APALAGI yang bisa disinggahi dari kota Bandung, selain deretan factory outlet, tempat kuliner, dan identitas kosmopolitan lainnya? Pertanyaan ini kami ajukan, di saat mobil kami yang berplat B, melaju kencang di jalan tol Padalarang, menuju kota itu, akhir pekan lalu (17-18 November). Tidak ada nada gugatan dari pertanyaan itu, cuma selintas kerinduan agar plesiran jelang ulang tahun pernikahan kami, 19 November lalu itu, tidak cuma berujung di situs-situs seperti itu...
Kerinduan semacam itu ada, juga lantaran kami tengah dituntut cari sandal kayu khas Sunda untuk anakku. Hampir saban hari dia menagih kami, sejak sekolahnya berencana bikin acara 'Sundanese Day', awal Desember nanti. Dan di Jakarta, di tengah rutinitas kerja dan alasan kesibukan, kami belum sempat juga mencarinya. Jadi, pencarian kelom geulis -- sandal selop yang terbuat dari kayu -- pun kami lakukan di sela jalan-jalan ke Bandung...
Berbekal semangat, tapi tanpa rencana yang matang, kami akhirnya masuk Bandung menjelang sore. Suasana cerah, beda seratus delapan puluh derajat saat kami berangkat: hujan deras sempat mewarnai separoh perjalanan di sepanjang tol Padalarang. Berbahagialah istriku yang begitu terobsesi kalimat "alangkah indahnya perjalanan di kala hujan"...
Dan tatkala mobil kami mulai merayap di jalan-jalan kota Bandung, pertanyaan berikutnya adalah, dimana kami harus menginap. Kami menanyakannya seraya tertawa -- menertawakan diri sendiri, persisnya. Untungnya, sebuah hotel kecil di atas Dago masih menyediakan satu kamar kosong...
Tapi berhasilkah niatan kami untuk tak mampir ke factory outlet? Tidak sepenuhnya, ternyata. Kami akhirnya kompromi -- mendatangi kembali tempat-tempat itu, walaupun dalam intensitas yang rendah: kami cuma beli sepatu boot pink untuk anakku (dia pernah memiliki boot biru, tapi sudah terlalu sempit kini), itu saja. Dan di penghujung malam, warung bubur Pak Zaenal, masih di kawasan Dago, kami datangi..
Keesokan hari, perburuan kelom geulis itu kami lakukan. Seolah masih hafal situs ekonomi kota itu, istriku masih yakin akan menemukannya di sejumlah tempat keramaian: Pasar dekat alun-alun hingga Jalan Braga -- tapi hasilnya nihil. Jawaban pasti diperoleh setelah dia menelpon kawannya asal kota itu..
"Kami berdiri sejak tahun 1942, dulu toko kami tidak di sini," lelaki tua itu berkata, seraya tangannya cekatan membetulkan posisi semacam paku pada kelom anakku. Diwarnai bunyi "ketak-ketok" (bunyi palu bertemu kulit dan kayu), saya amati sudut-sudut toko itu: semua bahannya hampir terbuat dari kayu, mulai kelom, payung kertas, sampai tempat penyimpanan barang-barang itu -- rasanya seperti melihat masa lalu kota Bandung, bisikku..
Saya lupa menanyakan nama bapak berambut perak itu, tapi wujud tokonya yang terletak di sebuah situs komersiil, Jalan Cihampelas, Bandung, sudah cukup menunjukkan jati dirinya....
Sebelum berburu kelom itu, kami makan siang di cafe Cisangkuy, dan mampir ke ke sebuah mal (kami membeli permen dari bahan susu dari daerah Pengalengan, Kabupaten Bandung). Kami sempatkan pula mencari oleh-oleh di pusat penganan di Cihampelas, serta mengabadikan sejumlah situs peninggalan kolonial kota itu..
Beranjak sore, kami meninggalkan kota Bandung, melalui Setiabudi, lalu Lembang. Tujuannya: pemandian air panas Ciater, Kabupaten Subang (ini kedatanganku kedua kalinya). Pemandangan drastis berubah, dari situs kota yang serba beton digantikan hamparan kebun teh, dan terkadang hutan pinus, dan kabut dikejauhan. Sekitar pukul 5, menjelang petang, saya dan anakku sudah berendam di kolam air belerang, yang hangat, dan berasap. Beserta adik iparku, istriku lebih memilih dipijat kakinya...
Menjelang malam kami akhirnya tinggalkan lembah Ciater. Seraya mampir membeli buah nenas di wilayah Subang, kami berpacu dengan malam, untuk segera kembali ke dunia nyata, dunia keseharian Jakarta... Esok harinya, tanggal 19 November, adalah hari ulang tahun pernikahan kami...