Aug 30, 2007

Dubai, Desember 2006




SEBUAH kota yang tumbuh nan cepat, begitulah julukan yang ditahbiskan kepada Dubai -- sebuah daerah semi otonomi di Uni Emirat Arab. Bayangkan, wilayah ini dulu hanya tanah kerontang yang melulu pasir, tapi karena minyak semuanya berubah. Kini semua orang berpaling ke kota ini, entah untuk berbelanja, menanam investasi atau mencari hiburan. Dalam waktu dekat, bahkan, akan lahir gedung pencakar lahir tertinggi di dunia -- "ada kesan, warga Dubai yang kaya-kaya itu berlomba gengsi dengan bikin gedung yang paling jangkung," celetuk kerabatku. Kota itu juga didatangi para pekerja imigran dari seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia (Di sebuah mal raksasa di kota itu, saya makan siang di sebuah restoran, yang dikelola koki dan karyawan asal Indonesia -- lupa nama restorannya, tetapi menjual pizza yang terkenal). Dan sebagai kota kosmolit, dan semua warga dunia ada di sana, maka sulit membedakan apakah ini sebuah kota di Eropa atau Timur Tengah...

Abu Dhabi, Desember 2006




DIBANDINGKAN Dubai, kota Abu Dhabi, ibukota administratif Uni Emirat Arab, jauh lebih tenang. Jauh dari hiruk-pikuk seperti kota tetangganya itu. "Dan berkunjunglah pada sekitar Desember, maka hawanya akan terasa nyaman," begitulah pesan seorang kerabat, yang lebih dari 10 tahun tinggal di negeri kaya-raya itu.

Usai liputan perhelatan olahraga se-Asia pada Desember 2006, aku mampir ke Abu Dhabi. Selama dua hari aku habiskan waktu di antara kota Abu Dhabi dan Dubai -- yang berjarak sekitar 2 setengah jam perjalanan dengan kendaraan roda empat.

Kalau di kota yang saya sebut terakhir, semuanya serba kosmopolitan dan begitu hiruk-pikuk, maka Abu Dhabi menurutku sebuah kota tetirah -- asyik sekali untuk dibuat melamun, begitulah. Dan memang, waktu seolah berjalan lebih lambat di kota ini. "Walaupun begitu, janganlah terlalu heran jika kota ini masih terlihat kosmolit. Gampang sekali menemui turis bule di sini, dan tak masalah," jelas kerabatku itu...

Aug 29, 2007

Di Kramat, Kutengok Kamar Amir Sjarifoedin...




DI KRAMAT Raya, kutengok kamar Amir Sjarifoedin – mantan perdana menteri dan menteri pertahanan, yang namanya kini agak dilupakan. Diwarnai rasa ingin tahu, dan dibumbui sedikit romantisme, kudatangi beberapa ruangan yang disebut-sebut satu diantaranya pernah ditempati Amir -- saat dia mengambil studi hukum di Jakarta. Kamar itu terletak pada sebuah rumah, yang kini diubah menjadi Museum Sumpah Pemuda. Letaknya di Jalan Kramat Raya, nomor 106, tidak jauh dari kawasan Senen, Jakarta …

Dibandingkan Soekarno, Syahrir, atau Hatta, Amir Syarifudin memang jarang ditampilkan sosoknya – secara proposional -- dalam sejarah resmi bangsa ini. Lelaki pengagum karya-karya Shakespeare ini, lebih dikenal karena keterlibatannya pada peristiwa yang disebut sebagai pemberontakan Madiun 1948. Revolusi memakan anaknya sendiri, begitulah istilah Abu Hanifah, rekan satu pondokan Amir kala itu, dalam memotret perjalanan politik Amir.

Abu Hanifah, yang belakangan berseberangan secara ideologi-politik dengan Amir, barangkali benar. Tulisannya tentang sosok Amir di masa muda, yang ditulisnya dalam Jurnal Prisma lebih dari 20 tahun silam, layak ditengok untuk memotret Amir dalam wajah yang berbeda – wajah seorang lelaki yang sayang keluarga dan selalu membawa kitab Injil kemanapun. “Saya menyangsikan kalau Amir sepenuhnya tertarik dengan komunis, setahu saya dia tipe lelaki perlente,” begitulah kurang-lebih kesaksiannya.

Di dalam pondokan mahasiswa di Kramat itu, mungkin saja pada awalnya para penghuninya, seperti Amir, Abu Hanifah, atau Muhammad Yamin, tidak bicara politik. Para mahasiswa Stovia dan sekolah hukum itu tentu diharapkan segera lulus, untuk segera bekerja di pemerintahan kolonial -- dengan gaji rata-rata di atas pribumi. Tapi justru dari situasi seperti itulah, kesaksian Abu Hanifah terlihat lebih manusiawi dalam memotret sosok Amir. “Dulu, Amir dan Yamin acap terlibat cekcok, karena hal-hal kecil,” tulis Hanifah.

Tapi dari sejarah kita akhirnya tahu, rumah milik Sie Kong Liang akhirnya berubah menjadi tempat mengasah politik. Sukarno yang saat itu tinggal di Bandung, dan mendirikan PNI, acap mendatangi rumah itu, dan berdiskusi menggagas Indonesia di masa depan. Puncaknya adalah saat para pemuda, pada Oktober 1928, yang mengatasnamakan komunitasnya masing-masing, bersumpah untuk sebuah imaji, Indonesia…

Selasa kemarin, 79 tahun kemudian, di sebuah siang yang terik, saya datangi rumah itu – masih dengan semangat itu tadi. Seorang petugas yang mengenalkan diri sebagai Sri Sadono Wiyadi, menyambutku. Lulusan jurusan Sejarah Universitas Udayana ini, siang itu, tengah membimbing seorang siswa SMA, yang dapat tugas dari sekolahnya. “Di ruangan inilah, sumpah itu diucapkan…,” kata Wiyadi kepada anak yang rajin mencatat itu.

Wiyadi dengan sabar lantas mengajak anak itu keliling rumah yang dulu pernah sempati disulap menjadi hotel itu. Sebuah diaroma yang menunjukkan saat kongres pemuda itu digelar, serta 9 patung para penggagasnya, terlihat pula di sana. Deretan foto di seputar aktivitas pemuda dan organisasinya saat itu juga dipampang di semua dinding rumah itu. “Dan ini pasti adik tahu, ini adalah WR Supratman pencipta Indonesia Raya, dan ini adalah biola miliknya,” jelas Wiyadi. “Ada pertanyaan?” Anak remaja itu cuma mengangguk-angguk, dan mencatat lagi.

Kedatanganku ke museum itu, memang dalam kerangka liputan tentang program pemerintah yang bertajuk Lawatan Sejarah Nasional – sebuah metode pendidikan agar masyarakat dapat memaknai peristiwa sejarah nasional. Itulah sebabnya, aku menemui pimpinan museum untuk sebuah wawancara. Tapi di luar itu, kedatanganku juga dilatari semacam rasa ingin tahu tentang apa saja yang pernah melekat pada sosok Amir Syarifudin: kamarnya itu dan sejumlah potret kusam hitam-putih.

Dari kedatanganku itu, memang tak sepenuhnya menjawab rasa ingin tahu tersebut. Walaupun kupahami peran Amir tak sepenting Supratman, Soegondo Djojopoespito, atau Yamin, dalam kongres 79 tahun lalu itu, tetap saja profilnya sedikit diungkap. “Kalau datanya lengkap, dan ada dokumennya, pasti akan kita tampilkan pula” kata Wiyadi. Dia lantas mencontohkan foto-foto terbaru yang disumbangkan keluarga Hatta yang kemudian dipasang di tembok museum itu.

Tapi siapa mau mengungkap sebagai keluarga Amir Syarifudin sekarang ini, di tengah sikap sebagian masyarakat yang masih fobi terhadap kejadian ‘48 atau ’65? Saya jadi teringat sebuah gundukan tanah di sebuah pemakaman umum di Jawa Tengah, yang menurut laporan sebuah portal berita dipercaya sebagai makam Amir. Kuburan itu jauh sederhana jika dibandingkan makam tokoh seangkatannya yang acap disebut. Seorang saksi mata menuturkan, kuburan itu pernah dikunjungi sejumlah orang. “Mereka mengunjunginya secara diam-diam, dan tidak mencolok mata.”

Bagaimanapun aku akhirnya mafhum, bahwa sejarah adalah soal tafsir dan siapa yang menafsir. Beruntunglah museum Sumpah Pemuda itu relatif masih terawat, sehingga siang itu saya masih bisa membayangkan bagaimana Amir, Abu Hanifah, atau Yamin, dan lainnya, berdiskusi, memainkan biola, dan membayangkan Indonesia…

Aug 27, 2007

badut, sirkus, dan anakku...




"ADA badutnya nggak?" Aida selalu melontarkan pertanyaan ini, setiap kami hendak mendatangi sebuah pesta atau kegiatan. "Badutnya gemuk atau kurus ya?" ini pertanyaan berikutnya, setelah pertanyaan pertama itu tadi terjawab. Dan selanjutnya, "badutnya itu tokoh A atau B ya?"begitu dia terus bertanya, seraya menyebut sejumlah profil tokoh kartun kenamaan.

Rupanya, sosok badut itu menjadi kerisauannya. Betapa tidak, Aida pernah begitu histeris saat datang pada sebuah pesta, karena ternyata di situ hadir pula sosok sang badut. Kami biasanya menuruti kemauannya, seraya mencoba memberikan pemahaman siapa di balik topeng lucu itu.

Tidak sampai di situ, kami lantas melacak kenapa dia begitu takut melihat tokoh itu. Memang tidak mudah, mesti pelan-pelan. "kayaknya kita juga mesti mengubah, mendekonstruksi, imej-nya atas sosok badut," begitulah aku dan Ika mencoba menghilangkan trauma Aida.

Setiap ada kesempatan, selalu kuyakinkan dia jika badut itu pada awalnya dilahirkan untuk melucu. "Lagipula di dalam topeng itu 'kan manusia, seperti kita juga," kataku berulang-ulang. Aku juga terkadang mengecat mukaku bak badut untuk menunjukkan bahwa semua itu hanya 'permainan'...

