Dec 31, 2008

"Kolak pisang" bikinan sendiri...

Rating:★★
Category:Other
AGAK frustasi lantaran sulit mendapatkan menu kolak pisang di sebagian tempat di Jakarta, yang akhirnya bisa kulakukan adalah bikin dan masak sendiri makanan "masa lalu" itu -- tentu ditemani istri, utamanya ketika bicara "kapan dan berapa air yang harus dicampur santan (instan)".

Dan, hasilnya, tak begitu mengecewakan. "Enak juga," kata istriku, seraya menyantap kolak pisang itu, hari Minggu (28/12) lalu. Anakku sayangnya belum terbiasa dengan makanan tersebut, dan menolak mencicipinya. Dalam dua hari, praktis kolak pisang itu akhirnya ludes -- setengah porsi tertinggal di kulkas di kantor.

Tapi kolak pisang (tanpa dicampur bahan lain, seperti kolang-kaling, atau ubi) adalah makanan favoritku. Utamanya, apabila kuah santan kolak itu kental, dan dicampur gula Jawa. Dan biasa kusebut sebagai "makanan masa lalu", karena yang kuingat makanan itu disajikan saat buka puasa -- dan ini artinya kolak pisang bikinan ibuku, dulu.

Dalam perjalanannya, aku pernah beberapa kali merasakan "varian" kolak pisang -- yang ternyata tidak tunggal. Ada warna kuahnya yang agak kelabu ("itu artinya dia nggak pakai gula merah," celetuk istriku), lalu bahkan dicampur es batu segala.

Yang terakhir ini, menurutku, agak aneh. "Karena, seingatku, kolak itu dahsyat rasanya kalau disajikan pas panas," jelasku, bila berdiskusi ihwal selera kolak di depan istri -- dan memang enggak bisa ketemu, akhirnya.

Tapi aku lupa jenis pisang apa yang kubeli kemarin. Tapi menurut penjualnya, bisa untuk digoreng -- dan kusimpulkan sendiri, itu artinya bisa juga dibikin kolak.

Dan seperti kusebut di awal, rasa kolak bikinanku itu (plus campur tangan istriku), lumayan juga -- untuk ukuran tukang masak pemula (he,he,he... ini pengalamanku pertama bikin kolak pisang). "Tapi jangan langsung dimakan dulu, biarkan pisangnya meresap dulu," katanya, setelah kumasukkan pisang dalam kuah santan yang sudah mendidih.

Dan kalau kusebut diriku agak frustasi ketika sulit mendapatkan kolak pisang, itu ada benarnya. Dulu ketika keinginan itu meluap-luap, aku di kala senggang ke sebuah restoran kecil di sebuah mal langganan -- biasanya di akhir pekan. Di sana, mereka menyediakan menu kolak pisang. Namun semenjak restoran itu berganti rupa, praktis aku cuma bisa menyantap kolak pisang saat ramadhan, atau ketika ibu mertuaku kebetulan membuat makanan itu. ***

"Kolak pisang" bikinan sendiri...

Rating:★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Bintaro, Sektor 9, Tangerang Selatan
AGAK frustasi lantaran sulit mendapatkan menu kolak pisang di sebagian tempat di Jakarta, yang akhirnya bisa kulakukan adalah bikin dan masak sendiri makanan "masa lalu" itu -- tentu ditemani istri, utamanya ketika bicara "kapan dan berapa air yang harus dicampur santan (instan)".

Dan, hasilnya, tak begitu mengecewakan. "Enak juga," kata istriku, seraya menyantap kolak pisang itu, hari Minggu (28/12) lalu. Anakku sayangnya belum terbiasa dengan makanan tersebut, dan menolak mencicipinya. Dalam dua hari, praktis kolak pisang itu akhirnya ludes -- setengah porsi tertinggal di kulkas di kantor.

Tapi kolak pisang (tanpa dicampur bahan lain, seperti kolang-kaling, atau ubi) adalah makanan favoritku. Utamanya, apabila kuah santan kolak itu kental, dan dicampur gula Jawa. Dan biasa kusebut sebagai "makanan masa lalu", karena yang kuingat makanan itu disajikan saat buka puasa -- dan ini artinya kolak pisang bikinan ibuku, dulu.

Dalam perjalanannya, aku pernah beberapa kali merasakan "varian" kolak pisang -- yang ternyata tidak tunggal. Ada warna kuahnya yang agak kelabu ("itu artinya dia nggak pakai gula merah," celetuk istriku), lalu bahkan dicampur es batu segala.

Yang terakhir ini, menurutku, agak aneh. "Karena, seingatku, kolak itu dahsyat rasanya kalau disajikan pas panas," jelasku, bila berdiskusi ihwal selera kolak di depan istri -- dan memang enggak bisa ketemu, akhirnya.

Tapi aku lupa jenis pisang apa yang kubeli kemarin. Tapi menurut penjualnya, bisa untuk digoreng -- dan kusimpulkan sendiri, itu artinya bisa juga dibikin kolak.

Dan seperti kusebut di awal, rasa kolak bikinanku itu (plus campur tangan istriku), lumayan juga -- untuk ukuran tukang masak pemula (he,he,he... ini pengalamanku pertama bikin kolak pisang). "Tapi jangan langsung dimakan dulu, biarkan pisangnya meresap dulu," katanya, setelah kumasukkan pisang dalam kuah santan yang sudah mendidih.

Dan kalau kusebut diriku agak frustasi ketika sulit mendapatkan kolak pisang, itu ada benarnya. Dulu ketika keinginan itu meluap-luap, aku di kala senggang ke sebuah restoran kecil di sebuah mal langganan -- biasanya di akhir pekan. Di sana, mereka menyediakan menu kolak pisang. Namun semenjak restoran itu berganti rupa, praktis aku cuma bisa menyantap kolak pisang saat ramadhan, atau ketika ibu mertuaku kebetulan membuat makanan itu. ***

Ambil cuti, dan masuk kerja kembali 5 Januari 2009

Start:     Dec 26, '08 12:00p
End:     Jan 4, '09
Location:     Jakarta, Indonesia
LEGA rasanya bisa cuti, jauh dari aktivitas pekerjaan, walau akhirnya tak kemana-mana -- cuma di Jakarta, maksudnya. Tapi memang ada saja yang dikerjakan selama cuti, seperti membereskan segala sesuatu yang selama ini tak dilakukan, atau tak melakukan sesuatu bahkan -- tak perlu disibukkan deadline kerjaan kantor, misalnya.

Dalam kesempatan ini, yang mungkin bisa kulakukan, adalah membaca beberapa buku, yang selama ini jarang dijamah, karena berbagai keterbatasan. Dan yang pasti, tentu saja, menonton filem-filem di DVD atau VCD lama -- dalam tiga hari ini, kami antara lain sudah nonton filem "Chocolate", "Anne Frank", atau "Munich".

Juga meluangkan waktu lebih banyak untuk anak dan istri.
Jadi, apapun, aku masih berharap semua itu bisa dilakukan di tengah cuti ini, sebelum tanggal 5 Januari itu di depan mata... ***

Dec 29, 2008

"Tjakrabirawa" di Musium Pak Nas...




DILATARI berbagai versi sejarah di seputar kejadian kekerasan di tahun 1965-66, aku ajak anak-istriku ke Musium Abdul Haris (AH) Nasution hari Senin sore (29/12) kemarin. Lokasinya, adalah bekas rumah mendiang Pak Nas, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sore itu langit Jakarta kelabu, dan bergerimis...

