Sep 28, 2007

revitalisasi kota tua jakarta, apa kabar?




KALAU tak ada aral-melintang, Sabtu besok (29 September), pejabat terkait di Jakarta akan meresmikan rampungnya tahap awal revitalisasi kota tua Jakarta. Sebuah acara seremonial akan digelar, demikian rekan sekantor bercerita.

Disebut tahap awal, karena revitalisasi kota tua itu baru pada perbaikan jalan-jalan di sekitar Museum Fatahilah. Semula jalan aspal yang dipenuhi kendaraan bermotor, sekarang diubah menjadi semi pedestrian-- bahannya terbuat dari batu andesit. Perubahan yang serupa juga terjadi di areal taman Fatahilah.

Tentu saja, saya membayangkan upaya revitalisasi kota itu rampung semuanya --dalam waktu cepat. Tak hanya tahap pertama, tapi juga kedua dan selanjutnya. Rencananya, jika tahap pembuatan jalan semi pedestrian ini tuntas, proyek akan dialihkan pada pembenahan kawasan di seputar Kali Besar -- saya tak tahu persis apa yang dilakukan.

Dilanjutkan dengan tahap berikutnya, yaitu pembangunan apa yang disebut sebagai replika gerbang Amsterdam -- dulu di antara Museum Bahari dan Museum Fatahilah ada semacam gerbang pintu masuk, tapi kini tidak lagi berbentuk. Mereka juga akan 'menghidupkan' kembali bekas rel trem listrik yang sudah terkubur -- dihidupkan artinya ditimbulkan lalu ditutupi kaca, dan menjadi semacam outdor museum, katanya.

Tapi tentu saja mimpi saya itu mesti menunggu waktu. Apa pasal? Para pejabat terkait selalu mengatakan, upaya revitalisasi itu tidak bisa ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Tanpa peran masyarakat, utamanya orang-orang atau para pihak yang memiliki gedung di wilayah itu, maka proyek ini tak akan berjalan.

Penanggungjawab revitalisasi kota tua mengatakan, salah-satu cara menghidupkan kota tua adalah dengan cara meningkatkan nilai ekonomi wilayah itu. Tanpa landasan pragmatis ini, menurutnya, maka proyek itu tak akan jalan.

Artinya, sambil proyek perbaikan pedestrian itu berjalan, pemerintah mengharap para pemilik tanah di wilayah itu memperbaiki gedung-gedungnya -- yang hampir 75 persen dilaporkan rusak. Disarankan pula mereka membuka usaha di wilayah kota tua, sehingga kesan menyeramkan akan segera hilang.

Untuk itu bahkan pemerintah dilaporkan akan mempermudah perijinan dan mengurangi pajak -- bila mereka serius mau mengembangkannya. Akan berhasilkah proyek ambisius ini? Saya berharap begitu, kalau tidak ingin revitalisasi wilayah kota itu hanya berhenti di tingkat jargon.

Pada awal September lalu, di sela-sela liputan, saya mengabadikan sejumlah gedung tua tidak jauh dari museum Fatahilah. Ada perasaan nelangsa setiap melihat gedung yang dibiarkan tak terawat. Namun di sisi lain, ada sedikit lega tatkala memperhatikan para tukang yang tengah memasang batu andesit -- untuk kelak dijadikan pedestrian yang manusiawi..

Bagaimanapun, saya sungguh tak sabar menunggu kapan revitalisasi kota tua Jakarta itu rampung...

Sep 27, 2007

Jago gocek, tapi lengah bertahan… (Kisah tim Hindia Belanda di Piala Dunia 1938)


GAYA menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian…,” begitulah laporan  koran Perancis L’Equipe,  edisi 6 Juni 1938, “tapi pertahanannya amburadul, karena tak ada penjagaan ketat..” Hasilnya, seperti tercatat dalam sejarah, tim sepakbola Hindia Belanda (sekarang adalah Indonesia) dicukur gundul 6-0 (4-0) oleh tim Hungaria – sekali bertanding dan kalah. Kejadian ini terjadi pada Piala Dunia 1938 di Perancis.

 

Saya tak membaca langsung berita itu. Laporan pandangan mata itu disadur sebuah buku sejarah Piala Dunia, terbitan London, Inggris. Editor buku ini memperoleh datanya sebagian besar dari surat kabar The Times, serta Koran lainnya – termasuk L’Equipe itu tadi.  Isinya -- luar biasa! -- tentang semua pertandingan piala dunia mulai 1930 di Uruguay hingga piala dunia terakhir, lengkap dengan foto dan data pemain.

 

Tapi, apa istimewanya berita itu? Karena informasi itu baru, belum pernah dipublikasikan di Indonesia, setahuku. Sejauh ini nyaris tidak ada catatan tertulis seperti apa pertandingan yang tersebut.  (Saya juga menemukan potret hitam putih Tim Hindia Belanda  jelang pertandingan itu – lihat foto di atas!).

