis, saya katakan: tak ada yang beda, kecuali cara mereka meramu bumbunya -- inilah salah-satu ciri khas rujak manis 'Semeru' ...

Barangkali bumbu seperti ini ada di daerah lain: gabungan antara kacang dan gula merah, sambal (dipisah, diletakkan di pinggir piring), kecap, serta bahan racikan lain yang saya tak paham. Tapi, entah bagaimana, rasanya akhirnya tak sekedar manis, agak kental, dan warnanya kehitaman -- dulu, kacang itu ditumbuk agak kasar, namun belakangan diblender sehingga jadinya lebih halus..

Sayangnya, saat saya mengunjunginya pada pertengahan Oktober lalu, buah mangga belum musim seperti sekarang, sehingga jumlah irisan mangga mudanya cuma sedikit -- bayangkan, apa enaknya rujak manis tanpa buah mangga muda?

Lokasi warung rujak semeru terletak di halaman rumah agak mewah, di samping Stadion Gajahyana, di Jalan Semeru. Sejak berdiri lebih dari sepuluh tahun lalu, warung rujak semeru tak begitu berubah, kecuali atapnya yang kini dibuat semi permanen. Perubahan lainnya jumlah kursi dan mejanya makin bertambah..

Selain menyediakan es degan, krupuk dan tahu goreng, ciri khas lain yang terlihat di warung itu adalah kecepatan dan kebersihan -- tukang pengupas buahnya menggunakan semacam pembungkus plastik. Dan supaya konsumennya tidak menunggu relatif lama, mereka memiliki sedikitnya 4 karyawan, dengan tugas yang berbeda.. (tapi tetap saja, seperti saya saksikan tempo hari, antrian panjang masih terlihat).

Perbedaan lainnya, harga rujak semeru memang relatif lebih mahal. Jika di tempat lain 5 atau 6 ribu rupiah, maka mereka mematok 8 ribu rupiah -- tapi percayalah, harga sebesar itu menjadi relatif tatkala rujak dengan buah menggunung, dan bumbunya yang khas, tersaji di depan kita...


Jangan lupa, ajang Pra-Piala Eropa 2008!

Start:     Nov 17, '07 3:00p
End:     Nov 18, '07 4:00p
Location:     Austria, Tel Aviv, Glasgow, Madrid
BAGI penggila sepak bola, utamanya penggemar berat tim nasional Italia, jangan lewatkan pertandingan hidup-mati ini! Disiarkan langsung Lativi (pukul 00.00 WIB, Minggu, 18 November), Tim 'azzurri' Italia akan dijamu Skotlandia di Hampden Park, dalam ajang Pra-Piala Eropa 2008. Tabloid Bola menggambarkan pertandingan di dalam grup B ini sebagai "adakah keajaiban kedua buat Italia" dan "kalah dari Skotlandia bisa berarti tamat buat Italia".

Posisi Italia di grup B, memang belum aman. Dua tiket lolos ke ajang Piala Eropa 2008 di Swiss-Austria ini, masih diperebutkan Perancis (nilai 25), Skotlandia (24) dan Italia (23, paling buncit nilainya). Perancis dan Skotlandia tinggal menyisakan satu pertandingan, sedang Italia punya 2 pertandingan sisa.

Tapi, menurut Bola, pertandingan Skotlandia dan Italia adalah "partai hidup-mati buat keduanya, karena pemenangnya dipastikan lolos..."

Pertandingan lain yang tidak kalah seru, adalah Israel lawan Rusia di Tel Aviv (disiarkan langsung RCTI, Minggu 18 November, pukul 01.00 WIB). Israel menurut Bola, sudah tak punya harapan tampil di Euro 2008. Tapi di pundak mereka, masyarakat Inggris menaruh harapan. Kenapa? Rupanya Inggris sangat tergantung kepada pertandingan itu, karena nilainya belum aman, dan tinggal satu pertandingan lagi lawan Kroasia.

Jadi mereka berharap Rusia, yang kini ditangani Guus Hiddink (asal Belanda, eks pelatih Korsel di PD 2002), kalah dari Israel.. "Diiringi doa Inggris, "begitu Bola memberi judul preview pertandingan itu.

Ajang pra-piala eropa lainnya, yang akan disiarkan langsung adalah Spanyol lawan Swedia (Minggu, 18 November, pukul 04.00 WIB, oleh Lativi), Belanda lawan Luksemburg (Minggu, 18 November, 02.30 WIB). Adapun RCTI pada Sabtu, 17 November, pukul 03.00 WIB, akan menyiarkan pertandingan pemanasan antara Tim Inggris lawan Austria..

Ayo, begadang di akhir pekan!

Nov 15, 2007

Cwi Mie 'Dempo'

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Chinese
Location:Malang, Jawa Timur
AKHIRNYA saya tergoda menuliskan hasil wisata kuliner, saat mudik ke kota Malang, pertengahan Oktober silam. Salah-satu lokasi tempat makan yang saya kunjungi adalah Cwi Mie 'Dempo' -- nama Dempo diambil dari nama jalan di situ, sekalian sebutan SMA Dempo (atau SMU Katolik St Albertus), tidak jauh dari Jalan Ijen..

Tidak sulit menemukan lokasinya. Sebagian warga kota Malang tentu tahu letak persis warung cwi mie itu, karena sejumlah angkot melewati jalan di dekatnya. Di sana berjejer sejumlah warung tenda, yang tidak hanya menjual cwi mie, tapi juga bakso khas Malang, es campur dan es kelapa muda -- yang terakhir ini biasanya diburu pengunjung, setelah menikmati masakan utamanya, yaitu cwi mie itu tadi.

Saya tidak tahu persis sejak kapan warung cwi mie itu berdiri -- seingatku, saat saya SMA (sekitar tahun 1985), nama warung-warung itu sudah dikenal. SMA Dempo sendiri dikenal sebagai salah-satu sekolah menengah tertua di kota Malang -- salah-satu alumninya adalah mendiang Rudini, mantan Mendagri jaman Suharto (rumahnya masih berdiri tidak jauh dari warung itu, yaitu di Jalan Ijen, dekat museum Brawijaya)..

Tapi apa istimewanya cwi mie Dempo? Pertanyaan yang sulit buat saya, tapi menurut istriku (warga Jakarta yang setidaknya baru 4 atau 5 kali mengunjungi kota Malang), "mie dan kuahnya itu yang beda, enak sekali..." Ukuran lainnya, warung itu selalu dipenuhi pengunjung -- pada Oktober lalu, kami sekeluarga mesti menunggu hingga setengah jam!

Mirip sajian masakan serupa di Jakarta, cwi mie Dempo juga menyertakan pangsit, pentol (sebutan warga Malang untuk bakso), serta daging ayam yang sudah diracik -- kuah panas juga disertakan di dalamnya.

Yang membuat saya penasaran, mengapa selalu dikenal istilah cwi mie Malang di Jakarta, selama ini? Seolah-olah ada cwi mie lain yang diidentifikasi dengan daerah lainnya -- tapi nyatanya saya belum mendengarnya. Pertanyaan serupa juga berlaku untuk bakso Malang, walaupun ada pula bakso Solo..

Nah, setelah kembali ke Jakarta, tentu ada keinginan kembali untuk mengudap cwi mie ala kota Malang. Biasanya saya mendatangi restoran cie mie Roellis, entah di wilayah Rempoa-Bintaro, atau di seberang Citos.. Rasanya tak jauh beda dengan cwi mie Dempo, walau mungkin suasana dan atmosfirnya jelas berbeda...

Nov 12, 2007

Bunyi "Bruaaak!" dan ratapan anakku...

