Dec 21, 2007

aku dan ulang tahun ke-6 anakku...

APA perasaan seorang bapak saat mendampingi anaknya berulang tahun, sementara pada tahun-tahun sebelumnya dia hampir selalu jauh dari anaknya? 

Sejujurnya pertanyaan itu buat saya. Maklumlah,  baru dua kali ini saya bisa mendampingi anakku saat perayaan ulang tahunnya. Sisanya, saya disibukkan masalah pekerjaan...  

Dan seolah ingin membayar perasaan bersalah, maka pada hari itu, Kamis 20 Desember, di hari ulang tahunnya ke-6, saya memutuskan lebih banyak berada di sampingnya. Memperhatikan dari dekat wajahnya, gerak tangan-kakinya, serta celotehnya. Itu kulakukan semenjak  dia bangun pagi, mandi, meniup lilin, membuka kertas kado, hingga mengutak-atik isi kadonya...  

Kukatakan saya hampir selalu jauh dari Aida di saat ulang tahunnya, itu bukanlah mengada-ada. Ada faktor di luar kehendak, yang menyebabkan saya mesti rela meninggalkannya, yaitu faktor pekerjaan. Desember tahun lalu (2006), misalnya, saya tengah bertugas meliput Asian Games di Doha, Qatar, sementara tahun sebelumnya (2005) saya meliput setahun tsunami di Aceh dan proses penyerahan senjata GAM di tempat yang sama.

Sebetulnya kesempatan itu ada pada Desember 2004, karena saat itu saya berada di Jakarta. Namun entah kenapa, saya tidak memilih berada di sampingnya saat pesta itu dirayakan di sekolahnya. Aku tidak ingat persisnya, tapi ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda -- tapi seharusnya aku bisa datang barang dalam hitungan menit saat itu...        

Tetapi yang bikin sesak dada, adalah ulang tahunnya ke-1 tahun 2002. Jelas aku hanya bisa memendam rindu, dan berulang-ulang hanya bisa memandang fotonya dari kota London -- foto-foto yang dikirim istriku melalui email itu, akhirnya kucetak dan kupasang di tembok, di dekat tempat tidurku, di penginapan milik kantorku. Dan akhirnya, keindahan kota London, yang hanya kunikmati sendiri, membuat perjalanan tugas itu menjadi kurang sepenuhnya berkesan..  

Beruntung tahun 2003 (ulang tahunnya ke 2), aku bisa disampingnya. Aku ingat saat itu dia mengenakan baju putri warna putih gading dengan mahkota warna perak. Sebuah pesta kecil, dengan mengundang teman-teman sebaya di komplek rumah neneknya, pun digelar. Ini adalah pesta pertamanya dengan mengundang teman-temannya. Mulai saat itu pula dia mulai mengenal "pesta ulang tahun" dan "kado"... 

Dan hari Kamis lalu, tanpa pesta, Aida kembali merayakan hari ulang tahunnya, dan saya kembali hadir disampingnya. Saya dan istri sengaja tidak membuatkan pesta buat dia. "Tidak ada keharusan merayakan ulang tahun dengan sebuah pesta," kata kami, berulang-ulang. Namun kami hadirkan kekhasan perayaan ulang tahun, dengan sebuah kue tart coklat (plus lilin angka 6), kado ulang tahun, dan nasi kuning -- yang disebut belakangan ini produk neneknya. Saya, istriku, nenek-kakeknya serta tantenya menjadi saksi usianya memasuki 6 tahun... 

Lega rasanya akhir tahun ini, aku berada dekat di samping Aida-ku...    

 

 

aku dan ulang tahun ke-6 anakku...

APA perasaan seorang bapak saat mendampingi anaknya berulang tahun, sementara pada tahun-tahun sebelumnya dia hampir selalu jauh dari anaknya?
Sejujurnya pertanyaan itu buat saya. Maklumlah, baru dua kali ini saya bisa mendampingi anakku saat perayaan ulang tahunnya. Sisanya, saya disibukkan masalah pekerjaan...
Dan seolah ingin membayar perasaan bersalah, maka pada hari itu, Kamis 20 Desember, di hari ulang tahunnya ke-6, saya memutuskan lebih banyak berada di sampingnya. Memperhatikan dari dekat wajahnya, gerak tangan-kakinya, serta celotehnya. Itu kulakukan semenjak dia bangun pagi, mandi, meniup lilin, membuka kertas kado, hingga mengutak-atik isi kadonya...
Kukatakan saya hampir selalu jauh dari Aida di saat ulang tahunnya, itu bukanlah mengada-ada. Ada faktor di luar kehendak, yang menyebabkan saya mesti rela meninggalkannya, yaitu faktor pekerjaan. Desember tahun lalu (2006), misalnya, saya tengah bertugas meliput Asian Games di Doha, Qatar, sementara tahun sebelumnya (2005) saya meliput setahun tsunami di Aceh dan proses penyerahan senjata GAM di tempat yang sama.