Walau hasilnya belum sepenuhnya terlihat, pada hari Minggu kemarin, aku dan Ika ingin mengetahui reaksinya saat dia kutawari nonton pertunjukan sirkus Oriental -- yang digelar pada buah lapangan besar di sektor 7, Bintaro Jaya, Tangerang. Semula Aida ragu-ragu, tapi setelah dibujuk dia akhirnya tertarik. "Tapi Aida nggak mau duduk di depan ya," katanya pelan. Kami lantas mengiyakan..

Dengan karcis seharga 30 ribu per kepala, kami akhirnya duduk di bagian tengah pada klas utama. Kulihat awalnya dia masih memegang tangan erat mama-nya, dengan sedikit tegang. Namun perlahan, senyumnya mulai merekah, justru ketika muncul sosok badut di panggung...

"Aida paling suka pertunjukkan badutnya, lucu banget! Siapa itu Lid, nama badutnya?" Aida membuka percakapan saat pertunjukan itu usai. Dia bahkan minta agar kita nonton pada pertunjukkan kedua.. Aku dalam hati berkata, semoga ini menjadi momen perubahan pada Aida dalam melihat sosok badut -- semoga...

Aug 23, 2007

ada pistol di sidang Munir...




"GILA bok, gue diperiksa sampai 5 kali..," cetus seorang wartawan, sesaat dia tiba di depan ruang sidang Peninjauan Kembali, PK, kasus terbunuhnya pegiat HAM Munir, Rabu kemarin. "Wuih, belum pernah pengamanan kayak gini, diluar sidang teroris..," celetuk jurnalis lainnya, setengah mengeluh. Tetapi seperti itulah situasi pengamanan sidang kasus Munir itu. Keterangan pejabat polisi menyebutkan, ini dilakukan karena untuk mengamankan para saksi kunci --yang dianggap penting untuk bisa mengungkap siapa pembunuh pegiat HAM itu... Nah, di sela-sela liputan itu, aku memotret sejumlah momen dari luar ruangan sidang..

40 Tahun Oom Pasikom: Karikatur Tepo Seliro…


GM Sudarta, seorang karikaturis yang dianggap paling berpengaruh di Indonesia, sejak bulan Juli lalu sampai Januari tahun depan, memamerkan karya-karya karikaturnya --yang dibuatnya sejak tahun1967 sampai sekarang. Inilah pameran karya lelaki kelahiran tahun 1945 yang disebut paling lengkap dan terbesar, sejak pencipta toko kartun Oom Pasikom pada rubrik karikatur Surat Kabar Kompas ini menekuni profesi tersebut.

PENAMPILAN Gerardus Mayela, atau GM Sudarta, 62 tahun, tetap tidak berubah: selalu berpakaian serba hitam dan gampang mengumbar senyum. Kegemarannya bermain piano juga dia perlihatkan, di sela-sela pembukaan pameran karikaturnya di Bentara Budaya, Jakarta, pada awal Juli lalu. Di ruangan itu, lebih dari 100 karya-karyanya, yang sebagian besar menampilkan tokoh kartun rekaannya, yaitu Oom Pasikom, dipamerkan.

"Waktu itu tahun '67, saya ingin punya mascot, karena saat itu koran-koran lain pakai mascot, dan saya ingin wajah seorang yang di atas angin dan tidak pihak kemana-mana," katanya.

Saat itu, Sudarta membayangkan, toko rekaannya itu lahir tahun 1930-an, sehingga tidak masuk Angkatan '45 atau '66 - saat itu memang tengah ada dualisme masalah latar belakang 'angkatan'. Dan dia tidak terjebak dalam situasi pengkotakan seperti itu. "Sehingga saya bikin orang yang khas internasional. Dia senang pakai jas meski tambalan, serta dia senang pakai topi golf karena suka main golf, dan dia suka berbahasa Belanda," jelasnya.

Dari pencarian itulah, kemudian lahirnya seorang toko karikatur yang diberi nama Pasikom. "Nama itu muncul setelah saya baca sebanyak 3 kali… si Kompas, si Kompas, si Kompas, nah muncullah nama itu. Lalu saya panggil oom sebagai paman, karena orangnya sudah setengah tua," kata GM serius. "Itu awalnya muncul toko Om Pasikom…"

Melalui tokoh kartun Oom Pasikom itulah, yang dimuat di Surat Kabar Kompas sejak 40 tahun silam, Sudarta melontarkan kritik terhadap segala carut-marut persoalan di Indonesia. Tetapi yang barangkali membedakan dengan karya karikaturis lainnya, Sudarta tidak lupa menyisipkan humor.

"Dia bisa mengkritik melalui gambar tapi lucu, mungkin yang dikritik tak marah. Jadinya kayak-nya mengena tapi tidak menyakiti," ujar seorang ibu, pengunjung pameran GM. Yang lainnya berkomentar,

"Kritiknya lucu, jadi saya senang. Gambarnya juga dikenal, saya tahu ini karya GM, meski nggak ada tandatangannya."

Humor itu nyawa

BAGI lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini, humor dalam karikatur adalah ibarat nyawa. Menurutnya, dengan gambar lucu serta humor, karikatur dapat memancing orang untuk tertarik, kemudian melihatnya. "Termasuk pejabat yang saya kritik, sehingga ada kemajuan, ada perbaikan," kata peraih peraih Best Cartoon of Nippon tahun 2000 ini. "Jadi tugas karikatur tidak untuk mengubah pendapat, mendobrak atau revolusi."

Karena itulah, GM yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI Yogyakarta ini, karikatur hanyalah menyampaikan misi perbaikan saja. Masalah apakah itu berhasil atau tidak, "itu bukan tanggungjawab saya," tegasnya seraya menambahkan karikatur juga mengemban tugas sebagai penghibur.

Dan yang lebih penting lagi, menurutnya, karikatur adalah katup pembuka untuk tekanan sosial masyarakat. "Buat masyarakat yang kecewa dengan, keadaan sekarang, seperti keadaan Lapindo, korban tsunami yang kasusnya masih terlunta-lunta, bisa terhibur dengan adanya karikatur," kata GM.

Sudarta memang dikenal sebagai karikaturis yang hati-hati, dan jauh dari sarkastik. Di masa Orde Baru, di mana pers dikontrol sepenuhnya, menurut Sudarta, sikap seperti itu dibutuhkan.

Tapi walaupun situasi politik sekarang jauh lebih bebas dibandingkan masa Orde Baru, karakteristik karya pria kelahiran Klaten, Jawa Tengah ini, ternyata tidak banyak berubah. "Kartun pun ada etikanya," tegasnya.

Dia lantas menunjukkan sikap karikaturis sebuah media harian di. "Saya lihat teman-teman di harian Rakyat Merdeka. Kalau orang dikatakan kayak gareng, petruk, badut, Charlie Chaplin, pasti nggak marah. Tapi kalau kamu dikatakan kayak anjing, pasti marah," katanya serius.

GM kemudian memberi contoh karikatur yang lahir saat terjadi sengketa Indonesia dan Australia tentang masalah Papua. "Menlu Downer dibikin kayak anjing bersenggama, tentu itu akan menimbulkan amarah, dan tentu saja itu tidak enak. Dan, masyarakat Australia yang vulgar akhirnya bikin kartun yang sama, SBY menaiki orang Irian yang berekor dan bersenggama. Nah, di sini karikatur itu juga bikin orang marah 'kan," jelas GM. "Karena itulah saya setuju komentar Menlu Downer. Dia mengatakan, 'ah itu selera rendah… Ya, saya juga menganggap itu selera rendah…"

Menurut Yusuf Susilo Hartono, seorang perupa yang mengikuti terus karya-karya GM Sudarta, sikap hati-hati GM tidak terlepas dari gaya kepemimpinan surat kabar Kompas -- yang dianggapnya berpengaruh besar atas Sudarta dan karya-karyanya. "Tapi yang menarik adalah perkembangan karya mas GM, dari awal sampai sekarang, yang menurut saya ada beberapa fase," kata Yusuf Susilo.

Waktu masih mudah, menurutnya, gambar-gambar GM tidak seindah seperti sekarang, tapi lebih peka dan keras dalam menafsirkan keadaan. "Tapi setelah ketemu Pak Jacob Oetama, mas GM tahu harus bagaimana membuat kartun yang gaya jawa sesungguhnya," kata Yusuf Susilo. "Tidak ada pretensi mengubah seseorang, tapi memperbaiki, itu pun kalau bisa."

Karikatur Tepo Seliro

KENDATI dianggap terlalu bersikap hati-hati, tidak berarti karya-karya GM - yang pernah memenangkan penghargaan karikatur di Jepang -- sepenuhnya bebas sensor. "Seperti kartun tentang DOM (daerah operasi militer) Aceh, yang huruf O- nya saya buat seperti tengkorak, itu nggak pernah kita muat, karena Pak Yakob bilang itu terlalu seram..nanti marah. Tapi saya gak apa-apa," papar Sudarta.

Penasaran akan jawabannya, saya lantas bertanya lebih lanjut: "Seingat Pak GM apa alasannya pelarangan itu?"

"Terlalu tajam dan lucunya jadi kurang dalam situasi perang kayak gitu (operasi militer) di Aceh."

"Jadi, gambar tengkorak itu akhirnya tidak pernah dimuat?" saya bertanya lagi.

Dia menjawab seraya tersenyum tipis, "Nggak pernah, tapi akhirnya saya pasang di pameran dan buku."

Kejadian seperti ini sering?

"Oh, banyak, banyak dan saya sadari itu.. Dalam beberapa hal saya emosional, inginnya menyerang. Nah, Pak Yakob ingatkan, bahwa kartunis itu tidak mendobrak, mengubah pendapat. Dia cuma melakukan misi perbaikan, itu saja."

Menyikapi seperti itu, apa yang sebaiknya yang dilakukan seorang karikaturis jika karyanya tak dimuat? Saya bertanya lagi.

"Ya, saya simpan, saya dokumentasikan. Nanti kan bisa dibukukan. Dan ini saya sadari. Di Indonesia itu seperti itu, hati-hati, tepo seliro, begitulah.."

Yusuf Susilo Hartono menganalisa, karya-karya karikatur GM Sudarta pada periode sekarang, memasuki fase kematangan "Perubahan mas GM itu menuju kematangan, baik kematangan pribadi atau Kompas, dalam menyikapi bangsanya," katanya.

Diakuinya, pada situasi yang serba bebas sekarang, para karikaturis menghadapi tantangan yang lebih rumit. "Karena semua orang bisa menyampaikan kritik," tandasnya.