Musium ini baru diresmikan, 3 Desember lalu, oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dan sebetulnya bukan kunjungan pertamaku ke bangunan itu. Dulu, mungkin sekitar tahun 1997 atau 1998, sebagai wartawan, pernah datang dan masuk ke rumah itu. Pak Nas, kala itu, masih sehat -- aku lupa, ada kejadian apa di rumahnya, tapi banyak sekali jurnalis yang datang.

Kita, para jurnalis, kala itu bahkan bisa mewawancarai Pak Nas, orang penting dalam perjalanan Republik ini -- dia juga saksi sejarah yang langkah. Istrinya, yang masih terlihat cantik, ikut menemani dalam wawancara itu. Juga anak sulung mereka, yang tak lain kakak mendiang Ade Irma Suryani...

Aku masih ingat, dalam sebuah wawancara istri mendiang Pak Nas pernah bercerita, bahwa "interior dan eksterior rumah itu tak ada yang diubah, persis seperti saat kejadian itu". Dan dari kalimat ini, aku di tahun 1997 atau 1998, mencoba membuktikannya. Kumasuk ruangan dalamnya, dan sepertinya betul perkataannya itu -- walau aku tak tuntas untuk melihat semua ruangan "bersejarah" rumah tersebut...

Sepuluh tahun kemudian, hari Senin kemarin, keinginanku itu terkabul. Ditingkahi tawa, dan rasa ingin tahu anakku, juga "ketenangan" istriku, kudatangi semua ruangan rumah itu -- termasuk tembok di samping rumah itu, yang dijadikan batu loncatan Pak Nas untuk meloloskan dari kejaran pasukan Tjakrabirawa...

Tapi barangkali adalah anakku yang paling "terkesan", saat dia memasuki kamar, yang dulu dijadikan kamar tidur mendiang Ade Irma Suryani. (Beberapa bulan lalu, aku dan istri menceritakan profil Ade Irma, beserta kejadian tahun 1965-1966). Seperti diketahui, Ade yang saat itu berusia 5 tahun, tertembak dalam serangan, dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. "Yuk, lid, kita ke kamarnya Ade Irma lagi," pintanya sore itu.

Di sana bisa dijumpai baju milik Ade, yang dikenakan pada subuh yang naas itu. Baju warna biru pucat, yang sepertinya terawat, ditempel pada sebuah papan berkaca, beserta boneka dan botol minuman miliknya. Yang lain tentu, segala atribut milik Pak Nas -- termasuk pakaian militer berikut tongkat yang acap kita lihat di buku-buku sejarah setelah tragedi itu.

Agak pahit, dan getir memang, saat memasuki ruangan-ruangan rumah itu -- saya dan istri lantas teringat filem G30S/PKI yang dulu diputar acap tahun. Juga ada perasaan sedih, dan sedikit mengerikan, ketika sejumlah sosok patung Tjakrabirawa dihadirkan di sebuah lorong dan di kamar ajudan Pak Nas, mendiang Pierre Tendean. Tapi kupikir, sejarah kekerasan itu haruslah diketahui, apapun yang melatari, bagaimanapun ragam dan versi kejadiannya, yang akan terus ada... ***

Dec 16, 2008

Camden, 'Cihampelas'-nya London...




HUJAN gerimis dan udara dingin yang menusuk, tak menghalangi niatku mendatangi Camden Market, akhir Maret lalu. "Di tempat itu," kata temanku yang lama tinggal di London, Yusuf Arifin,"ada pasar murah, pernak-pernik, dan kau bisa menawar..."

Aku tertarik tawaran temanku itu, karena kupikir, aku bisa belanja pernak-pernik untuk sekedar oleh-oleh sebagian teman di Jakarta -- sesuai isi kocek yang tersisa, tentunya. Lagipula hari Jumat, tanggal 28 Maret lalu itu, aku libur. Dibayangi harapan yang membumbung, serta ditemani langit London yang (selalu) kelabu, kaki pun mantap menuju ke Camden, di utara kota itu.

Walaupun aku belum pernah ke tempat itu, tak ada risau sama-sekali. Ini tak lain karena sarana transportasi di kota London "sungguh ajaib". Itulah sebabnya, seorang teman setengah berkelakar berkata, "Kau tak mungkin tersesat di kota ini, asal kau pegang peta tube.."

Peta tube, atau kereta listrik bawah tanah, itu hanya berukuran sekitar 10 sentimeter kali 20 sentemeter. Tapi itu kusebut "azimat" karena begitu pentingnya. Di dalamnya digambarkan dengan sederhana: rute tube, nama stasiun, serta jalurnya, dengan warna yang berbeda.

Singkat cerita, pada pagi yang mulai diwarnai kesibukan, aku naik tube dari stasiun Queensway, naik jurusan Northern Line. Turun di stasiun Camden yang tengah direnovasi, aku dihadang gerimis itu. "Pak di mana Camden Market?" Seraya tersenyum seorang polisi meminta aku belok kanan, "dan itu adalah pasarnya..."

Camden Market (yang konon mulai dibangun berangsur-angsur di tahun 1975), aku akhirnya paham, mirip tempat belanja di Jalan Cihampelas Bandung -- bahkan sangat mirip, dengan dekorasi yang dibuat "berlebihan" di atas rumah bertingkat dua, yang disulap menjadi toko. Kemiripan lainnya adalah dentaman suara yang bersahutan, keluar dari alat pengeras suara di masing-masing toko.

Saya memang datang terlalu pagi, tetapi ada beberapa gerai yang sudah menjajakan dagangannya -- mulai kaos oblong sampai cincin, dan anting-anting. Seperti pusat perdagangan di Cihampelas yang terletak di Jalan Cihampelas, maka Camden Market itu berpusat di Jalan Camden High Street -- dari ujung dekat stasiun sampai ujung di sebelah kanal yang berusia tua (dibuka tahun 1820).

Di sepanjang jalan itu, aku menyaksikan rumah-rumah bertingkat dengan dinding berbata jingga-kecoklatan sebagian -- yang saling berdempetan. Eksterior rumah itu memang sebagian besar sudah "dihiasi" aneka atribut budaya pop -- mulai patung hingga lampu neon kelap-kelip -- yang disebutkan mulai dilakukan tahun 1990-an. Di antara bangunan-bangunan itulah, ada sejumlah tempat seperti pasar kecil yang berisi gerai-gerai kaki lima -- mulai makanan tradisional, perhiasan, barang loakan, sampai barang sisa impor, buatan tangan atau pabrik.

Saya berjalan terus, walau gerimis terus mendera. Dan seiring perjalanan waktu, turis lokal maupun asing pun makin gampang di jumpai di jalan tak berukuran besar itu. Bus double decker dari jurusan tertentu, juga terlihat hilir-mudik di depanku.

Layaknya turis yang datang ke tempat baru, aku juga berpikir "amankah tempat ini." Dan walaupun kuanggar tak seseram Pasar Senen di Jakarta, tetap saja kau waspada, jangan sampai aku kena jambret. "Jangan salah, Fan, di London pun ada copet loh," kata temanku, suatu saat.

Puas keliling tempat itu, aku akhirnya gagal memperoleh barang oleh-oleh. Kupikir tak ada yang istimewa, dan barangnya hampir sama dengan beberapa tempat lain di London. Aku akhirnya meninggalkan tempat itu, Camden Market, dengan diantar gerimis yang tak juga redah. ***



Dec 2, 2008

Bila tim sepakbola sekolah anakku bertanding..




