Oct 29, 2007

keliling Jawa, tertidur di sarkem, nagrek...(6 habis)




KAMI akhirnya kembali ke Yogyakarta, kota dengan seribu kenangan. Gerimis kecil menyambut saat mobil kami merambat di perempatan Tugu, Kamis malam, tiga pekan lalu. Perasaan lega jelas terpancar pada raut wajah kami -- kecuali anakku yang tertidur lelap, sejak dari Kartosuro. Kini tugas saya mengecek hotel mana yang masih tersisa kamarnya, sementara malam terus larut..

Tidak gampang, ternyata, mendapatkan kamar malam itu. Sejumlah hotel, mulai Natour di Malioboro hingga hotel-hotel kecil di sela-selanya, semuanya penuh. Kami baru sadar: Yogya adalah kota wisata, dan semua orang tumplek-blek di kota ini, tentunya. Lebih dari 5 kali kami keliling Malioboro, kraton, stasiun tugu.. untuk sekedar menelepon seraya melihat adakah hotel yang tidak penuh...

Agak putus asa, serta letih, kami akhirnya menemukan hotel di sebuah jalan yang selama ini disebut sebagai kawasan 'lampu merah'... Pasar Kembang alias sarkem! Semula was-was, seraya memperhatikan sekilas siapa yang hilir-mudik di hotel itu, saya akhirnya memberanikan diri. "Ada kamar kosong, silakan.." jawaban lelaki resepsionis itu melegakan, tapi rasa was-wasku belum sepenuhnya hilang. Aku mengecek langsung ke dalam kamarnya, dan akhirnya kusimpulkan: 'aman'....

Saya masih ingat, jam tanganku sudah menunjuk angka 12 malam, saat itu. Anakku sudah terbangun, dan seperti biasa kembali bugar, setelah mengetahui menginap di sebuah hotel. "Kelihatannya bersih kok, say," kataku lirih kepada istriku. Malam itu kami tidur nyenyak, walau sebelumnya anakku sempat menekuni hobinya, menggambar...

Dibandingkan dengan perjalanan sebelumnya, kami sekarang mesti menghitung jarak tempuh dan alokasi waktu, dengan secara lebih cermat -- maklum, dua hari lagi, kami mesti kembali ke realita, masuk kantor.. Itulah sebabnya, sehari setelah menginap di hotel itu, pagi itu kami hanya punya waktu sedikit untuk keliling kota Yogyakarta. "Yang jelas kita mesti ke Malioboro...," kami menyepakati, karena jaraknya yang dekat.

Malioboro tidak banyak berubah, semenjak saya datang pertama kali tahun 1988. Istriku begitu gembira saat menemukan sebuah restoran tua, yang pernah dia datangi saat masih kanak-kanak. "Bangunannya masih utuh," serunya seraya menunjuk bangunan yang sebagian interiornya terbuat dari kayu.

Pasar Beringharjo masih berdiri tegak dan terawat. Ratusan penjual penganan, aneka cindera mata, hingga blangkon, serta aneka kemeja, terlihat berderet di ruas jalan itu... Kami, meski sebentar, sempatkan pula jalan-jalan ke depan Kraton, sebelum akhirnya meninggalkan kota itu pagi itu juga...

Seperti direncanakan, kami meneruskan perjalanan itu tetap pada rute di selatan Jawa -- kami memilih ke arah Wates, Purworejo, Prembun dan Kebumen... dan seterusnya (semula dari Wates, kami ingin masuk jalan agak kecil di pinggiran laut Selatan, tapi batal dengan sendirinya karena kami tak menemukan jalan masuknya...). "Ya sudah, kita lewat jalur biasa," kataku enteng, dan diamni istriku.

Seperti sebuah kisah perjalanan yang sudah banyak diungkap, perjalanan pulang disebut tidak akan sedahsyat saat pergi. Perasaan serupa juga kami alami. Ini tak bisa kami pungkiri -- faktor lelah, agak dikejar waktu, itu yang biasanya yang menjadi faktor pemicu.

Tapi tetap saja, mobil kami berjalan dengan santai di sepanjang Kebumen -- kota burung walet, begitu simbol kotanya yang kami jumpai, selain kota anti maksiat. Di pinggiran kota ini, kami mampir sebuah restoran, untuk mengisi perut... (Aida akhirnya menemukan makanan kegemarannya, lele goreng)

Sejak di wilayah Purworejo, lalu-lintas kendaraan roda empat mulai terlihat relatif lebih ramai jika dibanding daerah sebelumnya. Ini terjadi tampaknya karena kota itu merupakan jalur pertemuan dari arah Magelang dan Yogyakarta. Di sini kami banyak menemukan kendaraan roda empat dengan nomor polisi dari Bandung dan sekitarnya -- rupanya ini adalah jalur arus balik ke arah ibu kota Jawa Barat...

Kehendak untuk bisa segera masuk ke wilayah Jawa Barat, sempat membuat kami merasa bosan dengan luasnya wilayah Cilacap. Ini bisa dipahami istriku, yang mengaku kenal dengan jalur ini. "Dulu, setiap ke Yogya, kami sekeluarga leeat jalur ini.. dan wilayah Cilacap itu kelihatannya luaaaass sekali," paparnya, agak serius.

Setelah lepas dari Gombong (Jateng), kami praktis hanya melalui kota-kota kecil seperti Tambak, Sumpiuh, Buntu, Rawalo, dan Wangon. Semuanya hampir pasti masih wilayah Cilacap, di dekat samudera Hindia, yang menurut istriku "jalur yang membosankan".

Namun saat di jalanan, sudah kutemukan papan penunjuk yang berisi "selamat datang di wilayah Jawa Barat", perasaan lega mulai merayapi kami. Kota Majenang adalah kota yang kami lalui, sebelum akhirnya kami masuk wilayah propinsi itu -- hari beranjak sore saat kami merayapi jalan protokolnya.

Di sebuah wilayah yang masih masuk kawasan Wanareja, Cilacap, tetapi sudah dekat perbatasan, kami akhirnya mengaso di sebuah restoran lesehan. Suasana senja sudah terlihat. Istriku di sini dipijat kakinya (refleksi) -- kedua kalinya setelah di kota Blitar. Kami lantas makan dengan lahapnya, yang berakhir pada rasa kantuk -- aku yang ngantuk, persisnya...

Praktis jalanan menjadi gelap setelah kami masuk wilayah Jabar -- saya gagal memotret tugu perbatasan dua propinsi itu. Hawa sejuk juga mulai kami rasakan, sehingga kami mesti mengenakan jaket, dan selimut untuk anakku.

Karena alasan ngantuk, saya sempat usul untuk istirahat sehari, entah di Tasikmalaya atau Bandung. Tapi istriku tak setuju, karena alasan waktu. Dia khawatir kalau perjalanan selanjutnya ditunda besok, maka akan berbarengan dengan arus balik. "Makanya, mending kita kejar sekarang, sampai Jakarta, hingga kita bisa istirahat sekalian, dan terhindar macet," jelasnya. Saya akhirnya mengiyakan, walau rasa kantuk tak bisa ditahan -- kopi hangat rasanya sudah tak mampu menahannya...

Antara bangun, tidur, bangun, dan ngantuk, itulah yang praktis terjadi pada diriku. Tak tega melihat istriku melaju sendiri, aku mencoba bangun -- berhasil! Tapi beberapa menit kemudian, tertidur lagi, bangun lagi.... -- itu yang terjadi sepanjang sekitar 200 kilometer dari Banjar, Ciamis, Tasikmalaya (kami sempat istirahat di sini, ke toilet dan minum kopi), Malangbong, hingga Nagrek (padahal pada tanjakan angker itu, istriku bercerita, "sayang kamu tidur say, padahal di situlah mobil kita teruji, bisa melaju melewati 3 truk gede-gede...").

Di pintu tol Cileunyi menuju Jakarta, saya sempat terbangun lagi. Tetapi tidur lagi, sempat terbangun, sampai di dekat pintu masuk Jakarta. Kulihat istriku, "perempuan perkasa" itu, masih tegar, kuat, tidak ngantuk. Kok kamu kuat say? Kataku agak basa-basi. "Ya, asal nanti pijat total.." cetusnya seraya tertawa.

Sekitar pukul 2 dini hari, mobil bakpao kami merayap di jalanan yang kami akrabi selama ini. Rasa penat, ngantuk tak tertahankan, kami coba tahan, sebelum akhirnya perjalanan keliling Jawa itu mesti berlabuh -- bukan berhenti sepenuhnya -- di kawasan tanah Kusir, Jakarta Selatan (tamat).



keliling Jawa, melamun di cadas Trenggalek-Ponorogo...(5)




TATKALA mobil kami meliuk-liuk di perbukitan cadas antara Trenggalek-Ponorogo, di sisi selatan Jawa Timur, pada tiga pekan lalu, aku sempat melamunkan 2 orang teman baik di jaman mahasiswa -- mereka berasal dari kedua wilayah kering itu. Kemana mereka sekarang, apakah mereka kembali ke kampungnya? Apakah mereka ada pertanyaan yang sama tentang akar, soal masa lalu?

Sugiyono, salah-seorang diantaranya, tinggal di sebuah dusun di Ponorogo, yang sebagian besar lahannya dikenal kering. Kukenal sebagai lelaki bersahaja (dia pernah cerita naik sepeda dari Ponorogo-Malang, yang berjarak 180 kilometer!), tapi minatnya untuk berbisnis, tinggi sekali. Tapi itu dulu. Enam tahun lalu, dengan kalimat murung di dalam kertas surat berwarna merah muda, dia berkata," saya sekarang memilih menjadi petani.." Kubalas surat itu, tapi setelah itu kami kehilangan kontak -- teman baik itu hilang seperti ditelan bumi...

Sepanjang perjalanan dari Trenggalek ke Ponorogo, yang berjarak 41 kilometer, kami disuguhi panorama musim panas yang kering -- selain jalanannya yang meliuk-liuk. Perbukitan warna coklat muda terlihat di kanan-kiri, diselingi sungai kering yang menyedihkan (aku bayangkan, alangkah indahnya jika hujan menghijaukan pebukitan tandus itu). Tapi sinar matahari tampaknya tak peduli, dibuatnya daun-daun pepohonan jati jadi meranggas -- saya ingat wilayah Ponorogo yang berbukit kapur seluas 137 ribu hektar, yang subur hanya 37 ribu hektar..

Perbukitan di sepanjang Tulungagung, Trenggalek dan Ponorogo adalah bagian dari Pegunungan Kidul, di sisi selatan Jawa itu, memang hampir sepenuhnya berkapur. Kota Tulungagung, misalnya, yang kami lalui, setelah meninggalkan kota Blitar, dikenal sebagai daerah penghasil marmer -- batuan kristal kasar yang berasal dari batu gamping atau dolomit.