"BRUAAK!"  Bunyi yang memekakkan telinga itu hanya berlangsung hitungan detik, sisanya adalah raung kesakitan.. dan hidung bus yang ringsek -- setelah menyenggol badan kendaraan roda empat di sisi kanannya, dan menghantam pagar beton sebuah kantor. Dalam gelap, dan diteror kepanikan, serta percikan pecahan kaca (seperti potongan kecil es batu), saya dan belasan penumpang yang tak tahu apa-apa itu,  berebut meninggalkan bus kota naas itu..    

"Bakar, bakar saja! Bunuh sopirnya!" Suara-suara itu samar kudengar dari kerumunan di luar bus. Saya sempat memikirkan nasib sopir itu (sepertinya anak muda, terlihat dari lagu  piringan CD-nya yang dia putar berulang-ulang sejak dari Terminal Blok M), tapi sekonyong-konyong pikiranku tercurah pada rasa nyeri di dadaku, juga tulang kaki keringku...  

Melaju dengan kekuatan penuh, tidak ada tanda-tanda bus metromini jingga jurusan Blok M - Rempoa itu (nomor 74), akan bernasib naas pada Rabu malam, 7 November lalu -- sudah biasa, kupikir, sopir bus di Jakarta sebagian besar tidak ada yang berlaku tertib. Semula saya menunggu nomor 71 (arah Bintaro), karena nantinya berhenti di depan komplek tempat saya tinggal, tapi selalu dipadati penumpang. Jadilah aku duduk pada bus 74 di antara penumpang lainnya, di kursi nomor 3 tiga dari belakang.  

Saat melaju di Jalan Barito, pikiranku masih tercurah kepada kehadiran penumpang baru, yang tak dapat tempat duduk, sementara tanganku  menggapit tas punggung,  yang kuletakkan di atas paha. Persis lewat depan gereja di jalan itu, tiba-tiba sopir bus mengerem  dan membanting ke arah kiri, setelah menabrak Kijang Innova -- tapi sopir agaknya panik dan menginjak gas, yang berakhir dengan bunyi keras "bruaak!" itu tadi...  

Saking kerasnya, dadaku beradu dengan pegangan besi pada kursi depan, dan kakiku terantuk besi penyanggah kursi yang sama. Sempat aku terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya memilih meninggalkan bus, mengikuti langkah-langkah penumpang lainnya. Badan bus agak miring ke depan (separoh depannya pesok), melinang di trotoar dan pagar yang jebol, mesinnya masih hidup, serta pecahan kaca tergeletak di lantai bus yang gelap itu..

"WALID meninggal ya?" Anakku, Aida, rupanya, mendengar percakapan teleponku dengan istriku, beberapa menit setelah kejadian itu. (Walid adalah kata lain ayah, sebutan anakku untuk diriku). Malam itu dia tengah rebah dengan ibunya di atas tempat tidur, membaca sebuah buku dongeng -- bersiap-siap tidur. Menurut istriku (belakangan), Aida bertanya seperti itu dengan mata berkaca-kaca dan melamun sekian detik. "Bus yang ditumpangi Walid kecelakaan, tapi Walid nggak apa-apa, kok." Istriku berharap jawabannya itu bisa menenangkan Aida, walaupun dia akhirnya terus bertanya..   

(Aida memang sudah paham tentang konsep kematian, dalam arti yang paling sederhana: kalau orang mati itu tak bisa hidup lagi, dan akan berlaku untuk siapa saja -- tak terkecuali bapaknya. Aku dan istriku, dalam beberapa kesempatan, sengaja mengenalkan konsep itu kepadanya, seperti halnya kami memberi tahu apa itu hidup, senang, sedih.. )

Kuraba dadaku, terasa nyeri, dan ada luka terbuka -- tapi aku menyimpulkan tak ada luka dalam, setidaknya tulangku tak patah -- tidak bengkak, seperti tanganku yang patah, tahun 1982. Tapi toh kubiarkan badanku melangkah, melihat sekeliling.. Kemana pemilik motor, yang motornya ringsek tertindih bus itu? Masih hidupkah dia? Kemana sopir anak muda itu, dimana dia diamankan? Seperti apa bentuk bus itu, dan bagaimana nasib penumpang yang duduk di depan? Bagaimana awalnya hingga tabrakan itu terjadi? Di mana polisi? Pertanyaan ini sebagian terjawab, sebelum teleponku berdering, "pulang segera naik taksi.."

WAJAH anakku semu merah dengan bibir tertutup, saat aku melangkah masuk ke kamar. Aida tidak mau bertatap langsung denganku -- dia memasang wajah antara marah dan sedih. Aku ingin menunjukkan kepadanya, bahwa aku tak apa-apa. "Sehat, tak kurang apapun". Tapi dia tak bereaksi, dan terlihat marah saat aku dipijat oleh tukang urut -- yang kebetulan tengah memijat kerabat istriku. Kutanyakan kepada istriku, kenapa anakku seperti itu..

(Belakangan istriku menganalisa di dalam blognya, Aida adalah anak yang perasa, tapi di sisi lain keras kepala. Dia agaknya begitu syok, begitu anggapan istriku, dan meratapi  kejadian yang menimpaku. Istriku lantas mengingat sebuah kajian psikologi anak, karena alasan tertentu, Aida masih kesulitan mengekspresikan kesedihannya itu, yang akhirnya menjelma antara marah dan sedih..)

KUCIUM keningnya, setelah dia kembali tenang, malam itu. Sebelumnya dia menangis terseduh -- memilukan, membuat mataku berkaca-kaca seketika. Amarahnya berhenti perlahan, setelah istriku membujuk dan merangkulnya. Dengan caranya, istriku lantas mempersilakan Aida menunjukkan kegalauan hatinya. Dia lantas berurai air mata, suaranya menembus dinding kamar, dan merontokkan hati seorang bapak. "Walid nggak apa-apa kan," kataku pelan, menahan emosi. 

SETELAH butuh keyakinan, dua hari kemudian aku akhirnya ke rumah sakit, mengecek apakah isi badanku bermasalah setelah kejadian itu. Dari foto rontgen, dokter memastikan tidak ada yang salah dengan tulang rusuk, dan paru-paruku. "Hanya memar ototnya, karena trauma.." kata dokter. Lega mendengarnya, dan sungguh menenangkan..

Tapi yang paling kuingat, dan membuatku terharu, sehari setelah kejadian itu, senyum akhirnya mengembang di wajah anakku. Malam itu, dia dan ibu serta ibu mertuaku tengah berada di sebuah mal -- sedang makan malam. Saya menyusulnya, dengan langkah tergesa, sehabis kerja. Dia menyapaku, dan lari menggandengku -- kemanapun aku melangkah, jari-jarinya yang mungil terus mendekap-erat tanganku.

Setengah berbisik, dan berulang-ulang, dia berkata "Pokoknya, walid jangan naik bus metromini  lagi ya, naik taksi saja.." Semula aku cuma tersenyum tipi, kualihkan dengan mencium pipinya seraya berkata lirih "walid kan nggak apa-apa". Rupanya dia belum puas, dia ulangi lagi harapannya itu tatkala saya bertiga dengan istriku. Jawaban kami -- seperti yang kami lakukan terhadap Aida selama ini, "Kadang-kadang tidak ada pilihan lain, Aida... Naik bus, atau naik mobil sendiri, kecelakaan bisa terjadi, bisa menimpa siapapun... "    

 

Oct 29, 2007

keliling Jawa, tertidur di sarkem, nagrek...(6 habis)




KAMI akhirnya kembali ke Yogyakarta, kota dengan seribu kenangan. Gerimis kecil menyambut saat mobil kami merambat di perempatan Tugu, Kamis malam, tiga pekan lalu. Perasaan lega jelas terpancar pada raut wajah kami -- kecuali anakku yang tertidur lelap, sejak dari Kartosuro. Kini tugas saya mengecek hotel mana yang masih tersisa kamarnya, sementara malam terus larut..