"PAK Syaiful, bantu kita dong..." suara memelas itu terlontar dari mulut seorang bocah. Keringat sebesar biji padi terlihat mengucur deras di dahinya, sementara kakinya hanya mampu melangkah perlahan di lapangan sepakbola itu. Matanya agak memicing, menahan terik matahari di atas kawasan Simprug..

Pak Syaiful, sang pelatih, hanya terdiam -- sepertinya kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab permintaan tersebut. Saya yang kebetulan berada disamping sang pelatih, dan beberapa orang tua, juga mendengar kalimat itu. Jujur saja, saya ingin tertawa mendengarnya, walau perasaan getir itu muncul pula..

Saat kalimat itu meluncur dari bocah itu, dan meruntuhkan "keteguhan" para orang tua, tim sepakbola sekolah anak saya, kalah 2-1. Walau ini uji persahabatan, tapi kenyataan di lapangan pada hari Minggu (30 November) lebih dari itu! Seperti tersengat, para orang tua, juga pelatih, berlomba untuk bersorak-sorai menyuntikkan semangat kepada anak-anak itu. "Ayo, balas, balas! Kamu bisa!..."

Dengan bersemangat, tim sepakbola sekolah anakku mampu menyamakan skor 2-2. Saat gol itu terjadi, saya berdiri di dekat gawang tim sepakbola Sekolah Madania, lawan tanding sekolah anakku. Seolah bagian dari tim itu, saya pun berteriak keras "gol...".

Dan mirip atraksi para pesepakbola profesional, si pencetak gol itu lantas dikerubuti kawan-kawannya. Saling menindih. Senyum itu pun mengembang di mulut mereka, termasuk si bocah pelontar kalimat di atas...

***

LANTAS di mana anakku, Aida Ameera? Anakku tak ikut dalam tim sekolahnya, walaupun dia sebelumnya ingin bergabung di dalamnya. Aku dan istriku menjelaskan, "Untuk ikut tim sekolah, kamu harus ikut ekstrakurikuler sepakbola. Kalau Aida tertarik, nanti didaftarkan ya..."

Tak gampang meyakinkan kalimat itu padanya. Dia sepertinya marah tak masuk tim. Menurutnya, ada satu teman perempuannya tak ikut ekstrakurikuler sepakbola, namun bisa ikut di dalam tim itu. Itulah sebabnya, saat diajak istriku menonton pertandingan itu, Aida menolak.

Kami membujuknya, tetapi dia seperti patah arang. Bujukan kami akhirnya bertuah: dia bersedia datang ke lapangan Simprug milik Pertamina itu, tetapi dia mengajukan syarat "Aida nggak mau jadi suporter," tegasnya dengan agak bersungut.

Saya dan istri tak bisa menolak permintaaannya. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertandingan, dia berulangkali berkata, bahwa dia lebih suka main basket ketimbang sepakbola -- sebuah ucapan yang menurutku bertolak dari keinginan awalnya. Kalimat itu dia utarakan, dengan raut muka mungil itu dibuat serius. (Alisnya yang tipis menaik, mirip tokoh "si muka masam" dalam legenda 7 kurcaci dan putri Snow White..)

***

TANGIS sesenggukan itu terdengar pelan pada pemain putri itu, ketika tim Sekolah Tara Salvia akhirnya kalah 3-2. Satu gol finalti di penghujung pertandingan itu, membuat anak-anak itu sepertinya tak menerima kenyataan tersebut. Para orang tua juga sempat terdiam mula-mula, walau akhirnya mereka kemudian mencoba bijak. "...Nggak apa-apa, kalian sudah tampil hebat! Ini kan pertandingan pertama kalian!"

Para orang tua kemudian menghampiri anak-anaknya. Diberinya para bocah (paling besar klas 4 SD) itu semangat, juga pelukan sayang. Pak Syaiful, sang pelatih, juga memberi pidato yang teduh. "Menang atau kalah, tak penting.. Yang penting kalian bermain sportif," katanya lagi. Anak-anak itu lantas bersalaman dengan para pemain lawannya...

Saya pun mengajak anak-anak itu untuk berfoto bersama. Semula agak berat, mereka kemudian melakukannya. Sebagian berdiri, dan sebagian lagi setengah duduk -- mirip kesebelasaan profesional. Mereka juga beryel-yel dengan sang pelatih. Para orang tua -- suporter itu -- kemudian mengeluarkan aneka penganan dan minuman...

Bagaimana sikap anakku atas kejadian ini? Walaupun terkesan enggan larut dalam kekalahan itu, belakangan di atas mobil dia berujar," Aida gemes, marah! Kok anak-anak Madania itu bilang kepada kita "selamat ya atas kekalahannya..." Saya dan istriku terdiam sejenak, dan tertawa pelan...***

Nov 26, 2008

Dunia bawah tanah Kota London...




SAAT duduk di dalam tube, yang melaju kencang, di lorong bawah tanah Kota London, aku selalu mengenyahkan "rasa takut" yang dirasakan temanku...

Kawanku ini, entah kenapa, panik apabila berlama-lama berada di kereta listrikpana yang berusia lebih dari seratus tahun bawah tanah

Nov 24, 2008

Ciliwung Express, kelilling pelosok Jakarta...




DI DALAM gerbong kereta listrik yang kami tumpangi pada Jumat pekan lalu, hanya aku dan istriku penumpangnya. Satu orang lagi adalah lelaki bertopi, serta kondektur yang rajin hilir-mudik. Sisanya, adalah deru kereta, sejuknya AC, serta sesekali aroma pasar di pinggir rel -- yang menyelinap di celah-celah pintu kereta, yang kurang tertutup rapat.

Perjalanan menjelajahi rel tua dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu, memang bukan perjalanan "biasa" -- bukan seperti jalur rutin kami berangkat-pulang kerja, dari Stasiun Sudirman ke Stasiun Pondok Ranji, Tangerang. Di dalam KRL bernama "Ciliwung Express" (yang diresmikan sekitar 1 tahun lalu itu), perjalanan itu kami namakan "jalan-jalan"...

Dan "jalan-jalan" di atas jalur kereta lama itu, sudah lama kami rencanakan, jauh-jauh hari. Dan waktu itu akhirnya tiba, ketika hari Jumat lalu aku dapat jatah libur, dan istriku demikian pula -- sayangnya, anakku Aida tak bisa ikut, karena dia masuk sekolah.

"Pengin tahu ngerasain kereta Ciliwung, sekalian pengin lihat-lihat stasiun yang jarang kita jumpai," begitulah kurang-lebih alasan kami.

Seperti biasa tanpa bekal informasi jadwal KRL itu, pada pagi yang mendung, kami tinggalkan Stasiun Pondok Ranji, naik KRL Sudirman Express. Turun di Manggarai sekitar pukul pukul 09.30, kami sudah ditunggu kereta warna biru yang terlihat bersih itu. "Keretanya baru berangkat pukul 10 nanti," kata penjual tiket, seraya menyodorkan karcis seharga Rp 3,000 rupiah.