Bagiku, dan utamanya istriku (serta anakku, tentu saja), perjalanan melintas jalur selatan (di daerah Jawa Timur) adalah yang pertama. Sepanjang masa mudaku di Malang, sama-sekali tidak pernah melanglang sampai perbukitan Trenggalek- Ponorogo itu tadi -- jarak terjauh yang kutempuh hanya sampai Tulungagung, itu pun lebih dari 20 tahun silam, ketika studi wisata sekolah dasar..

Tapi alasan kami memilih melalui jalur itu, yaitu jauh dari macet, sama-sekali tidak meleset. Jalanan relatif lengang, sehingga dalam jarak sekitar 60 kilometer dari Blitar, kami bisa mengisi perut di sebuah warung di kota Trenggalek -- tentu saja, kami tak mengkonsumsi sate kuda, yang iklannya gampang dijumpai di sepanjang kota itu.

Dengan target berikutnya adalah kota Solo atau Yogya sebagai tempat istirahat, kami memutuskan melalui Ponorogo. Alasannya, jaraknya relatif lebih dekat ketimbang jika kami turun ke bawah (maksudnya ke selatan) melalui jalur Pacitan. "Dan coba lihat, hanya ada jalan lurus antara Ponorogo ke Wonogiri (Jawa tengah), sebelum ke Solo," kataku seraya memperlihatkan peta itu kepada istriku.

Jarak Ponorogo-Wonogiri sekitar 73 kilometer, melalui kota-kota kecil seperti Purwantoro, Jatisrono, dan Ngadirejo. Di sini, jalanan relatif tidak berbukit serta landai. Sawah-sawah menghijau juga mulai gampang ditemui -- kami lantas istirahat pada sebuah pom bensin yang kana -kirinya diwarnai hijaunya sawah..

Menjelang senja, mobil kami mulai merapat kota Wonogiri, yang letaknya tidak jauh dari Waduk raksasa Gadjah Mungkur -- sayangnya kami tak melihat wujud fisiknya. Di sini kami menanjak terus, dan sepertinya membelah sebuah bukit, sebelum masuk ke kawasan landai yaitu kota Sukoharjo -- 10 kilometer dari kota Solo.

"Apakah kita istirahat, cari hotel si Solo saja," kataku pada istriku, saat mobil kami mulai merayap di jalanan kota itu. Istriku ragu, dan akhirnya kami toh memilih Yogya sebagai tujuan istirahat, walau hari terus beranjak malam. "Rasanya nanggung kalau istirahat di Solo," jelas Ika..

Perut yang terasa lapar, apalagi gerimis mulai merayap, memaksa kami berhenti pada sebuah warung bebek goreng di jalanan Kota Kartosuro, 11 kilometer dari pusat kota Solo. "Lumayan enak rasanya, walau ukurannya gede sekali dan sambalnya pedas minta ampun," jawabku, setengah berdesis, setelah istriku meminta komentarnya atas kualitas makanan.

Malam itu, kami melanjutkan perjalanan, merayapi Kartosuro, Delanggu, Klaten, Prambanan, hingga akhirnya tiba di Yogyakarta.. (bersambung)

Bung Karno, museum dan anakku




"Aida nanti buat museum, ah.. museum tentang Aida.." begitulah kalimat yang meluncur dari mulut anakku (Aida), di sela-sela acara mudik dan liburan kami, tiga pekan lalu. Saat itu kami tengah mengunjungi makam dan rumah Bung Karno (BK) di Blitar..

Aku lupa persisnya kapan Aida melontarkan kalimat itu -- saat di rumah BK atau jauh setelahnya. Adalah istriku yang mengingatkan kembali kalimat itu, yang dia muat di blognya. "Kalau Aida mati nanti, Aida mau bikin Museum Aida...."begitu yang diingat istriku. "Aida si astronot, pelukis dan pianis...." begitu kata istriku mengutip kalimat Aida, saat kutanya barang apa saja yang akan dipamerkan.

Aida melontarkan kalimat itu seraya tertawa, gembira, itu yang kuingat. Dan suasana seperti itu, sudah dia tunjukkan tatkala kami pagi itu berangkat ke rumah dan makamnya BK -- kami melakukannya setelah menginap sehari di Hotel Tugu, Blitar...

Tapi, sebetulnya, ini bukan kunjungan pertamanya ke museum atau tempat-tempat terkait masa lalu -- terakhir dia kuajak ke makam bekas Perdana Menteri Sutan Syahrir di Kalibata. Dalam berbagai kesempatan, dia kulibatkan saat aku membaca teks tentang BK, Hatta, Syahrir, Natsir, juga Aidit atau Tan Malaka... Motifku mengajak dia kepada bacaan dan tempat-tempat seperti itu, tentu semacam tamasya sejarah..

Dan sejak awal aku ingin mengajak Aida ke makamnya BK, apalagi kami sudah berada di kota Blitar (saya sendiri 2 kali ke lokasi itu, pertama, dengan ayahku di tahun 1978, dan rombongan studi tour SD tahun 1980..)...

Untungnya, perjalanan menuju ke komplek bersejarah itu menyenangkan. Pihak penyelenggara wisata sejarah itu juga relatif profesional. Dengan modal petunjuk jalan, kami bermobil menuju sebuah lokasi parkir yang luas. Di sana sudah tersedia becak dengan pengemudinya, siap mengantar para wisatawan. "Bapak nanti bayar 10 ribu, nanti saya antar ke rumah BK, perpustakaannya, serta makamnya..," ujar abang becak itu.

Barangkali lantaran masih suasana lebaran, jalan-jalan kota Blitar relatif sepi. Tujuan pertama kami adalah rumah BK yang bercat hijau dan dipenuhi foto-foto terkait BK di masa lalu. Seperti diduga, anakku kemudian hilir mudik di ruangan-ruangan rumah itu. "Aida mau ah, tidur di sini," ujarnya saat kami berada di sebuah kamar milik keluarga BK.

Di dalam rumah itu, selain kamar tidur itu tadi, terdapat setidaknya dua ruangan besar. Di sanalah dipajang berbagai foto itu tadi. Sejumlah wisatawan lokal memadati ruangan tengah, dan -- seperti halnya kami -- mereka juga mengabadikan kunjungannya itu. Saya sendiri memotret pose Sukarno (yang menggunakan blangkon) dan teman-teman sekolahnya, serta makamnya sebelum dipugar Presiden Suharto -- pengurus musium itu, yang juga menyediakan tukang potret, tak melarang kami mengambil gambar...

Dari rumah BK, kami diantar ke perpustakaan BK (yang diresmikan Presiden Megawati tahun 2004) yang letaknya berdampingan dengan makamnya. Sayangnya, perpustakaan itu tutup. Kami tak begitu kecewa, karena di depannya ada patung BK tengah duduk dan membaca -- sebuah patung bersahaja, dibanding dengan patung-patung BK lainnya yang terkesan heroik...

Diantara perpustakaan dan makam, ada semacam ruang terbuka. Di sana ada relief yang menggambarkan sejarah politik BK. Mulai dia sekolah, mendirikan PNI, menyiapkan kemerdekaan Indonesia, pidato Nawaksara (saya bayangkan, tentu di jaman Suharto, relief ini tentu akan dilarang) hingga dia tutup usia. Di tengah rekief itu terdapat kolam ikan yang memanjang..

Di ujung ruang terbuka itu, ada tangga menuju ke atas, dan di sana terdapat seperti gapura mirip pintu gerbang Mojopahit. Di balik bangunan itulah, kami mendapati makam BK -- yang dipenuhi puluhan pengunjung. Sebagian pengunjung terlihat mendoakan sang proklamator, sementara anakku sibuk menanyakan "mana bunganya, Aida mau menaburkan bunga.."

Usai melihat langsung makam BK, kami memasuki pintu keluar yang berbentuk lorong yang dipenuhi para penjual cindera mata terkait BK. Di ujung lorong itu, abang becak itu tadi sudah menunggu kami -- dia kemudian mengantar kami balik ke lokasi parkir mobil semula...


keliling Jawa, terdampar di Ngliyep (4)




KUTINGGALKAN Kota Malang, tiga pekan lalu, dengan rindu yang belum tuntas, serta pertanyaan yang tak sepenuhnya terjawab. Tapi pikiran logisku juga punya jawaban: tiga hari, kupikir, sudah cukup untuk sebuah pertemuan mengenang masa lalu, saling memaafkan, bercanda, dan saling sapa. "Jangan lebih dari itu.."

Dengan senyum menggantung yang terlihat di raut wajah Ibuku, yang berdiri di depan rumah (beserta keluarga besarku), siang itu mobil kami akhirnya melaju pelan -- meninggalkan masa lalu itu. Ada lambaian tangan, ciuman di pipi, tetapi juga kata-kata tak terucap, menandai perpisahan itu..

Dalam situasi melankoli seperti itu, aku selalu berupaya meyakinkan diri berulang-ulang: perpisahan adalah tidak terelakkan...

Toh akhirnya mobil kami melaju terus. Dan dibandingkan saat berangkat, rute balik kami ke Jakarta kali ini lebih jelas, yakni melalui jalur selatan. Kenapa kami pilih jalur ini? Jawaban pertama, karena tujuan kami berikutnya adalah kota Blitar -- kami berencana plesir ke makam Bung Karno di kota itu. Alasan lainnya, kami ingin merasakan jalur yang tidak seramai jalur pantura...

Kami awalnya berhitung, jarak Malang-Blitar yang sekitar 77 kilometer, bisa ditempuh dalam 1 jam. Dengan begitu, kami bisa langsung ke tujuan, kuburan Bung Karno. Tapi, rencana ini menjadi berantakan, ketika di jalanan kota kecil Kepanjen (kira-kira 18 km dari Malang), aku berkata secara spontan kepada istriku, "nah, itu jalan menuju Pantai Ngliyep, ombaknya besar di sana .. aku pernah ke sana..." Istriku belum menjawab, tapi sekonyong-konyong Aida (anakku) memotongnya, "Aida pengin ke Ngliyep, Aida pengin main pasir..."

Pantai Ngliyep, yang ombaknya dikenal ganas (di pinggir Samudera Indonesia), dan selalu dilekati mitos Nyai Roro Ngidul, letaknya masih di wilayah Kabupaten Malang -- kira-kira 62 kilometer dari pusat kota Malang. Dulu, sebelum muncul plesiran Pantai Balekambang, dan Sendang Biru (yang letaknya di garis pantai yang sama di kabupaten Malang), Ngliyep dikenal dan acap didatangi turis.

"Saya sudah lama nggak ke sana, tapi kayaknya pantainya juga bagus.. dan nggak begitu jauh kok" kataku, seolah meyakinkan diri sendiri, menjawab ketidaktahuan istriku. Mobil kami pun mengikuti setiap petunjuk jalan, juga mengikuti angkutan umum di depan kami, melalui jalan-jalan yang semula lebar, menjadi menyempit, yang semula ramai, kian sepi, dan makin sepi...