Laporan-laporan yang ada, hanya menyoroti nama-nama pemain (yang terdiri dari suku Jawa, Maluku, Tionghoa, Indo-Belanda, dan lainnya) serta pelatihnya yang asal Belanda, Johannes Christoffel van Mastenbroek. Juga perihal keberangkatan tim ini yang didukung NIVU, Nederlandcshe Indische Voetbal Unie – organisasi sepakbola di bawah naungan pemerintah kolonial Belanda. Sementara, PSSI yang didirikan 8 tahun sebelumnya (1930), dilaporkan tidak mengirimkan para pemainnya. FIFA sendiri disebut-sebut lebih mengakui NIVU ketimbang PSSI.

Walaupun akhirnya mengatasnamakan NIVU, toh kehadiran Tim Hindia Belanda pada ajang Piala Dunia 1938, akhirnya dicatat sebagai kehadiran pertama kalinya wakil dari Benua Asia. Semula Jepang yang ditunjuk, namun karena kendala transportasi, negara itu mengundurkan diri. Hindia Belanda akhirnya menggantikannya – tanpa melalui ajang pra-piala dunia, yang seperti dipraktekkan sekarang.    

 

Dalam buku sejarah piala dunia terbitan London itu, disebutkan bahwa para pemain Hindia Belanda, didominasi para pelajar. “Kapten timnya adalah seorang dokter, yang menggunakan kacamata,” ujar wartawan The Times, saat meliput pertandingan itu. Informasi ini berbeda dengan laporan yang sudah lama sebelumnya, yang menyebutkan mereka adalah para pegawai yang bekerja untuk pemerintah kolonial.

 

Disebutkan pula, sebagian besar para pemain berukuran tubuh pendek (“Bien trop petits,” kata reporter koran Perancis, yang dikutip The Times). Meski tergolong pendek,  imbuhnya, para pemain depan Hindia jago menggocek bola. “Tapi pemain belakangnya, lemah dalam penjagaan, serta sering terlambat menjegal lawannya.”

 

Tim Hindia Kalah, seperti diketahui akhirnya kalah telak 6-0 (babak pertama 4-0), dan angkat koper lebih cepat – saat itu yang berlaku adalah sistem gugur. Tim Hungaria akhirnya melaju sampai babak final, sebelum ditundukkan tim Italia (juara bertahan, dan tampil kembali sebagai juara dunia dibawah asuhan Victorio Pozzo).

Kekalahan telak 6-0 itu, belakangan dikaitkan karena ketidakhadiran para pemain PSSI yang dikenal handal -- seperti Djawad, Jazid, Moestaam atau Maladi. Sebaliknya, tim Hungaria diperkuat bintang-bintang pada zamannya, seperti Gyorgy Sarosi, Gyula Zsengeller. Dua orang itu kemudian masuk daftar 3 besar pencetak gol tersubur dalam piala dunia 1938.

Para pemain Hindia Belanda, sebagian besar berusia sekitar 25 tahun. Mereka kelahiran antara tahun 1912 dan 1916.  Hanya seorang yang kelahiran 1909, yaitu Hans Taihuttu (pemain depan asal klub VIOS Batavia). Adapun berat badannya berkisar antara 65 kilogram sampai 70 kilogram, sedang pemain tertinggi tercatat 178 sentimeter yaitu pemain tengah Frans Meeng (klub VIOS Batavia). Selain didominasi pemain Batavia (Jakarta), lainnya dari klub Tionghoa Surabaya dan SVV Semarang.

Pertandingan itu digelar tanggal 5 Juni 1938, pukul 5 sore waktu setempat, di Stadion Velodorme, di kota Reims, Perancis – sekarang stadion itu diubah menjadi Stadion Auguste Delaune. Sekitar 9 ribu orang penonton memadati stadion itu. Pertandingan ini dipimpin wasit asal Perancis, Roger Conrie, serta dua orang hakim garis Carl Weingartner (Jerman) dan Charles Adolphe Delasalle (Perancis).

Berikut anggota Tim Hindia Belanda yang berangkat ke Piala Dunia 1938: Kiper: J Hartung, Tan Mo Heng; Belakang: Frans Hu Kom, J Kolle, Jack Sanniels; Pemain tengah: Sutan Anwar, G Faulhaber, Frans Meeng, Bing Mo Heng, Achmad Nawir, G van den Burg; pemain depan: LN Beuzekom, Tan Hong Djien, Tjaak Pattiwael, Han Se Han, Suwarte Soedarmadjie, Henk Sommers, Hans Taihuttu, R Telwe; Pelatih: Jan Mastenbroek (dari berbagai sumber, oleh Heyder Affan).  

 

 

 


Sep 22, 2007

Bertemu Bung Sjahrir di Kalibata




DI SELA-SELA mengantar istriku memperpanjang Surat Ijin Mengemudi (SIM) -- di kawasan Kalibata, Jakarta -- aku mengajak anakku ke Makam Pahlawan Kalibata, tidak jauh dari lokasi itu. Kejadiannya hari Sabtu, 22 September, pada sebuah siang yang terik.