Sambil membayangkan sisa-sisa eksterior dan interior masa lalu Stasiun Manggarai yang masih tersisa, kereta pun berdesis -- pertanda mau berangkat. Jarum jam pada arlojiku menunjukkan pukul 10.15 menit -- artinya, terlambat seperempat jam dari jadwal semula. Tapi waktu molor itu tak kami hiraukan, saat hatiku mulai berdebar membayangkan stasiun-stasiun apa saja yang akan kami singgahi...

Yang lainnya, aku membayangkan bagaimana penulis sohor spesialis perjalananan, Paul Theroux, bisa mendeskripsikan perjalanan naik keretanya keliling Asia, yang dijelmahkan menjadi buku, dan dibaca banyak orang. (Salah-satunya bukunya berjudul The 'The Great Railway Bazar', tentang perjalanannya keliling Asia dengan kereta api).

Juga, kubayangkan perjalanan naik kereta api novelis Peter Zilahy dari sebuah kota di Honggaria menuju Yugoslavia -- dalam novelnya yang kontroversial 'The Last Window Giraffe' (edisi bahasa Indonesia, terbit Oktober 2008). "Sebelum tiba di Belgrade, kabut turun..." tulisnya di atas kereta 'Balkan Express', yang menghubungkan Budapest-Belgrade...

Entah apa yang dipikirkan istriku, saat itu. Tetapi setiap kereta kami mulai berjalan pelan (ini tandanya mau berhenti di stasiun tertentu), kami biasanya berujar kompak: "Ini stasiun apa ya?" seraya tanganku memencet tombol kamera, mengabadikan sekelabatan bangunan tempat orang berhenti, istirahat, dan melanjutkan perjalanan lagi...

Dari Stasiun Manggarai, kurang dari 10 menit, Ciliwung Express singgah di Stasiun Jatinegara, lengkap dengan bangunan lamanya -- melewati kawasan banjir bernama Bukit Duri, dengan sungainya yang kelam, serta rerimbunan pohon pisang, dan...sampah.

Tanpa sempat kami berpikir "kemana kereta ini bergerak", sekonyong-konyong kereta berhenti hitungan detik di Stasiun Kramat. Saya tak tahu, apakah ada penumpang naik di dalam kereta luks ini. Pemandangan selanjutnya, adalah rumah-rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, dan seterusnya, dan seterusnya... dan sungai hitam kelam!

Sampai Stasiun Senen, mata dan hati sedikit terhibur, karena stasiun kuno itu terlihat dirawat. ("Perawatan stasiun ini, juga ikut dibiayai dari penjualan tiket kereta eksekutif,"Dirut Perumka, yang kuwawancarai akhir Oktober silam, jelang Idul Fitri. Dia menolak anggapan bila Perumka kurang memperhatikan aspek kenyamanan kereta ekonomi).

Dalam hitungan menit, Ciliwung Express berhenti pada stasiun yang kuanggap sama-sekali asing, yaitu Kemayoran. Dari lokasi ini, aku semakin seperti berada di tempat antah berantah, termasuk ketika kereta ini masuk stasiun mungil berwarna merah muda, Rajawali. "Ini di mana nih!" kataku setengah girang dan terperangah. Istriku cuma tertawa kecil, keheranan pula. Di sini ada dua siswa SD masuk di gerbong kami.

Selanjutnya kereta kami berlari kencang, sepertinya memasuki kawasan pertokoan Mangga Dua, dan masuk stasiun yang tak kutahu namanya. Di kejauhan, hnya terlihat gedung jangkung, dan dataran luas berair -- sepertinya sudah dekat arah Kota, kupikir begitu.

Ternyata benar. Kami sempat melewati kawasan kota Tua, yaitu jembatan gantung, dan deretan gudang tua peninggalan VOC. Tapi kereta ini tak masuk Stasiun Kota, dan tiba-tiba kami membaca papan nama Stasiun "Angke" dan "Duri" -- sama seperti di stasiun awal, banyak gubuk, sampah, dan sungai hitam...

Ada satu lagi stasiun, yang sepertinya di kawasan Roxi, tapi tak sempat kucatat..

Dan seperti pernah kulalui sebelumnya, keretaku melewati jalur rel menuju Stasiun Tanah Abang -- tempat pemberhentian akhir kami. Waktu menunjukkan pukul sekitar 11 siang. Udara terasa sejuk, sepertinya mau hujan. Kami menghabiskan waktu di sini, sambil makan siang di sebuah warung -- yang dindingnya berhias kalender, yang isinya mengingatkanku kawasan Jatibaru, Tanah Abang, yang dulu dikenal sebagai pusat prostitusi.

Sambil menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke rumah, aku kembali membayangkan "jalan-jalan" itu tadi. Kereta luks itu tadi, aroma pasar yang menyelinap di sela-sela pintu keretaku, bau sungai hitam, ribuan gubuk liar yang tak berkesudahan, serta gerbong kereta ber-AC yang melompong, tak berpenumpang... ***

Nov 15, 2008

Bakso Keju, bakso 'Akrom', dan kisah itu...

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Jakarta, Malang
"INI pentol, namanya! Di kota Malang, orang menyebutnya begitu," ujarku bersemangat di depan anakku, yang mulutnya penuh potongan pentol alias bakso, yang sudah kuiris-iris -- saya tahu, dia tak akan begitu peduli dengan ucapanku itu. Bayangkan, mulutnya yang mungil itu justru terus bekerja, dan, "Aida sekarang suka bakso, yang berisi keju!..."

Bakso keju -- alias pentol berisi keju. Para penggemar bakso di Jakarta, tentu sudah merasakan bakso jenis ini, dan sejumlah gerainya gampang di jumpai di sudut-sudut kota ini. Dan diantara sekian ribu konsumennya, anakku adalah salah-satu penggemarnya. "Asyik, kita makan bakso keju yuk," katanya girang, seraya menyebut nama perusahaan bakso itu.

Saya hampir selalu mengiyakan permintaannya -- tentu, bila dia belum makan dan tak setiap hari mengkonsumsinya. Dan beruntungnya, restoran penjual bakso itu, relatif tak jauh dari rumah kami di kawasan Sektor 9, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Hanya sekitar lima menit dengan kendaraan, kami sudah berada di restoran yang disain eksteriornya bernuansa kuning.

***

UKURAN pentol, alias bakso di restoran itu, cukup besar: sebesar bola tenis. Yang membedakan dengan bakso di tempat lain, di dalamnya tak melulu dipadati daging. Selain keju, ada yang diisi sumsum, urat, buntel (yang digoreng), serta tentu saja yang berisi daging padat -- heeem, yang terakhir adalah menu favoritku...

Bila ditanya kenapa bakso daging padat, tapi renyah dan 'klasik', lebih kusuka, jawabannya antara lain begini: rasa dan bentuknya mengingatkanku saat masa kecil, ketika pertama kali kenal dengan makanan asal Tiongkok itu.

Dulu, saat tinggal di kota Malang, di tahun 1970 dan 80'-an, aku dan saudara-saudaraku mengenal sebuah warung bakso yang terkenal. Letak warungnya, tolong dibayangkan, di sebuah gang sempit -- hanya motor bisa melaluinya. Jalannya agak menurun, tak jauh di belakang Masjid Jami' di kawasan Kauman, di pusat kota Malang...

Nama warung itu 'Akrom' -- saya tak tahu, dari mana nama itu, mungkin saja nama keluarga pemiliknya. Dan seingatku, ruangan warung itu sempit. Sepertinya bekas dapur, yang disulap sedemikian rupa. Pintu warung itu ada dua. Dan saya sering melalui pintu belakang, langsung ke dapurnya.