Nada khawatir mulai merambatiku, dan istriku mulai tak bisa menutupi keraguannya -- anakku barangkali lebih membayangkan pasir pantai yang putih.
Apalagi, pada jalan-jalan yang kita lalui, di kanan-kirinya mulai terlihat pohon jati kering, dan batu cadas, serta jurang -- jarang terlihat rumah penduduk dan tidak berlampu. "Mana pantainya, kok belum kelihatan juga," begitulah pertanyaan pada diri kami.

Kubayangkan semula jarak antara Kepanjen-Ngliyep bisa ditempuh kurang dari 1 jam, tetapi faktanya waktu tempuhnya lebih dari 2 jam! "Kok nggak sampai-sampai say," celetuk Ika, masih dengan nada datar..

Puncak kecurigaan kami adalah saat mobil kami dibelokkan oleh sejumlah pemuda. Kubuka jendela sedikit-sedikit, dan kutanya, "Kenapa harus belok?" Mereka menjawab, silakan lewat jalan alternatif -- sebuah jalan tanah yang tidak rata, dihiasi kebun tebu yang rindang. Kami membayangkan, apa jadinya jika kita melewati jalan seperti itu di waktu malam... (belakangan setelah kami kembali ke jalan beraspal, kami diberitahu jika ada jembatan yang rusak..)

Kalau di lihat di peta, rute menuju Ngliyep itu akan melewati wilayah Kecamatan Donomulyo -- tapi wilayah itu seolah lama sekali terjangkau. Setelah menunggu dengan tak sabar, akhirnya kami menemukan petunjuk jalan di sebuah pertigaan, ke kanan ke arah kota kecamatan Donomulyo, sementara ke kiri adalah Ngliyep. "Akhirnya..." kataku dalam hati.

Memang jalanan tidak melulu bukit cadas pada ketinggian, dengan hutan jati yang meranggas, tapi juga rumah penduduk yang tak begitu ramai. Pemandangan yang kusebut belakangan ini membuat kami lega, karena kami akhirnya "tidak sendirian" (anakku mulai paham, jika melewati jalan sepi, dia akan selalu bertanya, apakah kita melewati hutan yang sepi, dan berbinatang buas.. kami biasanya membujuknya..)

Dan tatkala mulai terlihat nyiur pohon kelapa, dan secuil laut biru dari kejauhan, perasaan kami menjadi lega. Kami akhirnya sampai di Pantai Ngliyep -- kami terdampar di sebuah tempat, jauh di luar jalur resmi arus balik.... (seingatku jam di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka 2 lebih 30 menit sore. Itu artinya kita mesti bergegas, sebelum matahari terbenam. "Jangan sampai kita semalaman di jalan seperti ini," kata istriku, tegas).

Sisa-sisa rasa was-was itu, akhirnya luruh pelan-pelan, saat kaki kami menyentuh hamparan pasir putih nan luas -- dihiasi pepohonan yang rimbun, dan tinggi. Tidak banyak wisatawan saat itu, mungkin lantaran hari sudah beranjak sore. Hanya tersisa anak-anak muda dan pasangannya...

Pantai Ngliyep, dari sekilas memandang, adalah perpaduan tebing curam (yang konon terdapat hutan lindung) dan hamparan pasir putih. Disela-selanya ada deburan ombak yang -- setiap saat -- menerpa tebing-tebing dan pasir putih itu. Hanya ada 2 atau 3 orang yang berenang, karena memang dilarang, mengingat tinggi ombaknya...

Sore itu, seraya menyantap 2 buah mangga, kami puaskan memandang ombak yang deburannya terlihat seperti mengembun, pada jarak kejauhan. Anakku sebaliknya asyik dengan mainan barunya: keong dan batu apung yang putih warnanya....

Tepat pukul 4 sore, kami meninggalkan pantai pasir putih itu -- kami dituntut berlomba dengan waktu, agaknya. Rute kami selanjutnya adalah pertigaan Donomulyo itu tadi, sebelum merambat ke jalan kecil, melewati jalanan desa (diantaranya Lodoyo), menuju tujuan kami berikutnya, Kota Blitar. Senja jingga yang indah itu akhirnya menemani perjalanan kami (bersambung).

semalam di Splendid...




BIKIN kejutan, itulah keinginan kami saat mudik Ke Malang dua pekan lalu. Itulah sebabnya, kami tak pernah memberitahu keluarga di Malang, kapan kami tiba. "Mudah-mudahan bisa mudik, saya ingin pulang.." demikian jawabanku singkat -- bila keluargaku menanyakan kepastian itu.

Dan ketika mobil kami merayap di jalanan kota Malang, tengah malam itu, kami akhirnya menerima resiko atas pilihan bikin kejutan itu tadi. Keluarga kami ternyata belum tiba dari Surabaya -- kunjungan lazim setiap lebaran tiba.

Tapi kami masih merasa yakin mereka segera tiba. Saya, istri dan anakku lantas mengelilingi sebagian kota itu, lalu kembali lagi -- ternyata mereka belum datang, sementara jam terus bergerak, memasuki pukul 11 malam..

"Kita harus cari hotel," itulah kesimpulan kami, setelah dihadapkan kenyataan seperti itu. Sempat mengecek apakah ada kamar di Hotel Pelangi, dan hasilnya nihil. Setelah berputar-putar, akhirnya kami sampai pada satu nama hotel yang cukup akrab di telinga kami, Hotel Splendid...

"Ada satu kamar kosong, tapi cuma sampai besok," ujar resepsionis hotel, tatkala kukontak malam itu. Kami pun beranjak ke hotel yang letaknya di kawasan tugu (10 menit naik mobil dari rumahku), dengan perasaan lega -- kami, utamanya istriku, tentu butuh istirahat.

Hotel Splendid (saya tidak pernah tahu, dari bahasa apa kata itu) kusebut akrab di telinga kami, karena hotel itu pernah jadi saksi perjalanan kami -- aku dan istriku, maksudnya. Hotel itu menjadi tempat transit saat Ika (nama istriku) -- didampingi adik perempuannya -- kuajak ke Malang untuk berkenalan dengan keluargaku. Kejadiannya pertengahan tahun 2000, sekian bulan sebelum kami akhirnya menikah. Itulah sebabnya kami menganggap sebagai "hotel kenangan..."

Dulu, sebelum ada hotel-hotel berbintang lainnya, hotel splendid cukup mentereng (dibangun tahun 1973, dari bekas rumah peninggalan Belanda). Para turis asing biasanya menginap di hotel yang berseberangan dengan Balaikota, di kawasan elit Tugu. Kini nyaris hotel itu jauh tertinggal -- apalagi di sampingnya persis berdiri hotel dengan arisitektur terindah di Indonesia, Hotel Tugu...

Malam itu, kami mendapat kamar di lantai 2, di bagian bangunan baru hotel itu (sepertinya dibangun belakangan, masih masih tahun 70-an -- terlihat dari interior kamarnya). Dulu, Ika menginap di lantai dasar, bagian bangunan utama yang kuno (dibangun saat kawasan Tugu dibangun, tahun 1930-an) -- pintunya pakai plitur dan berat sekali, lantainya juga masih tegel kuno, juga jendelanya...

Pagi harinya, kami sarapan di ruang tengah -- sepertinya bangunan baru, menghubungkan bangunan utama dan bangunan lainnya. Saya antar pula anakku berenang di kolam renang berukuran kecil, tak jauh dari ruangan itu. Di sela-sela semua itu, saya menyelinap, memotret sejumlah sudut bangunan kuno yang masih tersisa...

Oct 28, 2007

keliling Jawa, mesjid kremlin, manusia trinil..(3)




BERANGSUR-ANGSUR suasana mistis lebaran itu memudar, seiring berjalannya waktu. Pada pagi itu, di sudut Kota Yogya, yang terlihat senyap ditinggalkan penduduknya, tak lagi terdengar takbir -- digantikan raungan motor dan bus yang jarang. Minggu pagi itu adalah hari raya kedua, menurut orang NU...

Saya lalu bertanya, ada apa di balik perasaan sendu saat mendengar takbir? Bukankah itu lebih mewakili perasaan estetis ketimbang religi, demikian tanya Karen Armstrong, saat dia masih tinggal di Biara. Saya biarkan pertanyaan itu berlalu. Pagi itu aku justru melangkah ke luar kamar Hotel Gedong Kuning, untuk menikmati pagi, seraya mencari warung kopi (hotel itu tak menyediakan sarapan)

Kesibukan menjelang perjalanan berikutnya, seperti membangunkan anakku (dari tidurnya), memandikannya, dan membantunya memakai baju, justru menyita pikiranku. Selalu begitu: dari detik ke detik, menit ke menit.. sebuah momen peristiwa keseharian. Menurutku, inilah hidup sesungguhnya, di luar pikiran-pikiran besar yang hampir tak terjangkau..

Ditawari sarapan di rumah adik mertuaku, kami tak bisa menolak. Inilah pertemuan akhir, sebelum kami berpisah dengan keluarga besar istriku itu -- kami lanjutkan berkelana ke arah timur, sementara mereka menetap sebelum akhirnya balik ke Jakarta..

"Kalau mau ke Malang, mending jangan lewat Kertosono. Masuk saja ke Kediri, lalu lewat Pujon...,"mertua lelakiku memberi saran. Saya agak lupa apa alasannya, tetapi memang jaraknya lebih pendek. Kecuali kalau mau lewat Surabaya, maka melalui Kertosono adalah pilihan terbaik -- tapi kami sejak awal menjauhi kota Surabaya setelah ada masalah lumpur di Sidoarjo. "Kami memang akan lewat Pujon, meski resikonya ada tanah longsor..Tapi untungnya nggak hujan," jawabku dengan lagak sok tahu..

Kami akhirnya beranjak meninggalkan Yogya sekitar pukul 10 pagi, tapi terik matahari sudah mulai terasa. Tujuan kami selanjutnya adalah Candi Prambanan, yang lokasinya tidak begitu jauh. Diwarnai keragu-raguan, karena soal waktu dan hawa panas itu tadi, kami akhirnya toh memparkir mobil di pelataran candi itu -- saya dan Aida belum pernah mendatanginya...

Seperti diduga, sengatan panas itu membuat kedatangan kami kurang nyaman -- walau kami sudah memakai topi pet. Kami akhirnya memutuskan tak berlama-lama. Kurang dari 1 jam, kami lantas cuma keliling sebagian candi -- yang sebagian dikonstuksi ulang lantaran rusak karena gempa. Ambil gambar untuk kenang-kenangan, dan balik ke mobil -- Aida kubelikan satu miniatur candi itu.. (di sini Aida sempat merengek karena kami menolak kemauannya mengkonsumsi ice cream atau permen...)

