KAMI akhirnya kembali ke Yogyakarta, kota dengan seribu kenangan. Gerimis kecil menyambut saat mobil kami merambat di perempatan Tugu, Kamis malam, tiga pekan lalu. Perasaan lega jelas terpancar pada raut wajah kami -- kecuali anakku yang tertidur lelap, sejak dari Kartosuro. Kini tugas saya mengecek hotel mana yang masih tersisa kamarnya, sementara malam terus larut..
Tidak gampang, ternyata, mendapatkan kamar malam itu. Sejumlah hotel, mulai Natour di Malioboro hingga hotel-hotel kecil di sela-selanya, semuanya penuh. Kami baru sadar: Yogya adalah kota wisata, dan semua orang tumplek-blek di kota ini, tentunya. Lebih dari 5 kali kami keliling Malioboro, kraton, stasiun tugu.. untuk sekedar menelepon seraya melihat adakah hotel yang tidak penuh...
Agak putus asa, serta letih, kami akhirnya menemukan hotel di sebuah jalan yang selama ini disebut sebagai kawasan 'lampu merah'... Pasar Kembang alias sarkem! Semula was-was, seraya memperhatikan sekilas siapa yang hilir-mudik di hotel itu, saya akhirnya memberanikan diri. "Ada kamar kosong, silakan.." jawaban lelaki resepsionis itu melegakan, tapi rasa was-wasku belum sepenuhnya hilang. Aku mengecek langsung ke dalam kamarnya, dan akhirnya kusimpulkan: 'aman'....
Saya masih ingat, jam tanganku sudah menunjuk angka 12 malam, saat itu. Anakku sudah terbangun, dan seperti biasa kembali bugar, setelah mengetahui menginap di sebuah hotel. "Kelihatannya bersih kok, say," kataku lirih kepada istriku. Malam itu kami tidur nyenyak, walau sebelumnya anakku sempat menekuni hobinya, menggambar...
Dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya, kami sekarang mesti menghitung jarak tempuh dan alokasi waktu, dengan secara lebih cermat -- maklum, dua hari lagi, kami mesti kembali ke realita, masuk kantor.. Itulah sebabnya, sehari setelah menginap di hotel itu, pagi itu kami hanya punya waktu sedikit untuk keliling kota Yogyakarta. "Yang jelas kita mesti ke Malioboro...," kami menyepakati, karena jaraknya yang dekat.
Malioboro tidak banyak berubah, semenjak saya datang pertama kali tahun 1988. Istriku begitu gembira saat menemukan sebuah restoran tua, yang pernah dia datangi saat masih kanak-kanak. "Bangunannya masih utuh," serunya seraya menunjuk bangunan yang sebagian interiornya terbuat dari kayu.
Pasar Beringharjo masih berdiri tegak dan terawat. Ratusan penjual penganan, aneka cindera mata, hingga blangkon, serta aneka kemeja, terlihat berderet di ruas jalan itu... Kami, meski sebentar, sempatkan pula jalan-jalan ke depan Kraton, sebelum akhirnya meninggalkan kota itu pagi itu juga...
Seperti direncanakan, kami meneruskan perjalanan itu tetap pada rute di selatan Jawa -- kami memilih ke arah Wates, Purworejo, Prembun dan Kebumen... dan seterusnya (semula dari Wates, kami ingin masuk jalan agak kecil di pinggiran laut Selatan, tapi batal dengan sendirinya karena kami tak menemukan jalan masuknya...). "Ya sudah, kita lewat jalur biasa," kataku enteng, dan diamni istriku.
Seperti sebuah kisah perjalanan yang sudah banyak diungkap, perjalanan pulang disebut tidak akan sedahsyat saat pergi. Perasaan serupa juga kami alami. Ini tak bisa kami pungkiri -- faktor lelah, agak dikejar waktu, itu yang biasanya yang menjadi faktor pemicu.
Tapi tetap saja, mobil kami berjalan dengan santai di sepanjang Kebumen -- kota burung walet, begitu simbol kotanya yang kami jumpai, selain kota anti maksiat. Di pinggiran kota ini, kami mampir sebuah restoran, untuk mengisi perut... (Aida akhirnya menemukan makanan kegemarannya, lele goreng)
Sejak di wilayah Purworejo, lalu-lintas kendaraan roda empat mulai terlihat relatif lebih ramai jika dibanding daerah sebelumnya. Ini terjadi tampaknya karena kota itu merupakan jalur pertemuan dari arah Magelang dan Yogyakarta. Di sini kami banyak menemukan kendaraan roda empat dengan nomor polisi dari Bandung dan sekitarnya -- rupanya ini adalah jalur arus balik ke arah ibu kota Jawa Barat...