Dec 16, 2007

Rabu (19/12), Borussia Dortmund lawan Tim Nasional Indonesia

Start:     Dec 19, '07 05:00a
Location:     Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta
SETENGAH tidak percaya, kabar rencana kedatangan kesebelasan Borussia Dortmund (salah-satu klub sepak bola peserta Liga Utama Jerman, yang kini di urutan 9) ke Jakarta, saya terima dari rekan sekantor, awal pekan lalu. Klub berseragam kuning-hitam itu akan bertanding melawan tim senior nasional Indonesia, hari Rabu, 19 Desember ini, di Stadion Gelora Bung Karno. "Jangan-jangan yang datang hanya pemain cadangannya," tanyaku, setengah berkelakar.

Saya kurang percaya, karena sejauh ini minim sekali promosi atas rencana pertandingan itu. Itulah sebabnya, diwarnai penasaran, saya lantas mengecek langsung ke website milik PSSI, dan ternyata rencana itu tidak salah. Menurut situs web itu, Dortmund akan membawa 18 pemain terbaiknya, tapi minus dua pemain bintangnya. Striker asal Swiss Alexander Frei dan gelandang Jerman Lars Ricken, dipastikan tidak hadir di Jakarta, karena alasan cidera.

Situs PSSI menjelaskan, selain membawa 18 pemain, klub yang pernah melahirkan pemain bertahan tim nasional Jerman, Jurgen Kohler dan Matthias Sammer ini, akan menghadirkan sang pelatih utama, yang juga mantan pemain timnas Jerman Thomas Doll.

Borussia Dortmund dijadwalkan tiba di Jakarta pada hari Senin (17/12) pukul 19:20 WIB lewat penerbangan SQ. Tim akan menginap di Jakarta Intercontinental Hotel. Menurut PSSI, pada Selasa (18/12), para pemain Dortmund akan berlatih di Stadion Utama Gelora Bung Karno mulai pukul 09:30 WIB. Latihan ini sekaligus digunakan untuk mencoba lapangan yang akan menjadi arena pertandingan nanti.

Acara jumpa pers dengan para wartawan pra pertandingan akan dilangsungkan di Jakarta Intercontinental Hotel pukul 13.00 WIB. Selanjutnya para pemain akan mengadakan coaching clinic dengan sekolah sepakbbola dan sekolah Jerman di Jakarta. Acara ini berlangsung di kawasan Mesjid Al Bina, Senayan Jakarta. Dalam kesempatan tesebut juga sekaligus dijadikan ajang jumpa fans.

Acara pada hari Selasa (18/12) itu akan diakhiri dengan welcome dinner para pemain dan ofisial Dortmund dengan direksi Media Nusantara Citra di Jakarta Intercontinental Hotel. Panitia juga akan memberikan undangan khusus kepada media dalam acara ini.

Pertandingan antara timnas Indonesia vs Borussia Dortmund sendiri akan berlangsung mulai pukul 17:00 WIB. Pertandingan tersebut, menurut PSSI, akan disiarkan langsung oleh Stasiiun Televisi RCTI.

Skuad Dortmund :
Goalkeepers
Roman Weidenfeller (Jerman)
Marc Ziegler (Jerman)

Defenders
Martin Amedick (Jerman)
Markus Brzenska (Jerman)
Dede (Brasil)
Robert Kovac (Kroasia)
Cristian Worns (Jerman)

Midfielders
Jaukb Blaszczykowski (Polandia)
Giovanni Federico (Jerman)
Daniel Gordon (Inggris)
Sebastian Kehl (Jerman)
Florian Kringe (Jerman)
Marc-Andres Kruska (Jerman)
Sebastian Tyrala (Jerman)

Strikers
Delron Buckley (Afrika Selatan)
Diego Fernando Klimowicz (Argentina)
Mladen Petric (Kroasia)
Nelson Valdez (Paraguay)

Dec 12, 2007

Fuad Hassan, kematian, dan kalimat itu...

KEMATIAN adalah bagian dari kehidupan itu sendiri -- jadi, jangan terlalu difikirkan, begitu kata kaum eksistensialis. Tapi tetap saja, kematian hampir selalu mengundang ratapan, tangisan, dan membuat orang untuk mengenang -- seolah mereka menolak apa yang disebut sebagai keterpisahan... 

Kematian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, pada Jumat (7 Desember) pekan lalu, membuatku teringat  aforisme itu. Mendiang Fuad, yang dilahirkan di Semarang, tahun 1929 ini, memang dikenal dekat pemikiran eksistensialis. Tapi kenapa aku tergoda mengenang almarhum?  

Kepergian Fuad memang tak membuatku sampai meratap, namun peristiwa itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang pernah dia utarakan, lebih dari 13 tahun silam -- sebuah kalimat yang kelak mewarnai sikapku dalam menjalani hidup.  Kini  saya terkenang kembali kalimat itu,  yang dia utarakan dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Detik, tahun 1993. 

”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya, apakah saya keturunan Arab..."