Sebelum ke Prambanan, kami mampir ke restoran ayam goreng 'Mbok Berek pertama Ibu Noor', di wilayah Candisari -- ini jelas ide istriku yang paling doyan ayam goreng lengkap dengan bumbu keringnya itu... Letaknya di sebelah kiri jalan dari arah Sleman, dengan papan baliho yang besar -- sangat mencolok mata.

Kami beli satu kotak ayam goreng lengkap ditambah 4 nasi putih, buat di makan di perjalanan (kelak saat kami mengkonsumsinya, Aida begitu lahap menyantapnya, dan "kok ayamnya dikit, Lid..")

Namun bukan semata ayam goreng kami berhenti di tempat wisata kuliner tersebut. Mata kami tertumbuk pada sebuah bangunan yang mirip Istana Kremlin di lapangan Merah, Moskwa. Bangunan itu ternyata sebuah mesjid, yang menaranya dibuat mirip dengan menara istana di negeri Rusia itu -- warna-warnanya terang dan kontras. Aku lupa apa komentar anakku saat itu, tapi dia minta diantar masuk mesjid itu. "Ini dia mesjid Kremlin..," celetuk istriku, seraya tertawa.

Melalui kota Solo, Sragen, pada siang itu, akhirnya kami sampai juga pada perbatasan propinsi Jateng dan Jatim (ada tiga kota kecil Gondang, Mantingan, dan Widodaren di tapal batas itu..) Saya dan istriku riang setiap melintas perbatasan, seolah jarak tempuh itu semakin dekat -- kami biasanya menghitung berapa kilometer lagi yang harus kami tempuh. "Jangan lupa memotret tugu perbatasan, atau selamat datangnya," itu pesan yang dia wanti-wanti, selalu..

Diwarnai hutan jati yang meranggas, dan langit biru berawan tipis di atas pedalaman Jawa, kami memasuki wilayah purba: Kota Ngawi. Kusebut purba, karena di sebagian wilayah kota itu, tepatnya di lembah-lembah Sungai Bengawan Solo, dulunya adalah tempat hunian kehidupan purba -- tepatnya zaman Plistosen Tengah, sekitar satu juta tahun lalu.

Seperti tercatat dalam sejarah, situs purba itu, yang belakangan disebut Trinil, terletak di Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi -- kira-kira 13 km sebelum kota Ngawi dari arah kota Solo. Koleksi-koleksi tersebut di antaranya fosil tengkorak Pithecantrophus erectus (manusia mirip kera yang berdiri tegak) , fosil tulang rahang bawah macan purba (Felis tigris), fosil gading dan gigi geraham atas gajah purba (Stegodon trigonocephalus), dan fosil tanduk banteng purba (Bibos palaeosondaicus)...

Tapi kami hanya melintasi kawasan itu, walaupun kami berpapasan baliho penunjuk jalan -- dengan gambar manusia purba itu tadi. Sempat bertanya-tanya, apakah mendatanginya atau tidak, kami toh akhirnya memilih jalan terus...

Masih di wilayah Ngawi, kami bertemu pertigaan lagi, silakan pilih langsung ke arah kota Madiun atau Caruban, sebuah wilayah lain yang dikenal dengan hutan jatinya. Kami sejak awal memilih kota yang disebut terakhir, karena jaraknya lebih dekat ke kota Nganjuk -- sebelum tujuan berikutnya Kediri..

Melintas di kawasan hutan jati Caruban, yang tak bergunung dan melulu landai, kami sempat berniat menikmati es kelapa muda, tapi batal karena satu faktor: kami mengomel sendiri, tapi tak bisa apa-apa, melihat orang-orang yang menjual kera kecil di dalam keranjang. "Jahat sekali mereka.." umpat Ika.

Diwarnai angin kencang, kami masuk wilayah kota Nganjuk -- 63 kilometer dari kota Ngawi. Terlihat dari kaca mobil, angin ribut itu sungguh terlihat, di mana dedaunan pepohonan bergoyang kencang. "Memang kalau sudah masuk Oktober, Nganjuk dilanda angin kayak gini," jelas petugas pom bensin, di sebuah daerah di perbatasan dengan Kediri. Menuju Kediri (jaraknya 25 kilometer dari Nganjuk), kami melalui jalan alternatif, yang memang tidak selebar jalan protokol seperti sebelumnya.

Di Kota Kediri, sempat bertanya-tanya, apa kabar Gunung Kelud, yang belakangan batuk-batuk terus? Di jalanan kota itu, kami menemui spanduk yang bertuliskan posko pengungsi -- sebagian wilayah kota itu memang berdekatan dengan gunung itu.

Dan di tengah gelapnya malam, kami terus melaju ke arah kota kecil Pare, sejauh 21 kilometer. Inilah perjalanan yang terus menanjak, ke arah dataran tinggi, melewati lereng Gunung Anjasmara, Arjuno, menuju kota kecil lainnya Kandangan. "Hati-hati say," itu kukatakan berulang-ulang pada istriku.

Apa pasal? Sejak masuk wilayah Kandangan, jalannya berkelak-kelok dengan tikungan serba tajam, di sisi kanan atau kiri adalah curam dan tebing. Sementara gelap terus mengintai, dengan jarak pandang terbatas. "Ini hutan ya Lid.. Aida nggak suka kalau jalannya sepi.." rengeknya pelan, seraya menutupi mukanya dengan selimut -- hawa dingin mulai terasa. Tapi istriku memutuskan jalan terus, dari Kandangan ke Pujon sejauh 46 kilometer..

Aku mulai hafal jalanan itu, ketika mobil kami sudah memasuki Pujon. Ada perasaan lega, karena "Kota Malang, tujuan kita itu, sudah makin dekat.." kataku meyakinkan istri dana anakku -- ganti anakku bertanya terus, "jadi mana rumahnya Jida (sebutannya untuk menyebut neneknya). Kami lantas mampir di sebuah warung kecil seraya menyeruput susu segar Pujon, teh hangat dan mie rebus... Malang tinggal 26 kilometer lagi, benakku girang (bersambung)

Keliling Jawa, menyapa Tegal, Ambarawa...




DITINGKAHI bunyi takbir di senja itu, mobil kami akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Brebes. Rindu akan suasana lebaran mulai tak bisa dibendung, tapi kutahan sebisanya.

Kusibukkan diriku dengan panorama di luar mobil, dengan harapan terlupa sudah tarikan-tarikan itu. Yang kujumpai justru bau laut Jawa yang masih terasa, tatkala akhirnya kami memasuki sebuah kota yang kukenal akrab, tapi asing, yaitu Tegal.

Di kota pesisir ini, malam masih terjaga. Kelap-kelip lampu, seperti halnya kota-kota di Jawa lainnya, juga berpendar di seantero kota -- seolah menyambut malam penghabisan ramadhan. Tapi pikiranku dalam kenyataannya lebih larut dalam perjalanan kelana ini: disibukkan telpon sana-sini menanyakan mana hotel yang kamarnya masih kosong -- dengan harga yang pantas, tentu saja..

Sejujurnya, ini kali pertama aku menjejakkan kaki di kota Tegal -- dulu barangkali hanya transit entah dengan bus atau kereta api. Kusebut kota ini akrab sekaligus asing, karena namanya sudah begitu akrab di telinga. Ingat kan warung tegal (warteg) yang gampang di jumpai di jalanan Jakarta? Nah, kusebut asing, karena apa yang kubayangkan dari kota ini sebelumnya, ternyata jauh dari kenyataan... kemajuan, modernitas sudah terasa denyutnya saat kami melintas di jalan-jalannya..

Gagal mendapatkan kamar kosong pada sejumlah hotel yang bangunannya membosankan (serba kotak, "mengerikan,"kata istriku) , akhirnya kami terdampar pada sebuah jalan lapang -- masih di tengah kota. Di Jalan Sudirman, nama jalan itu, kami akhirnya menemukan bangunan hotel, sepertinya dibangun tahun 70-an (ternyata benar setelah saya menemukan papan penanda hotel itu..)..

Terasa lega, karena di hotel itu masih tersedia kamar -- Hotel Gren, namanya. Adalah anakku, Aida, yang paling berbinar malam itu -- "Ada bath-up-nya nggak di dalam kamarnya," begitu pertanyaannya bertubi-tubi. Dengan kakinya yang lincah, dia terus membuntutiku mengecek kualitas kamar. "Pilih yang ada bath-upnya, Lid.." (setelah dipastikan kamarnya, dan mandi segala, makan, Aida kembali menggeluti hobinya, menggambar...)

Sisanya, malam itu, kami larut dalam istirahat total, dihantar takbir yang makin samar terdengar..

Semilir angin menebar pada Sabtu pagi, 13 Oktober. Kulihat istri dan anakku masih terlelap, aku menyelinap ke luar kamar -- suasana pagi adalah hari-hari teristimewa dalam hidupku. Hilir-mudik aku di jalan itu dengan harapan menemukan sesuatu yang baru -- yang kujumpai adalah ujung jalan itu dan sebuah rumah tua.

Di depan hotel, kusaksikan orang-orang berombongan, atau sendiri-sendiri, bersepeda, dengan bau wangi dan pakaian terbaiknya, menuju mesjid atau tanah lapang. Ya, Tuhan, ini hari raya! Kutahan rasa rindu itu sekali lagi, dan aku kembali ke kamar, dengan perasaan agak masygul...

Matahari mulai meninggi perlahan, saat akhirnya kami memulai perjalanan kembali. Walau tak ada target tiba pukul berapa, saya dan istri memutuskan mengarah ke Semarang -- melalui Pemalang, Pekalongan, Batang, Weleri, serta masuk tol ke Ungaran (jadi tak masuk Kota Semarang). "Nggak berani ah lewat Slawi-Purwokerto, bukankah kita mau ke Ambarawa, ke museum kereta api itu," jawaban istriku itu kuanggap masuk akal.

Menikmati suasana lebaran, di mana orang-orang memakai baju baru (warna terang), menziarahi kuburan moyangnya (bersarung dan berkerudung), itulah pemandangan jamak dari Tegal ke Weleri, sepanjang sekitar 65 kilometer -- sebuah aktivitas yang dulu kulakukan di masa kanak-kanak..

Di wilayah Pekalongan (kami tak masuk ke kotanya), kami diasyikkan dengan sisa-sisa bangunan ruko dengan arsitektur masa lalu. Saya jadi teringat, kota ini dari dulu sudah dikenal sebagai kota dengan industri kelas menengah -- "selamat datang di kota batik Pekalongan," sebuah baliho menyambut kedatangan kami.

Anakku Aida relatif tidak rewel, karena dia bisa tidur dalam perjalanan itu. Agar kakinya tidak menggantungkan, kami letakkan tas berisi pakaian dll di bawah kakinya. Dia juga bisa selonjor, atau menekuk kakinya ke atas..