Ternyata Aida tak menolak -- dia sudah paham apa yang dimaksud pemakaman atau kuburan (dulu, dia kuajak melihat makam kakeknya di Malang, Jawa Timur). Dia juga sedikit-banyak tahu bahwa kematian adalah lanjutan dari kehidupan. Lagipula, "aku juga belum pernah ke makam pahlawan kalibata," begitu pikiran yang ada di benakku.

Tapi dasar anak-anak, yang dilihat Aida pertama kali adalah kolam ikan, yang ada di sekitar tugu pintu masuk.

"Airnya bening ya, Lid," katanya santai.

Dia kutunjukkan sebuah tugu, yang di dalamnya tertera nama-nama pahlawan nasional, seperti Perdana Menteri pertama Sutan Sjahrir, diplomat dan mantan Menlu Agus Salim, dan beberapa nama lain.

"Aida tahu kan Sjahrir?"
"Tahu..." celetuknya santai, seraya ngeloyor pergi dan berlari kecil, saat melewati sebuah tanjakan yang kemudian menurun. Dalam setiap kesempatan, di saat baca buku tentang Sjahrir, Hatta, Soekarno, dan juga Amir Sjarifudin, Aida kucoba kulibatkan...

Siang itu jelas komplek pemakaman sepi. Hanya ada 4 orang yang rupanya adalah petugas kebersihan. Pikiranku sudah kuarahkan untuk mencari makamnya Sutan Sjahrir, orang yang pikiran, sikap politik dan perjalanan hidupnya sempat menarik perhatianku. "Yuk kita cari makamnya Bung Sjahrir," kataku pada Aida.

Tatkala kali pertama melewati sudut pemakaman, Aida terlihat heran ketika matanya melihat sebuah pemandangan. "Kenapa kuburannya ada topi tentaranya, emangnya yang dikubur semua tentara?" Kujawab tak semua pahlawan itu tentara. Tapi soal topi tentara, aku tak bisa menjawab. "Nanti kita tanya orang yang paham ya.."

Di luar pertanyaan itu, Aida justru asyik dengan bunga-bunga kamboja yang gugur terbawa angin. Dia bahkan minta aku membantu membawakannya. "Ini bunga untuk mama," tegasnya. Tangannya yang mungil itu akhirnya disibukkan dengan bunga putih yang harumnya khas itu.

Sambil mencari makam si bung kecil, aku justru menemukan makam Baharudin Lopa, mantan Ketua Komnas HAM, mantan jaksa agung, yang masa hidupnya dikenal bersih -- persis di sampingnya makam Ibnu Sutowo, bekas Dirut Pertamina jaman Suharto. Ada pula makam eks Mendagri Rudini, Nyonya Nelly Adam Malik (berdampingan dengan pusara suaminya), serta mantan Wapres Sudarmono. Juga makam seorang pahlawan yang tak dikenal...

Sadar tak gampang menemukan makam Sjahrir, aku akhirnya bertanya kepada seorang petugas kebersihan. "Sjahrir? Meninggalnya tahun berapa?" Kusebut tahun 1966. "Oh, itu di sebelah sana," katanya seraya menunjuk sebuah sudut.

"Nah, Aida, ini makamnya Sjahrir," kataku setengah gembira. "Oh, ya Lid, bisa nggak Sjahrir kita hidupkan lagi..." Aida berkata, dengan tampang tak serius. Kujawab "nggak bisa dong.." Dia kemudian tertawa kecil.

Aida lantas kuminta menabur bunga kamboja itu di pusara Bung Sjahrir, yang semasa hidupnya dikenal sangat suka anak-anak (seorang jurnalis senior dan dikenal dekat pemikiran Sjahrir, suatu saat pernah mengungkapkan, sjahrir akan memilih bermain dengan anak-anak ketimbang seharian membaca buku di kamar)...

Usai kunjungan singkat itu, Aida memberikan bunga itu kepada mamanya...

Sep 17, 2007

main kembang api...




HARI Minggu kemarin, usai buka puasa, Aida minta agar aku menemaninya bermain kembang api. Seraya memegang sebuah bungkusan yang isinya kembang api, dia menggapit tanganku, menuju halaman samping rumah...

Saat kulihat bungkusan kembang api itu, sekonyong-konyong fikiranku berputar ke belakang. Logo Batman dan Robin di bungkus kembang api itu, membawaku ke masa kanak-kanak -- utamanya saat menghabiskan waktu pada malam-malam di bulan puasa...

"Tapi walid yang pegang, Aida yang lihat," kata Aida menghentikan lamunanku. Semula dia kuminta memegang sendiri kembang api sebesar lidi itu, seraya kusodorkan api. "Aida takut terpercik apinya," katanya, manja.