Begitulah Fuad Hassan menjawab pertanyaan "apakah betul Anda keturunan Arab"  yang diutarakan reporter tabloid tersebut. Saat itu, saya merasa gagal memahami apa maksud kalimat guru besar Universitas Indonesia itu, yang pernah belajar filsafat di Universitas Toronto, Kanada. Berulangkali kucermati, tapi tetap saja tidak nyambung.

Seolah untuk menyelami, dan mengerti kalimat itu dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku akhirnya dipaksa melupakan kalimat tersebut.   

Ternyata, seperti dikatakan sejumlah orang yang pernah belajar filsafat, pemahaman itu biasanya muncul dalam ruang dan waktu tertentu -- Bryan Magee, filosof-seniman asal Inggris, misalnya, butuh menyepi di sebuah kota kecil di Perancis untuk bisa memahami makna pikiran filosof Schopenhauer.

Dan saya butuh pengalaman kongkrit, dengan menikahi seorang perempuan bernama Ika, dan hidup satu rumah sejak akhir tahun 2000. Perempuan  yang kunikahi itu, meminjam kalimat wartawan tabloid itu tadi, bukanlah "keturunan Arab". Dia dilahirkan dari seorang kelahiran Kerinci (di pinggiran propinsi Jambi) dan ibu kelahiran Solo, Jawa Tengah.

Hidup bersama, dan setiap detik, menatap matanya dan mendengarkan kata-katanya, juga suasana hatinya. Tidur satu kasur, berpelukan, hingga lahir satu anak perempuan, setahun kemudian. Dari sinilah kemudian kalimat Fuad Hassan itu tadi menemukan bentuk kongkritnya..

Melalui kalimatnya itu, kutafsirkan Fuad tidak sepenuhnya setuju dengan pertanyaan wartawan itu, yang ingin merangkum atau mengkategorikan sosoknya sebagai "keturunan Arab" semata -- atau Cina, Jawa, atau Madura, sebutlah. Dia menolak kategori bernada sosiologis itu karena dirinya sepenuhnya bebas, tidak tunduk kepada latar suku, atau ras, yang ditempelkan orang lain kepadanya. "Saya-lah yang berhak menentukan siapa diri saya..."  

Saya tidak menampik latar belakang budaya, lingkungan, yang membesarkan saya. Tapi dalam konteks ini, saya memilih di pihak Fuad. Dan ini bukan sekedar lontaran dari otak sebelah kananku, dan bukan 'kebenaran' hasil sekedar analisa semata. Namun, “Jawabanku adalah pengalamanku,” demikian kataku, yang acap kubisikkan kepada istriku. Kukatakan sebagai "pengalamanku" karena menurutku dari sanalah aku ada sekarang.. 

Kubayangkan mendiang Fuad berfikir keras atas pertanyaan wartawan itu, sebelum menjawabnya. Seolah-olah dia ingin mengatakan, alangkah piciknya bila  seseorang dinilai hanya dari hidungnya, rambutnya, atau kulitnya.  Dan aku begitu yakin, dia bukan sekedar menjawab, tapi mengajak berfikir si penanya, untuk menunjukkan sikapnya dalam berfikir dan menghadapi hidup. “Aku bisa memutuskan siapa aku sebenarnya, bukan orang lain," kira-kira begini tafsirku atas kalimat Fuad Hassan.. 

Fuad Hassan memang telah tiada. Walau saya tak pernah mengenalnya secara pribadi,  kalimat itu akan hidup terus, setidaknya pada diriku saat ini. Dan dalam ruang dan waktu di mana budaya komunal begitu mencengkeram kuat, kalimat mendiang Fuad itu kuanggap masih relevan -- paling tidak direnungkan ulang. Kuakui ide yang tertuang dalam kalimat itu memang tidak orisinal, karena telah difikirkan oleh para pemikir bahkan sebelum abad ini. Tapi kufikir Fuad meneguhkan kembali pikiran itu, dan menemukan momentumnya saat ini. 

Aku tahu, kau akan mengatakan kematian adalah bagian dari kehidupan, dan berulang-ulang kau meminta agar aku enyahkan ratapan, karena "riwayatku hanya sampai di sini". Tapi, untuk kali ini, biarkanlah aku berucap: selamat jalan Fuad Hassan -- entah kemana.  

   

Fuad Hassan, kematian, dan kalimat itu...

KEMATIAN adalah bagian dari kehidupan itu sendiri, begitu kata kaum eksistensialis. Tapi tetap saja, kematian hampir selalu mengundang ratapan, tangisan, dan membuat orang untuk mengenang -- seolah menolak keterpisahan...
Setidaknya seperti itulah pengalamanku saat mendengar kematian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, pada Jumat (7 Desember) pekan lalu.
Kepergian Fuad memang tak membuatku sampai meratap, namun peristiwa itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang pernah dia utarakan, lebih dari 13 tahun silam -- sebuah kalimat yang kelak mewarnai sikapku dalam menjalani hidup. Kini saya terkenang kembali kalimat itu, yang dia utarakan dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Detik, tahun 1993.
”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya, apakah saya keturunan Arab..."
Begitulah Fuad Hassan menjawab pertanyaan "apakah betul Anda keturunan Arab" yang diutarakan reporter tabloid tersebut. Saat itu, saya merasa gagal memahami apa maksud kalimat guru besar Universitas Indonesia itu, yang pernah belajar filsafat di Universitas Toronto. Berulangkali kucermati, tapi tetap saja tidak nyambung.