Di mata GM Sudarta, berkarya melalui karikatur tidak harus bermuara kepada perubahan. Menurutnya, karya-karyanya lebih menjadi katup pembuka dari tekanan-tekanan sosial. Dan di dalam memerankan tugas seperti itu, Sudarta mengaku pernah mengalami semacam kelelahan akut. "Saya pernah sakit lebih 3 bulan, nggak tahu kenapa. Saya di RS Carolus pada tahun '85, tapi nggak pernah saya sakit apa, tipus bukan, panas tapi nggak jelas," ungkapnya.

Diagnosa dokter yang merawatnya juga mengatakan, semua hasilnya negatif, sehingga "dokternya sampai bingung," celetuknya. "sehingga saya dikira kena sawan."

Sampai kemudian, ketika para kolega dan teman-temannya menjenguknya, mereka memberikan semacam jalan keluar. "Teman-teman psikolog seperti Sartono Mukadis, dan pelukis Abas Alibasya bilang 'udah melukis saja'. Mereka bilang begitu, karena waktu itu saya terlalu banyak (berhadapan) dengan (situasi) Orde Baru, tapi saya nggak bisa bikin karikaturnya," jelasnya. "Akhirnya saya melukis, dan boom-nya sampai sekarang melukis juga untuk dana di luar GBHN, ha, ha.., "GM terbahak. "Keseimbangan saja kok mas, ternyata itu betul…"

Sebagai karikaturis yang dibesarkan surat kabar berpengaruh, Sudarta mengaku bersyukur. Dia tidak membantah jika profesi karikaturis sekarang masih dipandang rendah di dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Namun Sudarta tidak menyalahkan siapa-siapa. Ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar, begitu kata Sudarta dengan mimik serius.

Tapi saat ditanya alasannya kenapa berpakaian serba hitam, ayah dua anak ini kembali membuka senyumnya.

"Yang serius, kotor nggak kelihatan. Baju satu nggak kelihatan. Yang tidak serius, saya lihat masih ada suku-suku bangsa yang suka makai (baju) hitam, karena mereka berpendapat, hitam itu warna gelap, warna yang kita tidak tahu sebelum kita lahir dan sesudah hidup. Dan saya pakai hitam, ya itu lagi yang serius, kalau pakai hitam nggak kelihatan...,"lelaki berambut panjang itu tertawa.

Berapa setelan hitam yang bapak punya? Saya iseng bertanya. "Ha, ha, berapa dik?" GM menoleh kepada dua orang anaknya, yang sejak tadi mendampingi. "Ratusan… banyak sekali," celetuk salah-seorang anaknya. Wawancara akhirnya berakhir, dan GM menutup dengan gaya khasnya: santun seraya tersenyum. ***

 (Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, oleh Heyder Affan, pada Rubrik Seni dan Budaya, Minggu, 8 Juli 2007)

Ada Elvis Presley di Bintaro




ADA Elvis Presley di Bintaro? Ya, secara tak sengaja pada akhir pekan lalu, kami menemukan sebuah restoran kecil di sebuah jalan di Bintaro Jaya, yang di dalamnya ada Elvis -- pemusik rock legendaris itu. Tentu bukan sosoknya, tapi pernik-perniknya, utamanya poster, semacam emblem, dan tentu saja alunan musiknya...

Anakku, Aida, serta-merta menanyakan siapa Elvis. "Aida masih ingat filem Forest Gump? Nah, saat dia masih kanak-kanak, di dalam adegan filem itu dia bertemu tokoh Elvis..," saya mencoba membuka cerita.

Saat kami cerita tentang sosok pemusik itu, pemilik restoran itu segera menghidupkan alat rekam. Dan dalam hitungan detik, suara Elvis membahana di ruangan itu...

Lumayan juga menyantap siomay, yoghurt strawberry, mie schootel, es cendol seraya menikmati Elvis.. Mau coba?

Aug 21, 2007

diskusi buku 'Demokratisasi di Udara: Peta Kepemilikan Radio dan Dampaknya bagi Demokratisasi'

Start:     Aug 24, '07 09:00a
Location:     Hotel Manhattan, lantai 10, jalan Dr Satrio, Cassablanca, Jaksel
INGIN tahu kaitan antara kepemilikan jaringan stasiun radio dan seberapa besar peran sosial-politiknya di tengah masyarakat? Cobalah hadiri sebuah diskusi atas buku yang baru diterbitkan, yang berjudul 'Demokratisasi di Udara: Peta Kepemilikan Radio dan Dampaknya bagi Demokratisasi'. Acara ini digelar di Hotel Manhattan, lantai 10, di Jalan Dr Satrio, Casablanca, Kuningan, Jaksel, hari Jumat, 24 Agustus nanti. waktunya mulai pukul 9.30 pagi sampai sore. Penyelenggara diskusi ini adalah Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) , Internews Indonesia, serta USAID. Silakan datang... Jika tertarik segera hubungi Najib Abu Nasser di 021-5746656 atau 5746276...

Aug 20, 2007

ngebut naik sepeda!




BELAKANGAN anakku, Aida, suka sekali bersepeda -- sebuah kegiatan yang jarang dilakukannya sejak kami hadiahkan sepeda itu 3 tahun lalu. Nah, sekarang, setiap ada kesempatan, entah di dalam rumah atau komplek, selalu dia sempatkan naik sepeda. Dan yang bikin aku agak takut, dia suka sekali ngebut... Bila di dalam rumah, sengaja dia melaju dengan keras walaupun di depannya ada tembok.

Yang bikin gemas, dia ngeremnya nggak pernah pakai rem tangan, tapi rem alami: kaki! "Udah biarkan saja, biar dia belajar rasanya kakinya luka," begitu rasioku bicara. Tapi tetap saja, jika sudah ngebut, otomatis yang keluar dari mulut,"rem-nya dipakai dong, Aida.."

Sabtu kemarin, misalnya, dia menaiki sepedanya untuk jalan-jalan di komplek rumah mertuaku. Kalau ditanya kenapa ngebut, jawabannya biasanya begini: "Itu Kak Lisa (tetangganya) juga ngebut, sambil berdiri lagi, hebatkan!" Dia begitu bangga kalau bisa ngebut...

Sekali waktu, karena ngebut, dan memakai rem kaki, kakinya terjepit. Dan biasanya lari ke mama atau walidnya, dengan sedikit merengek minta diberi betadine atau tensoplast...

Dan setelah itu? Ngebut lagi!


Aug 19, 2007

lomba makan krupuk dan MSG




USAI ikuti upacara bendera di sekolah Aida, maka selanjutnya adalah acara lomba -- diikuti para anak dan orang tua. Dan saya pun tak mau kalah: ikut lomba makan krupuk, yang harus dilakukan dengan sang anak -- "kalau makan krupuk, kamu aja ya yang dampingi Aida," ujar istriku seraya tertawa.

Aida dan saya memang kalah, tapi coba dengarkan alasannya: "Aida nggak habis, karena makan krupuk 'kan nggak sehat, ada MSG-nya." Hah!

Nah, Ika baru mau dampingi Aida saat lomba salome-(ya, ampun aku nggak tahu dari mana istilah ini), yaitu memasukkan sumpit ke dalam sebuah botol dengan menggunakan tali. Kali ini tak ada komentar dari Aida, seperti halnya saat kami ikut pula lomba lari karung...

Kejadian menarik adalah saat Aida dan regunya ikut lomba tarik tambang, yang berakhir dengan kekalahan. Tiba-tiba mukanya jadi cemberut, seraya tanggannya melipat...

Untungnya, sekolahnya punya visi tak ada istilah menang-kalah. Semua murid mendapat semacam medali...


upacara bendera di sekolah Aida




BERSAMA istriku, Ika, aku menemani anakku Aida, ikut upacara bendera memperingati hari kemerdekaan Indonesia, di sekolahnya, pada hari Jumat lalu. Ini adalah upacara bendera pertama kali buat Aida, sementara buat kami adalah "upacara bendera yang tertunda setelah bertahun-tahun tidak kami geluti".

Terakhir kali saya ikut upacara bendera di sekolah adalah saat klas 3 SMP, sekitar tahun 1984. Saat itu, seingatku, setiap hari Senin, aku dan murid-murid lainnya diwajibkan mengikutinya. Jika terlambat, pasti dihukum -- dan bila tak hadir, pastilah akan berpengaruh terhadap nilai salah-satu mata pelajaran.
Itulah sebabnya, yang masih kuingat, upacara bendera seperti sebuah beban.

Tapi setahuku ini bukan kasusku. Sebagian teman-teman yang lain, aku rasa, punya pikiran yang sama dalam melihat praktek upacara bendera yang konon dikenalkan pemerintahan klonial jepang itu -- "sungguh menyiksa,"begitulah.

Dan pikiran itu makin mengeras saat masa mahasiswa, yang dipenuhi aroma pemberontakan. Walaupun aku lulus P-4, tetap saja praktek upacara bendera kuanggap, "cuma kegiatan formalitas ala Orde Baru, yang nggak penting."

Sikapku itu lantas seolah mendapat pembenaran saat Soeharto runtuh dari kekuasaan. Kegiatan itu hampir tak digelar lagi belakangan -- bukan lagi sebagai sesuatu yang wajib...

Tapi, akhir pekan lalu, aku 'dipaksa' mengikutinya. Sekolah anak saya meminta agar orang tua ikut pula menghadiri upacara bendera itu. Anehnya, saya tidak menolaknya...

Pagi-pagi sekali, kami berangkat ke sekolahnya di sebuah jalan di kawasan Pondok Ranji, tak jauh dari sektor tiga Bintaro Jaya. Kami mampir di sebuah toko kue, untuk dimakan bersama dengan orang tua dan teman-teman Aida. Dan walaupun kami terlambat sekitar 10 menit (ha, ha.. Setelah jadi orang tua pun, kami masih saja terlambat untuk mengikuti kegiatan itu..), kami bergegas bergabung sesuai nama grup. Saya dan istri berdiri di belakang, sementara anakku berdiri di bagian depan...

Aug 15, 2007

Dili, Agustus 2006

”JANGAN coba-coba berani jalan sendiri di kota Dili di atas pukul 5 sore, kalau ingin selamat,”  itu pesan yang saya terima dari seorang sopir taksi, yang kemudian menjadi sahabat, bernama Fransisco Carvalho, atau biasa dipanggil Siko.