Tatkala matahari mulai persis di ubun-ubun, mobil kami sudah memasuki jalan tol sesudah Kaliwungu, dekat kota Semarang. Sebuah bukit cadas warna kecoklatan yang curam, mengantar kami menuju kawasan agak tinggi, Ungaran. Kami lantas berlabuh pada sebuah restoran yang disesaki pendatang -- kami mesti menunggu hampir sejam karena padatnya pemesan..

Seperti direncanakan, kami di pertigaan Bawen, memilih belok ke kiri, menuju Ambarawa. Tujuan kami jelas yaitu museum kereta api -- sebuah keinginan yang selalu kami impikan. Sayangnya, kereta api kuno yang bisa disewa secara rombongan, hari itu tak tampak. Tapi kami tak ingin tanya lebih lanjut, dan kami lebih menikmati sejumlah kereta uap di museum itu...

Dengan sisa waktu yang ada, setelah istirahat di museum itu, kami mengejar senja di pelataran Candi Borobudur, di wilayah Magelang. Dalam perjalanan ini terasa sekali kalau Aida begitu bersemangat -- sebelumnya dia belum pernah bangunan candi. Dan ketika stupa candi raksasa itu terlihat, senyumnya mengembang lebar. Minus ibunya, kami berdua lantas beradu cepat naik ke puncak candi...

Dari atas candi, saya tidak tahu apa yang difikirkan Aida -- tapi dia lari sana, lari sini, tertawa, dan sempat membuat aku khawatir. Terlihat dia bahagia sekali. Kuabadikan beberapa momen saat kita di atas candi -- terakhir saya ke sini tahun 1988 (jaman mahasiswa baru, dengan rombongan senat mahasiswa).

Pada saat bersamaan, seraya memandang Jawa dari kejauhan, saya berfikir perjalanan masih jauh, masih separoh lagi...

Menjelang pukul 5 sore lebih 15 menit, kami beranjak untuk turun ke Sleman, menuju pusat peninggalan kebudayaan dan kekuasaan Mataram. Sebelum meninggalkan Borobudur, kami belikan Aida gasing dan gantungan kunci berupa miniatur candi borobudur, untuk kenang-kenangan...

Malam harinya, di rumah adik mertuaku di kawasan gedong kuning, Sleman, Aida memainkan gasing itu. Dia kembali menjadi pusat perhatian keluarga besar kami.. Dua jam kemudian, kami istirahat di Hotel Gedong Kuning, kira-kira 10 menit dari tempat Aida main gasing itu tadi.. Besok, pada dua pekan lalu itu, kami mesti melanjutkan perjalanan yang tinggal separoh... (bersambung)


keliling Jawa, hasrat berkelana (1)




HASRAT berkelana dalam ukuran paling sederhana, akhirnya betul-betul kami lakukan -- tanpa target sampai kapan tiba, terserah di mana berlabuh, dan sepenuhnya perjalanan itu kami tentukan. Itulah sebabnya perjalanan dua pekan lalu itu barangkali kurang tepat disebut mudik. Kami sebut berkelana, berkelana keliling pulau Jawa...

Itu tidak berarti kami hanya bawa badan semata. Perhitungan di atas kertas, kemampuan fisik, serta kehadiran Aida dalam perjalanan itu, tentu perlu kalkulasi. Jawabannya, urusan akomodasi dan tetek-bengeknya -- mulai buah mangga, snack untuk anakku, spidol dan buku gambarnya, serta kopi hangat dalam botol termos, hingga obat mencret -- haruslah tersedia..

Kami pilih tanggal 12 Oktober, hari Jumat, sebagai hari keberangkatan. Alasannya, hari itu sebagian orang Islam sudah berhari raya. Itu artinya jalanan agak lengang, dan berarti pula perjalanan itu akan lancar -- perhitungan kami ini nantinya tak sepenuhnya benar: macet menghadang kami di jalanan Cikampek setelah pintu tol, serta di ujung jalan tol Kanci, Cirebon..

Jakarta kami tinggalkan di saat para tetangga yang Muhammadiyah bertakbir di lapangan, di komplek rumah mertua. Anakku tertawa riang, berimajinasi tentang wisata liburan, dan istriku -- "perempuan perkasa itu" -- mulai bersenandung di belakang setir mobil bakpao kami..

Jalur Jawa bagian utara, orang menyebutnya pantura, adalah pilihan satu-satunya yang kami anggap aman, setidaknya pada awal perjalanan -- ada banyak pom bensin, mesin ATM, serta tempat persinggahan sementara. Semuanya lancar sampai di ujung pintu keluar Cikampek -- itu tadi faktor macet, walau mobil kami bisa bergerak pelan..

Di jalanan, suasana mudik tak bisa dihindari. Setiap mata memandang, iring-iringan motor lengkap bapak, istri dan anak di atasnya, selalu ada -- hamoir dalam setiap kedipan. Satu kasus saja, sebuah bajaj oranye melintas di depan kami..

Esais Goenawan Mohamad, mengutip sebuah pemikiran, menyebut mudik sebagai fenomena kembali ke masa lalu, bukti adanya pemikiran konservatif. Sebaliknya, masih menurut Goenawan, pada masanya ada orang-orang yang menolak kembali ke masa lalu.

Lalu, di mana posisi saya, istri dan anakku saat mobil kami melaju kencang di jalanan beraspal, di pantura? "Kita kembali ke akar di saat lebaran saja," begitu kalimat yang kuingat, menjawab pertanyaan itu tadi...

Tapi berkelana sejauh apapun, ada saatnya berlabuh. Di sebuah wilayah tandus, bau amis laut Jawa dengan warnya yang keperakan, serta diteduhi pohon kresen, kami menyelonjorkan kaki pada sebuah warung. Belakangan nama tempat itu kuketahui bernama Eretan Wetan, masuk wilayah Indramayu. "Di pantai inilah Jepang mendarat, sebelum membuat tekuk lutut Belanda di Kalijati," papar kakeknya Aida, yang ikut berkonvoi, sebelum berpisah di Brebes.

Sampai di sini, kami masih yakin perjalanan akan lancar. "Kita bisa istirahat sehari di Yogya, atau malah di Ambarawa yang sejuk, "kata istriku. Harapan itu kanda setelah mobil kami melintas jalan tol Kanci (antara Plumbon ke Kanci, Cirebon). Lebih dari dua jam terkunci di antara ribuan mobil senasib.

Sebagai mahkluk yang bisa membiasakan diri, maka kami pun menyibukkan diri, mulai mengulang-ulang kaset usang The Police (anakku hafal sebagian liriknya), sampai menghabiskan 2 buah mangga. Untuk yang disebut terakhir, aku paling menikmati mengupas buah itu seraya pelan-pelan memasukkan ke mulutku dan istriku..

Masalah berlanjut di saat kemacetan itu mulai mencair. Pertamax di tangki bensin kami, jarumnya sudah semakin mengarah ke titik habis, sementara di jalur itu yang terlihat adalah premium -- setidaknya kami masuk 3 atau 4 kali ke pom bensin, tapi hasilnya nihil. Kami lantas meyakinkan diri: aman memakai premium kok...

Terik matahari utara Jawa berangsur melembut, digantikan angin laut nan hangat, mengantar kami pada sebuah SPBU, sebelum masuk kota Brebes. Samar-samar adzan maghrib menelusup, ditandai buka puasa orang-orang NU -- mereka memilih hari raya esok harinya. Di sini, kami berpisah dengan konvoi rombongan mertuaku. Mereka memilih segera ke Yogya, sedangkan kami masih memilih di mana lokasi tepat untuk berlabuh sementara: bukti lain betapa kami memang tengah berkelana... (bersambung)

Pemandian Selecta dan perosotan tua...




MENENGOK masa lalu. Itulah yang kulakukan saat saya dan keluarga mendatangi tempat wisata Selecta (di kota Batu, dekat kota Malang), beberapa hari setelah lebaran kemarin. Disebut masa lalu, karena tempat plesiran itu nyaris jauh tertinggal dibanding lokasi wisata baru yang bertebaran di kota Malang dan sekitarnya...

Dan jejak masa lalu itu, ternyata masih utuh. Fasilitas wisata dan pemandian yang didirikan tahun 1928 itu, ternyata nyaris tidak berubah! Hampir semua bangunan dan monumen yang ada di tempat wisata yang berlembah dan berbukit itu masih seperti dulu..

Dua bangunan induk (persis di depan kolam renang), yang disain eksteriornya mirip art-deco, terlihat masih lengkap. Balkon betonnya yang luas (di mana kita bisa minum kopi seraya menikmati lembah selecta), juga dibiarkan seperti sedia kala.

Atapnya yang menjorok ke depan pun tidak dibongkar -- di sini, saya selalu membayangkan tuan-tuan tanah Belanda menghabiskan sore seraya menyedot cerutunya...

Tapi, yang membuat aku terperangah (dan senang), pengelola pemandian ini tidak membongkar perosotan besi yang panjang itu -- sekarang banyak yang pakai fiberglas, tentunya. Dulu, saya kecil selalu ketakutan membayangkan bagaimana merosot di papan besi itu..

Mulai papannya yang terbuat dari besi, tangganya, sampai pegangannya, dibiarkan seperti dulu -- saya lantas membandingkan foto saat saya datangi lokasi yang sama di awal tahun 70-an, dan memang tak ada yang berubah..

Di ujung lainnya, mereka juga tidak mengganti papan loncat -- yang terbuat dari besi dan kayu. Skrupnya yang besar-besar dan besinya yang tebal tampaknya dibiarkan -- kecualinya catnya yang berganti-ganti. Dan orang-orang masih bisa menggunakan fasilitas renang itu, sampai sekarang..

Dan ruang ganti pakaian (buat yang berenang), yang letaknya di bawah balkon restoran itu tadi, nyaris tidak berubah pula -- tetap berlapis beton dan pintu kayu warna biru pucat...

Itulah sebabnya, ketika kami memutuskan ke Selecta (semula kami berencana ke tempat wisata Jatim Park, tidak jauh lokasinya, yang lebih kosmolit, tapi batal karena penuh..), sayalah yang paling bersemangat. Sebaliknya, anakku setengah merengek, minta ke lokasi wisata yang pertama dituju...

Dan ketika mobil itu melewati komplek wisata itu (ada kebun apel di sekitarnya), saya biarkan mataku menatap masa lalu itu sepuasnya. Sebelum memasuki lahan parkir, ada puluhan bangunan (via dan hotel) peninggalan kolonial Belanda yang berjejer rapi -- sayangnya, kami tak memilih menginap di tempat itu...

Setelah ticket di tangan, saya pun bergegas menuju dua bangunan idaman -- yang tetap menjadi restoran. Kuselidiki setiap sudut, ternyata tak ada perubahan. Kulihat pula kursi, masih kayu lipat seperti dulu. Di dinding cafe itu, terpampang tulisan kenang-kenangan dari Presiden Soekarno di tahun 50-an...