Dec 11, 2007

Main bola di taman sekolah anakku...

DUA pahaku sejak Senin lalu terasa pegal. Setiap jongkok, dan berdiri lagi, nyerinya luar biasa! Kuingat-ingat, apa penyebab rasa nyeri itu, tapi tetap tak terjawab. Sampai tadi pagi, barulah aku ingat. Rupanya ini akibat aktivitas olahraga dadakan yang kulakukan saat menemani istri ke sekolah anakku, Sabtu lalu (8 Desember). 

Aku berolahraga? Boleh percaya atau tidak, setelah lebih dari 10 tahun istirahat tidak bermain bola (secara amatir, tentunya), aku hari itu memainkan bola bulat itu, lebih dari setengah jam. Lokasinya di taman sekolah anakku -- disaksikan anakku dan teman-temannya..

Ya, anakku di hadapan dua teman cowoknya, lantas dengan santainya nyeletuk, "Lihat walidku jago main bola.. Coba Lid, pakai kepala.." Aku yang semula segan, ternyata menuruti kemauannya itu tadi. Bola kulit itu kumainkan dengan kepala, berulang-ulang, dan disusul dengan kaki kanan-kiri. Semuanya kulakukan dengan sadar..

Semula hari itu aku bertugas jaga anakku, sementara istriku menghadiri rapat pembentukan organisasi orang tua di sekolah anakku -- dihadiri mayoritas para ibu-ibu. Aku memilih duduk tidak jauh dari taman yang rindang, seraya memegang buku, dan memperhatikan anakku bermain. Taman sekolah anakku, meski tidak luas, tapi nyaman: ada pohon tinggi, rumput yang tebal, ayunan, serta tempat duduk. 

Terkadang aku mesti berdiri dan menghampiri anakku -- bila tingkahnya aneh atau membahayakan.  Tetapi aktivitas ini tidak lama, setelah kulihat anakku asyik dan terlihat aman bermain. Mulailah aku bisa sedikit konsetrasi membaca. Namun konsentrasiku mulai buyar tatkala teman cowok anakku mengambil bola kulit (dari keranjang), dan bermain di taman itu. Sampai di sini, kakiku mulai gatal, dan otakku berputar: wah, asyik juga nih main bola...      

Dasar anak-anak, tidak bisa konsentrasi pada satu permainan, bola itu akhirnya ditinggal. Anak cowok itu pindah ke mainan ayunan, bermain dengan anakku dan satu cowok lagi. Aku pun dengan kesadaran penuh, mendekati bola itu dan kemudian memainkannya -- ya, ampun, luar biasa nyamannya bisa memainkan bola! Tentu saja, seraya memainkannya, aku menoleh ke kanan-kiri, apakah ada yang melihat aktivitasku -- ternyata aman-aman saja (tujuh meter dari taman itu, di dalam klas istriku dan para ibu sedang rapat, sementara anakku berjarak sekitar 4 meter dari tempatku bermain).

Mengetahui bapaknya asyik bermain bola, anakku pun berkomentar. Dia berkata kepada dua teman cowoknya, kalau bapaknya jago main bola. Dia lantas meminta aku memainkan bola dengan kepalaku. Anehnya, aku menurutinya, seraya kuperhatikan senyum kemudian mengembang di bibir anakku -- dan kupikir "apa ya yang ada di benak anakku melihat bapaknya yang sudah berumur bermain bola sendiri.."

Tapi, itulah, hampir setengah jam aku habiskan waktu dengan bermain bola, seorang diri. Keringat pun keluar, yang membuat badanku menjadi hangat -- aku saat itu agak flu. Badan rasanya jadi agak segar. Namun yang membuat aku puas, aku akhirnya bisa bermain bola kembali, setelah lebih dari 10 tahun berhenti total -- terakhir aku dan teman-teman wartawan di Kota Malang, bertanding informal dengan tim Arema di Stadion Gajayana, tahun 1995.. 

Sejak 'pertandingan' terakhir itulah, aku tak pernah lagi menyentuh bola bundar, sampai kejadian di taman sekolah anakku, akhir pekan lalu. Padahal, sejak umur 9 tahun, aku tergila-gila bermain bola. Alun-alun kota Malang, stadion sepakbola kota Malang, stadion kampus Unibraw (dulu sempat jadi anggota tim cadangan kampusku) adalah saksi hidup perjalanan itu.