Kejadiannya 1 hari setelah saya mendarat di kota Dili, awal Agustus 2006. Awalnya saya tidak percaya. Tapi tidak membutuhkan hitungan hari, malam pertama di kota Dili, akhirnya saya habiskan  di kamar dan ruangan makan Hotel Tourismo, karena di luar begitu sepi, dan memang tidak satu pun terlihat petugas polisi yang bertugas. Padahal, kata Siko, “Kalau situasi normal banyak orang pecaran di depan hotel, tempat abang menginap.”

 

Namun sejujurnya, yang layak takut adalah penduduk asli kota Dili, utamanya warga dari wilayah timur negara itu. Mereka inilah yang banyak menjadi korban kerusuhan 4 bulan sebelumnya. Pelakunya adalah orang-orang dari warga bagian barat, yang jumlahnya lebih banyak berdomisili di kota itu.

 

Siko, sopir taksi itu tadi, pernah begitu khawatir, saat saya minta diantar ke wilayah Komoro, tidak jauh dari Mesjid An-nur, sebuah wilayah yang rawan tawuran. “Saya antar abang, lalu saya segera pulang ya,” begitu dia mewanti-wanti – berulang-ulang.

 

Praktis yang telihat banyak di jalanan, setelah aparat polisi dilarang bertugas, adalah semacam satpam yang diorganisasi sebuah perusahaan keamanan bernama Maubere Security. Mereka biasanya digaji untuk menjaga rumah mewah, kantor –kantor bank, serta supermarket, dan kantor milik pemerintah. Tapi masih kata Siko, “mereka tetap saja lari ketakutan seperti kerusuhan kemarin.” 

Bagaimanapun untuk mengatakan bahwa keamanan di kota Dioli telah berjalan optimal, setelah kedatangan pasukan internasional dari Portugal, Malaysia, Australia dan Selandia Baru,  rasanya tidak sepenuhnya benar.

 

Pada hari keempat, setelah saya tinggal di Dili, misalnya, sebuah asap hitam masih mengepul dari kawasan Komoro, pertanda masih adanya pembakaran terhadap rumah warga timur. Juga masih terlihat aski pelemparan batu di sebuah lokasi pengungsi di kota Dili, persis di depan hotel paling mewah, Hotel Timor.

 

Dan bukan sesuatu yang bisa ditutup-tutupi lagi,  jika di antara pasukan internasional, ada persoalan ego atau persaingan di antara mereka. Seorang warga kota ini, yang enggan disebut namanya, bercerita, gara-gara tidak ada koordinasi diantara pasukan itu, kerusuhan sulit dikontrol.

 

Tapi seperti diceritakan mantan Gubernur Timor Timur di masa Indonesia berkuasa, yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Sosialis Demokrat, Mario Carascalao, warga kota ini tetap membutuhkan tentara asing, walau sebagian masyarakat membencinya.

Apa yang diutarakanya Carascalao itu tadi,  adalah gambaran betapa pemerintah Timor Leste lebih bersikap realistis dan bersandar sepenuhnya kepada bantuan negara-negara tersebut.

 

Tapi, tidak bisa dibantah, ini juga menunjukkan betapa lemahnya peran penegakan keamanan dan hukum pemerintahan Ramos Horta.

 

Kasus terakhir, adalah kaburnya  seorang pimpinan  tentara pemberontak dari penjara pemerintah di wilayah Bekora, yang dikesankan sebagai tidak seriusnya kerja aparat pemerintah. Dan contoh lain yang paling jelas, adalah ketika ancaman Perdana Menteri Ramos Horta untuk memindah paksa pengungsi dari tenda-tenda, gaungnya tidak pernah terdengar.

 

Puluhan ribu pengungsi tetap memilih menetap di tenda-tenda. Karena, menurut salah-seorang diantaranya, Agustinho, “pemerintah tidak bisa menjamin bahwa mereka tidak akan dibunuh warga bagian barat saat pulang ke kampungnya”.

Memang sudah ada upaya rekonsiliasi oleh LSM dan perorangan, tapi Siko, juga pendeta yang juga pimpinan komisi rekonsiliasi, Augustinho da vas Conselos, mengaku pesimis, persoalan itu bisa cepat selesai.

 

“Rasanya proses penyembuhan bakal meminta waktu yang lebih lama, daripada kasus serupa di jaman Indonesia berkuasa, karena konflik terjadi antara masyarakat Timor Leste sendiri.” Ini kata-kata yang diucapkan Augustinho, yang rumah dan perabotnya dikabar dan dijarah gara-gara dia berasal dari Timur, dan kakak lelakinta adalah petinggi tentara negara itu.

 

Dan kalau rekonsiliasi yang dipilih, agaknya sebagian warga kota ini, menyatakan sudah muak dengan kata-kata itu, karena, “kata rekonsiliasi hampir kehilangan makna,” kata  pegiat LSM dari Yayasan Hak, Amadio Hai. Dan biasanya yang dijadikan rujukan adalah proses rekonsiliasi dengan Indonesia yang dianggap mengorbankan orang-orang yang keluarganya dibunuh oleh milisi saat jajak pendapat tahun 1999.

 

Namun ketika saya tanyakan, kalau yang dipilih adalah jalur hukum, apakah perangkat negara Timor Leste sudah siap. Orang-orang yang paham akan seluk-beluk dunia hukum di negara liliput itu, akan mengatakan: proses hukum tidak akan mungkin terjadi, karena menurut Pastur Mastinho da Silva Gusmao dari Diosis Baucau, para elit politik di Timor Leste tidak ada yang bersikap tegas.

 

Itulah sebabnya dengan nada sedikit bergurau, Pastur Mastinho,  mengaku kepada saya, “Saya akan pindah warga negara, kalau aktor intelektual kerusuhan kemarin diseret ke meja hijau.” (Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, dalam rubrik Kartu Pos, akhir Agustus 2006)

 

Leo Kristi Kembali Lagi!

Start:     Aug 18, '07 04:00a
Location:     MP Book Point, Jalan Puri Mutiara nomor 72, Jeruk Purut, Jakarta Selatan...
"Senja Raya Indonesia Merdeka", begitulah pesan pendek yang masuk ke telepon selulerku Selasa kemarin, dari seorang teman, mengutip judul pementasan itu. Pesan lanjutannya: Leo Kristi, penyanyi balada yang dianggap konsisten di jalurnya itu, akan kembali ke panggung. Kali ini, dia akan berorasi, baca puisi-cerpen, bersaksi, dan -- tentu saja -- menyanyi. Waktunya, Sabtu, 18 Agustus 2007, pukul 4 sore di MP Book Point, Jalan Puri Mutiara nomor 72, Jeruk Purut, Jakarta Selatan...

Aug 14, 2007

kusalami Zidane, dan "bonjour..."




BEGINILAH jadinya jika bintang sepakbola dunia berkunjung ke sebuah negeri yang keranjingan bola. Kedatangan Zinedine Zidane, alias Zizou, pada awal Juni lalu ke komplek Istana Merdeka adalah sebuah contoh. Siapapun dia -- apakah seorang Presiden Yudoyono atau pegawai bank, juga wartawan -- tidak akan merelakan waktunya terbuang tanpa menyapa sang maestro, menyalami, dan berupaya sekuat tenaga -- dan, ehm, menahan malu -- agar dapat foto bersama dengan Zizou... Dan lihatlah, bagaimana senyum itu mengembang saat perjuangan mendapatkan tanda-tangan sang bintang itu terlaksana -- he, he, norak ya...

Aug 13, 2007

Asap Kemenyan, bunyi “Dreng, dreng”, dan kisah tarian purba

DRENG, dreng…, ting, tang…, buuus…," bunyi genderang dan gending, serta asap kemenyan yang membumbung di salah-satu ruangan Musium Nasional Jakarta pada Kamis malam lalu, mengiringi kehadiran 7 orang penari pria di atas panggung. Mereka mengenakan penutup kepala blangkon, selendang, dengan gerak serba pelan, tetapi tetap terlihat tegap.

Begitulah adegan awal tarian klasik yang berumur lebih 300 tahun ciptaan Raja Mangkunegaran I, Raden Mas Said, berjudul Bedhoyo Mataram Senopaten Dirodo Meto. Dalam Bahasa Indonesia, tarian itu kurang-lebih berarti Tarian Kesatria Mataram yang bak gajah mengamuk…

Ketua pelaksana harian pagelaran ini, Agus Haryo, menjelaskan, tarian ini untuk mengenang 15 orang satria andalan Mangkunegaran dalam pertempuran dengan Pasukan Belanda di sebuah hutan, tidak jauh dari wilayah Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1756. "Pertempurannya berlangsung seru, pasukan Mangkunegaran berjumlah 85 orang, sementara musuhnya mencapai seribu orang," jelas Agus Haryo.

Dikisahkan dalam pertempuran itu, 15 orang prajurit Mangkunegaran tewas. Kejadian ini, tentu saja, membuat sang raja sedih luar biasa. Untuk menghormati kelima-belas prajurit itu, Raden Mas Said kemudian menciptakan tari tersebut. Itulah sebabnya, walaupun tarian itu berlatar peperangan, nada sendu lebih banyak terdengar dalam pagelaran tarian itu. "Memang di bagian tengah, ada nada minir, senduh dan itu sungguh mengharukan," kata Daryono, ahli tari klasik Jawa yang juga penari dari tarian ini.

Dan saat para penari beraksi di atas panggung yang didominasi warna hitam, para pengunjung - sebagian diantaranya adalah warga asing -- tidak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduknya, selama lebih dari 1 jam pertunjukan. Mereka tampaknya paham bahwa tarian ini belum pernah digelar di publik dalam jangka waktu seratus tahun lebih. "Kita perkirakan, malah lebih 100 tahun," tandas Agus Haryo.

Agus menjelaskan, tarian itu tidak pernah dipentaskan lagi karena dilatari persoalan politik. Kesimpulan ini didapatkannya berdasarkan hasil diskusi dengan para peniliti dan ahli tari Institut Seni Indonesia Surakarta, serta data dari buku tentang restrukturisasi budaya Jawa. "Kenapa tidak pernah dipentaskan, karena akan menyinggung pemerintah Hindia Belanda dan keraton lainnya, sehingga diputuskan oleh keturunan Mangkunegaran 6 dan 7, agar tidak dipentaskan lagi," jelasnya.