Tidak gampang, ternyata, mendapatkan kamar malam itu. Sejumlah hotel, mulai Natour di Malioboro hingga hotel-hotel kecil di sela-selanya, semuanya penuh. Kami baru sadar: Yogya adalah kota wisata, dan semua orang tumplek-blek di kota ini, tentunya. Lebih dari 5 kali kami keliling Malioboro, kraton, stasiun tugu.. untuk sekedar menelepon seraya melihat adakah hotel yang tidak penuh...

Agak putus asa, serta letih, kami akhirnya menemukan hotel di sebuah jalan yang selama ini disebut sebagai kawasan 'lampu merah'... Pasar Kembang alias sarkem! Semula was-was, seraya memperhatikan sekilas siapa yang hilir-mudik di hotel itu, saya akhirnya memberanikan diri. "Ada kamar kosong, silakan.." jawaban lelaki resepsionis itu melegakan, tapi rasa was-wasku belum sepenuhnya hilang. Aku mengecek langsung ke dalam kamarnya, dan akhirnya kusimpulkan: 'aman'....

Saya masih ingat, jam tanganku sudah menunjuk angka 12 malam, saat itu. Anakku sudah terbangun, dan seperti biasa kembali bugar, setelah mengetahui menginap di sebuah hotel. "Kelihatannya bersih kok, say," kataku lirih kepada istriku. Malam itu kami tidur nyenyak, walau sebelumnya anakku sempat menekuni hobinya, menggambar...

Dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya, kami sekarang mesti menghitung jarak tempuh dan alokasi waktu, dengan secara lebih cermat -- maklum, dua hari lagi, kami mesti kembali ke realita, masuk kantor.. Itulah sebabnya, sehari setelah menginap di hotel itu, pagi itu kami hanya punya waktu sedikit untuk keliling kota Yogyakarta. "Yang jelas kita mesti ke Malioboro...," kami menyepakati, karena jaraknya yang dekat.

Malioboro tidak banyak berubah, semenjak saya datang pertama kali tahun 1988. Istriku begitu gembira saat menemukan sebuah restoran tua, yang pernah dia datangi saat masih kanak-kanak. "Bangunannya masih utuh," serunya seraya menunjuk bangunan yang sebagian interiornya terbuat dari kayu.

Pasar Beringharjo masih berdiri tegak dan terawat. Ratusan penjual penganan, aneka cindera mata, hingga blangkon, serta aneka kemeja, terlihat berderet di ruas jalan itu... Kami, meski sebentar, sempatkan pula jalan-jalan ke depan Kraton, sebelum akhirnya meninggalkan kota itu pagi itu juga...

Seperti direncanakan, kami meneruskan perjalanan itu tetap pada rute di selatan Jawa -- kami memilih ke arah Wates, Purworejo, Prembun dan Kebumen... dan seterusnya (semula dari Wates, kami ingin masuk jalan agak kecil di pinggiran laut Selatan, tapi batal dengan sendirinya karena kami tak menemukan jalan masuknya...). "Ya sudah, kita lewat jalur biasa," kataku enteng, dan diamni istriku.

Seperti sebuah kisah perjalanan yang sudah banyak diungkap, perjalanan pulang disebut tidak akan sedahsyat saat pergi. Perasaan serupa juga kami alami. Ini tak bisa kami pungkiri -- faktor lelah, agak dikejar waktu, itu yang biasanya yang menjadi faktor pemicu.

Tapi tetap saja, mobil kami berjalan dengan santai di sepanjang Kebumen -- kota burung walet, begitu simbol kotanya yang kami jumpai, selain kota anti maksiat. Di pinggiran kota ini, kami mampir sebuah restoran, untuk mengisi perut... (Aida akhirnya menemukan makanan kegemarannya, lele goreng)

Sejak di wilayah Purworejo, lalu-lintas kendaraan roda empat mulai terlihat relatif lebih ramai jika dibanding daerah sebelumnya. Ini terjadi tampaknya karena kota itu merupakan jalur pertemuan dari arah Magelang dan Yogyakarta. Di sini kami banyak menemukan kendaraan roda empat dengan nomor polisi dari Bandung dan sekitarnya -- rupanya ini adalah jalur arus balik ke arah ibu kota Jawa Barat...

Kehendak untuk bisa segera masuk ke wilayah Jawa Barat, sempat membuat kami merasa bosan dengan luasnya wilayah Cilacap. Ini bisa dipahami istriku, yang mengaku kenal dengan jalur ini. "Dulu, setiap ke Yogya, kami sekeluarga leeat jalur ini.. dan wilayah Cilacap itu kelihatannya luaaaass sekali," paparnya, agak serius.

Setelah lepas dari Gombong (Jateng), kami praktis hanya melalui kota-kota kecil seperti Tambak, Sumpiuh, Buntu, Rawalo, dan Wangon. Semuanya hampir pasti masih wilayah Cilacap, di dekat samudera Hindia, yang menurut istriku "jalur yang membosankan".

Namun saat di jalanan, sudah kutemukan papan penunjuk yang berisi "selamat datang di wilayah Jawa Barat", perasaan lega mulai merayapi kami. Kota Majenang adalah kota yang kami lalui, sebelum akhirnya kami masuk wilayah propinsi itu -- hari beranjak sore saat kami merayapi jalan protokolnya.

Di sebuah wilayah yang masih masuk kawasan Wanareja, Cilacap, tetapi sudah dekat perbatasan, kami akhirnya mengaso di sebuah restoran lesehan. Suasana senja sudah terlihat. Istriku di sini dipijat kakinya (refleksi) -- kedua kalinya setelah di kota Blitar. Kami lantas makan dengan lahapnya, yang berakhir pada rasa kantuk -- aku yang ngantuk, persisnya...

Praktis jalanan menjadi gelap setelah kami masuk wilayah Jabar -- saya gagal memotret tugu perbatasan dua propinsi itu. Hawa sejuk juga mulai kami rasakan, sehingga kami mesti mengenakan jaket, dan selimut untuk anakku.

Karena alasan ngantuk, saya sempat usul untuk istirahat sehari, entah di Tasikmalaya atau Bandung. Tapi istriku tak setuju, karena alasan waktu. Dia khawatir kalau perjalanan selanjutnya ditunda besok, maka akan berbarengan dengan arus balik. "Makanya, mending kita kejar sekarang, sampai Jakarta, hingga kita bisa istirahat sekalian, dan terhindar macet," jelasnya. Saya akhirnya mengiyakan, walau rasa kantuk tak bisa ditahan -- kopi hangat rasanya sudah tak mampu menahannya...

Antara bangun, tidur, bangun, dan ngantuk, itulah yang praktis terjadi pada diriku. Tak tega melihat istriku melaju sendiri, aku mencoba bangun -- berhasil! Tapi beberapa menit kemudian, tertidur lagi, bangun lagi.... -- itu yang terjadi sepanjang sekitar 200 kilometer dari Banjar, Ciamis, Tasikmalaya (kami sempat istirahat di sini, ke toilet dan minum kopi), Malangbong, hingga Nagrek (padahal pada tanjakan angker itu, istriku bercerita, "sayang kamu tidur say, padahal di situlah mobil kita teruji, bisa melaju melewati 3 truk gede-gede...").