Dulu, dua kakak perempuanku selalu mengatakan, bakso akrom adalah "bakso Malang paling enak..."

***

SEBUTAN "bakso Malang paling enak" itu terpatri terus dalam benakku. Konsepku tentang bakso di kemudian hari, selalu bertolak dari konsep tersebut. Dan aku selalu berpikir: bakso itu adalah kumpulan pentol, mie kuning, tahu putih atau goreng; sementara di Jakarta, bakso itu pentol semata...

***

DI DALAM benakku, seingatku, pentol akrom ukurannya kecil, yang biasanya dipadu mie kuning (yang digulung), tahu goreng dan tahu putih, serta satu lagi yang sepertinya daging cacah yang digoreng dan dilumuri tepung -- aku lupa namanya.

Nah, yang khas, kuah dari bakso Malang itu bening. Bumbunya tak pekat. Paling-paling dicampuri potongan bawang goreng dan seledri. Dan satu lagi, aku agak lupa, sepertinya bakso Malang tak pernah dicampuri mie putih...

Namun dalam perjalanannya, ruangan sempit warung bakso Akrom, pernah sepi. Tak ada pengunjung yang datang ke sana. "Pemilik warung itu penganut Islam Jamaah", "Mereka punya masjid sendiri di lotengnya", dan "Pentolnya pakai daging babi"...

Itulah selentingan yang kudengar samar-samar di saat aku berusia kurang dari 15 tahun. Seingatku, ketika itu, isu Islam Jamaah menjadi gunjingan di media, dan bahkan menyeret dua atau tiga artis ibukota. Dan, orang-orang di Kauman dan sekitarnya termakan berita-berita itu -- termasuk aku.

***

TAPI bagaimanapun politik, dan isu agama, tak bisa mengalahkan rasa. Seiring luruhnya isu itu, aroma racikan bakso dari warung sempit itu, kembali memabukkan orang-orang di kampung Kauman dan sekitarnya -- yang kuingat dari kata-kata yang terlontar dari mulut ibu atau kakak-kakak perempuanku adalah "jahat sekali orang yang bikin fitnah..."

Aku lupa kapan persisnya Bakso Akrom berjaya lagi, tapi yang kuingat pelan-pelan kehadiran Akrom mulai tersaingi para pendatang baru. Kehadiran pemain baru di bidang per-bakso-an di kota Malang, tidak terlepas dari ide baru, kreativitas, dan modal yang tak cekak. Mereka menciptakan bakso berukuran besar (sebesar bola tenis), dan warungnya yang letaknya di belakang stasiun kereta kota baru Malang (makanya diberi julukan "Bakso Stasiun) pun dipenuhi para mania bakso....

Sekarang, sekian tahun kemudian, jangan kaget, ada banyak jenis atau varian bakso ala Malang itu -- seorang teman asal Jakarta, bahkan sempat tanya, "Fan, bakso Malang mana yang paling enak?" Jawabanku yang terkaang sok tahu, tak akan beda dengan jawaban warga kota Malang secara umum: "Bakso Presiden" (aku pernah mengajak istriku makan di warung itu, yang selalu bergoyang, jika kereta api lewat di sisinya) atau "Bakso Cak Man.." -- bakso Akrom tak kusebut..

(Beberapa kali pulang ke Malang, aku selalu tak sempat datang ke warung Akrom. Aku hanya mendengar, warung itu masih berdiri. Tetapi aku tak tanya lebih lanjut, apakah aroma bakso itu masih memikat...).

***

MENJEJAKKAN kaki di Jakarta awal 1997, aku kesulitan menemukan kenikmatan makan bakso, seperti "bakso Malang". Kuanggap bakso yang ada di Jakarta, kuahnya tak sepenuhnya bening, kaldunya sepertinya dibuat berlebih, dan ada mie putih.

Tapi pencarian itu datang juga, ketika istriku -- sekitar pertengahan 2000 -- mengajakku ke restoran yang menyebut baksonya sebagai bakso Malang. Dan rasanya memang mengingatkanku pada bakso Akrom. "Ini dia bakso Malang.."

Belakangan, pilihan warung bakso itu makin beragam, termasuk restoran yang menjual menu bakso keju, yang disukai anakku itu. Tapi kata istriku "bakso keju bukan khas kota Malang, tapi itu bakso Solo.."

Aku memang akhirnya tak mendebat kata-kata istriku. Aku agaknya harus mengkoreksi konsep "bakso Malang" yang mengendap di otakku (atau di ujung lidahku?). Apa pasal? Ternyata menu bakso berisi daging padat di restoran berdinding kuning itu enak sekali rasanya -- apalagi dipadu kuah panas yang bening, daun seledri, bawang goreng, serta sambal hijau...

Pada akhirnya, rasa melampaui identitas, politik, atau sesuatu yang mengatasnamakan agama... ***





Nov 12, 2008

Anda setuju, rumah Bung Karno dibangun kembali?

TAHUKAH Anda di manakah lokasi saat Bung Karno -- didampingi Bung Hatta di sebelah kirinya -- membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di sebuah pagi, tanggal 17 Agustus 1945?

Tidak semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Kondisi seperti inilah yang membuat prihatin sejumlah veteran, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penting itu, serta para saksi mata.

Sehingga, sebagian dari mereka berencana membangun kembali rumah tempat teks proklamasi itu dibacakan, yang kini telah rata dengan tanah. Sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, terus mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi ini, dihidupkan kembali.

Tetapi mengapa sebagian arkeolog mempertanyakan proyek ini?

***

DI SEBUAH siang, pada bulan September lalu, saya mendatangi lokasi yang disebut-sebut bekas rumah milik Bung Karno. Saya memang tengah menyiapkan liputan tentang rencana pembangunan bekas rumah bersejarah itu. Seraya melangkah kaki ke arah tempat tersebut, saya membayangkan bagaimana bentuk rumahnya -- dalam ingatanku, gambaran yang selalu terlintas adalah, saat dua orang proklamator itu berdiri di teras depan rumah, yang beratap canopy terbuat dari kain bergaris-garis (seperti yang acap ditunjukkan foto usang karya fotografer IPPHOS...).

"Saya tidak tahu, di mana letak bekas rumah itu," kata seorang lelaki berkacamata, saat kutanya secara iseng. Percakapan ini terjadi di taman tugu Proklamasi, di Jalan Proklamasi, tak jauh dari bioskop Megaria atau Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Di dalam areal itu, sekitar 15 meter di sebelah kiri saya, berdiri patung Sukarno-Hatta, sementara di belakang ada tugu peringatan 1 tahun proklamasi, yang berukuran kecil. Adapun Gedung Pola (yang di tahun 60-an, disiapkan Sukarno sebagai tempat menggodok perencanaan pembangunan Indonesia ke depan).

Informasi di mana persisnya letak rumah itu, sebelumnya sudah kudapatkan, tetapi samar-samar. Ada yang mengatakan, rumah itu dulu berdiri di areal yang sekarang berdiri gedung POLA. Namun ada yang menyebut pula, letak persis teras rumah itu, kini dibangun tiang "halilintar". Saya siang itu akhirnya menemukan tiang beton yang lingkarannya berdiameter lebih dari 100 sentimeter, dan di atasnya terpasang logam berbentuk halilintar.

"Di sinilah dibatjakan proklamasi kemerdekaan Indonesia..." begitulah tulisan pada sebuah logam, yang ditempel di bagian bawah tiang tersebut.