Walaupun musuh utamanya adalah Belanda, tetapi sejarah juga mencatat, saat itu perpecahan tengah melanda anak-cucu pendiri Kerajaan Mataram. Perpecahan itu, seperti diketahui, menyebabkan berdirinya berbagai dinasti keluarga kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Perpecahan itu, menurut Agus, kemudian dimanfaatkan pemerintahan Kolonial Belanda, dengan memecah-belanya. "Nah, makna tarian itu menjadi masalah yang sensitif, karena ditakutkan menyinggung keraton lainnya," jelas Agus Haryo.

Semenjak itulah, tari Bedhoyo Mataram Senopaten ini nyaris terlupakan, hampir hilang, sekian ratus tahun. Menurut Agus, setelah Mangkunegaran 1 diganti cucunya yaitu Mangkunegaran 2, mulai saat itulah tarian ini hilang dari catatan sejarah, sehingga tidak terdeteksi lagi. "Pernah ditarikan lagi saat pejabatnya adalah mangkunegaran 4, tapi setelah itu tidak pernah lagi, " jelasnya. Akibatnya kemudian, tarian itu tidak dikenal lagi, dan yang tersisa adalah gerak dasar dan gending yang masih dikenali.

Dan lebih dari seratus tahun kemudian, semangat untuk merekonstruksi kembali, itu muncul kembali. Para keluarga besar, kerabat serta dan orang-orang yang peduli terhadap keberadaan tari sakral tersebut berupaya menghidupkan kembali, bertepatan 250 tahun Puro Mangkunegaran di Kota Surakarta. Berbagai upaya disiapkan dan dilakukan untuk menghidupkan kembali tarian yang nyaris punah itu.

Rekonstruksi Ulang

MELIBATKAN ahli tari, dokumentasi sejarah, serta catatan pribadi sang raja, maka proyek rekonstruksi atas tari Bedhoyo Mataram Senopaten itu pun digelar. Pertanyaannya kemudian, seperti apa dan bagaimana mereka melakukan proyek rekonstruksi itu?

Daryono, ketua tim peneliti dalam proyek rekonstruksi tari itu, mengatakan, upaya ini relatif sulit dilakukan. Dia memberi contoh, setelah beberapa bulan 'mengembara', pihaknya hanya menemukan syair (cakepan tembang). Tapi mereka tidak putus asa, karena, "Berdasarkan riset fakta sejarah yang ada, kami akhirnya menafsirkan kembali fakta itu dalam bentuk abstraksi yang kami hayati, dan kami tuangkan dalam bentuk komposisi," terang Daryono, yang juga dikenal sebagai staf pengajar program pasca sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta.

Dan, setelah memakan waktu berbulan-bulan, akhirnya rekonstruksi tari tersebut selesai sudah. Sebelum pertunjukan itu digelar pada Kamis malam lalu, saya sempat menyaksikan latihan terakhir mereka. Daryono, yang disebut koordinator dalam tarian itu, terlihat serius memimpin latihan itu.

Menurutnya, sebagai orang yang dipercaya sebagai penari Bedhoyo Mataram Senopaten, itu adalah tugas yang tidak main-main. "Seperti lain sekali, ketika akan menarikan Bedhoyo Mataram, karena ini khusus dan baru sekali teman-teman melihat bentuk bedhoyo ini ditarikan pria, karena selama ini penarinya putri, katanya."

Kejadian Aneh

LATAR belakang tarian yang sedemikian rupa, lanjutnya, juga membuatnya perlu berhati-hati. "Perasaan kami juga bangga, tetapi perlu juga kehatian-hatian, kepasrahan, 'kemenepan', yang kita bangun sejak lama, supaya dapat menghayati, agar nanti bisa memberi aura tarian itu sendiri yang imbasnya kepada para penghayat atau penonton," jelas Daryono.

Kesan sakral dari tarian itu, memang terlihat sebelum pagelaran itu Diwarnai asap dupa yang keluar dari tembikar yang dibawa seorang lelaki tua, Ketua panitia, Agus Haryo dihadapan pengunjung, membaca salah-satu surat dalam alquran. "Kenapa sakral, karena tarian ini menjadi monumen perjuangan. Ini luar biasa, karena tidak dimiliki Bedhoyo lainnya," ujar Agus Haryo.

Itulah sebabnya, masih menurut Agus, pihaknya melakukan berbagai persiapan yang, "tidak main-main, seperti melakukan selamatan, berdoa...," ujarnya.

Meskipun sulit dipercaya, Agus memberi contoh kejadian aneh sebelum pagelaran tari ini di Puro Mangkunegaran, pada bulan Maret lalu. Saat itu, katanya, tiba-tiba ada gempa. "Nah sekarang, Rabu kemarin, tiba-tiba ada gempa mengguncang Jakarta. Memang ini kesannya mistik, tapi, ya Allah.., ya mau dibilang nggak-sakral, tapi nyatanya sakral," kata Agus.

Upaya persiapan seperti itu, ternyata, tidak hanya dilakukan Agus dan panitia lainnya, namun juga kalangan penari. Daryono mengatakan, para penari bahkan mendatangi makam Mangkunegaran satu, untuk meminta semacam safa'at. "Kami juga melakukan pendekatan seperti dilakukan master-master tari terdahulu, yaitu mendoakan beliau, dan safa'atnya bisa direfleksikan kepada kami, yang punya niat baik untuk merevitalisasi karyanya," demikian penjelasan Daryono.

Dan seperti diharapkan Daryono, para penonton tampaknya menghayati tarian itu. Tepuk tangan berulang-ulang ditunjukkan para pengunjung, setelah gending terakhir dan penari menuruni panggung. Seorang penonton pria mengatakan "sangat indah", sementara penonton lainnya berkomentar "ini tari klasik yang punya nilai tinggi" dan lainnya berujar "pementasan ini istimewa sekali karena jarang digelar…"

(Laporan ini disiarkan dalam rubrik Seni dan Budaya, Radio BBC Siaran Indonesia, Hari Minggu 12 Agustus 2007, pukul 18 lebih 15 menit, oleh Heyder Affan)

Aida masuk kelas 1 SD




SEJAK pertengahan Juni lalu, Aida mulai masuk sekolah dasar. Dan itu artinya, dia memasuki dunia baru. Kalau di masa TK, dia masuk sekolah pukul 9 pagi, kini bunyi bel sekolahnya berbunyi pukul 7 lebih 30 menit. Artinya, dia harus bangun lebih pagi, karena mobil jemputannya datang persis pukul 6 lebih 20 menit. Dan kebiasaan baru itu bukan hanya dimonopili Aida, orang tuanya juga mesti membiasakan diri, agar bangun lebih pagi, setidaknya... Dan potongan potret di bawah ini, menunjukkan sebagian aktivitasnya pada hari 1, 2, dan 3 serta sepekan kemudian, di masa awal dia sekolah dasar....

sepatu anakku




ANAKKU Aida, pada Desember tahun ini, 6 tahun usianya. "Rasanya tak rela dia beranjak dewasa," celetuk istriku, suatu saat. Kubayangkan aku baru saja menggendongnya, dan mendekapnya, tatkala dia baru keluar dari rumah sakit lalu, akhir Desember 2001. Aroma bayi, bening matanya, rasanya baru saja kurasakan -- tapi nyatanya waktu berjalan terus.. Dan pagi tadi, aku mesti rela mengantarnya sampai halaman rumah, saat mobil penjemputnya datang.. untuk kemudian sekolah. "Sekarang dia masih bermanja-manja dengan kita, tapi sebentar lagi dia nggak akan mau kita mengantarnya," kata istriku.
Aku tidak tahu apa istilahnya, tetapi mungkin itu namanya perasaan kehilangan saat anak kita beranjak dewasa. Ada perasaan mendua, rela dia menjadi dewasa, tapi di sisi lain rindu masa kecilnya..
Dan saat aku menemukan foto 'sepatu Aida' (dipakainya saat dia berusia antara 6 bulan, 1 tahun hingga 2 tahun) pada kumpulan CD lama, aku tertegun...dan menggumam: betapa waktu begitu berharga...

Aug 11, 2007

PLESIRAN TEMPO DOELOE NAEK SEPEDA KOELILING MENTENG

Start:     Aug 12, '07
Location:     menteng, jakarta
AWAL pekan ini, kudapat email dari istriku, isinya acara PLESIRAN TEMPO DOELOE NAEK SEPEDA KOELILING MENTENG. Acara ini digelar oleh komunitas SAHABAT MUSEUM. Nah, lengkapnya, inilah isi pengumuman itu:
Di awali dari MUSEUM PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI, koeliling menteng diboncengin ama ojeg sepeda lewatin jalan utama kawasan menteng. Berhenti di MESJID CUT MUTIAH -- dulu N.V. de Bouwploeg -- Boplo, pastinya ntar kita makan Gado-Gado Boplo juga :)
Nah, dari situ, beranjak ke GEDUNG ex IMIGRASI JAKARTA PUSAT (doeloe
adalah pusat kesenian (kunstkring) di Batavia. Lantas NONTON FILM KLIP INDONESIA RAJA 1944 (penyelenggaranya mengatakan: cihuy, pokoknya ntar deh kita puterin yang panjang filmnya, keren-keren dah! termasuk saat Bung Karno pidato di depan para petinggi Nippon di Istana Merdeka sambil berteriak: Banzai, Banzai! trus ntar kita juga nontonin bocah-bocah yang naek sepeda koeliling Situ Lembang, lalu mereka menari-nari diiringi lagu Jepang, wah pokoknya lucu dan seru abis dah jek!
Dan, panitia melanjutkan pengumumannya: ...dan seperti biasa, dapet roti buaya, teh-kopi-cream, ditambah lagi minuman dingin sekembalinya koeliling
duuuh tenggorokan ini rasanya adem, serr, serr, serr...

Lantas kapan digelar? Minggu 12 Agustus, dengan biaya Rp.100.000/orang
(seratus ribu rupiah)

Kalu tertarik, kata panitia, maka silakan mendaftar dan hubungi:
adep@cbn.net.id
Tempat terbatas, kata panitia...
(Catatan panitia: khan ojeg sepedanya didatangkan langsung dari Jakarta Kota, jadi ntar sepedanya hanya dipesen sesuai peserta yang sudah transfer lho..)