Kehendak untuk bisa segera masuk ke wilayah Jawa Barat, sempat membuat kami merasa bosan dengan luasnya wilayah Cilacap. Ini bisa dipahami istriku, yang mengaku kenal dengan jalur ini. "Dulu, setiap ke Yogya, kami sekeluarga leeat jalur ini.. dan wilayah Cilacap itu kelihatannya luaaaass sekali," paparnya, agak serius.
Setelah lepas dari Gombong (Jateng), kami praktis hanya melalui kota-kota kecil seperti Tambak, Sumpiuh, Buntu, Rawalo, dan Wangon. Semuanya hampir pasti masih wilayah Cilacap, di dekat samudera Hindia, yang menurut istriku "jalur yang membosankan".
Namun saat di jalanan, sudah kutemukan papan penunjuk yang berisi "selamat datang di wilayah Jawa Barat", perasaan lega mulai merayapi kami. Kota Majenang adalah kota yang kami lalui, sebelum akhirnya kami masuk wilayah propinsi itu -- hari beranjak sore saat kami merayapi jalan protokolnya.
Di sebuah wilayah yang masih masuk kawasan Wanareja, Cilacap, tetapi sudah dekat perbatasan, kami akhirnya mengaso di sebuah restoran lesehan. Suasana senja sudah terlihat. Istriku di sini dipijat kakinya (refleksi) -- kedua kalinya setelah di kota Blitar. Kami lantas makan dengan lahapnya, yang berakhir pada rasa kantuk -- aku yang ngantuk, persisnya...
Praktis jalanan menjadi gelap setelah kami masuk wilayah Jabar -- saya gagal memotret tugu perbatasan dua propinsi itu. Hawa sejuk juga mulai kami rasakan, sehingga kami mesti mengenakan jaket, dan selimut untuk anakku.
Karena alasan ngantuk, saya sempat usul untuk istirahat sehari, entah di Tasikmalaya atau Bandung. Tapi istriku tak setuju, karena alasan waktu. Dia khawatir kalau perjalanan selanjutnya ditunda besok, maka akan berbarengan dengan arus balik. "Makanya, mending kita kejar sekarang, sampai Jakarta, hingga kita bisa istirahat sekalian, dan terhindar macet," jelasnya. Saya akhirnya mengiyakan, walau rasa kantuk tak bisa ditahan -- kopi hangat rasanya sudah tak mampu menahannya...
Antara bangun, tidur, bangun, dan ngantuk, itulah yang praktis terjadi pada diriku. Tak tega melihat istriku melaju sendiri, aku mencoba bangun -- berhasil! Tapi beberapa menit kemudian, tertidur lagi, bangun lagi.... -- itu yang terjadi sepanjang sekitar 200 kilometer dari Banjar, Ciamis, Tasikmalaya (kami sempat istirahat di sini, ke toilet dan minum kopi), Malangbong, hingga Nagrek (padahal pada tanjakan angker itu, istriku bercerita, "sayang kamu tidur say, padahal di situlah mobil kita teruji, bisa melaju melewati 3 truk gede-gede...").
Di pintu tol Cileunyi menuju Jakarta, saya sempat terbangun lagi. Tetapi tidur lagi, sempat terbangun, sampai di dekat pintu masuk Jakarta. Kulihat istriku, "perempuan perkasa" itu, masih tegar, kuat, tidak ngantuk. Kok kamu kuat say? Kataku agak basa-basi. "Ya, asal nanti pijat total.." cetusnya seraya tertawa.
Sekitar pukul 2 dini hari, mobil bakpao kami merayap di jalanan yang kami akrabi selama ini. Rasa penat, ngantuk tak tertahankan, kami coba tahan, sebelum akhirnya perjalanan keliling Jawa itu mesti berlabuh -- bukan berhenti sepenuhnya -- di kawasan tanah Kusir, Jakarta Selatan (tamat).