Setiap ada kesempatan, di manapun (di dalam kamar tidur sekalipun sampai Stadion Petrokimia Gresik saat masuk tim remaja Persema, tahun 1983), aku selalu memainkan bola. Semuanya ini berhenti pelan-pelan saat aku mulai kerja sebagai kartunis sebuah koran lokal di Malang (tahun 1994)..     

Kini, walau sadar fisik tak lagi muda, masih ada keinginan bermain bola -- setidaknya ikut bertanding dalam sebuah tim, misalnya. Tapi selalu tidak ada waktu dan kesempatan. Itulah sebabnya hal ini akhirnya menjadi semacam keinginan yang terpendam. Makanya, saat ada kesempatan sekecil apapun, dan ada bola bundar serta lapangan rumput seadanya, aku pun memanfaatkannya. Ini yang terjadi di taman sekolah anakku, Sabtu kemarin -- walaupun akhirnya paha kakiku terasa pegal-pegal.

Sekarang, saat menuliskan kisah ini, aku tertawa sendiri melihat tingkahku..   

Main bola di taman sekolah anakku...

DUA pahaku sejak Senin lalu terasa pegal. Setiap jongkok, dan berdiri lagi, nyerinya luar biasa! Kuingat-ingat, apa penyebab rasa nyeri itu, tapi tetap tak terjawab. Sampai tadi pagi, barulah aku ingat. Rupanya ini akibat aktivitas olahraga dadakan yang kulakukan saat menemani istri ke sekolah anakku, Sabtu lalu (8 Desember).
Aku berolahraga? Boleh percaya atau tidak, setelah lebih dari 10 tahun istirahat tidak bermain bola (secara amatir, tentunya), aku hari itu memainkan bola bulat itu, lebih dari setengah jam. Lokasinya di taman sekolah anakku -- disaksikan anakku dan teman-temannya..
Ya, anakku di hadapan dua teman cowoknya, lantas dengan santainya nyeletuk, "Lihat walidku jago main bola.. Coba Lid, pakai kepala.." Aku yang semula segan, ternyata menuruti kemauannya itu tadi. Bola kulit itu kumainkan dengan kepala, berulang-ulang, dan disusul dengan kaki kanan-kiri. Semuanya kulakukan dengan sadar..
Semula hari itu aku bertugas jaga anakku, sementara istriku menghadiri rapat pembentukan organisasi orang tua di sekolah anakku -- dihadiri mayoritas para ibu-ibu. Aku memilih duduk tidak jauh dari taman yang rindang, seraya memegang buku, dan memperhatikan anakku bermain. Taman sekolah anakku, meski tidak luas, tapi nyaman: ada pohon tinggi, rumput yang tebal, ayunan, serta tempat duduk.
Terkadang aku mesti berdiri dan menghampiri anakku -- bila tingkahnya aneh atau membahayakan. Tetapi aktivitas ini tidak lama, setelah kulihat anakku asyik dan terlihat aman bermain. Mulailah aku bisa sedikit konsetrasi membaca. Namun konsentrasiku mulai buyar tatkala teman cowok anakku mengambil bola kulit (dari keranjang), dan bermain di taman itu. Sampai di sini, kakiku mulai gatal, dan otakku berputar: wah, asyik juga nih main bola...

Dec 10, 2007

The Conductors, sebuah filem tentang dirigen suporter sepakbola..

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Documentary
"KALAU elo nggak nonton filem gue, layak dipertanyakan semangat Aremania elo..." Begitu kira-kira pesan bernada seloroh yang masuk ke telepon selulerku, pekan lalu. Pengirimnya adalah Andi Yusuf Bachtiar, alias Ucup, pembuat filem dokumenter...

Rupanya, Ucup tengah mempromosikan filem dokumenter barunya, The Conductors, yang terpilih untuk diputar dalam Jakarta International Film Festival (Jiffest 2007). Dia mengundang saya untuk menyaksikan pemutaran filemnya yang berkisah tentang dirigen atau konduktor suporter sepakbola klub sepakbola..

Dan Minggu sore kemarin (9 Desember), saya pun memenuhi undangannya. Filemnya diputar di bioskop Blitz 7, di komplek pertokoan Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Ucup, didampingi istri dan anaknya (yang masih bayi), terlihat bersemangat saat memberikan kata sambutan sebelum filemnya diputar.

Seperti filem dokumenter pertamanya, The Jak (versi pendeknya memenangkan sebuah festival filem dokumenter di Berlin, Jerman, tahun 2005), yang memotret fanatisme suporter Persija Jakarta, filem ini juga berlatar pendukung klub sepakbola. Bedanya, filem ini lebih menampilkan sosok dirigen yang memimpin para suporter bernyanyi selama pertandingan. "Itu kan gila, bagaimana penjelasannya, seseorang bisa memimpin sekitar 50 ribu-an, untuk bernyanyi selama pertandingan berlangsung," jelas Yusuf, dalam sesi tanya-jawab, saat ditanya kenapa memilih tema tersebut.