Aug 9, 2007

Pelatihan terbuka hadapi gempa

Start:     Aug 19, '07 8:00p
Location:     Plaza Utara, Senayan, Jakarta
GEMPA dengan skala richter lebih dari 7 pada Kamis dini hari (9 Agustus), telah bikin panik sebagian warga Jakarta. Dan berangkat dari kejadian ini, sejumlah orang yang peduli, mengajak masyarakat untuk mengantisipasinya, dengan menggelar 'PELATIHAN TERBUKA KESIAP-SIAGAAN GEMPA'. Dalam program ini masyarakat diminta menjadi relawan, demi keselamatan sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat -- dan untuk bangsa, begitu pesan mereka. Rencananya acara ini digelar hari Minggu, 19 Agustus 2007, Pukul 08.00 – 09.30 WIB di Plaza Utara, Senayan, Jakarta.

Mereka juga memberi nomor hotline 021-7414482. Dikatakan pula, bahwa pelatihan terbuka ini diselenggarakan atas kerjasama ACT, DMII (Disaster Management Institute of Indonesia), MRI (Masyarakat Relawan Indonesia), CCDI (Corporate Circlefor Disaster Interest) dan MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia).

Jadi, siapa mau ikut dan bergabung? Jika tertarik, hubungi Bayu Gawtama
(OC Leader): 0852 190 68581; DMII --> Anna (081328598828);
MRI --> Arifudin Muchtar (08172334154); CCDI --> Hanny H Soemarno (0811234332); atau MPBI --> Lya (021-3147321)

Hujan Kemanten

KUTULIS surat itu, di pertengahan tahun 1998, dengan penuh perenungan, di sebuah malam, dengan harapan, pesanku itu bisa diterima ibuku. Tapi, aku selalu menimang-nimang, apakah isi surat itu bisa diterima ibuku --dengan hati terbuka-- lantaran membaca suratku yang bak ancaman Malin Kundang. Tetapi, tidak tahu kenapa, surat yang terlanjur setengah jadi itu, baru cuma

selembar, tak jadi kukirim --dan kusimpan.

 

Sekian tahun kemudian, belakangan, surat itu kutunjukkan ke istriku, dengan mata berlinang. “Aku selalu gagal berbicara baik-baik dengan ibuku,” kataku lirih, hampir tak terdengar. Istriku, Ika Ardina, yang rambutnya lurus, hanya terdiam.

***

 

Namun, suatu saat, aku begitu mengebu-gebu. Mungkin lantaran aku pengecut dan tidak berani menghadapi ibuku secara langsung. Didampingi Ika, yang menepuk-nepuk atau membelai bahuku yang ringkih, aku menulis surat yang sama seperti itu, di bulan panas Agustus 2000, dengan bergelora. Tuts komputer, yang kusewa di lantai dua sebuah pertokoan di kawasan Blok M, begitu berirama --mirip calon istriku saat memainkan piano miliknya, dengan orkestra milik Chopin kesayangannya, nocturne. “Aku minta doa restu, sebab

pertengahan Nopember nanti, saya akan menikahi Ika…” begitu poin isi suratku.

 

Kurang dari dua puluh empat jam, surat itu sudah kumasukkan di kantor pos tak jauh dari rumah. Agar menguatkan hati, kuuucapkan bismillah. Aku agaknya begitu tidak peduli seperti apa nanti jika ibuku membaca itu. Surat itu kukirim lewat kakakku lelaki di Surabaya.

***

 

Pagi itu hujan sangat deras. Hujan bulan November. Saking derasnya, aku menjadi takut sendiri, dan merasa seolah-olah itu kutukan atas

pembangkanganku. Isi surat itu, dan tangisan sesenggukan ibuku terus membayang. Padahal, waktu terus berjalan. Detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam. Acara akad nikah tak bisa ditunda -- atas nama apapun. (Aku jadi teringat, suatu pagi di kotaku, saat aku begitu ngotot di hadapan ibu dan kakak perempuanku -- yang begitu sabar, agar acara pernikahanku pada pertengahan Nopember itu tak ditunda. Dan, kalimatku sempat meninggi. Aku

masih mengingat itu, dan tidak akan terlupa, sampai kapanpun).

 

“Tenang, ini cuma hujan kemanten. Harus kamu insafi,” suara keponakan ayahku, Ubaydillah, memecah risauku. Aku tinggal di rumah keluarga Bang Ubay –- begitu aku biasa memanggil lelaki 50-an tahun ini --  saat-saat menjelang pernikahan, sebagai titik berangkat ke lokasi aqad- nikah dan resepsi di kawasan Blok M.

Tangannya memegang pundakku yang pendek. Kulihat dia tulus, senyumnya tidak dibuat-buat.

***

 

Tapi, hatiku tetap tak tentram. Waktu betul-betul membelengguku. Bayangan nafas ibu yang naik-turun, dan jalannya yang gontai dan renta, kembali melesat sekian detik, mengisi pikiranku. Di loteng rumah itu, aku begitu tak berdaya. Hujan begitu tiba-tiba mengguyur Jakarta, dan langit gelap yang menggantung di atas kawasan Condet, seolah menertawakan.

 

“Cobalah berdoa, baca shalawat,” kali ini, suara itu keluar dari mulut kakak lelakiku, Kazim. Entah kenapa, aku dengan sadar kemudian berkomat-kamit membaca doa-doa, yang kuakui jarang kulakukan. Aku jadi ingat Tuhan.

 

Kakakku yang lelaki ini memang, anak kesayangan ibuku, setidaknya itulah penilaianku setelah tinggal bersama dia hampir lima belas tahun --aku berpisah secara fisik dengan dia saat dia kuliah di Jember, saat dia bekerja di Jakarta, dan ketika dia bersama istrinya pindah ke Surabaya. Lewat dia, surat untuk ibuku, kutitipkan. Aku percaya kepada dia ketimbang saudara-saudara perempuanku lainnya. Kakak lelakiku itu anak ketiga, sementara aku adalah anak keempat dari lima bersaudara.

 

Dalam banyak hal, kakakku itu --usianya dua tahun lebih tua dari aku-- begitu melindungi. Terkadang dia menempatku sebagai adik yang harus dilindungi. Aku begitu mengaguminya. Dulu saat kanak-kanak aku sering menaruh rasa iri kepadanya, karena perangainya yang membuat ibuku begitu percaya kepadanya.

 

Aku jadi teringat, saat kakakku sedih lantaran ditolak lamarannya oleh sebuah keluarga keturunan Arab dengan alasan tak jelas. Kakakku menjadi gampang melamun --suatu hal yang jarang kujumpai sebelumnya. Ini terjadi, saat kakakku itu kerja di sebuah percetakan di Jalan Pramuka, Jakarta. Kerutnya di dahi menonjol, dan tatapan matanya kosong. “Menurutmu bagaimana, Fan” (aku berfikir lama, dan aku tak bisa menjawab). Dan, aku menangis bahagia saat kakakku lelaki itu menikah. Aku yang saat itu

sudah di Jakarta, dan baru bisa sampai di kotaku sehari menjelang hari H, tak banyak membantu kakakku. Alih-alih bantuan uang, bantuan fisik-pun tak kulakukan. Barangkali, itulah tangisanku yang begitu keras terdengar seumur hidupku.

***

 

Sabtu, 19 November  2000, di atas jam 10 pagi, dengan mendung masih tersisa. Aku dan istriku, akhirnya, duduk di pelaminan, dan di sisi kiri tidak ada ibu dan ayahku (ayahku saat itu sudah renta, dan tidak siap berpergian jauh). Kakakku lelaki, Kazim, dan kakak perempuanku tertua, Salmah, menggantikan posisi mereka. Aku, sebetulnya, adalah orang yang tidak suka keramaian, tapi rasanya aku bahagia sekali pada pesta di pagi hari itu. Kami menikah dalam pakaian kemanten yang didominasi warna coklat --warna kesukaan istriku. Kebahagian itu terasa lengkap, utamanya setelah beberapa menit yang lalu aku mendengar suara ibuku di ujung telepon. “Aku restui kamu,” katanya pelan, sesenggukan menangis.

***

 

Aku tahu kenapa ibuku tidak mau datang ke resepsiku pernikahanku, dan aku berusaha memahami, mengapa sikap itu diambilnya. Aku juga bisa memaklumi kenapa adik perempuanku, Henny, yang tinggal di Banjarmasin bersama suami dan anaknya, mengambil sikap yang sama. Dalam beberapa hal, aku dapat mengerti alasan ketidak-datangan kakak perempuanku, Mila, yang jauh tinggal di Abudhabi --dia tinggal di sana sejak 1986, bersama suami dan anak-anaknya. “Kamu mengerti kan, kenapa saya tidak bisa datang,”kurang-lebih begitulah alasan adik perempuanku, Henny, yang tinggal di Banjarmasin, seolah mewakili sikap ibu dan kakakku di Abu Dhabi. Aku tidak banyak berkomentar untuk soal ini, dan lebih banyak memilih diam --seperti biasanya.

***

 

”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya; apakah saya

keturunan Arab.” Aku terheran-heran dengan sederet kalimat ini, sekitar tujuh tahun yang lalu. Kucermati berulang kali, tidak juga nyambung. Seolah untuk menyelaminya, dan mengerti dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku mencoba melupakan kalimat itu -- yang dimunculkan dalam sebuah wawancara sebuah tabloid dengan seorang mantan menteri, Fuad Hassan, yang menurut pewawancara adalah seorang lelaki keturunan

Arab.

 

Kini, aku bisa sedikit memahami kalimat itu, setelah hampir empat tahun aku hidup satu rumah dengan istriku, Ika. Perempuan yang kunikahi ini bukanlah keturunan Arab. Dia dilahirkan dari seorang Ayah kelahiran Jambi, dan ibu seorang Jawa. Hidup bersama, dan setiap detik, menatap matanya dan mendengarkan kata-katanya, juga suasana hatinya. Tidur satu kasur, berpelukan, hingga lahir satu anak perempuan, 20 Desember 2001, Aida Ameera Alkaff. Rambutnya tidak keriting, tidak begitu mancung --seperti aku. “Apakah kamu

nantinya akan memaksa Aida untuk menikah dengan sesama keturunan Arab,” istriku menanyakan hal ini kepadaku. Aku tidak menjawab langsung, soalnya aku selalu merasa gagal, bila memberi jawaban yang pendek-pendek. (Makanya, selalu kuajak istriku, di tengah

malam, untuk sebuah perbincangan yang panjang-lebar - kadang sambil lenganku merengkuh lehernya).