Di pintu tol Cileunyi menuju Jakarta, saya sempat terbangun lagi. Tetapi tidur lagi, sempat terbangun, sampai di dekat pintu masuk Jakarta. Kulihat istriku, "perempuan perkasa" itu, masih tegar, kuat, tidak ngantuk. Kok kamu kuat say? Kataku agak basa-basi. "Ya, asal nanti pijat total.." cetusnya seraya tertawa.

Sekitar pukul 2 dini hari, mobil bakpao kami merayap di jalanan yang kami akrabi selama ini. Rasa penat, ngantuk tak tertahankan, kami coba tahan, sebelum akhirnya perjalanan keliling Jawa itu mesti berlabuh -- bukan berhenti sepenuhnya -- di kawasan tanah Kusir, Jakarta Selatan (tamat).



keliling Jawa, melamun di cadas Trenggalek-Ponorogo...(5)




TATKALA mobil kami meliuk-liuk di perbukitan cadas antara Trenggalek-Ponorogo, di sisi selatan Jawa Timur, pada tiga pekan lalu, aku sempat melamunkan 2 orang teman baik di jaman mahasiswa -- mereka berasal dari kedua wilayah kering itu. Kemana mereka sekarang, apakah mereka kembali ke kampungnya? Apakah mereka ada pertanyaan yang sama tentang akar, soal masa lalu?

Sugiyono, salah-seorang diantaranya, tinggal di sebuah dusun di Ponorogo, yang sebagian besar lahannya dikenal kering. Kukenal sebagai lelaki bersahaja (dia pernah cerita naik sepeda dari Ponorogo-Malang, yang berjarak 180 kilometer!), tapi minatnya untuk berbisnis, tinggi sekali. Tapi itu dulu. Enam tahun lalu, dengan kalimat murung di dalam kertas surat berwarna merah muda, dia berkata," saya sekarang memilih menjadi petani.." Kubalas surat itu, tapi setelah itu kami kehilangan kontak -- teman baik itu hilang seperti ditelan bumi...

Sepanjang perjalanan dari Trenggalek ke Ponorogo, yang berjarak 41 kilometer, kami disuguhi panorama musim panas yang kering -- selain jalanannya yang meliuk-liuk. Perbukitan warna coklat muda terlihat di kanan-kiri, diselingi sungai kering yang menyedihkan (aku bayangkan, alangkah indahnya jika hujan menghijaukan pebukitan tandus itu). Tapi sinar matahari tampaknya tak peduli, dibuatnya daun-daun pepohonan jati jadi meranggas -- saya ingat wilayah Ponorogo yang berbukit kapur seluas 137 ribu hektar, yang subur hanya 37 ribu hektar..

Perbukitan di sepanjang Tulungagung, Trenggalek dan Ponorogo adalah bagian dari Pegunungan Kidul, di sisi selatan Jawa itu, memang hampir sepenuhnya berkapur. Kota Tulungagung, misalnya, yang kami lalui, setelah meninggalkan kota Blitar, dikenal sebagai daerah penghasil marmer -- batuan kristal kasar yang berasal dari batu gamping atau dolomit.

Bagiku, dan utamanya istriku (serta anakku, tentu saja), perjalanan melintas jalur selatan (di daerah Jawa Timur) adalah yang pertama. Sepanjang masa mudaku di Malang, sama-sekali tidak pernah melanglang sampai perbukitan Trenggalek- Ponorogo itu tadi -- jarak terjauh yang kutempuh hanya sampai Tulungagung, itu pun lebih dari 20 tahun silam, ketika studi wisata sekolah dasar..

Tapi alasan kami memilih melalui jalur itu, yaitu jauh dari macet, sama-sekali tidak meleset. Jalanan relatif lengang, sehingga dalam jarak sekitar 60 kilometer dari Blitar, kami bisa mengisi perut di sebuah warung di kota Trenggalek -- tentu saja, kami tak mengkonsumsi sate kuda, yang iklannya gampang dijumpai di sepanjang kota itu.

Dengan target berikutnya adalah kota Solo atau Yogya sebagai tempat istirahat, kami memutuskan melalui Ponorogo. Alasannya, jaraknya relatif lebih dekat ketimbang jika kami turun ke bawah (maksudnya ke selatan) melalui jalur Pacitan. "Dan coba lihat, hanya ada jalan lurus antara Ponorogo ke Wonogiri (Jawa tengah), sebelum ke Solo," kataku seraya memperlihatkan peta itu kepada istriku.

Jarak Ponorogo-Wonogiri sekitar 73 kilometer, melalui kota-kota kecil seperti Purwantoro, Jatisrono, dan Ngadirejo. Di sini, jalanan relatif tidak berbukit serta landai. Sawah-sawah menghijau juga mulai gampang ditemui -- kami lantas istirahat pada sebuah pom bensin yang kana -kirinya diwarnai hijaunya sawah..

Menjelang senja, mobil kami mulai merapat kota Wonogiri, yang letaknya tidak jauh dari Waduk raksasa Gadjah Mungkur -- sayangnya kami tak melihat wujud fisiknya. Di sini kami menanjak terus, dan sepertinya membelah sebuah bukit, sebelum masuk ke kawasan landai yaitu kota Sukoharjo -- 10 kilometer dari kota Solo.

"Apakah kita istirahat, cari hotel si Solo saja," kataku pada istriku, saat mobil kami mulai merayap di jalanan kota itu. Istriku ragu, dan akhirnya kami toh memilih Yogya sebagai tujuan istirahat, walau hari terus beranjak malam. "Rasanya nanggung kalau istirahat di Solo," jelas Ika..

Perut yang terasa lapar, apalagi gerimis mulai merayap, memaksa kami berhenti pada sebuah warung bebek goreng di jalanan Kota Kartosuro, 11 kilometer dari pusat kota Solo. "Lumayan enak rasanya, walau ukurannya gede sekali dan sambalnya pedas minta ampun," jawabku, setengah berdesis, setelah istriku meminta komentarnya atas kualitas makanan.

Malam itu, kami melanjutkan perjalanan, merayapi Kartosuro, Delanggu, Klaten, Prambanan, hingga akhirnya tiba di Yogyakarta.. (bersambung)

Bung Karno, museum dan anakku




"Aida nanti buat museum, ah.. museum tentang Aida.." begitulah kalimat yang meluncur dari mulut anakku (Aida), di sela-sela acara mudik dan liburan kami, tiga pekan lalu. Saat itu kami tengah mengunjungi makam dan rumah Bung Karno (BK) di Blitar..

Aku lupa persisnya kapan Aida melontarkan kalimat itu -- saat di rumah BK atau jauh setelahnya. Adalah istriku yang mengingatkan kembali kalimat itu, yang dia muat di blognya. "Kalau Aida mati nanti, Aida mau bikin Museum Aida...."begitu yang diingat istriku. "Aida si astronot, pelukis dan pianis...." begitu kata istriku mengutip kalimat Aida, saat kutanya barang apa saja yang akan dipamerkan.

Aida melontarkan kalimat itu seraya tertawa, gembira, itu yang kuingat. Dan suasana seperti itu, sudah dia tunjukkan tatkala kami pagi itu berangkat ke rumah dan makamnya BK -- kami melakukannya setelah menginap sehari di Hotel Tugu, Blitar...

Tapi, sebetulnya, ini bukan kunjungan pertamanya ke museum atau tempat-tempat terkait masa lalu -- terakhir dia kuajak ke makam bekas Perdana Menteri Sutan Syahrir di Kalibata. Dalam berbagai kesempatan, dia kulibatkan saat aku membaca teks tentang BK, Hatta, Syahrir, Natsir, juga Aidit atau Tan Malaka... Motifku mengajak dia kepada bacaan dan tempat-tempat seperti itu, tentu semacam tamasya sejarah..