Dan saat filem diputar, penonton langsung dihipnotis gambar ribuan suporter Arema Malang tengah bernyanyi di sebuah stadion, serta seorang lelaki kurus yang bertindak sebagai dirigen. Lelaki itu, Yuli ‘Soemphil’ Sugianto, berdiri di atas pagar besi, memainkan dua tangannya, memimpin para suporter itu untuk bernyanyi. Kamera bergantian menyorot Yuli dan terkadang para penonton itu..

Tapi, tentu saja, kamera tidak berhenti sekedar menyorot peristiwa di stadion. Sebagai filem dokumenter, Yusuf mengajak penonton untuk menyelami sisi keseharian Yuli, si konduktor itu tadi. Selain mewawancarainya, filem itu juga menyelusuri bagaimana kehidupan ekonomi Yuli -- dia ternyata agen penjual minuman mineral (ada pemandangan syahdu, saat Ucup berhasil merekam Yuli mendorong galon air mineral ke pelanggannya..)

Namun apakah kemudian filem berdurasi 85 menit itu hanya berputar pada konduktor sepakbola? Di sinilah kecerdikan Yusuf. Mungkin dilatari motivasi agar penonton lebih menyelami peran konduktor alami ala Yuli itu tadi, Yusuf memasukkan dua tokoh lainnya dalam filemnya. Dua orang itu berprofesi sebagai konduktor dalam arti sesungguhnya, yaitu Addie MS, pemimpin orkestra terkemuka Twilite Orchestra, dan satu lagi seorang pria pemimpin paduan suara Universitas Indonesia, AG Sudibyo. Mirip si Yuli, Yusuf merekam pula keseharian dan mewawancarai dua orang itu.

Sepanjang filem, kamera Yusuf berpindah-pindah dari tiga sosok itu -- mulai aktivitasnya, kesehariannya, hingga obsesi mereka atas profesinya. Terlihat sekali, pembuat filem ingin membandingkan bagaimana mereka 'menghipnotis' orang-orang untuk menyanyi, atau memainkan alat musiknya secara rancak, dengan caranya masing-masing.

Dan dari gambar-gambar yang ditampilkan, tanpa harus berkhotbah, Yusuf terlihat berhasil menampilkan perbedaan itu. Misalnya saja, bagaimana Addie MS menyusun persiapan konsernya, yang terkesan tidak gampang, serius, dengan bantuan komputer segala. Dengan sedikit perbedaan, konduktor Sudibyo dideskripsikan pula bagaimana pandangannya tentang profesinya. Sementara, sebaliknya, Yuli digambarkan lebih mengandalkan improvisasi di lapangan. "Saya tak butuh persiapan apa-apa.." tandas Yuli, seraya tertawa.

Usai pemutaran filem, Yusuf mengatakan, filem ini dibuat karena rasa cintanya terhadap dunia sepakbola, berikut persoalan sosial yang ada di sekelilingnya. Dia menolak anggapan bila filemnya membawa pesan seolah-olah sepakbola Indonesia melulu berisi tawuran antar suporter. "Terserah penilaian orang, tetapi faktanya seperti inilah sepakbola Indonesia.. dan kayaknya, ya, di mana-mana seperti itulah fanatisme sepakbola.." kata Yusuf Bachtiar seraya menambahkan, ke depan dia masih ingin membuat dokumenter tentang sepakbola...

Sebagai pegila sepakbola, tentu kutunggu filem-filemmu berikutnya, Cup..


Dec 3, 2007

Persepolis, filem Perancis berlatar Revolusi Iran.. (Jiffest 2007)

Start:     Dec 9, '07 09:30a
End:     Dec 13, '07 07:00a
Location:     Jakarta
AKHIR pekan lalu, saya membaca buklet acara Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2007, di kantorku. Ini adalah pagelaran ke-9 semenjak festival ini dilaksanakan sekian tahun lalu -- acaranya mulai digelar tanggal 7 Desember (Jumat) dan berakhir 16 Desember Minggu).

Sekilas melihat isi buklet itu, yang berisikan jadwal pemutaran filem berikut bioskopnya, saya menemukan satu filem pembuka berjudul Persepolis. Khusus untuk undangan, filem ini diputar tanggal 7 Desember, sementara untuk umum tanggal 9 Desember di Djakarta Theatre 1 (21.30 WIB) dan tanggal 13 Desember di bioskop Blitz, pukul 19.00 WIB.

Dari buklet itu, filem ini disebutkan bercerita tentang seorang perempuan Iran yang hidup di Teheran, tahun 1978. Saat itu dia menikmati kehidupannya dengan bermimpi menjadi pemimpin masa depan, dan mendengarkan musik punk atau lagu-lagu ABBA.

Tapi, kehidupan Marjane berubah saat revolusi Islam mulai digencarkan di negara itu, dan memaksa orang tua Marjane memindahkannya ke Austria saat dia berusia 14 tahun. Sempat merasakan kebahagiaan di tempat baru, walaupun akhirnya merasa kesepian, Marjane memutukan untuk kembali ke Iran selesai sekolah, dan mengenakan jilbab.