Namun siang itu, saya melancong ke Selecta tentu saja tak melulu untuk menatap bangunan dan melamun ke masa lalu. Dalam rombongan itu, ada 4 anak kecil, satu diantaranya adalah anakku (Aida), yang punya logika sendiri dalam mendatangi sebuah tempat wisata. Jadi, saya pun ikut menemani mereka berenang (airnya dingin sekali!) dan bermain becak mini... (ha,ha, ha.. saya jadi ingat Sutan Syahrir, yang selalu memilih bermain dengan anak ketimbang berkutat dengan buku-bukunya..)...

Pemandian Selecta, menurut data yang kuakses di internet, dibangun tahun 1928 oleh seorang warga Belanda yang bernama Reyter Dewild. Tidak dijelaskan siapa orang ini, dan tak ada keterangan pula kenapa diberi nama Selecta. Tapi kufikir tempat wisata itu dibangun pada sebuah lokasi yang strategis -- sebuah lembah berbukit dan ngarai seluas 20 hektar di lereng Gunung Wlirang dan Arjuno..

Dulunya tempat ini biasa didatangi pejabat kolonial Belanda, dan setelah Indonesia merdeka ganti pejabat Indonesia yang mengunjunginya. Saya ingat, di buku biografi Bung Hatta, yang berisi foto-foto, Selecta menjadi tempat plesiran para peserta Sidang KNIP kedua di Malang, tahun 1947 -- saya lantas membayangkan orang seperti Hatta yang serius, Syahrir, dan Amir Syarifudin dengan pipa cangklongnya, bergurau di ketinggian seribu seratus meter di atas laut itu...

Oct 25, 2007

Kamar Bung Karno dihargai 1 juta rupiah!




KAMAR Bung Karno, begitu kusebut sebuah suite room di Hotel Tugu, Blitar, yang konon pernah ditinggali proklamator dan Presiden pertama Indonesia itu. Pihak hotel sendiri menamainya 'Sang Fajar' room -- sebuah julukan yang berlatar waktu kelahiran Sukarno.

Kamar berukuran cukup besar itu letaknya di sayap kanan bangunan utama hotel. Itulah bangunan beraksitektur lama peninggalan jaman kolonial Belanda. Katalog hotel menyebutkan, bangunan itu dibangun tahun 1850. Dulunya milik pribadi, sebelum menjadi hotel Centrum setelah perang dunia kedua.

Dalam perjalanannya, masih menurut katalog itu, nama hotelnya berubah menjadi Sri Lestari -- kini berubah menjadi Hotel Tugu-Sri Lestari. Sejak ditangani kelompok Tugu, menurut staf hotel itu, perubahan dilakukan besar-besaran -- termasuk renovasi kamar Bung Karno itu tadi.

Saya sendiri secara tak sengaja mengetahui ada kamar Bung Karno. Semula saya cuma tertarik bangunan utama itu tadi -- mirip bangunan keraton sisi depannya. Usai sarapan setelah bermalam di hotel itu, saya berjalan menuju bangunan itu. Dari depan, sekonyong-konyong seorang turis menyapaku, "ada kamar menarik di sana, Bung Karno pernah tidur di kamar itu..."

Saya pun menyelinap ke ruangan itu saat para petugas hotel tengah mengepelnya -- belakangan anak dan istrku kuajak pula. Seraya tersenyum ramah, mereka malah mempersilakan saya masuk. Dengan sedikit berjinjit, karena masih basah lantainya, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. "Cuma bayar 1 juta rupiah, bapak sudah bisa menginap di kamar ini.." celetuk petugas itu tadi.

Saya tidak tahu persis kapan Sukarno menginap di ruangan itu. Demikian pula saya tidak ingin tahu apakah barang-barang yang terkait dengan sosok proklamator yang ada di kamar itu (seperti topi, tongkat, buku) miliknya atau bukan.

Saya cuma berfikir, alangkah cerdiknya pengelola hotel ini mencitrakan Sukarno di dalam mengemas bisnis hotelnya -- di kamar itu juga diletakkan tulisan tangan anak Sukarno, Kartika, yang berterima kasih atas dedikasi pengelola hotel yang 'merawat' kamar itu...

Lebih dari 5 menit di kamar itu, justru anakku (Aida) yang hilir-mudik. Dia rajin bertanya "eh, itu topinya Bung Karno yang tertinggal ya" (dia menunjuk topi yang disangkutkan pada sebuah meja berkaca) atau "Aida mau berendam di kamar mandinya Bung Karno.." (dia masuk ke bath-up yang beralaskan alumunium )..

Saya tahu diri, saya cuma mampir ke kamar itu. Di hotel Tugu Blitar, yang letaknya tidak jauh dari alun-alun kota Blitar, kami sekeluarga menginap 1 malam di kamar yang harganya 4 kali lipat lebih murah dari harga kamar Bung Karno itu...

Namun bagaimanapun, kehadiran kami di kamar itu cukup menghibur sekaligus kagum, betapa berkharismanya Bung Karno... Ini juga kenangan tak terlupakan sebelum kami melanjutkan perjalanan liburan keliling Jawa usai lebaran lalu..

Oct 24, 2007

pucuk pinus di coban rondo




BELUM lengkap plesir ke Malang, kalau tidak mampir ke Batu atau Pujon. Kalimat ini sudah jamak di kalangan wisatawan dan warga kota itu. Dua wilayah tersebut, yang berdekatan, memang sasaran tempat rekreasi idaman karena iklimnya yang dingin. Saya pun selalu menyempatkan mendatanginya...

Dihiasi dan dipenuhi pohon pinus, kawasan tinggi Pujon letaknya di atas kota Batu, di lereng Gunung Arjuno. Dari kota Malang sekitar 20 kilometer jaraknya, sementara dari kota Batu hanya memakan waktu sekitar 15 menit dengan mobil pribadi.

Di wilayah itu berdiri berbagai tempat wisata, seperti Songgoriti (masih ingat tersangka teroris Azahari, yang tertembak di Songgoriti?), Dewi Sri (pemandian), serta air terjun Coban Rondo. Sementara ke arah berlawanan, tapi masih di lereng Arjuno, ada tempat wisata Selecta (pemandian peninggalan Belanda) dan Cangar...

Air terjun Coban Rondo, selain Selecta, akhirnya kami pilih sebagai lokasi wisata. Bersama istri, aku ajak anakku (Aida) dan 3 orang keponakanku menuju tempat tersebut..

Pemandangannya lumayan indah, melewati deretan pohon pinus dengan udara nan sejuk. Saat melalui tanjakan berbelok di kawasan Pujon, jalanan masih terlihat ramai, tapi saat belok menuju kawasan air terjun, suasananya berubah sepi. Asyik sekali...

Tiket masuknya tidak terlalu mahal, dan di pintu masuknya menjual aneka penganan. Jadi jangan khawatir kelaparan. Cuma yang bikin agak kesal, para pengunjung tidak bisa menjaga kebersihan. Jarak antara lokasi parkir dan air terjun juga tak terlalu jauh -- anak-anak dijamin tak merasa capek...

Dan apa komentar pertama anakku, saat menjejakkan kaki di sungai jernih itu? "Wah, airnya sedingin es batu!" teriaknya kegirangan. Sikap serupa juga ditunjukkan 2 orang keponakanku. Kami, minus istriku yang memilih menepi, lantas mendekati air terjun... Sempat dikejutkan juga dengan kehadiran belasan kera, tapi mereka akhirnya kabur ke atas bukit...

Tidak jauh dari lokasi, pengelola menyediakan toilet serta kamar kecil. Jadi kami bisa bersih-bersih. Di jalanan menuju lokasi juga disediakan papan informasi tentang sejarah terbentuknya air terjun itu serta mitos-mitos yang melingkupinya..

Beranjak sore, kami pun segera beranjak dari tempat itu. Tidak kalah dahsyat, jalan keluar dari air terjun itu juga luar biasa indah. Pohon pinus yang berderet-deret sepertinya menyapa kami agar kelak bersedia mampir kembali. Saat mobil kami (mobil bakpao, begitu kami menyebutnya) melewati jalanan Pujon, perut keroncongan menuntut kami berhenti sejenak. Warung-warung banyak dijumpai di sini. "Payung" begitulah sebutan warga kota Malang atas warung-warung yang menjual jagung bakar, roti bakar, mie instant hingga susu segar...

Sampai petang beranjak malam, kami habiskan waktu di warung itu, seraya menikmati kabut yang mulai turun, juga kelap-kelip lampu dari kota Batu...
Coban Rondo kami akan datang lagi...



Oct 23, 2007

bernostalgia di toko oen




DI MASA kecil, setiap melewati restoran atau toko Oen, di kota Malang, aku selalu kesulitan membaca nama restoran yang didirikan tahun 1930 ini. "Bagaimana membacanya ya, O-E-N atau Un," begitulah yang ada di benakku saat itu...

Letak restoran itu memang tak jauh dari rumahku, kira-kira kurang dari 500 meter. Lokasinya di jantung kota Malang, yaitu di Jalan Kayutangan (sekarang Basuki Rachmat), sementara rumahku di Jalan Talun Lor (sekarang diubah jadi Jalan Arif Rahman Hakim). Dari jendela besar di restoran itu, kita bisa melihat dari kejauhan gereja katedral, sarinah, serta alun-alun...

Dulu kubayangkan isi toko itu serba mahal, karena selalu didatangi para turis asing, utamanya Belanda. "Halo mister, halo...," masa kecilku selalu berkata seperti itu, setiap melewati kerumunan turis -- dan biasanya dijawab dengan ramah.

Biasanya aku menegok sekilas ke dalamnya, tetapi tak pernah mampir ke dalam. Itulah sebabnya, aku tak pernah makan di restoran itu -- kecuali di masa mahasiswa dengan serombongan teman. Semuanya berubah saat saya menikah (tahun 2000), dan istriku kuajak ke restoran itu...

Kini setiap ke kota Malang, kami selalu menyempatkan makan di Toko Oen -- utamanya menyantap ice creamnya. Lebaran lalu, misalnya, tanpa kehadiran anakku (dia tak mau ikut), aku dan ika kembali mendatanginya.

Tak banyak berubah, warna gedungnya masih didominasi warna kuning gading dan hijau. Juga rombongan turis Belanda masih mendatanginya. Seragam pramusiwsmanya masih putih, serta bau khas roti segar dari dalam ruangan itu.. Sebuah mobil tua juga teronggok di halaman luarnya.

Yang sedikit berubah, kataku kepada istriku, "mana ya kipas angin kuno itu ya, nggak ada lagi.." Sebagai ganti pemiliknya menggantinya dengan kipas angin kecil. "Sayang ya..,"celetuk istriku.