***

SEMINAR rekonstruksi rumah Bung Karno, begitulah bunyi sebuah spanduk, yang dipasang di tembok depan Hotel Cemara, di kawasan Menteng, Jakpus. Digelar selama dua hari pada pertengahan Agustus lalu, acara ini dihadiri sejumlah pejabat dari kantor dinas Kebudayaan dan Permuseman DKI Jakarta, sejarawan, pemerhati sejarah, para veteran, serta seorang arkeolog.

Di sela-sela rehat makan siang, saya bertemu pemerhati sejarah yang juga wartawan senior, Alwi Shahab. Dia begitu bersemangat mendukung rencana pembangunan kembali rumah proklamasi itu. Menurutnya, sebagian besar generasi muda sekarang menganggap proklamasi kemerdekaan dibacakan di Istana Merdeka. "Sehingga rumah proklamasi yang sekarang menjadi gedung POLA itu, perlu dibangun kembali, karena tempat itu bersejarah," tegas Alwi.

Rencana ini sepertinya akan berjalan serius. Melalui seminar itu, sang tuan rumah, yaitu Kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, akan membawa hasil seminar itu ke pemerintah pusat -- agar direalisasikan, dengan tentu saja sembari berharap dapat guyuran dana. Dan mudah ditebak, dalam diskusi hari pertama, semua peserta dan pembicara berduyun-duyun mendukung rencana pembangunan kembali rumah BK.

"Di rumah itu pula kabinet pertama RI bersidang beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan," tegas sejarahwan Universitas Padjadjaran, Bandung, Doktor Sobana Hardjasaputra.

Selain itu, Eddy Syafuan salah-seorang pembicara, yang juga pemerhati sejarah, mengatakan, mempelajari sejarah tidak cukup hanya melalui buku-buku sejarah. Warga masyarakat, menurutnya, perlu juga tahu di mana persisnya peristiwa sejarah itu terjadi.

"Kalau peristiwa proklamasi kemerdekaan, hampir semua tahu itu. Tapi anak-anak itu juga ingin tahu, seperti apa ya rumah BK seperti di foto-foto itu," tegas Eddy, bersemangat.

"Jangan sampai orang datang ke sana, dan berfikir bahwa BK membaca teks proklamasi itu persis di bawah patung proklamator... Itu salah kaprah!"

***

DARI seminar terungkap pula, kenapa Bung Karno membongkar rumah tersebut, pada tahun 1962 -- namun sepertinya tidak ada keterangan tunggal. Seorang peserta mengatakan, rumah itu dihancurkan, karena presiden pertama ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan ke Monumen Nasional (Monas). Sementara Eddy Syafuan mengatakan, rencana pembongkaran itu sempat dipertanyakan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung.

"Dan, ada lagi sentilan yang mengatakan, BK membongkar (rumah) atas desakan itu. Nah, di dalam salah-satu statement Henk Ngantung, dia mengatakan (anggapan) itu tidak benar. Malah seolah-olah (dia) mengatakan BK seolah-olah merestui (pembongkaran rumah tersebut)," jelas Eddy.

Alkisah, pada tahun 1962, tiba-tiba Sukarno memutuskan akan membongkar rumahnya, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. "Berita itu," demikian menurut makalah yang dibuat oleh Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, "muncul secara ekstrim di berbagai koran ibu kota." Henk Ngantung, pejabat Gubernur DKI Jakarta saat itu, dilaporkan merasa prihatin terhadap rencana itu. Dia lantas menemui Presiden, membujuk agar membatalkan rencana itu.

Namun bujukan itu tak kuasa meluruhkan hati Sukarno. "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku," jawab Bung Karno di hadapan Henk Ngantung, seperti dikutip Alwi Shahab. Dan tanpa alasan yang jelas, menurut makalah itu, dan kini masih merupakan misteri, pembongkaran jadi dilakukan -- yang kemudian disesalkan sebagian orang di kemudian hari.

Tapi usaha Henk Ngantung, tidaklah seluruhnya sia-sia. Presiden dilaporkan setuju di kemudian hari, rumah itu dapat dibangun kembali.

"Untuk keperluan itu, Gubernur Henk Ngantung menugaskan sejumlah stafnya untuk membuat maket, foto-foto, dan menyimpan sejumlah perabot rumah tangga agar dikemudian hari dapat dipergunakan secara semestinya," kata pemerhati sejarah, Rushdy Hoesein, yang pernah dilibatkan dalam proyek pembangunan kembali rumah itu, di masa Presiden Suharto berkuasa.

***

DI SELA-SELA seminar itu, saya beruntung bertemu Rushdy Hoesein, lelaki berambut perak, yang pernah dilibatkan dalam upaya merekonstruksi rumah Bung Karno (yang ditinggali sejak tahun 1942), dulu. Rupanya, ide seperti ini pernah diupayakan, sekian tahun silam, tetapi juga gagal. Siang itu, dia membawa sebuah salinan buku yang isinya berupa disain dua dimensi rumah itu, berikut foto-foto. Dengan bersemangat, Rusdhy bercerita betapa rumah itu bersejarah.

"(Rumah itu) tempat tinggal BK, lalu tempat proklamasi Ketiga, (tempat) perundingan dengan Belanda jaman (perdana Menteri) Syahrir sampai perundingan Linggarjati (1947). Dan tahun 1949, tempat persiapan pengakuan kedaulatan rakyat (oleh Belanda). Kemudian tahun 1957, ada musyawarah besar, di mana Bung Hatta tak lagi menjadi wapres, dan masyarakat meminta agar dwi tunggal terbentuk lagi."

Rushdy lantas bercerita, di masa Presiden Suharto berkuasa, pernah ada ide untuk membangun kembali rumah itu. Saat itu, katanya, ahli sejarah, toko masyarakat, serta saksi sejarah meminta agar Presiden Suharto membangun kembali rumah tersebut. "Pak Harto mengatakan, 'Yang mbongkar saja nggak setuju... Sudahlah kita akan mengenang beliau... Saya akan bangun patung proklamator yang gede'," ungkap Rushdy menirukan Pak Harto.

"Tapi orang 'kan menilai itu kan patungnya Pak Harto, meski sosok patungnya proklamator. Lagipula posisinya tak tepat, banyaklah koreksinya. Tapi, ya sudah, kita terima... Patungnya 'kan juga bagus," tambah Roesdy.

Disebutkan, tahun 2002, sejumlah veteran angkatan 45 pernah memunculkan kembali ide pembangunam rumah itu, dan tampaknya berlangsung serius. Melalui pembicaraan yang panjang, sampai tahun 2005, mereka sudah sampai pada satu titik, yaitu membangun kembali rumah itu sepersis mungkin dengan aslinya -- dan akan dijadikan musium proklamasi.

Bahkan saat itu sudah dibentuk Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, yang disebutkan melibatkan kalangan profesional -- mulai arsitek yang berpengalaman dalam konservasi gedung bersejarah, serta sejarawan. Rushdy Hoesein, salah-seorang anggota komite itu, mengatakan, saat itu kerja panitia sangat serius, termasuk menggali pondasi bangunan tersebut, yang ternyata masih utuh.