Tapi lagaknya takut api itu buyar seketika, tatkala aku memutar-mutar kembang api yang menyala. "Seperti angka delapan, Lid," komentarnya seraya tertawa.

Dan akhirnya, "Aida pegang sendiri ya, Aida berani kok," katanya bersemangat. Selang beberapa menit, ganti Aida yang ketagihan bermain kembang api. 1 batang, 3 batang, 5 batang, dan akhirnya habis 2 bungkus. "Besok, kita hidupkan 3 bungkus ya..."

ah, mendengar perkataannya itu, aku cuma tertawa renyah, seraya kubiarkan pikiranku menewarang ke masa kanak-kanakku di masa ramadhan...

Sep 16, 2007

Di bawah Museum BI, ditemukan benteng




SEBUAH reruntuhan benteng kota yang didirikan sedikitnya 400 tahun lalu, ditemukan di bawah komplek sebuah museum di kawasan kota tua Jakarta. Inilah benteng kota yang merupakan cikal-bakal kota Jakarta, sekarang ini. Penggalian arkeologis ini menemukan fondasi salah-satu sudut benteng itu, juga piring, pipa rokok serta gigi milik orang Belanda. Mengapa penggalian ini penting, dan bagaimana metode penggalian arkeologis ini dilakukan?

RUANGAN Museum Bank Indonesia, yang letaknya di depan Stasiun Kota dan disamping Museum Bank Mandiri, Jakarta, siang itu terlihat didatangi para pengunjung. Museum yang terus dibenahi itu dulunya adalah kantor Bank Indonesia, yang mulai dibangun tahun 1910 dengan nama De Javasche Bank – milik pemerintah colonial Belanda.

Sebagian pengunjung barangkali mengagumi arsitektur gedung yang terlihat terawat itu. Tapi belakangan rasa kagum itu makin bertambah, karena di dasar kompleks museum itu ditemukan sebuah sejarah panjang berdirinya kota Jakarta. Eddy Basuki adalah Duty Manager Museum Bank Indonesia (BI).
“Memang sejak awal diduga di areal BI ini, dulunya ada bangunan-bangunan tua sudah yang terkubur. Nah, sebelum berdirinya Javasche Bank, ini adalah bangunan rumah sakit yang ada di dalam suatu benteng. Nah, karena berada di dalam, berarti ada benteng yang melingkupi…”

Penasaran ingin mengetahui seperti apa bentuk benteng yang terkubur itu, saya ditemani seorang staf museum, mendatangi lokasi penggalian. Letaknya ternyata di halaman belakang gedung itu. Di lokasi itu ada sebuah lubang dan di dalamnya ada susunan batu bata dan karang.

Memang, bangunan itu sudah tidak berbentuk. Yang tertinggal hanyalah fondasi salah sudut benteng, atau disebut bastion. Namun demikian, menurut arkeolog Profesor Mundardjito, yang memimpin proses penggalian ini, temuan ini penting.

“Kita mau coba untuk menunjukkan kepada masyarakat di kota Jakarta, bahwa di bawah kota yang sekarabng, terdapat kota-kota lama. Dan kita ingin membuktikan bagian-bagian yang ada, karena kota ini umurnya 400 tahun lebih. Jadi nanti orang nanti bertanya, mana sih kota yang dulu itu atau sisa-sisanya itu. Jadi kita ingin menjelaskan kota ini jati dirinya sudah lama, identitasnya sebuah kota lama. Nah, kalau itu tidak ditunjukkan, orang tidak akan melihat bukti itu,” jelas Mundardjito.

Seolah berlomba dengan kecepatan perkembangan kota Jakarta yang seakan tidak mempedulikan masa lalunya, Profesor Mundardjito begitu bersemangat saat dipercaya Bank Indonesia untuk menemukan bukti-bukti keberadaan benteng kota itu.

Sejak bulan Juli lalu, maka proses pencarian bukti arkeologis pun dilakukan. Mundardjito yang berpengalaman melakukan penelitian serupa, mengaku ini pekerjaan yang tidak gampang, karena terlau banyak struktur bangunan di bawah tanah. Itulah sebabnya, bekas guru besar Universitas Indonesia ini menggunakan peta-peta kuno Jakarta sebagai metodenya:

“Dan benar bisa ketemu, berdasarkan peta-peta itu. Peta-peta itu dimulai dari tahun 1628, 1650, 1667, 1681, 1740, 1780, 47, 50, terus digabung, lalu dikaitkan dengan citra satelit google earth tahun 2007, dioverlay dengan keadaan sekarang. Dari situ, kita masih melihat ada sungai, jalan, ada bekas kanal, sehingga kita bisa mengetahui, oh, dulunya ini ada sesuatu di bawah. Nah, atas dasar itu, kita gali di bawahnya,” katanya.