“Jawabanku adalah pengalamanku,” begitulah yang kubisikkan kepada istriku. Aku lantas mulai bercerita. Kebetulan, di sekitar Februari, lebih dari dua tahun lalu, aku bertemu seorang teman, bekas aktivis pers mahasiswa, dan kini wartawan sebuah koran ibukota. Dia mengenalkan aku ke seorang pengurus ormas Islam,

dan sambil tertawa dia bilang: “Ini juga jamaah, habib, asal Malang.” Aku

tak tertarik dengan kalimat itu, dan seperti biasa aku cuma diam. Kepada istriku, aku lantas bilang yang ada di pikiranku, lalu muncul selebatan pertanyaan dan sekaligus jawaban, yang saling masuk dan tindih. Aku berdialog dengan diri sendiri, kataku lagi, dan tidak membutuhkan kesaksian orang lain. Istriku balik merangkulku, dan masih takzim mendengarkan ceritaku. “Aku bisa

memutuskan siapa aku sebenarnya, bukan temanku tadi, atau siapa saja.” Makanya aku merasa heran, kenapa orang melihat seseorang dari penampilan fisiknya, hanya karena hidungnya, atau rambutnya yang setengah ikal.

 

“Tapi, aku cuma diam, tertawa, menertawakan betapa tak ada gunanya mengeluarkan kata-kata,” timpalku, saat istriku mulai bertanya kenapa aku tidak menangkis omongan orang itu. (Yang sering kukutip adalah ucapan pelukis minimalis asal

Bandung, Jeihan, diam adalah pusat dinamika, dan aku memilih itu).

 

Istriku akhirnya tertidur di dadaku yang tipis, sementara ceritaku belum tuntas. Sambil menahan dingin malam, aku malam itu teringat pengalaman sekitar sepuluh tahun lalu: aku hampir beradu fisik lantaran temanku memanggilku Arab.

***

 

Pikiranku kemudian menerawang jauh. Aku teringat, saat aku menjelang remaja, ayahku, memberikan sebuah copy yang isinya puisi seorang Arab-Maronit asal Lebanon, Khalil Gibran. Sebuah puisi tentang hubungan orang tua dan anak, yang sebetulnya pernah kubaca di majalah Tempo, terbitan tahun 80-an.

 

Belakangan ini, aku mulai bertanya-tanya, kenapa puisi itu diberikan kepadaku, dan kenapa tidak dihibahkan kepada kakak lelakiku. Peristiwa itu, awalnya, tidak saya pikirkan, setidak-tidaknya saat menjelang pernikahanku.

 

Ayahku adalah anak tunggal, dari ayah seorang pedagang keturunan Arab, sementara ibunya seorang Jawa (namanya Sofiatun, dan aku tidak pernah melihat fotonya, meski kadang-kadang aku berimajinasi wajahnya seperti kebanyakan orang Jawa). Aku ingat betul, ayah acap bercerita ihwal ibunya yang bukan keturunan Arab. Tetapi, sebetulnya yang lebih banyak bercerita soal ini adalah ibuku, Syifa, dan selalu diulang-ulang, sehingga aku --juga

saudara-saudaraku-- ingat betul ditail-ditail ceritanya. “Walid kasihan sekali, mulai kecil dia dipisahkan dari ibunya,” Ibuku, suatu saat, membuka cerita. Aku dan tiga saudara perempuanku dan kakak lelakiku, dengan seksama,

mendengarkannya.

 

Walid adalah nama istilah lain ayah, yang kami gunakan untuk memanggil ayahku, yang bernama Ahmad. Karena kakekku bernama Muhammad, sementara pada keluarga keturunan Arab, nama keturunan di belakangnya --selain nama fam-- selalu dicantumkan, maka ayahku memendekkan namanya menjadi AM Alkaff (A adalah sinonim Ahmad, sementara M kependekan dari Muhammad, sedangkan Alkaff adalah fam keluarga Walid). Penyingkatan nama seperti ini lazim, atau tepatnya mode, pada jamannya Walid muda.

 

Saat itu, ada bintang filem Indonesia, yang juga menyingkat namanya menjadi AN Alcaf. Cerita tentang Walid yang dipisahkan dari ibuku, seingatku, tidak pernah diungkap secara gamblang. Kadang-kadang, tatkala aku yang mulai beranjak dewasa, timbul keinginan menganalisa kenapa peristiwa itu terjadi. Aku tidak begitu ingat, tetapi samar-samar aku teringat cerita, hal itu dilakukan

keluarga Walid karena ibunya bukan keturunan Arab. “Bayangkan betapa sedih ibunya, bertahun-tahun tidak melihat anaknya. Barulah saat Walid menginjak usia 17 tahun, ibunya sakit, dan dibawalah dia ke Jember, tempat ibunya berbaring sakit,” papar ibuku.

 

Belasan tahun lalu, aku barangkali tidak bisa menyelami perasaan Walid, juga bagaimana kesedihannya. Tetapi aku ingat, suatu saat Walid ingin betul berziarah ke makam ibunya, yang menurutnya, tidak diketahui tempatnya. Dalam hari-hari besar agama, di sela-sela bertemu keluarga, ada tradisi keluarga kami untuk menziarahi makam keluarga. Saat itulah, Walid mengajak beberapa

anaknya, termasuk aku, untuk mencari makam ibunya, yang letaknya di

pinggiran kota Jember, Jawa Timur. Beruntung, ada saudara jauh Walid dari ibunya yang mengetahui makam tersebut. “Fan, kamu itu punya saudara dari Indonesia asli, loh,” begitulah yang keluar dari mulut Walid, yang diucapkan kepada aku dan anak-anaknya yang lain.

 

Beberapa kali Walid, dengan mengajak ibuku, menghadiri pertemuan keluarga dari ibunya, di sebuah kota kecamatan, di luar kota Malang. Beberapa orang diantaranya dikenal Walid sebagai aktivis PDI, pengagum Soekarno. Dalam beberapa kali pertemuan, Walid lantas diberi silsilah keluarga ibunya, yang

kalau dilacak-lacak, maka saya adalah keturunan Sultan Banten. “Jadi, kamu itu keturunan raja-raja Banten,” cetus Walid, yang dibarengi ketawa kami semua. Foto-kopian silsilah itu masih saya simpan.

***

 

Sejak pindah ke kota Malang, sebuah kota di pedalaman di Jawa Timur, kira-kira 90 kilometer dari Surabaya, di tahun 1970, Walid jarang bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, tak terkecuali masyarakat keturunan Arab, di kota ini. Sebelumnya kami tinggal di kota Palembang, tempat Walid dibesarkan. Hanya saat-saat undangan pernikahan, halal bi halal lebaran, ayahku baru bertemu dengan orang lain. Hidupnya banyak dihabiskan duduk di kursi, di mana dia memberi les privat Bahasa Inggris, selain membaca (di rak bukunya, aku melihat Sejarah Komunisme di Dunia dan Sejarah Muhammad versi Orientalis) . Perawakan ayahku tidak seperti orang-orang keturunan Arab kebanyakan. Tingginya sekitar 160 sentimeter, ramping, berkacamata minus, dan rambutnya hampir semuanya beruban.

Orang-orang Arab di kota ini kerap memanggil Walid dengan istilah ustad atau guru.

 

Agaknya keengganan Walid bergaul dengan orang-orang keturunan Arab di sekitarnya, ditiru oleh anak-anaknya. Rumah kami (bekas gereja, milik seorang Jawa-Kristen) yang letaknya di pinggir sungai, relatif jauh dari Kampung Arab, meskipun letaknya di kelurahan Kauman, di pusat kota. Sejak kecil-kecil, kami lima saudara menghabiskan waktu di sekolah sekuler, meski sore hari, kami juga diwajibkan mengaji di belakang mesjid Jami’. (Dibandingkan saudara-saudaraku, aku sendiri yang tidak tamat membaca Alquran, dan setahuku, saat itu, aku lebih banyak menghabiskan bermain bola ketimbang mengaji di depan guruku, yang acap mengatakan aku tidak seperti anak Arab kebanyakan, yang fasih membaca kita suci itu).

Aku dan saudara-saudaraku lebih banyak bergaul dengan anak-anak Jawa yang tinggal di belakang rumah. Pernah ibuku menasihati agar anak-anaknya membuka pergaulan dengan anak-anak keturunan Arab, tapi gagal. Apalagi, untuk menuju ke kampung Arab, kami harus melalui beberapa jalan besar --sebuah hal yang tidak mungkin bagi kami yang masih kecil-kecil. Jadi pertimbangan praktis yang lebih menentukan, begitulah kesimpulanku, belakangan ini, tentang alasan kami tidak bergaul dengan sesama keturunan Arab. Tetapi kadang-kadang ada masalah kecil juga di kampung. Mungkin, karena fisikku yang relatif berbeda dengan teman-teman di kampung, julukan Arab acap kuterima, saat itu: urap-urap bumbune kelopo, arek Arab irunge dowo (urap-urap bumbunya kelapa, anak Arab hidungnya panjang), begitulah canda mereka.

 

Saban hari aku --setidaknya sejak TK hingga mahasiswa-- bergaul dengan anak-anak kampung di belakang rumahku, lama-lama membuat aku merasa bagian dari mereka. Tidak ada jarak rasanya, meski saat aku pulang ke rumah, jarak itu diperlihatkan dan dipelihara.

 

Tetapi, setahuku, hidupku lebih banyak habis di kampung. Kedekatanku itu kadang-kadang membuat aku bertanya-tanya, seperti yang kualami saat mendengarkan pengajian seorang ustad, di serambi masjid Jami’ di depan alun-alun Kota Malang, di bulan Ramadhan. “Kamu kalau bicara dengan orang tua harus pakai

Bahasa Jawa-Kromo (Bahasa Jawa halus), itu namanya sopan,” ujar ustad itu. Aku, yang saat itu berumur sekitar 10 tahun, setelah itu dibuat bertanya-tanya, karena aku tidak pernah memakai bahasa itu dengan kedua orang tuaku. Pengalamanku itu tidak pernah hilang dari ingatanku.

***

 

Tapi, beberapa detik kemudian, aku teringat potongan adegan dalam sebuah film independen, yang kutonton di Erasmus Huis, di komplek Kedutaan Belanda, di Jakarta, di tahun 1997, yang bercerita tentang imigran Cina di sejumlah negara barat –Jerman, Australia. Anak-anaknya yang perempuan menikah dengan pria-pria barat, dan dari situ cerita dijalin. Dan, potongan adegan atau tepatnya ucapan seseorang di antaranya kuingat betul, sampai sekarang, detik

ini. “Agaknya, hidupku tak sepenuhnya mampu menjebol akar masa laluku, juga akar budayaku. Tampaknya, aku mengambang, tak jebol akarku, juga tak kuat akarku.”