Tetapi, proyek ini tidak berjalan. Dia menjelaskan, selain kendala dana dan masalah politik, penyebab lainnya adalah polemik tajam antara kalangan sejarawan dan arkeolog tentang cara merekonstruksi rumah itu. Rushdy kemudian menyebut nama seorang arkeolog senior, Profesor Mundardjito, yang disebutnya paling kritis mempertanyakan proyek itu.

Hari Kamis pada pertengahan September lalu, saya menemui Profesor Mundardjito di kediamannya, dan ternyata sikapnya tak berubah.

"Biarkan sisa fondasi bangunan yang ada, jangan didirikan bangunan di atasnya!" Tegas Mundardjito, yang dulu pernah berperan dalam pembangunan kembali Candi Borobudur. Dia mengusulkan, agar fondasi bekas bangunan itu digali dan diungkap, dan dikonservasi sedemikian rupa.

"Jadi, nanti biarlah orang mengerti seperti inilah denah bangunan yang tersisa apa-adanya. Namun masyarakat juga harus diberitahu, bahwa rumah ini dulu dibongkar, yang mungkin atas inisitaif Bung Karno sendiri," jelas Mundardjito.

Kalau ingin membangun rumah seperti aslinya, Mundardjito yang guru besar Universitas Indonesia, menyarankan begini, "Warga harus tetap diberitahu, bahwa ini bukan gedung aslinya, tapi kira-kira seperti inilah bentuknya," tandasnya.

Dan, menurutnya, bangunan tiruan ini jangan dibangun di atas fondasi aslinya. "Jangan dibangun di situ (fondasi yang lama), tapi di luar itu," kata Mundardjito, serius. Dia menambahkan, "Buat saja model (rumah)dalam bentuk miniatur, atau sebesar aslinya, itu silakan. Tapi tolong jangan di atas lokasi yang lama. Itu sangat ditentang arkoelog, karena itu tidak asli."

Keinginan Mundardjito ini bertentangan dengan niat orang-orang yang ingin mendirikan rumah baru di atas fondasi asli tersebut, seperti ditegaskan Eddy Safyuan, pemerhati sejarah.

Menurutnya, rumah baru lebih baik dibangun di atas fondasi bekas rumah yang lama. "Biarkan saja gedung POLA ada di belakang, jangan dibongkar, karena itu juga punya sejarah tersendiri," jelasnya, seraya menambahkan, gedung POLA adalah saksi bisu rencana Sukarno dalam melaksanakan kebijakan pembangunan semesta berencana.

Eddy menghormati alasan para arkeolog, yang berangkat dari segi disipilin ilmunya. Namun menurutnya, pembangunan rumah Sukarno adalah untuk kepentingan lebih luas. "Kenapa di negara besar seperti Amerika Seikat, bisa membangun kediaman presiden pertama George Washinton? Kenapa kita tidak ambil contoh baik seperti itu," katanya.

***

EDDY Safyuan dan para pendukung ide pembangunan kembali rumah itu, menganggap, yang penting rumah itu dibangun semirip mungkin dengan aslinya. Apalagi, mereka mengaku telah menemukan foto-foto, disain rumah itu sebelum dibongkar, serta saksi sejarah.

Tapi Mundardjito menganggap, syarat-syarat itu tidaklah cukup. Menurutnya, apabila ingin dibangun di atas fondasi yang lama, harus ada tembok yang tersisa, sehingga bisa diketahui bahan asli bangunan itu. "Namun semua ini tidak terpenuhi," katanya.

Lebih dari itu, menurut Mundardjito, jika proyek ini dipaksakan, bisa merusak keaslian situs asli fondasi itu. Dan cara berfikir seperti ini, tegas Mundardjito, bisa membahayakan kebenaran akademis yang relatif dan terus berkembang. Dia kemudian mengusulkan, agar dibangun maket berukuran kecil yang bisa ditinjau ulang. Maket ini menurutnya dapat diletakkan di dekat fondasi asli, berikut memberi latar belakang sejarah bangunan tersebut.

"Lay out itu bisa direkonstruksi, agar nanti ada sejarawan lain bisa menilai ulang, 'oh bukan begitu, tugunya bukan di situ'. Nah, ganti lagi, taruh di sini... Jadi, ini sebagai rekonstruksi yang akademik sifatnya, yang boleh diganti sesuai pemikiran orang-orang yang punya data baru. Ini namanya perkembangan pemikiran orang-orang, yang tidak terus jadi berhenti," jelas Mundardjito. Dia khawatir apabila gedung baru dibangun di fondasi yang lama, orang-orang dipaksa untuk berhenti berfikir.

***

TIDAK adanya titik temu diantara kedua pihak ini, sayangnya tidak tampak dalam seminar rekonstruksi rumah Bung Karno itu. Pembicara dan peserta seminar justru mengamini agar pembangunan itu jangan ditunda lagi. Mereka lantas usul, jika rumah baru itu berdiri, dijadikan musium seputar peristiwa proklamasi kemerdekaan.

Para peserta seminar kemudian menyatakan, akan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan pemerintah pusat agar segera mengeluarkan dana, supaya proyek pembangunan kembali Rumah Bung Karno bisa segera terealisasi, dan sama-sekali tidak memasukkan keberatan para arkeolog. ***

Anda setuju, rumah Bung Karno dibangun kembali?



TAHUKAH Anda di manakah lokasi saat Bung Karno -- didampingi Bung Hatta di sebelah kirinya -- membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di sebuah pagi, tanggal 17 Agustus 1945?
Tidak semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Kondisi seperti inilah yang membuat prihatin sejumlah veteran, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penting itu, serta para saksi mata.
Sehingga, sebagian dari mereka berencana membangun kembali rumah tempat teks proklamasi itu dibacakan, yang kini telah rata dengan tanah. Sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, terus mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi ini, dihidupkan kembali.
Tetapi mengapa sebagian arkeolog mempertanyakan proyek ini?

Nov 11, 2008

Dari Penjara ke Pigura, sebuah pameran seni rupa..

Start:     Oct 17, '08 10:00a
End:     Dec 6, '08
Location:     Galeri Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jaksel
SEMPATKANLAH mampir ke Galeri Salihara, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam pekan-pekan ini. Di galeri milik Komunitas Salihara (yang baru saja diresmikan) itu, Anda akan menikmati sejumlah lukisan atau karya instalasi yang "tidak lazim".

Kusebut tidak lazim, karena pameran seni rupa ini menampilkan lukisan dan karya instalasi yang berangkat dari teks-teks yang ditulis oleh sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia -- dalam perjuangan melawan cengkeraman kolonialisme. Itulah sebabnya, para kurator menamakan pameran ini "Dari Penjara ke Pigura".

"Teks-teks itu (yang berasal dari dari naskah pidato, artikel, surat, atau catatan harian)", demikian keterangan para kurator dalam buku pengantarnya, "adalah buah pikiran (atau ungkapan pengalaman) Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan lain-lain."

Petikan teks-teks itu, lanjut kurator, kemudian ditafsir ulang, diolah dan dihidupkan kembali -- dalam beragam medium, oleh sejumlah perupa Indonesia (yang terpilih mengikuti pameran ini).

Pameran ini -- yang berlangsung mulai 17 Oktober sampai 6 Desember 2008 nanti -- menghadirkan karya-karya mutakhir sejumlah perupa, antara lain Agus Suwage, Dadang Christanto, Diyanto, Djoko Pekik, Hanafi, Mella Jaarsma, Oky Arfie, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yuswantoro Adi.




Oct 31, 2008

Liburan ke Linggarjati: membayangkan debat Syahrir-Schermerhorn, 1946...