Dan sejak awal aku ingin mengajak Aida ke makamnya BK, apalagi kami sudah berada di kota Blitar (saya sendiri 2 kali ke lokasi itu, pertama, dengan ayahku di tahun 1978, dan rombongan studi tour SD tahun 1980..)...

Untungnya, perjalanan menuju ke komplek bersejarah itu menyenangkan. Pihak penyelenggara wisata sejarah itu juga relatif profesional. Dengan modal petunjuk jalan, kami bermobil menuju sebuah lokasi parkir yang luas. Di sana sudah tersedia becak dengan pengemudinya, siap mengantar para wisatawan. "Bapak nanti bayar 10 ribu, nanti saya antar ke rumah BK, perpustakaannya, serta makamnya..," ujar abang becak itu.

Barangkali lantaran masih suasana lebaran, jalan-jalan kota Blitar relatif sepi. Tujuan pertama kami adalah rumah BK yang bercat hijau dan dipenuhi foto-foto terkait BK di masa lalu. Seperti diduga, anakku kemudian hilir mudik di ruangan-ruangan rumah itu. "Aida mau ah, tidur di sini," ujarnya saat kami berada di sebuah kamar milik keluarga BK.

Di dalam rumah itu, selain kamar tidur itu tadi, terdapat setidaknya dua ruangan besar. Di sanalah dipajang berbagai foto itu tadi. Sejumlah wisatawan lokal memadati ruangan tengah, dan -- seperti halnya kami -- mereka juga mengabadikan kunjungannya itu. Saya sendiri memotret pose Sukarno (yang menggunakan blangkon) dan teman-teman sekolahnya, serta makamnya sebelum dipugar Presiden Suharto -- pengurus musium itu, yang juga menyediakan tukang potret, tak melarang kami mengambil gambar...

Dari rumah BK, kami diantar ke perpustakaan BK (yang diresmikan Presiden Megawati tahun 2004) yang letaknya berdampingan dengan makamnya. Sayangnya, perpustakaan itu tutup. Kami tak begitu kecewa, karena di depannya ada patung BK tengah duduk dan membaca -- sebuah patung bersahaja, dibanding dengan patung-patung BK lainnya yang terkesan heroik...

Diantara perpustakaan dan makam, ada semacam ruang terbuka. Di sana ada relief yang menggambarkan sejarah politik BK. Mulai dia sekolah, mendirikan PNI, menyiapkan kemerdekaan Indonesia, pidato Nawaksara (saya bayangkan, tentu di jaman Suharto, relief ini tentu akan dilarang) hingga dia tutup usia. Di tengah rekief itu terdapat kolam ikan yang memanjang..

Di ujung ruang terbuka itu, ada tangga menuju ke atas, dan di sana terdapat seperti gapura mirip pintu gerbang Mojopahit. Di balik bangunan itulah, kami mendapati makam BK -- yang dipenuhi puluhan pengunjung. Sebagian pengunjung terlihat mendoakan sang proklamator, sementara anakku sibuk menanyakan "mana bunganya, Aida mau menaburkan bunga.."

Usai melihat langsung makam BK, kami memasuki pintu keluar yang berbentuk lorong yang dipenuhi para penjual cindera mata terkait BK. Di ujung lorong itu, abang becak itu tadi sudah menunggu kami -- dia kemudian mengantar kami balik ke lokasi parkir mobil semula...


keliling Jawa, terdampar di Ngliyep (4)




KUTINGGALKAN Kota Malang, tiga pekan lalu, dengan rindu yang belum tuntas, serta pertanyaan yang tak sepenuhnya terjawab. Tapi pikiran logisku juga punya jawaban: tiga hari, kupikir, sudah cukup untuk sebuah pertemuan mengenang masa lalu, saling memaafkan, bercanda, dan saling sapa. "Jangan lebih dari itu.."

Dengan senyum menggantung yang terlihat di raut wajah Ibuku, yang berdiri di depan rumah (beserta keluarga besarku), siang itu mobil kami akhirnya melaju pelan -- meninggalkan masa lalu itu. Ada lambaian tangan, ciuman di pipi, tetapi juga kata-kata tak terucap, menandai perpisahan itu..

Dalam situasi melankoli seperti itu, aku selalu berupaya meyakinkan diri berulang-ulang: perpisahan adalah tidak terelakkan...

Toh akhirnya mobil kami melaju terus. Dan dibandingkan saat berangkat, rute balik kami ke Jakarta kali ini lebih jelas, yakni melalui jalur selatan. Kenapa kami pilih jalur ini? Jawaban pertama, karena tujuan kami berikutnya adalah kota Blitar -- kami berencana plesir ke makam Bung Karno di kota itu. Alasan lainnya, kami ingin merasakan jalur yang tidak seramai jalur pantura...

Kami awalnya berhitung, jarak Malang-Blitar yang sekitar 77 kilometer, bisa ditempuh dalam 1 jam. Dengan begitu, kami bisa langsung ke tujuan, kuburan Bung Karno. Tapi, rencana ini menjadi berantakan, ketika di jalanan kota kecil Kepanjen (kira-kira 18 km dari Malang), aku berkata secara spontan kepada istriku, "nah, itu jalan menuju Pantai Ngliyep, ombaknya besar di sana .. aku pernah ke sana..." Istriku belum menjawab, tapi sekonyong-konyong Aida (anakku) memotongnya, "Aida pengin ke Ngliyep, Aida pengin main pasir..."

Pantai Ngliyep, yang ombaknya dikenal ganas (di pinggir Samudera Indonesia), dan selalu dilekati mitos Nyai Roro Ngidul, letaknya masih di wilayah Kabupaten Malang -- kira-kira 62 kilometer dari pusat kota Malang. Dulu, sebelum muncul plesiran Pantai Balekambang, dan Sendang Biru (yang letaknya di garis pantai yang sama di kabupaten Malang), Ngliyep dikenal dan acap didatangi turis.

"Saya sudah lama nggak ke sana, tapi kayaknya pantainya juga bagus.. dan nggak begitu jauh kok" kataku, seolah meyakinkan diri sendiri, menjawab ketidaktahuan istriku. Mobil kami pun mengikuti setiap petunjuk jalan, juga mengikuti angkutan umum di depan kami, melalui jalan-jalan yang semula lebar, menjadi menyempit, yang semula ramai, kian sepi, dan makin sepi...

Nada khawatir mulai merambatiku, dan istriku mulai tak bisa menutupi keraguannya -- anakku barangkali lebih membayangkan pasir pantai yang putih.
Apalagi, pada jalan-jalan yang kita lalui, di kanan-kirinya mulai terlihat pohon jati kering, dan batu cadas, serta jurang -- jarang terlihat rumah penduduk dan tidak berlampu. "Mana pantainya, kok belum kelihatan juga," begitulah pertanyaan pada diri kami.

Kubayangkan semula jarak antara Kepanjen-Ngliyep bisa ditempuh kurang dari 1 jam, tetapi faktanya waktu tempuhnya lebih dari 2 jam! "Kok nggak sampai-sampai say," celetuk Ika, masih dengan nada datar..

Puncak kecurigaan kami adalah saat mobil kami dibelokkan oleh sejumlah pemuda. Kubuka jendela sedikit-sedikit, dan kutanya, "Kenapa harus belok?" Mereka menjawab, silakan lewat jalan alternatif -- sebuah jalan tanah yang tidak rata, dihiasi kebun tebu yang rindang. Kami membayangkan, apa jadinya jika kita melewati jalan seperti itu di waktu malam... (belakangan setelah kami kembali ke jalan beraspal, kami diberitahu jika ada jembatan yang rusak..)