Kesulitan itu akhirnya terbayar. Setelah dilakukan penggalian pada kedalaman 40 sentimeter, Mundardjito dan timnya menemukan susunan batu bata. Di bawahnya lagi mereka menemukan susunan bongkahan batu karang. Inilah fondasi salah-satu bastion, yang seluruhnya berjumlah 27, bagian dari benteng kota. Namanya bastion Hollandia, yang letaknya di sudut barat daya benteng.

Benteng itu sendiri tingginya 3 meter lebih. Didalam galian itu, mereka juga menemukan sejumlah artefak. “Ada keramik eropa, keramik cina, ada bekas paku, plat besi, piring, ada bata yang warna kuning, ada pula genteng, pipa rokok keramik Belanda yang panjang. Dan, yang menarik ada gigi palsu, dibuat dari keramik. Dulu itu ‘kan rumah sakit. Ada pula gigi taring, yang dicabut akarnya sampai terlihat akarnya. Jadi ada dokter yang nyabut…”jelas arkeolog ini seraya tertawa.

Dari penelitian atas dokumen sejarah, serta sejumlah gambar atau lukisan tentang panorama Jakarta kuno, Mundardjito menyimpulkan, benteng kota ini dibangun antara tahun 1629 dan 1650. Musium Fatahillah adalah bangunan pusat di dalam benteng.

Kalau memakai peta sekarang, menurutnya, benteng kota ini membentang dari museum Bahari di dekat pelabuhan Sunda Kelapa sampai pelataran Museum Bank Indonesia dan Bank Mandiri. Museum Bahari sendiri adalah bagian dari benteng tersebut.

Tapi mengapa akhirnya benteng ini dibongkar pada masa Gubernur Jenderal Daendels?
“Daendels pada abad 18 telah membongkar tembok kota benteng itu, dan batu batanya digunakan untuk membangun gedung Depkeu di lapangan Banteng. Kenapa dibongkar? Karena kota Batavia lama itu, banyak penyakit, malaria, tipus, kolera. Kira-kira ada 19 macam penyakit yang membuat orang Belanda meninggal dunia, bahkan kira-kira 90 persen lebih meninggal. Oleh karena itu, Daendels mengusulkan agar dipindahkan. Nah, mulai saat itulah kota lama terlihat tidak ada lagi, digantikan kota yang baru,” paparnya.

Dari peta tahun 1917 yang dimiliki Profesor Mundardjito, kota Jakarta kuno memperlihatkan perubahan drastis. Benteng kota tidak ada lagi, dan kanal-kanal sebagian ditimbun, yang sebagian menjadi rel kereta api dan trem. Lainnya menjadi jalan seperti yang tersisa pada masa kini. Setelah penggalian tahap awal ini dilakukan, Mundardjito ingin mengembangkan lebih lanjut. Tapi apakah semua lokasi bekas benteng akan digali?

“Nah kalau beberapa spot (titik) kita sudah tahu, ya itu sudah cukup buat kita. Kita tidak akan membuka seluruhnya ‘kan. Membongkar-bongkar bangunan sekarang, ‘nggak. Cuma di tempat-tempat kosong, barangkali perlu kita tampakkan sebagai bagian dari sebuah kota, dan berhubungan satu sama-lain. Jadi kita lihat ada inter action, antara satu tempat dengan tempat lain, ketika itu ‘kan. Di situ kepentingannya. Tapi kita tidak bisa mengikuti semuanya itu, tinggal sisa-sisanya kita tunjukkan. Jadi nanti harus kita buka, kita beri kaca jadi bagian outdor museum, biar orang bisa lihat. Sementara Indoor museum di dalamnya. Pengunjung bisa melihat semuanya”.

Jika sisi utara benteng kota itu sudah diketahui, yaitu Musium Bahari, dan pada sisi selatan ditemukan galian di bawah museum Bank Indonesia, maka Mundardjito masih punya keinginan menggali sudut bagian barat dan timur. Tentu ini tidak mudah, begitu katanya, karena di atasnya barangkali sudah berdiri bangunan yang juga dikategorikan bersejarah.

“Satu pelestarian di kota seperti ini, harus ada win win solution. Dalam arti kita trade off, mana yang harus bisa kita dikorbankan. Tetapi di dalam pengorbanan itu, ada bagian yang harus ditampakkan. Andaikata ada dinding yang sudah rusak, kita mau ganti baru, barangkali bisa saja, kalau tidak ada jalan lain. Tapi ada bagian yang lama biar tetap dan ditutup kaca. Nah, tunjukkan yang lama dan ini yang baru. Sehingga apa yang lama dan yang baru, orang bisa melihat evolusi perkembangan tekonoligi dan macam-macam. Jangan lupa yang itu.”

Kehadiran anak-anak yang memadati salah-satu ruangan di Museum Bank Indonesia inilah, yang nantinya diharapkan Mundardjito dapat mengetahui perjalanan kota Jakarta, melalui penemuan fondasi benteng itu. Masalahnya, menurutnya, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bukti-bukti itu. Dia mencontohkan pembangunan terowongan yang menghubungkan stasiun Kota dengan pelataran depan Bank Mandiri, yang dianggapnya kurang memperhatikan penggalian yang benar.