Namun, waktu terus berjalan dan saat Marjane sudah menginjak dewasa. Marjane sadar bahwa dia tidak bisa tinggal di Iran. Marjane akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya dan pindah ke Perancis dengan semangat untuk membuat masa depannya lebih baik.

Tentu saja, ada filem-filem lainnya yang diputar serempak selama sepekan, sebagai rangkaian dari Jakarta International Filem Festival 2007 itu sendiri. Selamat menikmati...

Aida dan adik-adiknya: Kasta, Oscar, Little Lamb..

DUA pekan lalu, anakku  tiba-tiba mengajakku bermain boneka. Ini bukan kali pertama. Sudah berulangkali dia mengajakku, dan permintaannya terkadang tak kupenuhi. Tapi dua pekan lalu, aku sepenuhnya menuruti kemauannya itu.. 

Kejadiannya selalu menjelang tidur malam -- setelah aku mandi, usai pulang kerja. Biasanya Aida minta agar aku memerankan 3 boneka kesayangannya: Kasta Trilili, Oscar Amir dan Little Lamb (lihat foto di samping). Dia meminta agar aku mengeluarkan suara-suara, seolah-olah atas nama bonekanya..

Terkadang permintaannya memang tak kupenuhi, dengan berbagai alasan -- dan biasanya kualihkan dengan aktivitas lain, misalnya membaca, atau mendongeng. Namun malam itu aku tak kuasa menolaknya..

Dan disaksikan istriku, malam itu berlagaklah aku seperti wujud boneka-boneka itu. Kalau boneka Kasta, kira-kira wujud anak perempuan berusia 4 atau 5 tahun, sementara Oscar adalah nama bayi lelaki usia 1 tahun, sedangkan Little lamb adalah boneka anak kambing yang bisa bicara (yang terakhir ini bonekanya sejak bayi, yang kemanapun sering dia gendong)...

Kutafsirkan, Aida sangat menikmati tatkala aku bersuara --  seolah-olah para boneka itu sendiri sedang bercakap dengan dirinya. Seraya kupegang 3 boneka secara bergantian, aku buat boneka itu memerankan figur yang tengah gembira, sedih, atau bercanda. Anakku selalu menjawab pertanyaan atau tanggapan 'adik-adiknya' itu. Terkadang dia terbahak-bahak, kalau jawabannya membuat perutnya terkocok-kocok. "Lagi dong Lid, omongin suara si Kasta..." terus dia mengajukan permintaannya itu. 

Aida suatu saat berkata padaku, boneka-boneka itu adalah adik-adiknya. Dia tidak mau kalau boneka Kasta, yang perawakannya paling besar, adalah kakaknya. Dan boneka Oscar, berkepala botak persis bayi, adalah adiknya nomor dua, dan terakhir adalah anak kambing itu..

Malam itu, aku sungguh menuruti kemauannya -- dengan sepenuh hati. Di saat memerankan boneka itulah, kadang mataku berkaca-kaca.  Ada semacam perasaan nelangsa yang hinggap di otakku. Semacam ada pertanyaan, apakah dia begitu kesepian sehingga boneka-boneka itu dia tahbiskan sebagai 'adik-adiknya' (3 boneka itu dia pilih dari lebih dari 20 boneka, dan dia letakkan di sudut tempat tidurnya)..

Aku jadi ingat pula, dia begitu bahagia sekali tatkala sepupunya datang ke rumah -- yang selalu dia rindukan setiap saat. Itulah sebabnya, di saat perasaan seperti itu muncul, aku ada perasaan berdosa meninggalkan dia berlama-lama. Dan memang, kenyataannya, dalam banyak hal, tak gampang merealisasikan agar bisa bersamanya -- dalam waktu yang berlebih...

Tapi betulkah anakku kesepian? Seperti apakah kesepian pada anak-anak seumur dia? Apakah pertemanan harus seusianya, dan bagaimana bila temannya itu orang dewasa?

Saya jadi ingat, kisah rekan senior di kantorku. Saat tinggal di London, dia mengaku pernah menangis sendiri, tatkala melihat anak tunggalnya bermain sendiri di depan komputer. Dia membandingkan masa kanak-kanaknya -- saat dia bermain dengan teman-teman sebayanya di Jawa Tengah, di sebuah kampung. "Saya membayangkan anak saya kesepian, yang seharian hanya 'bermain' di depan komputer," katanya kepada saya.

Di tengah pertanyaan seperti itu, yang sebagian belum terjawab, saya sejauh ini akhirnya memilih menuruti kemauan anakku untuk bermain boneka. Saya ingin memerankan sebagai temannya, selain ayahnya -- yang masih kesulitan punya waktu berlebih dengannya.

Maafkan ayahmu, nak.. 