Kalau di lihat di peta, rute menuju Ngliyep itu akan melewati wilayah Kecamatan Donomulyo -- tapi wilayah itu seolah lama sekali terjangkau. Setelah menunggu dengan tak sabar, akhirnya kami menemukan petunjuk jalan di sebuah pertigaan, ke kanan ke arah kota kecamatan Donomulyo, sementara ke kiri adalah Ngliyep. "Akhirnya..." kataku dalam hati.

Memang jalanan tidak melulu bukit cadas pada ketinggian, dengan hutan jati yang meranggas, tapi juga rumah penduduk yang tak begitu ramai. Pemandangan yang kusebut belakangan ini membuat kami lega, karena kami akhirnya "tidak sendirian" (anakku mulai paham, jika melewati jalan sepi, dia akan selalu bertanya, apakah kita melewati hutan yang sepi, dan berbinatang buas.. kami biasanya membujuknya..)

Dan tatkala mulai terlihat nyiur pohon kelapa, dan secuil laut biru dari kejauhan, perasaan kami menjadi lega. Kami akhirnya sampai di Pantai Ngliyep -- kami terdampar di sebuah tempat, jauh di luar jalur resmi arus balik.... (seingatku jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka 2 lebih 30 menit sore. Itu artinya kita mesti bergegas, sebelum matahari terbenam. "Jangan sampai kita semalaman di jalan seperti ini," kata istriku, tegas).

Sisa-sisa rasa was-was itu, akhirnya luruh pelan-pelan, saat kaki kami menyentuh hamparan pasir putih nan luas -- dihiasi pepohonan yang rimbun, dan tinggi. Tidak banyak wisatawan saat itu, mungkin lantaran hari sudah beranjak sore. Hanya tersisa anak-anak muda dan pasangannya...

Pantai Ngliyep, dari sekilas memandang, adalah perpaduan tebing curam (yang konon terdapat hutan lindung) dan hamparan pasir putih. Disela-selanya ada deburan ombak yang -- setiap saat -- menerpa tebing-tebing dan pasir putih itu. Hanya ada 2 atau 3 orang yang berenang, karena memang dilarang, mengingat tinggi ombaknya...

Sore itu, seraya menyantap 2 buah mangga, kami puaskan memandang ombak yang deburannya terlihat seperti mengembun, pada jarak kejauhan. Anakku sebaliknya asyik dengan mainan barunya: keong dan batu apung yang putih warnanya....

Tepat pukul 4 sore, kami meninggalkan pantai pasir putih itu -- kami dituntut berlomba dengan waktu, agaknya. Rute kami selanjutnya adalah pertigaan Donomulyo itu tadi, sebelum merambat ke jalan kecil, melewati jalanan desa (diantaranya Lodoyo), menuju tujuan kami berikutnya, Kota Blitar. Senja jingga yang indah itu akhirnya menemani perjalanan kami (bersambung).

semalam di Splendid...




BIKIN kejutan, itulah keinginan kami saat mudik Ke Malang dua pekan lalu. Itulah sebabnya, kami tak pernah memberitahu keluarga di Malang, kapan kami tiba. "Mudah-mudahan bisa mudik, saya ingin pulang.." demikian jawabanku singkat -- bila keluargaku menanyakan kepastian itu.

Dan ketika mobil kami merayap di jalanan kota Malang, tengah malam itu, kami akhirnya menerima resiko atas pilihan bikin kejutan itu tadi. Keluarga kami ternyata belum tiba dari Surabaya -- kunjungan lazim setiap lebaran tiba.

Tapi kami masih merasa yakin mereka segera tiba. Saya, istri dan anakku lantas mengelilingi sebagian kota itu, lalu kembali lagi -- ternyata mereka belum datang, sementara jam terus bergerak, memasuki pukul 11 malam..

"Kita harus cari hotel," itulah kesimpulan kami, setelah dihadapkan kenyataan seperti itu. Sempat mengecek apakah ada kamar di Hotel Pelangi, dan hasilnya nihil. Setelah berputar-putar, akhirnya kami sampai pada satu nama hotel yang cukup akrab di telinga kami, Hotel Splendid...

"Ada satu kamar kosong, tapi cuma sampai besok," ujar resepsionis hotel, tatkala kukontak malam itu. Kami pun beranjak ke hotel yang letaknya di kawasan tugu (10 menit naik mobil dari rumahku), dengan perasaan lega -- kami, utamanya istriku, tentu butuh istirahat.

Hotel Splendid (saya tidak pernah tahu, dari bahasa apa kata itu) kusebut akrab di telinga kami, karena hotel itu pernah jadi saksi perjalanan kami -- aku dan istriku, maksudnya. Hotel itu menjadi tempat transit saat Ika (nama istriku) -- didampingi adik perempuannya -- kuajak ke Malang untuk berkenalan dengan keluargaku. Kejadiannya pertengahan tahun 2000, sekian bulan sebelum kami akhirnya menikah. Itulah sebabnya kami menganggap sebagai "hotel kenangan..."

Dulu, sebelum ada hotel-hotel berbintang lainnya, hotel splendid cukup mentereng (dibangun tahun 1973, dari bekas rumah peninggalan Belanda). Para turis asing biasanya menginap di hotel yang berseberangan dengan Balaikota, di kawasan elit Tugu. Kini nyaris hotel itu jauh tertinggal -- apalagi di sampingnya persis berdiri hotel dengan arisitektur terindah di Indonesia, Hotel Tugu...

Malam itu, kami mendapat kamar di lantai 2, di bagian bangunan baru hotel itu (sepertinya dibangun belakangan, masih masih tahun 70-an -- terlihat dari interior kamarnya). Dulu, Ika menginap di lantai dasar, bagian bangunan utama yang kuno (dibangun saat kawasan Tugu dibangun, tahun 1930-an) -- pintunya pakai plitur dan berat sekali, lantainya juga masih tegel kuno, juga jendelanya...

Pagi harinya, kami sarapan di ruang tengah -- sepertinya bangunan baru, menghubungkan bangunan utama dan bangunan lainnya. Saya antar pula anakku berenang di kolam renang berukuran kecil, tak jauh dari ruangan itu. Di sela-sela semua itu, saya menyelinap, memotret sejumlah sudut bangunan kuno yang masih tersisa...

Oct 28, 2007

keliling Jawa, mesjid kremlin, manusia trinil..(3)




BERANGSUR-ANGSUR suasana mistis lebaran itu memudar, seiring berjalannya waktu. Pada pagi itu, di sudut Kota Yogya, yang terlihat senyap ditinggalkan penduduknya, tak lagi terdengar takbir -- digantikan raungan motor dan bus yang jarang. Minggu pagi itu adalah hari raya kedua, menurut orang NU...

Saya lalu bertanya, ada apa di balik perasaan sendu saat mendengar takbir? Bukankah itu lebih mewakili perasaan estetis ketimbang religi, demikian tanya Karen Armstrong, saat dia masih tinggal di Biara. Saya biarkan pertanyaan itu berlalu. Pagi itu aku justru melangkah ke luar kamar Hotel Gedong Kuning, untuk menikmati pagi, seraya mencari warung kopi (hotel itu tak menyediakan sarapan)

Kesibukan menjelang perjalanan berikutnya, seperti membangunkan anakku (dari tidurnya), memandikannya, dan membantunya memakai baju, justru menyita pikiranku. Selalu begitu: dari detik ke detik, menit ke menit.. sebuah momen peristiwa keseharian. Menurutku, inilah hidup sesungguhnya, di luar pikiran-pikiran besar yang hampir tak terjangkau..