“Tentu harapan saya, arkeologi perkotaan ini harus dikembangkan. Jangan sampai kota itu , bekas bangunan dibongkar dan dijadikan mal, lalu digantikan yang baru, tanpa memperhatikan apa yang ada di bawah. OK saja kalau orang mendirikan sekarang. Tapi sebelumnya digali lebih dulu, supaya bisa ditampakkan, difoto dan direkam dan bisa ditunjukkan. Peristiwa itu ‘kan harus diketahui oleh kita. Dan dibuktikan. Nanti kita menjadi negara dongeng dong, kalau kita menuliskan dulu di sini ada ini, ada bangunan ini, mana sekarang, nggak ada. Cari sini, sana, nggak ada lagi, karena dibongkarin semua ‘kan. Itu namanya kita negara dongeng…”

(Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, untuk rubrik seni dan budaya, hari Minggu, 16 September 2007)

Sep 15, 2007

rapor biru anakku




RAPOR biru anakku? Apakah berarti semua angka rapornya tidak ada yang merah? Jangan salah sangka! Rapor biru itu cuma warna sampulnya, dan bukan terkait dengan isinya. Apa pasal? Karena rapor triwulan, atau tengah semester sekolah anakku Aida, sama-sekali tidak mencantumkan angka-angka – dan karena itu, jangan harap ada angka merah atau biru.

Di dalamnya, yang justru ditampilkan adalah penjelasan secara deskriptif bagaimana perkembangan perangai anak, serta sejauh mana anak itu mengapresiasi materi pelajaran sekolah. “Kita tak ingin setiap anak merasa terpojokkan karena ada yang nilainya 90 atau 40, misalnya. Ini kita lakukan karena setiap anak itu pada dasarnya memiliki keunikan,” ujar kepala sekolahnya, suatu saat.

Saya ambil contoh. Pada mata pelajaran art (seni), misalnya, dalam laporan hasil belajar itu dipilah lagi jadi 3 kategori, pertama, pengaplikasian konsep dan ketrampilan; kedua, pemakaian material; dan ketiga, kerjasama dan partisipasi. Nah, 3 kategori itu dinilai dengan berdasarkan 4 kriteria, yaitu apakah belum muncul, mulai terlihat, berkembang sesuai harapan, dan berkembang pesat. “Makanya, di sekolah kami tidak mengenal ranking,” masih menurut kepala sekolah.

Pada halaman terakhir buku itu, tim guru memberikan semacam komentar atas perkembangan setiap murid. Penjelasannya kualitatif, deskriptif dan bernada empati. Dimulai dengan kata “Aida adalah anak yang….” Tentu didalamnya dimasukkan pula semacam masukan, berikut jalan keluarnya.

Dan pada akhir pekan pertama September lalu, saya dan istriku – dan para orang tua lainnya, diundang untuk acara ‘malam orang tua’ sekaligus menerima buku rapor itu. Kami sengaja ijin tak masuk kantor. Yang menarik, sebelum rapor itu dibagikan, para orang tua mengikuti semacam program sekolah mirip anak-anaknya.

Jadi, saya dan orang tua lainnya – di kelas anakku hanya terdiri 16 siswa --, ikut baris sebelum masuk kelas, mengisi absensi, serta mengerjakan sebagian materi pelajaran murid kelas 1. Ibu gurunya juga memerankan seolah-olah di depan muridnya. Kita juga diberi tahu hasil olah ekerjaan dan kreasi anaknya. “Dengan demikian, para orang tua bisa memahami apa yang diperoleh, dikerjakan anak-anak, berikut tujuan dan maknanya, “kata wali kelasnya.

Sep 11, 2007

Majalah Kereta Api, apa itu?

MAJALAH ini, namanya Majalah KA, seperti tertera di covernya -- secara tak sengaja kudapatkan di Stasiun Dukuh Atas, di Jalan Sudirman, Jakarta. Persisnya pada awal bulan Agustus lalu, tatkala aku hendak pulang dari kantor – tujuan stasiun kami adalah Pondok Ranji, di kawasan Sektor 7 Bintaro Jaya.

 

“Majalah kereta api, apa ini?” mataku langsung tertuju pada majalah seharga 24 ribu 500 rupiah ini. Dibandingkan majalah ini, cover majalah ini jauh berbeda dengan majalah atau tabloid lainnya. Dia satu-satunya yang bergambar kereta api, sedang lainnya biasanya potret perempuan cantik atau figur seseorang.

 

Kubaca berulang-ulang majalah itu, kulihat gambarnya, dan kucermati siapa pengelolanya. Rupanya, media ini dikelola oleh orang-orang yang kusebut sebagai ‘tergila-gila’ kepada kereta api – dan dunianya.