Di sela-sela makan sandwich, aku nyelonong ke dalam restoran itu, dan mengabadikan sebagian sudut-sudutnya...

Kota Malang dan (sisa) masa lalunya




SETIAP berlibur ke kota masa kecilku, Malang, aku selalu bertanya pada diri-sendiri "bangunan tua mana lagi yang dibongkar" dan "mal apa lagi yang akan berdiri". Ada nada khawatir dari pertanyaan itu, dengan sedikit menggugat..

Aku selalu menyempatkan diri menengok bangunan-bangunan tua yang tersisa -- sebagian bersejarah. Sejumlah bangunan bahkan telah menjadi ikon Malang -- sejumlah kartupos terbitan lokal misalnya selalu menampikan toko Oen, balaikota, atau gereja Katedral. Tak banyak jumlahnya memang, tetapi menurutku tanpa bangunan itu, identitas kota berhawa sejuk itu rasanya hilang.

Saat mudik lebaran lalu, misalnya, aku sengaja mengabadikan sejumlah bangunan tua yang tersisa -- dengan bersemangat, tentunya. Sebagian besar bangunan terletak di jantung kota. Letaknya di sekita alun-alun kota serta di jalan Kayutangan (sekarang jalan Basuki Rachmat), dan tak jauh dari balai kota..

Oct 10, 2007

mudik dengan mobil bakpao

SAYA dan istri akhirnya memutuskan mudik dengan mengendarai mobil pribadi. Sepanjang kurang-lebih 1000 kilometer, sepanjang pulau Jawa, dari Jakarta ke Malang, akan kami tempuh dengan mobil bakpao -- begitu sebutan kami untuk mobil Ceria-Daihatsu, yang kami beli 4 tahun lalu. Keputusan ini kami ambil dengan segala resikonya...

Rencananya kami berangkat saat hari H lebaran, barangkali tanggal 13 Oktober nanti, pagi-pagi sekali -- setelah sholat Id. Hari itu kami pilih, karena jalanan pasti lebih sepi ketimbang hari-hari sebelumnya. Tidak ada target kami harus sampai Malang tanggal berapa atau hari apa. "Pokoknya santai saja," begitu kami meyakinkan diri sendiri.   

Keputusan kami naik mobil pribadi melalui jalan cukup panjang. Semula berencana naik kereta, tetapi batal lantaran sejumlah alasan. Juga imajinasiku menaiki kapal laut tak terlaksana, juga karena alasan-alasan praktis  --  adapun pesawat udara sejak awal tidak ada dalam benak kami. "Bagaimana kalau kita naik mobil sendiri?" Istrikulah sejak awal berkeinginan mudik dengan mobil itu.    

Walau semula aku keberatan, karena begitu panjangnya jarak kilometernya, akhirnya aku mengiyakan -- walau semula dengan berat hati. Istriku memang yang bakal mengendari mobil itu, karena aku tak pernah bisa memegang dan menjalankan mobil itu -- alasan ini pula yang membuat aku enggan mudik dengan kendaraan roda empat itu. "Tunggu aku bisa nyetir mobil, kan enak bisa gantian," tandasku berulang-ulang. 

Dengan perhitungan yang mudah-mudahan tidak meleset, istriku berusaha meyakinkanku bahwa dia mampu melakukannya. Asal bisa istirahat yang cukup, dan tak ada target waktu, demikian istriku, perjalanan itu pasti menyenangkan. "Kita bisa berhenti kapanpun, dan sekalian wisata di tempat-tempat favorit kita," paparnya.

Nada optimis akhirnya lambat laun tumbuh, seiring membayangkan perjalanan itu nantinya. Dan pada hari-hari ini, kami  mencatat apa saja yang harus dilakukan, apa saja yang mesti dibawa. Istriku juga membeli sebuah tabloid yang memuat tempat wisata kuliner yang bisa dikunjungi di sepanjang Jawa. Peta mudik terbitan beberapa pihak juga sudah kami miliki.       

Anakku, Aida, akan ikut serta dalam rombongan kami. Dia, seperti yang dia lakoni selama ini, akan duduk di car seat. Agar tak bosan di jalanan, seperti kelaziman selama ini, kami akan bawakan buku-buku, kertas dan spidol, serta makanan kesukaannya -- serta tentu saja guling tipis kesayangannya.   

Dalam benak kami, rute perjalananan kami diawali dari jalur pantura -- Cirebon, Pekalongan sampai Semarang -- barangkali kami akan istirahat di Cirebon atau Semarang. Setelah istirahat, mungkin kami akan belok ke Surakarta, lalu mampir ke Yogyakarta (kami menginap sehari di kota ini). Di kota ini, kami bertiga akan mampir ke rumah neneknya istriku -- jika tak ada aral melintang, kami akan ajak Aida ke Borobudur dan Prambanan.

Nah, setelah istirahat sehari, kami akan melaju di jalur selatan, sampai Madiun, lalu Kediri. Sengaja kami menjauhi jalur Surabaya, dan memilih masuk jalan ke kota Blitar (rencana kamu mengajak Aida ke makamnya Sukarno). Atau jika tetap melalui Kediri, kami akan masuk Malang melalui dataran tinggi Pujon -- pasti banyak pemandangan yang indah di sini..

Mungkin saja dalam perjalalan 2 atau 3 hari, kami baru sampai di Malang, tujuan awal kami mudik..  semoga  

         

bila Aida ikut ke kantor...




SEJAK hari Senin lalu hingga Rabu (10 Oktober) ini, aku dan Ika mengajak anakku (Aida, 6 tahun) ke kantor. Seharian dia 'menemani' kami bekerja, mulai pagi hingga sore. Ini kami lakukan, karena setelah Aida libur sekolah (selama 3 minggu) mulai Senin lalu, tak ada orang yang bisa menjaganya.

Neneknya yang biasa menjaganya sepulang sekolah, berhalangan, karena kesibukan menjelang lebaran -- kami memahami dan juga tak tega, tentunya. Itulah sebabnya, dalam 3 hari ini, dia mesti mengikuti ritual rutin orang tuanya. Mulai bangun pagi, naik kereta listrik, hingga 'membiasakan' berada di kantor ayah dan ibunya -- utamanya kantor ibunya, karena bapaknya lebih banyak berada di luar kantor.

Untungnya, kantorku dan Ika satu gedung -- hanya beda lantai. Jadi jika Aida bosan di ruangan kerja ibunya, bisa turun satu lantai ke tempatku. Tentu saja ada saja maunya -- mulai lari-lari, mencoret papan tulis, makan permen di luar batas, hingga aktivitas 'menganggu' lainnya.

Tapi di luar itu, Aida terlihat menikmati, kerasan, karena dia relatif kerap berada di ruangan tempat kami bekerja, sehingga sudah mengenal rekanan orang tuanya (sejak kecil dia acap kami ajak mampir ke kantor, setelah dia kami jemput dari daydare dan sekolah TK-nya).

Hari Rabu ini barangkali hari terakhir Aida 'ngantor' bersama kami. Besok (Kamis) adalah hari pertama aku cuti lebaran. Itu artinya dia bisa seharian bersamaku, karena ibunya masih ke kantor.

Dan di bawah ini, aku merekam aktivitas Aida ikut ke tempat bekerja kami...

Oct 5, 2007

"aduh, leherku patah!"




SEKITAR dua pekan lalu, seorang wartawan dan penyiar Metro TV, yang pernah diculik saat meliput di Irak, menerbitkan buku tentang pengalamannya tersebut. Saat kejadian itu terjadi, semua masyarakat tersita perhatiannya, termasuk Presiden SBY -- bersama kameramennya, wartawati itu akhirnya bertemu presiden di istana. Saya masih ingat, dia lantas saya tanya, apa hikmah yang dia peroleh setelah mengalami kejadian horor tersebut. Dia mengaku banyak belajar dan meminta wartawan bersikap hati-hati dalam setiap liputannya.

Pengakuan ini penting, walaupun menurutku tetap saja masalah ketidakberuntungan selalu ada dalam kejadian apapun di dunia ini. Tapi tetap saja, tempatku bekerja termasuk yang cerewet soal keselamatan wartawan -- para jurnalisnya, misalnya, dilarang meliput daerah konflik jika belum mengikuti semacam pelatihan.

Hampir setiap tahun di tempatku bekerja, sebutlah, selalu ada semacam pelatihan bagaimana kiat meliput di daerah konflik atau bencana. Tahun lalu, pada November, bertempat di Lido, Jawa Barat, saya mengikuti kembali training seperti itu (dihadiri teman-teman dari Indonesia, Birma, dan Vietnam).

Ada macam-macam materi dan model pelatihannya. Misalnya ada teori bagaimana menyelamatkan rekan kerja yang luka -- aku misalnya ditunjuk sebagai model yang terluka lehenya (makanya aku sok berteriak "aduh, leherku patah"... heheheh).

Juga ada teori dan praktek bagaimana melewati daerah perbatasan yang dikuasi pemberontak (kita pura-pura dicegat pemberontak dan bagaimana mencari jalan keluarnya), pengenalan model dan suara senjata (kita disarankan pulang bila daerah liputannya adalah medan perang antar tank -- "nyawa lebih mahal dari berita", kata para trainernya), hingga bagaimana mencermati wilayah yang dipenuhi ranjau..

The Miracle Match

Rating:★★
Category:Movies
Genre: Drama
APAKAH betul kemenangan tim sepakbola Amerika Serikat (AS) atas Inggris di Piala Dunia 1950, hanya karena faktor seorang keturunan Haiti yang bernama Joe Gaetjens? Dan apa warna kostim Inggris dan AS saat itu? Serta, mengapa pemain sayap legendaris Stanley Matthews tak dipasang dalam pertandingan yang selalu dikenal tersebut? Serta, seperti apa persisnya gol satu-satunya?

Deretan pertanyaan inilah yang menggodaku untuk menonton filem The Miracle Match -- sebuah filem drama yang berlatar sejarah pertandingan sepakbola yang melegenda itu.

Di luar semua itu, filem berdurasi sekitar 100 menit yang didasarkan buku The Game of Their Lives karangan Geoffrey Douglas ini, boleh kusebut biasa-biasa saja -- tak ada yang istimewa. Filem produksi tahun 2005 ini lebih menyoroti kisah sebagian para pemain tim Amerika Serikat, utamanya yang berasal dari daerah St Louis dan New York. Bangunan cerita dimulai dua pekan sebelum pertandingan hingga kemenangan itu diraih.

Dan dibumbui sedikit konflik, cerita filem ini diawali seorang wartawan muda yang mewawancarai saksi mata pertandingan yang terjadi 57 tahun lalu ini -- yang ternyata juga seorang jurnalis (Dalam kisah nyatanya, pertandingan ini diliput satu-satunya wartawan AS yaitu Dent McSkimming dari surat kabar St. Louis Post-Dispatch). Wawancara ini berlangsung di sebuah stadion, saat bertanding dua klub anggota Liga AS. Gambar perlahan-lahan pindah ke sebuah lapangan bola di tahun 1950...