Ditawari sarapan di rumah adik mertuaku, kami tak bisa menolak. Inilah pertemuan akhir, sebelum kami berpisah dengan keluarga besar istriku itu -- kami lanjutkan berkelana ke arah timur, sementara mereka menetap sebelum akhirnya balik ke Jakarta..

"Kalau mau ke Malang, mending jangan lewat Kertosono. Masuk saja ke Kediri, lalu lewat Pujon...,"mertua lelakiku memberi saran. Saya agak lupa apa alasannya, tetapi memang jaraknya lebih pendek. Kecuali kalau mau lewat Surabaya, maka melalui Kertosono adalah pilihan terbaik -- tapi kami sejak awal menjauhi kota Surabaya setelah ada masalah lumpur di Sidoarjo. "Kami memang akan lewat Pujon, meski resikonya ada tanah longsor..Tapi untungnya nggak hujan," jawabku dengan lagak sok tahu..

Kami akhirnya beranjak meninggalkan Yogya sekitar pukul 10 pagi, tapi terik matahari sudah mulai terasa. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi Prambanan, yang lokasinya tidak begitu jauh. Diwarnai keragu-raguan, karena soal waktu dan hawa panas itu tadi, kami akhirnya toh memparkir mobil di pelataran candi itu -- saya dan Aida belum pernah mendatanginya...

Seperti diduga, sengatan panas itu membuat kedatangan kami kurang nyaman -- walau kami sudah memakai topi pet. Kami akhirnya memutuskan tak berlama-lama. Kurang dari 1 jam, kami lantas cuma keliling sebagian candi -- yang sebagian dikonstuksi ulang lantaran rusak karena gempa. Ambil gambar untuk kenang-kenangan, dan balik ke mobil -- Aida kubelikan satu miniatur candi itu.. (di sini Aida sempat merengek karena kami menolak kemauannya mengkonsumsi ice cream atau permen...)

Sebelum ke Prambanan, kami mampir ke restoran ayam goreng 'Mbok Berek pertama Ibu Noor', di wilayah Candisari -- ini jelas ide istriku yang paling doyan ayam goreng lengkap dengan bumbu keringnya itu... Letaknya di sebelah kiri jalan dari arah Sleman, dengan papan baliho yang besar -- sangat mencolok mata.

Kami beli satu kotak ayam goreng lengkap ditambah 4 nasi putih, buat di makan di perjalanan (kelak saat kami mengkonsumsinya, Aida begitu lahap menyantapnya, dan "kok ayamnya dikit, Lid..")

Namun bukan semata ayam goreng kami berhenti di tempat wisata kuliner tersebut. Mata kami tertumbuk pada sebuah bangunan yang mirip Istana Kremlin di lapangan Merah, Moskwa. Bangunan itu ternyata sebuah mesjid, yang menaranya dibuat mirip dengan menara istana di negeri Rusia itu -- warna-warnanya terang dan kontras. Aku lupa apa komentar anakku saat itu, tapi dia minta diantar masuk mesjid itu. "Ini dia mesjid Kremlin..," celetuk istriku, seraya tertawa.

Melalui kota Solo, Sragen, pada siang itu, akhirnya kami sampai juga pada perbatasan propinsi Jateng dan Jatim (ada tiga kota kecil Gondang, Mantingan, dan Widodaren di tapal batas itu..) Saya dan istriku riang setiap melintas perbatasan, seolah jarak tempuh itu semakin dekat -- kami biasanya menghitung berapa kilometer lagi yang harus kami tempuh. "Jangan lupa memotret tugu perbatasan, atau selamat datangnya," itu pesan yang dia wanti-wanti, selalu..

Diwarnai hutan jati yang meranggas, dan langit biru berawan tipis di atas pedalaman Jawa, kami memasuki wilayah purba: Kota Ngawi. Kusebut purba, karena di sebagian wilayah kota itu, tepatnya di lembah-lembah Sungai Bengawan Solo, dulunya adalah tempat hunian kehidupan purba -- tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.

Seperti tercatat dalam sejarah, situs purba itu, yang belakangan disebut Trinil, terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi -- kira-kira 13 km sebelum kota Ngawi dari arah kota Solo. Koleksi-koleksi tersebut di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus (manusia mirip kera yang berdiri tegak) , fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus)...

Tapi kami hanya melintasi kawasan itu, walaupun kami berpapasan baliho penunjuk jalan -- dengan gambar manusia purba itu tadi. Sempat bertanya-tanya, apakah mendatanginya atau tidak, kami toh akhirnya memilih jalan terus...

Masih di wilayah Ngawi, kami bertemu pertigaan lagi, silakan pilih langsung ke arah kota Madiun atau Caruban, sebuah wilayah lain yang dikenal dengan hutan jatinya. Kami sejak awal memilih kota yang disebut terakhir, karena jaraknya lebih dekat ke kota Nganjuk -- sebelum tujuan berikutnya Kediri..

Melintas di kawasan hutan jati Caruban, yang tak bergunung dan melulu landai, kami sempat berniat menikmati es kelapa muda, tapi batal karena satu faktor: kami mengomel sendiri, tapi tak bisa apa-apa, melihat orang-orang yang menjual kera kecil di dalam keranjang. "Jahat sekali mereka.." umpat Ika.

Diwarnai angin kencang, kami masuk wilayah kota Nganjuk -- 63 kilometer dari kota Ngawi. Terlihat dari kaca mobil, angin ribut itu sungguh terlihat, di mana dedaunan pepohonan bergoyang kencang. "Memang kalau sudah masuk Oktober, Nganjuk dilanda angin kayak gini," jelas petugas pom bensin, di sebuah daerah di perbatasan dengan Kediri. Menuju Kediri (jaraknya 25 kilometer dari Nganjuk), kami melalui jalan alternatif, yang memang tidak selebar jalan protokol seperti sebelumnya.

Di Kota Kediri, sempat bertanya-tanya, apa kabar Gunung Kelud, yang belakangan batuk-batuk terus? Di jalanan kota itu, kami menemui spanduk yang bertuliskan posko pengungsi -- sebagian wilayah kota itu memang berdekatan dengan gunung itu.

Dan di tengah gelapnya malam, kami terus melaju ke arah kota kecil Pare, sejauh 21 kilometer. Inilah perjalanan yang terus menanjak, ke arah dataran tinggi, melewati lereng Gunung Anjasmara, Arjuno, menuju kota kecil lainnya Kandangan. "Hati-hati say," itu kukatakan berulang-ulang pada istriku.

Apa pasal? Sejak masuk wilayah Kandangan, jalannya berkelak-kelok dengan tikungan serba tajam, di sisi kanan atau kiri adalah curam dan tebing. Sementara gelap terus mengintai, dengan jarak pandang terbatas. "Ini hutan ya Lid.. Aida nggak suka kalau jalannya sepi.." rengeknya pelan, seraya menutupi mukanya dengan selimut -- hawa dingin mulai terasa. Tapi istriku memutuskan jalan terus, dari Kandangan ke Pujon sejauh 46 kilometer..

Aku mulai hafal jalanan itu, ketika mobil kami sudah memasuki Pujon. Ada perasaan lega, karena "Kota Malang, tujuan kita itu, sudah makin dekat.." kataku meyakinkan istri dana anakku -- ganti anakku bertanya terus, "jadi mana rumahnya Jida (sebutannya untuk menyebut neneknya). Kami lantas mampir di sebuah warung kecil seraya menyeruput susu segar Pujon, teh hangat dan mie rebus... Malang tinggal 26 kilometer lagi, benakku girang (bersambung)

Keliling Jawa, menyapa Tegal, Ambarawa...