 

Seolah mendapatkan jawaban yang kutunggu-tunggu, aku tersentak. Kuungkapkan pengalaman batinku ini kepada temanku, Krisna, yang ikut menemani menonton film itu (Krisna adalah temanku di aktivitas pers mahasiswa, dan kami bertemu lagi pada September 1996, saat menggeluti dunia wartawan di Koran Nusa di Denpasar, Bali, dan kemudian di Jakarta. Krisna yang ibunya Katolik dan ayahnya Muslim kini menetap di Swiss, beristrikan orang sana. ‘’Saya masih Islam ‘Fan, tetapi tidak percaya lagi beberapa doktrin Islam’’)

***

 

“Kata adikku, kamu bakal susah meninggalkan akar budayamu. Suatu saat kita bertengkar, dan kamu kecewa, maka kamu akan kembali ke akarmu.” Kalimat ini jika keluar dari mulut orang yang tidak begitu kukenal, maka mungkin segera kulupa, tapi bila itu diucapkan istriku, masalahnya jadi lain.

 

Ia, kalimat itu, akan menetap lama di otak kecilku. Sulit untuk kulupa. Itulah yang diucapkannya, tatkala kami dibenturkan konflik menjelang pernikahan. Sikap keluargaku yang menolak rencanaku, saat itu, memang sedang mencapai klimaks.

 

Suasana murung menyelimutiku. Di malam hari, saat itu kuhabiskan dengan melamun sendiri di kamar pondokanku, di kawasan tak jauh dari Terminal Manggarai, Jakarta. Dan, aku sulit tidur. Tapi, saat kalimat itu meluncur di hadapanku, yang ada kemudian bukanlah aku lalu balik ke belakang atau mulai menaruh rasa ragu, tapi sebaliknya.

 

Aku mengajak Ika, yang saat itu calon istriku, di sela-sela minum capucino di suatu malam, untuk menjelaskan sikapku, yang kuharapkan bukan sekedar apologi. Dengan bergetar, aku bicara panjang tentang perjalanan mulai hingga detik-detik saat kupegang tangan calon istriku malam itu.

 

“Kenapa harus kembali ke akar, kenapa kita mau dimanjakan perasaan itu, padahal kaki kita seharian, dari menit ke menit, adalah disibukkan dengan nulis atau cari berita. Kita kembali ke akar, atau tepatnya mampir, hanya saat aku ketemu ibuku atau keluargaku. Itu pun hanya saat hari raya…”

 

Calon istriku jika mendengarkan aku berceloteh biasanya lalu tertawa manis, lalu menggelayut. Matanya itu yang membuat aku jatuh cinta, kembali berbinar. Lantas, dia berkata lirih: “Kamu seksi sekali, kalau sudah omong serius.” Sekelabat kemudian, perkara akar itu menguap, kemudian fikiran kita (atau perasaan) sudah menginjak yang lain. Inilah yang terjadi setiap kali, kapan dan dimanapun. Lantas, kenapa kita selalu memanjakan perasaan kita yang timbul-tenggelam itu?

***

 

Hari-hari itu, sekitar tahun 2000, aku punya keinginan yang meluap-luap: memburu buku yang ditulis sarjana barat yang menulis tentang sejarah timbulnya suku-suku Arab asal Hadramut yang kini menetap di Indonesia.

 

Sebetulnya, saat kuliah, aku pernah menemukan buku itu di perpustakaan kampus. Tapi, saat itu, aku belum sadar akan akar, seperti sekarang ini. Aku lupa, sebetulnya ada yang memberitahu perihal buku itu, entah kapan. Tapi, yang jelas, aku pernah lihat buku itu –berupa fotocopian– di rumah salah-satu keponakan bapakku, juga kakakku pernah cerita soal buku itu. Saat hari raya tahun lalu, aku kembali melihat copi buku itu, di rak milik kakakku di Surabaya, Kazim. “Kalau masih sempat aku bisa copy di sini, lalu kukirim ke Jakarta.” Kakakku yang satu ini sebetulnya tertarik dengan dunia intelektual, mirip ayahku.

***

 

Terkadang perasaanku kubiarkan terhanyut saat mendengarkan suara Hadad Alwi, pelantun lagu keturunan Arab. Aku lupa judulnya. Kuulang-ulang kuputar, dengan harapan kerinduan itu segera mati. Kerinduan kepada sebuah akar, sebuah kerinduan psikologis yang pernah kuselami saat aku kecil. “Apapun kamu akan kembali ke akar,” begitulah celetukan teman SMA-ku, Abubakar, entah serius atau tidak, saat dia menceritakan istrinya yang sesuku dan sekampung. Itu diutarakannya kira-kira tahun 1994. Seolah, dia ingin menyejukkan hatiku yang saat itu memberontak. (Abubakar adalah kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, teman sebangku di SMA

Islam, Malang, persisnya saat kelas 2 jurusan Sosial. Dia menikah dengan perempuan satu kampung, dan kini masih tinggal di Malang).

 

Seperti biasa, aku tak mendebat kalimat itu, dengan menampakkan urat yang mengencang di leher. Aku bukanlah orang yang pandai berdebat. Cuma tertawa, begitulah, meski otakku jalan terus, dan mencari jawaban sendiri, dan menemukan jawaban akhirnya, bahwa temanku tak selalu benar. “Kamu itu sebenarnya keras kepala, persis seperti aku,” kali ini kata istriku.

***

 

Seperti lazimnya anak-anak muda lain, di saat akil baliq, aku pun belajar memahami perempuan, dan berusaha mengaguminya. Setahuku, sampai batas mengagumi itulah, yang bisa kulakukan, saat itu, setidaknya sampai masa kuliah. Di kota Malang, sebuah kota yang kecil, segala aktivitasku seolah-olah dalam posisi diteropong, gampang diketahui. Tidak mungkin, rasanya, batas mengagumi perempuan itu bisa terlampaui, misalnya, dengan kemudian mengkonkritkan rasa mengagumi tersebut.

 

Kebetulan yang aku kagumi, saat itu, tidak ada satu pun yang berasal dari perempuan keturunan Arab. Mereka, di kota Malang, jarang bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Di kampung, taman kanak-kanak, sekolah dasar, lanjutan pertama dan atas, juga kuliah, tidak kujumpai perempuan keturunan Arab yang kukagumi. Masalahnya, di dalam keluargaku, ada peraturan tidak tertulis, agar nantinya anak-anaknya, juga keturunan di bawahnya, menikahi sesama keturunan Arab. Karena itulah, rasa mengagumi perempuan itu, akhirnya berujung kepada puisi, yang kusimpan rapat-rapat. Kejadian ini berulang terus, dan barangkali sepertinya bukan dianggap masalah oleh keluargaku. Aku sempat terpikir, barangkali aku baru bisa melampaui batas mengagumi itu, setelah aku keluar dari kota Malang.

Dan, semenjak tinggal di Bali, keinginan itu akhirnya terlampaui.

Akibatnya, di pulau itu, dan setelah tinggal di Jakarta, rasanya penaku mulai tumpul untuk sebuah puisi.

***

 

”Jadi, bagaimana sikapmu kalau anakmu ini menikah dengan orang bukan keturunan Arab.” Istriku kembali mengulang pertanyaan itu, seolah dia tidak puas dengan ceritaku yang panjang-lebar, malam itu. Kubilang, itu terserah Aida, biarlah dia memilih siapa calon suaminya, nanti. “Tapi, bagaimana kalau Aida, memilih calon suami yang keturunan Arab. Lagipula, orang-orang keturunan Arab kan cakep-cakep,” cetusku, seraya tertawa. Percakapan ini, setahuku, kemudian terhenti, dan kadang diulang lagi oleh istriku. Belakangan, aku tak pernah mendengarnya lagi.

***

 

Saat Idul Fitri, kira-kira satu bulan setelah kami menikah, aku menelpon ke Malang. Kuajak istriku untuk bersapah dengan keluargaku. Di ujung telepon sana, Ibuku berbicara. Tidak ada suasana seperti menjelang pernikahan. “Apa kabar Ika. Sini, aku pengin ngomong sama dia,” kata Ibuku membuka pembicaraan. Intinya, kami membuka pintu, untuk saling memaafkan. Sejak lebaran itu, aku berharap semuanya bisa dimulai dari titik nol. Rel baru, begitulah di benakku, bisa dibangun hubungan yang betul-betul baru antara hubunganku dan keluarga di Malang.

 

Situasinya tampak nyaman, saat Ika kuajak ke Malang, beberapa hari setelah lebaran. Puncaknya, saat Aida, anakku, kuajak pula menjenguk neneknya di Malang.

 

Aku sempat bertanya-tanya kenapa Aida awalnya tidak mau digendong neneknya, tetapi segera kuhapus bayangan-bayangan jelekku. Tetapi, saat itu, apa yang kunamakan ketakutan-ketakutan yang dulunya pernah terlontar di keluargaku -– misalnya, sulit mempertautkan orang bukan Arab di keluarga kami-- tidak kujumpai. Ibuku sendiri pernah kuajak mampir ke rumah orang tua Ika, di Bintaro, dan ketakutan-ketakutan itu rasanya cuma isapan jempol.

***

 

Aida anakku, pada 20 Desember 2003, telah memasuki usia 2  tahun. Parasnya, kata banyak orang, ngangeni. Kulitnya putih dan warna bola-matanya coklat muda,

mirip mataku.

 

Aku lupa persis waktunya, tetapi sambil tertawa ibuku, entah serius atau tidak, suatu saat nyeletuk: ”Jodohkan saja Aida dengan Nazif.

Mudah-mudahan nanti Nazif jadi anak pintar.”

 

Nazif adalah anak kedua adik perempuanku, Henny. Nazif dua tahun lebih tua dari Aida. Di kamar ibuku, di Malang, potret Aida dan Nazif di pasang berdempetan,  terpisah dari foto cucu ibuku yang lainnya. Aku tidak menjawab celetukan ibuku, tetapi pertanyaan istriku: “Jadi, bagaimana sikapmu kalau anakmu ini menikah dengan orang bukan keturunan Arab,”, muncul membayangi

kembali.

***

(dimuat dalam buku Keping Kenangan, kumpulan memoar orang biasa, 2003)