Untungnya sebelum menonton filem yang dibintangi Gerard Butler, Zachery Ty Bryan, dan Wes Bentley ini, aku sudah membaca sejumlah artikel di seputar peristiwa pertandingan tersebut. Sehingga pemahaman itu bisa membantu saya mengenal para pemain -- bayangkan betapa tidak menariknya menonton filem ini jika sebelumnya mereka tidak mengetahui sejarah pertandingan itu.

Para pemain AS yang melegenda itu adalah sang kiper Frank Borghi (keturunan Italia, dan dia begitu ditonjolkan dalam filem ini), Frank Wallace (dia dipanggil 'Pee Wee'), serta Charlie Colombo yang main begitu kasar sehingga pemain Inggris Stanley Mortensen pun menjadi korban.

Para pemain lainnya adalah Walter Bahr, Gino Pariani (dalam filem ini dia menikah sebelum ke Brazil), Joe Maca (setelah piala dunia berakhir dia merumput di belgia) hingga John Souza (yang terpilih dalam tim all star pada piala dunia 1950), serta tentu saja Joe Gaetjens -- yang disebut terakhir ini adalah pemain asal Haiti, yang di dalam filem ini digambarkan sebagai tukang masak sebuah restoran. Sebagian besar pemain AS adalah para imigran -- bahkan sebagian diantaranya adalah berpaspor asing (fakta ini kemudian dibesar-besarkan sebagai faktor kenapa Inggris kalah dalam pertandingan itu..)

Puncak filem ini adalah pertandingan itu sendiri yang digelar di Stadion IndependĂȘncia, kota Belo Horizonte, 29 Juni 1950. Warna kostim AS putih (dengan garis merah melintang di dada seperti kostim Peru), celana biru tua, dan kaos biru tua. Sedangkan kostum tim Inggris: biru tua, celana putih dan kaos kaki biru tua.

Pada filem ini juga diperlihatkan bagaimana terjadinya gol satu-satunya. Diawali serangan balik (Inggris dilaporkan menguasai pertandingan), melalui sayap kanan, Walter Bahr mengumpan bola lambung ke arah gawan Inggris. Bola setinggi pinggang itu kemudian disambar Gaetjens pada menit ke-37 babak pertama .. dan gol! (kamera filem kemudian mengarah ke seorang wartawan BBC yang melaporkan pertandingan itu).

Filem ini juga merekonstruksi kejadian pelanggaran pemain belakang AS Charlie Colombo yang melanggar Stanley Mortensen -- yang dikenang sampai sekarang. Wasit Datillo dari Italia ternyata tak menghadiahkan pinalti, walau disebut-sebut pelanggaran itu di dalam kotak finalti.

Saya juga menjadi lebih tahu kenapa pemain sayap kesohor Stanley Matthews tidak dipasang dalam pertandingan itu. Seorang pemain AS mengutip keterangan pers, mengatakan, "Stanley Matthews tak akan dipasang nanti, karena dia istirahat untuk pertandingan berikutnya."

Frank Borghi, kiper AS, dalam filem itu digambarkan berulang kali menyelamatkan gawang dari serangan Inggris yang dimotori Tom Finney, Mortensen, hingga Mannion (ada beberapa catatan sejarah yang menyebut kemenangan itu juga karena kemampuan Borghi berulang kali menyelamatkan gawang AS). Dalam tim Inggris ikut serta Alf Ramsey, di posisi bek, yang nantinya menjadi manajer negara itu saat menggondol juara dunia di tahun 1966.

Di akhir filem, pemain AS merayakan kemenangan itu. Kamera kemudian mendekati kerumunan para pemain negara itu. Juga, adegan para penonton menggotong Gaetjens, yang diabadikan koran-koran, direkonstruksi ulang. Secara perlahan, kamera kemudian pindah ke masa kini, saat sebagian pemain yang masih hidup disorot kembali -- disaksikan para pemain liga AS pada masa sekarang...

Oct 3, 2007

Memahami Dunia lewat Sepakbola

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Sports
Author:Franklin Foer
DI BAYANGI atmosfir piala dunia 2006 di Jerman, aku menemukan buku ini (edisi bahasa Indonesia, terbit 2006) di rak sebuah toko buku -- semula aku tak tergoda untuk membelinya. Tapi setelah membuka dan membaca sekilas isinya, segera kubeli buku terjemahan ini. Dan, memang luar biasa! Buku yang berupa karya jurnalistik ini ditulis Franklin Foer, seorang penggila bola ("saya gila bola,"begitulah kalimat pembuka Foer pada prolognya).

Daya tarik buku yang aslinya berjudul How Soccer Explains the World: The Unlikely Theory of Globalization (terbit tahun 2004) ini, justru karena tidak bicara teknik sepakbola -- yang sudah banyak dijumpai. Lebih dari itu, Foer justru memakai medium sepakbola -- di berbagai dunia, mulai Serbia, Iran, Italia serta tentu saja Inggris -- untuk menganalisa fenomena globalisasi.

Dan bukan hal yang mengada-ada jika majalah olahraga Amerika Serikat, Sport Illustrated, menggambarkannya sebagai, "meramu reportase, analisa geopolotik, dan antropologi, Foer menjelaskan kekuatan tak terelakkan sepakbola." Tapi menurutku, isi buku ini menjadi kuat karena penulisnya gila bola, sehingga laporannya seolah bernyawa...

Foer, yang kini tinggal di Washington DC, adalah seorang jurnalis -- itulah sebabnya sungguh lezat menikmati adonan tulisannya yang renyah, mengalir (selain karena kepandaian penerjemahnya, Alfinto Wahhab, yang juga penggila bola). Sejauh ini Foer juga redaktur senior surat kabar The New Republic, selain menulis lepas untuk sejumlah koran di Amerika Serikat.

Pada bab pertama, kita diajak memahami bagaimana politik, kekuasaan, dan premanisme mewarnai perjalanan sepakbola di Serbia. Foer secara langsung masuk ke dunia klub yang pernah menjuarai Piala Champions Eropa, Red Star Belgrade, berikut atmostfir politik yang melingkupinya.

Di bab berikutnya, masalah dendam antar agama, yang aromanya terasa sampai lapangan hijau, juga diungkapkan Foer saat melaporkan tentang kehadiran klub Glasgow Rangers (yang mewakili komunitas Protestan) dan Celtic yang Katolik. Menariknya, menurut Foer, komersialisasi sebagai produk globalisasi, bisa melampaui konflik agama itu..

Persoalan holiganisme (dia mewawancarai seorang holigan klub Chelsea) dan kehadiran komunitas Yahudi di blantika sepakbola Eropa, juga dia kupas. Brazil, sebagai negara yang dikenal gila bola, tak lupa disentuhnya. Kali ini dia melihat dari sudut pandang sepakbola dan korupsi. Kehadiran pemain Afrika di kompetisi sepakbola Eropa, yang diwarnai problematika (misalnya soal streotipe ras) dan kekhasan globalisasi, terlihat dalam laporannya.

Dan, dengat semangat yang sama, Foer tak lupa mendatangi markas AC Milan, di Italia, dalam bab khusus yang diberi judul 'lahirnya klas oligarki baru'. Kehadiran Belusconi, pihak-pihak kelompok kiri yang berdiri di belakang klub Inter Milan, sampai peran pers.

Pada tiga bab terakhir, kehadiran klub Barcelona yang fenomenal, dia kaji dengan melihat ke belakang -- bagaimana klub itu dijadikan semacam wahana katarsis bagi para pejuang etnis Katalunya melawan dominasi Spanyol (dalam bab ini, Foer mengaku sebagai fans berat Barcelola.

Perkembangan masalah sosial-politik di Iran (larangan perempuan datang ke stadion hingga keniscayaan pengaruh globalisasi di negeri tertutup sekalipun) dan persoalan budaya di Amerika Serikat (dia menceritakan mengapa ada pihak-pihak anti sepakbola di negara itu) dia singgung dalam bab terakhir.

Dalam semua bab yang disajikan dalam buku itu, Foer kuanggap ingin mengatakan bahwa globalisasi adalah kenyataan yang mesti diterima, tak terkecuali di dunia sepakbola. Tapi analisanya memang tidak melulu paralel, dan Foer tidak ingin dikatakan sebagai pembela atau pencercah globalisasi. Barangkali karena dia mendudukkan sebagai seorang jurnalis -- itulah sebabnya hampir semua laporannya serba paradoks -- seolah dia mengatakan bahwa globalisme pada sepakbola, tidak melulu jahat, tapi juga tak selalu bak malaikat. Ironis, begitulah kata yang acap dikutip Foer...



Oct 1, 2007

Apakah anakku bakat menggambar?




DULU, dulu sekali, aku dikenal sebagai bocah yang gemar menggambar – sebagian orang bahkan menganggap aku berbakat. Setidaknya sampai sekolah menengah atas, aku masih terlatih menggambar wujud orang secara realis. Tapi bakat ini lambat-laun menguap (tidak berkembang), lantaran aku tidak menekuninya dengan berbagai alasan -- terakhir aku menggeluti profesi karikaturis sebelas tahun silam, dan tak berlanjut. Dan anehnya, kegiatan yang dulu menyenangkan itu, rasanya berat untuk dilakoni lagi sekarang – mudah-mudahan bukan karena faktor kesibukan, tentunya.

Kini, anakku (usianya 6 tahun pada Desember nanti) sepertinya mulai menggemari kegiatan menggambar – mirip yang kugeluti puluhan tahun silam. Hampir setiap ada kesempatan dia selalu menggoreskan spidol atau pinsil – entah di papan tulis, kerta kosong atau bahkan tembok rumah. Dia juga terlihat asyik jika tengah menggerakkan tangannya di media gambar yang tersedia.

Tentu saja, sebagai bapaknya, saya senang bila bakat itu juga dimilikinya – walaupun aku mafhum terkadang sulit membedakan apakah itu kesenangan sesaat khas anak-anak atau memang itu talenta. Harus kuceritakan pula, bahwa Aida – anakku itu -- saat-saat ini juga terlihat menyukai berenang, atau main piano..

Tapi justru di sinilah godaannya: saya selalu ingin tahu jawaban atas pertanyaan itu tadi. Pertanyaan berikutnya: jika dia berbakat, seberapa besar bakatnya? Dan bagaimana membuat dia mau menggelutinya secara total? Pertanyaan terakhir ini, terus-terang saja, juga dilatari pengalaman saya di masa kanak-kanak...

(pada akhir pekan lalu, 28 September 2007, Aida secara cepat menggambar 'pemandangan' dan kuabadikan beberapa momen...)