 

  

Tahu Campur 'Arteri Pondok Indah'

Rating:★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Jakarta Selatan
HARUS menunggu lebih dari 4 tahun, semenjak tinggal di Jakarta (tahun 1997, Februari), saya akhirnya bisa merasakan Tahu Campur Lamongan, yang cocok di lidah -- sebelumnya hampir tak pernah, kecuali jika saat mudik ke Malang...

Kejadiannya antara tahun 2000-2001, itu pun atas inisiatif istriku, yang kebetulan pernah mampir dan makan di warung Tahu Campur Lamongan (nama kota pesisir di Jatim, sekitar 80 kilometer dari Surabaya), di Jalan Arteri Pondok Indah (sekarang, Jalan Iskandar Muda), Jakarta Selatan. Hampir tiap malam, sepulang kerja, kami lewati jalan itu, sehingga mau-tidak-mau mata kami tertuju ke warung tersebut..

Kalau ditanya kenapa harus menunggu lebih dari 4 tahun, jawabannya bisa macam-macam. Pertama, barangkali lantaran saya awalnya kurang begitu tertarik wisata kuliner -- sehingga tak bernafsu memburu makanan kesukaan. Kedua, ini jawaban klasik, alasan kesibukan pekerjaan (sehingga cari makan sekenanya, yang sesuai selera, dan bisa mengganjal rasa lapar). Tapi semua alasan ini hilang perlahan semenjak saya menikah...

Akhir pekan lalu, saya dan istri kembali menggoyang lidah, mengudap tahu campur Lamongan itu. Saat pulang dari kantor, di tengah-tengah kebingungan "harus makan apa", tiba-tiba terlintas untuk mampir ke warung di pinggir jalan itu -- letaknya di sisi kiri Jalan Iskandar Muda, dari arah Kebayoran Lama (baru), setelah toko Holland Bakery. "Kita udah lama nggak makan di sana, kayaknya enak laper-laper begini," kataku seraya melirik istriku.

Walaupun kami sadar agak butuh energi untuk mengambil jalan ke posisi kiri, karena padatnya lalu-lintas, dan polusi yang lumayan tinggi, tapi kami memutuskan untuk mampir ke sana. "Perut kosong rupanya mengalahkan segalanya," begitulah saya berkata pada diri-sendiri, hampir selalu, seolah menisbihkan faktor-faktor itu tadi..

Tapi memang rasa tahu campur itu tidak mengecewakan, setidaknya itu menurutku. Istriku yang dulu kurang begitu suka, belakangan mengatakan "lumayan enak juga". Saya, seperti biasa, kesulitan mendeskripsikan apa faktor penyebab makanan itu pas di lidah. Akhirnya yang kulakukan, membandingkan dengan makanan serupa yang kupesan di tempat lain. "Bedanya pada bumbunya, lebih terasa, nggak anyep," jelasku, kalau ditanya apa enaknya tahu campur 'arteri pondok indah'...

Setahuku, isi makanan Tahu Campur itu terdiri: tahu goreng, sayur sawi, daging sapi yang dipotong kecil-kecil, lengkap dengan tulang lunaknya, serta cingur (istilah lainnya apa ya?), perkedel kentang. Lainnya adalah bumbu petis, mie kuning.. dan krupuk..

Sebagian orang-orang asal Jatim yang kukenal, mengaku pernah mampir ke warung itu. Salah-satunya teman asal Jember, yang sudah lama tinggal di London. Kuajak pertama kali 3 tahun silam, sekarang dia selalu bertanya "masih mampir ke warung tahu campur itu Fan.." Pertanyaan ini kutafsirkan bahwa seleranya sama denganku..

Mungkin kekurangan warung itu (atau justru kelebihannya?), letaknya di pinggir jalan -- walaupun tetap saja banyak mobil berderet parkir di depan warung itu, yang pemiliknya beraksen Jawa Timur-an, pada malam-malam tertentu (belakangan, pemilik warung itu menyewa lahan parkir gedung kantor di belakangnya, sebagai lokasi parkir)..

Juga tempat duduknya yang terbatas, membuat konsumen harus menunggu di luar bila kursi penuh -- ini tentu sulit kalau Jakarta tengah diguyur hujan. Lainnya? "Itu vitamin D, yang selalu kita hirup kalau lagi nongkrong di warung itu," seloroh istriku. Vitamin D yang dimaksud itu adalah "Debu"...

Pada malam itu, usai makan 1 piring ditambah sepotong lontong, saya iseng tanya, kenapa tidak pindah ke lokasi yang lebih baik, pemiliknya cuma tertawa. Dia cuma cerita, warung ini didirikan tahun 1994, dan tidak pernah ke mana-mana. "Dulu warung kita di sebelah sana, karena pemilik gedungnya nggak berkenan kita sewa lagi, ya lantas kita pindah" jelasnya. Sekarang keluarga asal Lamongan itu mendirikan tenda di depan sebuah gedung lainnya (kira-kira 200 meter dari lokasi yang lama), dengan cara "membayar kepada petugas tramtib" secara teratur dan membayar sewa lahan parkir pemilik gedung...