DITINGKAHI bunyi takbir di senja itu, mobil kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Brebes. Rindu akan suasana lebaran mulai tak bisa dibendung, tapi kutahan sebisanya.

Kusibukkan diriku dengan panorama di luar mobil, dengan harapan terlupa sudah tarikan-tarikan itu. Yang kujumpai justru bau laut Jawa yang masih terasa, tatkala akhirnya kami memasuki sebuah kota yang kukenal akrab, tapi asing, yaitu Tegal.

Di kota pesisir ini, malam masih terjaga. Kelap-kelip lampu, seperti halnya kota-kota di Jawa lainnya, juga berpendar di seantero kota -- seolah menyambut malam penghabisan ramadhan. Tapi pikiranku dalam kenyataannya lebih larut dalam perjalanan kelana ini: disibukkan telpon sana-sini menanyakan mana hotel yang kamarnya masih kosong -- dengan harga yang pantas, tentu saja..

Sejujurnya, ini kali pertama aku menjejakkan kaki di kota Tegal -- dulu barangkali hanya transit entah dengan bus atau kereta api. Kusebut kota ini akrab sekaligus asing, karena namanya sudah begitu akrab di telinga. Ingat kan warung tegal (warteg) yang gampang di jumpai di jalanan Jakarta? Nah, kusebut asing, karena apa yang kubayangkan dari kota ini sebelumnya, ternyata jauh dari kenyataan... kemajuan, modernitas sudah terasa denyutnya saat kami melintas di jalan-jalannya..

Gagal mendapatkan kamar kosong pada sejumlah hotel yang bangunannya membosankan (serba kotak, "mengerikan,"kata istriku) , akhirnya kami terdampar pada sebuah jalan lapang -- masih di tengah kota. Di Jalan Sudirman, nama jalan itu, kami akhirnya menemukan bangunan hotel, sepertinya dibangun tahun 70-an (ternyata benar setelah saya menemukan papan penanda hotel itu..)..

Terasa lega, karena di hotel itu masih tersedia kamar -- Hotel Gren, namanya. Adalah anakku, Aida, yang paling berbinar malam itu -- "Ada bath-up-nya nggak di dalam kamarnya," begitu pertanyaannya bertubi-tubi. Dengan kakinya yang lincah, dia terus membuntutiku mengecek kualitas kamar. "Pilih yang ada bath-upnya, Lid.." (setelah dipastikan kamarnya, dan mandi segala, makan, Aida kembali menggeluti hobinya, menggambar...)

Sisanya, malam itu, kami larut dalam istirahat total, dihantar takbir yang makin samar terdengar..

Semilir angin menebar pada Sabtu pagi, 13 Oktober. Kulihat istri dan anakku masih terlelap, aku menyelinap ke luar kamar -- suasana pagi adalah hari-hari teristimewa dalam hidupku. Hilir-mudik aku di jalan itu dengan harapan menemukan sesuatu yang baru -- yang kujumpai adalah ujung jalan itu dan sebuah rumah tua.

Di depan hotel, kusaksikan orang-orang berombongan, atau sendiri-sendiri, bersepeda, dengan bau wangi dan pakaian terbaiknya, menuju mesjid atau tanah lapang. Ya, Tuhan, ini hari raya! Kutahan rasa rindu itu sekali lagi, dan aku kembali ke kamar, dengan perasaan agak masygul...

Matahari mulai meninggi perlahan, saat akhirnya kami memulai perjalanan kembali. Walau tak ada target tiba pukul berapa, saya dan istri memutuskan mengarah ke Semarang -- melalui Pemalang, Pekalongan, Batang, Weleri, serta masuk tol ke Ungaran (jadi tak masuk Kota Semarang). "Nggak berani ah lewat Slawi-Purwokerto, bukankah kita mau ke Ambarawa, ke museum kereta api itu," jawaban istriku itu kuanggap masuk akal.

Menikmati suasana lebaran, di mana orang-orang memakai baju baru (warna terang), menziarahi kuburan moyangnya (bersarung dan berkerudung), itulah pemandangan jamak dari Tegal ke Weleri, sepanjang sekitar 65 kilometer -- sebuah aktivitas yang dulu kulakukan di masa kanak-kanak..

Di wilayah Pekalongan (kami tak masuk ke kotanya), kami diasyikkan dengan sisa-sisa bangunan ruko dengan arsitektur masa lalu. Saya jadi teringat, kota ini dari dulu sudah dikenal sebagai kota dengan industri kelas menengah -- "selamat datang di kota batik Pekalongan," sebuah baliho menyambut kedatangan kami.

Anakku Aida relatif tidak rewel, karena dia bisa tidur dalam perjalanan itu. Agar kakinya tidak menggantungkan, kami letakkan tas berisi pakaian dll di bawah kakinya. Dia juga bisa selonjor, atau menekuk kakinya ke atas..

Tatkala matahari mulai persis di ubun-ubun, mobil kami sudah memasuki jalan tol sesudah Kaliwungu, dekat kota Semarang. Sebuah bukit cadas warna kecoklatan yang curam, mengantar kami menuju kawasan agak tinggi, Ungaran. Kami lantas berlabuh pada sebuah restoran yang disesaki pendatang -- kami mesti menunggu hampir sejam karena padatnya pemesan..

Seperti direncanakan, kami di pertigaan Bawen, memilih belok ke kiri, menuju Ambarawa. Tujuan kami jelas yaitu museum kereta api -- sebuah keinginan yang selalu kami impikan. Sayangnya, kereta api kuno yang bisa disewa secara rombongan, hari itu tak tampak. Tapi kami tak ingin tanya lebih lanjut, dan kami lebih menikmati sejumlah kereta uap di museum itu...

Dengan sisa waktu yang ada, setelah istirahat di museum itu, kami mengejar senja di pelataran Candi Borobudur, di wilayah Magelang. Dalam perjalanan ini terasa sekali kalau Aida begitu bersemangat -- sebelumnya dia belum pernah bangunan candi. Dan ketika stupa candi raksasa itu terlihat, senyumnya mengembang lebar. Minus ibunya, kami berdua lantas beradu cepat naik ke puncak candi...

Dari atas candi, saya tidak tahu apa yang difikirkan Aida -- tapi dia lari sana, lari sini, tertawa, dan sempat membuat aku khawatir. Terlihat dia bahagia sekali. Kuabadikan beberapa momen saat kita di atas candi -- terakhir saya ke sini tahun 1988 (jaman mahasiswa baru, dengan rombongan senat mahasiswa).

Pada saat bersamaan, seraya memandang Jawa dari kejauhan, saya berfikir perjalanan masih jauh, masih separoh lagi...

Menjelang pukul 5 sore lebih 15 menit, kami beranjak untuk turun ke Sleman, menuju pusat peninggalan kebudayaan dan kekuasaan Mataram. Sebelum meninggalkan Borobudur, kami belikan Aida gasing dan gantungan kunci berupa miniatur candi borobudur, untuk kenang-kenangan...

Malam harinya, di rumah adik mertuaku di kawasan gedong kuning, Sleman, Aida memainkan gasing itu. Dia kembali menjadi pusat perhatian keluarga besar kami.. Dua jam kemudian, kami istirahat di Hotel Gedong Kuning, kira-kira 10 menit dari tempat Aida main gasing itu tadi.. Besok, pada dua pekan lalu itu, kami mesti melanjutkan perjalanan yang tinggal separoh... (bersambung)