 

Majalah ini sudah terbit sejak setahun silam, dan terbit setiap bulan. Penampilannya cukup luks, gambarnya semua berwarna, dan liputannya semuanya terkait dengan kereta api:  mulai sejarah sebuah lokomotif uap atau diesel, peran sebuah pengelola stasiun, matinya sebuah jalur kereta, hingga feature foto tentang kereta besi itu..

 

Mestinya aku tidak kaget melihat kehadiran majalah itu. Soalnya, dari browsing internet, sebetulnya sudah ada aktivitas orang-orang penggila kereta api – sebuah tradisi yang  juga berlaku di manapun, utamanya yang wilayahnya dilalui kereta api. Mereka, para penggila itu, juga menerbitkan media yang sama (saya pernah secara iseng menemukan website penggila kereta api, yang pengelolanya melakukan semacam safari, melacak jalur rel kereta di Pulau Madura yang sudah lama mati. Mereka mencari eks stasiun di sejumlah kota, untuk sekedar melihat dan mendokumentasikannya…)

 

Tapi, faktanya, aku akhirnya tergiur setelah menelaah isi majalah itu. Ujungnya, ehm, aku ingin sekali mendapatkan edisi-edisi sebelumnya. Tidak sampai di situ, setiap awal bulan, aku mencermati pedagang majalah di stasiun Duku Atas. Dan alangkah senangnya, tatkala majalah KA edisi September, terbit pada awal bulan ini. Pada liputan khususnya, mereka mengangkat jalur kereta api di Madiun dan sekitarnya. Mereka juga mengangkat jalur kereta api tertua di Indonesia, yang melintas dari kota Semarang ke sebuah kota kecil di wilayah itu..

 

Pertanyaannya sekarang, mengapa aku begitu cepatnya kemudian jatuh cinta kepada majalah itu berikut isinya? Kufikir-fikir, ini bagian dari masa laluku, masa kanak-kanak, yang belum digali. Saat itu aku memang tergila-gila kereta api, walaupun obsesi hilang-turun seiring aku tumbuh menjadi dewasa. Kini, kenangan masa lalu itu tumbuh lagi…   

membayangkan mudik




MEMBAYANGKAN mudik lebaran, itulah yang kulakukan dalam dua-tiga pekan terakhir -- dan betapa mengasyikkan! Pada hampir tiap malam menjelang tidur, misalnya, kusempatkan ngobrol dengan anakku, Aida: membayangkan bagaimana nikmatnya mudik dengan kereta api (dia sudah 3 kali ikut mudik ke Malang, terakhir tahun 2005, dua kali naik pesawat, sekali kereta api).

“Aida mau duduk di mana, dekat jendela atau di sebelah koridor?”
“Dekat jendela dong, Lid, biar bisa lihat Pak Tani menanam padi,” jawab Aida dengan senyum yang melebar.

Istriku kuajak pula diskusi: apakah perlu dulu kita mampir di Yogyakarta, sebelum akhirnya berlabuh di Malang. “Barangkali kita nginap sehari di Yogya, untuk istirahat, jalan-jalan, sekalian jenguk buyutnya Aida,” begitu kubayangkan.

Sejauh ini, kami selalu naik kereta api ekspres Gajayana atau Argo Bromo Anggrek, untuk menuju ke Malang. Dan bila skenario mampir di Yogyakarta itu jadi, maka kami mesti naik kereta api ekspres Gajayana. Kereta ini melalui jalur selatan, sebelum akhirnya berlabuh di kota Malang. Masalahnya, menurut istriku, kereta ini berangkatnya sore, dan bisa semalaman di atas kereta. “Capek-kan?” istriku beralasan, dan aku mengiyakan.

Alasan ini memang masuk akal, dan biasanya kita tak bisa tidur nyenyak saat kereta melaju – ini pengalaman nyata saat kami berlibur, tahun 2003. Jadi, walau kita mengakui kelebihan kereta Gajayana bisa langsung menuju Malang, dan tidak lewat Surabaya (bukan rahasia lagi, setelah ada lumpur Lapindo di Sidoarjo, perjalanan darat dari Surabaya ke Malang, menjadi seperti “neraka” – lama, karena harus memutar) kami memilih alternatif kereta yang kedua. “Mau-nggak mau, kita naik Argo Bromo Anggrek, ya kan,” begitulah kurang-lebih kesimpulan kami.

Kalau nanti kami jadi naik kereta ini, maka perjalanan akan berlangsung pagi hingga malam – kereta tiba di stasiun Gubeng, Surabaya, sekitar pukul 7 malam. Saya lantas menengok wajah anakku, yang barangkali bisa lebih menikmati perjalanan di siang hari. “Nah, kita semalam bisa menginap di Surabaya, sebelum besoknya kita naik kereta api ekonomi ke Malang,” kami membayangkan demikian.

***

JUMAT, 7 September lalu, kuambil waktu liburku, untuk mengecek bagaimana memesan tiket kereta di Gambir. Tapi akhirnya kubatalkan datang ke lokasi itu, setelah kuketahui pemesanan untuk keberangkatan tanggal 13 Oktober, baru dibuka tanggal 13 September. Kami memang berencana mudik pada saat hari H lebaran. “Pasti agak sepi dibandingkan sebelum hari H,” ujar istriku.

Melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya, aku sudah membayangkan, betapa nanti antrian itu akan memanjang – dan aku berada di urutan buncit, karena datang terlambat, lantaran bangun kesiangan. Itulah sebabnya, selain alasan lain, kami lantas mencari jalan lain agar dapat tiket. “Kita beli saja dari biro perjalanan, atau pesan melalui telefon atau internet ke pihak kereta.” Tapi jawaban dari ujung telepon selalu sama: “Silakan pesan persis sebulan sebelumnya”. Artinya, saya harus menunggu tanggal 13 September ini…

***

SAMBIL menanti waktu pemesanan kereta, aku kini membayangkan apa yang bisa kami lakukan saat mudik nanti. Di bawah ini, sebagian album foto lama saat kami mudik tahun 2005 (naik pesawat) dan 2003 (naik kereta ekspres Gajayana)…

Sep 4, 2007

bila Aida baca buku...




"WALID, jangan ganggu dong, Aida 'kan sedang baca..." kalimat ini meluncur dari mulut Aida, hari Minggu lalu, di sebuah toko buku. Dia memang kuajak untuk segera ke kasir, setelah kufikir dia sudah menemukan buku idamannya. "Kan nanti bisa dibaca di rumah, Aida," ujarku mencoba meyakinkannya.

Tapi, Aida tetap memilih duduk selonjor, seraya memeloti buku tentang resep membuat kue (aku jadi ingat, Aida ikut program ekstrakulikuler memasak di sekolahnya, selain takewondo dan art and craft..).

Aku memang setengah gemas, tapi akhirnya sadar, dan kubiarkan anakku menikmati buku barunya. Dan tak berapa lama kemudian, "Aida beli buku ini ya," cetusnya seraya menunjukkan buku itu tadi. Sambil membawa buku masing-masing, kami pun bergegas ke kasir.

Kisah Aida, buku, dan kebiasaan membaca ini kuungkap, setelah aku melihat foto anak temanku Uli tengah tertidur di kereta pada sebuah perpustakaan. Di dalam teks foto, Uli mengatakan, ingin agar anaknya cinta buku..

Sejak Aida bayi, aku dan Ika secara sengaja mengenalkan dia dengan buku. Awalnya buku khusus bayi yang terbuat dari kain itu. Lama-lama buku dengan kertas yang sudutnya lembut dan aman. "Setidaknya dengan melihat, memegang dan melihat gambarnya, dia lama-kelamaan akan terbiasa dengan buku.." begitulah alasan kami.

Kami juga secara alamiah -- dan kadang-kadang, ehm, demonstratif --membaca buku atau majalah tertentu di hadapannya. Agar termotivasi, saya terutama secara iseng, meminta dia berpotret dengan koleksi bukunya. Serta tentu pula membacakan isi buku miliknya kepadanya. Juga, "yuk, kita mampir ke toko buku (kusebut nama sebuah toko buku terkenal).. Mau pengin buku apa Aida..?"

Tapi tentu yang membuat aku senang, sekolah Aida punya program bernama "hening saat membaca buku". Jadi, selain memiliki perpustakaan, sekolahnya menyediakan sekian jam pada sepekan untuk khusus membaca buku tanpa gaduh. Para muridnya juga diminta untuk mengkisahkan kembali isi buku, dan boleh dibawa pulang...

Sep 2, 2007

Qatar: Revolusi dari Atas...




"REVOLUSI dari atas,"begitulah judul laporan media tersohor terbitan Amerika, melihat perubahan di negara Qatar, sebuah negara mini di kawasan Teluk. Raja Syeid Hamad bin Khalifah Al Thani, raja negara itu, sejak pertengahan '90-an, menggulirkan apa yang disebut sebagai reformasi liberal. Mulai pembentukan parlemen terbatas, lahirnya sebuah konstitusi, hingga dibolehkannya adanya anggota parlemen perempuan.

Awal Desember 2006, di sela-sela liputan Asian Games, saya membuat laporan bersambung tentang "perubahan dari atas". Dan ternyata bukan hanya politik, di bidang ekonomi emir negara gurun itu membuka pasar bebas, mengundang investasi.

Maka, mirip tetangganya Uni Emirat Arab, yang melaju lebih awal, negara itu kini didatangi para pendatang. Sekarang hampir 1 juta jiwa mendiami negara penghasil gas terbesar, namun penduduk aslinya kurang dari 20 persennya. Sejumlah tenaga ahli asal Indonesia banyak terlibat dalam pembangunan awal negara itu, tapi buruh migran masih tetap dominan.

Sambil meliput, saya sempatkan mengambil gambar sudut-sudut kota Doha...