RUMAH tua beratap tinggi dan bercat putih itu terletak di sebuah bukit, yang halaman luasnya dipenuhi rumput hijau kekuningan musim kemarau. Dan di setiap hampir jengkal sudutnya, kulihat tumbuh sejumlah pohon pendek berbunga ungu-jingga...

Kehadiran rumah yang temboknya dihiasi belasan jendela lebar dan bercat hijau gelap ini mencolok mata, karena arsitekturnya yang paling berbeda. Bentuk fisiknya mengingatkan pada bangunan rumah kuno di kawasan Menteng, Jakarta, yang mungkin dibangun tahun 1930-an. Sementara di sekeliling tumah itu, kebanyakan adalah bangunan bertipe baru.

Rumah itu memang telah lama berdiri, dan ketika kami -- saya, istri, dan anakku -- kunjungi pada bulan Oktober lalu (saat liburan lebaran), dia masih berdiri kokoh -- dan tampaknya terawat. Walaupun sempat terbengkalai, dan sempat berubah wujud menjadi sebuah sekolah, sejak tahun 1976, bangunan itu kemudian diperbaiki.

Saya bisa membayangkan, apa jadinya rumah bekas tempat peristirahatan di sebuah wilayah bernama Linggarjati, di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat itu, apabila Sutan Syahrir, Mohammad Roem, atau Van Mook serta Profesor Schermerhorn, serta seorang Inggris bertubuh raksasa tetapi "bijak" Lord Killearn, tak singgah di sana, di sekitar bulan November 1946?

***

SEPERTI ditulis sejarah, perundingan Linggarjati semula memberi harapan suatu penyelesaian. Ketentuan terpenting dalam perundingan itu, Belanda akhirnya mengakui "de facto" Republik Indonesia di Jawa da Sumatera. Dan Indonesia setuju dengan pembentukan federasi Indonesia, yang dalam bentuk uni, masih terikat dengan Belanda.

Perundingan ini terselenggara, antara lain karena pilihan diplomasi Perdana Menteri Sutan Syahrir, sekaligus kepala juru runding Republik. Sementara Belanda, dengan baju Komisi Jenderal, diwakili Profesor Willem Schermehorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Di tengah-tengahnya adalah wakil Inggris, Lord Killearn.

Namun seperti diketahui, persetujuan ini (yang ditandatangani 25 Maret 1947 di Jakarta) belakangan ditentang oleh kalangan oposisi Republik dan ditolak parlemen Belanda. Intinya, konsensi-konsesi yang dihasilkan dari perundingan itu sudah dianggap terlalu jauh bagi penentang Syahrir dan Schermerhorn.

Ujungnya, hampir semua partai besar, utamanya sayap kiri dan PNI, menarik dukungannya terhadap Syahrir. Dan pada tanggal 27 Juni 1947, Syahrir, "si bung kecil itu", mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri...

***

KETIKA tombol itu kupencet, dan jendela mobil terbuka perlahan, udara segar pegunungan di areal tempat parkir di sisi gedung di atas perbukitan itu langsung menyergap -- menyulap suasana di dalam mobil yang kurasakan pengap, semenjak kami terjebak macet, tiga jam sebelumnya, tidak jauh dari di pertigaan arah Cirebon-Kuningan-Linggarjati...

Ini memang perjalanan yang kurang nyaman, tetapi akhirnya kusadari: resiko perjalanan yang tanpa perencanaan matang! Saya dan istri tidak paham bahwa tidak jauh dari gedung museum Linggarjati, ada empat wisata air terjun, yang selalu dipenuhi warga, utamanya saat lebaran atau hari libur. Mereka ini berduyun-duyun hendak ke lokasi plesiran itu, sementara kami berencana ke rumah bercat putih dan berhalaman luas itu...

"Kita balik saja, yuk," kalimat bernada frustasi ini keluar dari mulut istriku, ketika ribuan orang (yang kebanyakan menggunakan truk dan kendaraan bermotor lainnya) membuat kami terjebak di jalan desa itu. Mobil kami yang berukuran kecil seperti digenjet kanan-kiri oleh truk-truk beroda raksasa.

Saya semula terdiam kecut, dan mengunci mulut, tetapi akhirnya bilang "ya, udah, yuk kita memutar..." Tapi jalan untuk memutar, tak ada lagi. Dan kerumunan orang-orang itu seperti mau menelan kami -- untungnya anakku, yang duduk di belakang, tak panik. Justru istri dan aku, mulai dihantui rasa was-was -- yang menjelmah seperti sesak nafas.

Dipaksa oleh situasi, kami akhirnya berjalan terus, seraya berharap ada "keajaiban". Memang pada akhirnya, arus mobil itu berangsur longgar, setelah tempat wisata yang menjorok ke bawah itu, terlewati. Ada perasaan lega, terutama di wajahku, ketika dari kejauhan terlihat sebuah rumah itu, dengan genting coklat tua yang samar-samar pernah kulihat di buku sejarah...

"Itu dia gedungnya," kataku agak pelan, seraya melirik istriku. Semangatku pun mulai terpompa -- dan, adrenalinku kembali bugar. Segera ingin tiba, kami akhirnya parkir di sebelah kiri gedung itu, dan kulihat para penjual cindera mata (kaos, gantingan kunci, bertuliskan "Gedung Perjanjian Linggarjati"). Kupencet tombol pintu mobil bakpaoku, dan udara segar pegunungan menyergap... Sesak nafas itu pun lenyap!

***

DI PINTU masuk gedung itu, ada tiga atau empat orang yang sepertinya adalah petugas museum. Mereka duduk di belakang meja, berikut kotak kosong tempat pengunjung secara sukarela memberi sumbangan. Di saat yang sama ada belasan orang yang juga mengunjungi tempat itu, selain kami. Mengenakan kemeja batik, salah-seorang diantaranya yang berkulit coklat tua menghampiri kami, sementara pengunjung lainnya dibiarkan melenggang. Rupanya dia menawarkan diri sebagai guide tour.

"Ini kursi asli yang dulu digunakan para perunding, walau kulitnya sudah diganti," jelas lelaki itu, saat kami memasuki ruangan depan, di dekat pintu masuk. Di ruangan itu, juga dipasang diorama saat para juru runding Republik Indonesia, yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, berdialog dengan juru runding Belanda, dengan Profesor Schermehorn sebagai pimpinannya. Sebuah papan berukuran besar juga ditempel di sana, yang isinya tentang pasal-pasal hasil kesepakatan perundingan bersejarah itu.

Sejumlah foto hitam-putih berukuran HVS folio, tentang sebagian peristiwa itu dipasang di sejumlah sudut tembok gedung itu -- yang sebagian sudah acap kulihat di buku-buku sejarah. Juga dua buah lembar foto, yang menggambarkan ketika gedung itu berubah seperti barang rongsokan tak terawat selama puluhan tahun, sebelum diperbaiki tahun 1976 -- dan dijadikan museum.

Sebuah piano tua (yang disebut-sebut asli dan bagian dari saksi bisu perundingan itu) juga terlihat teronggok di ruangan tengah, dekat meja panjang yang digunakan sebagai tempat berunding. Tidak jauh dari sana, sebuah lemari setinggi pinggang didempetkan di tembok. Lampu bulat dengan kabel menjulur ke bawah juga terlihat di sejumlah ruangan, yang atapnya sungguh tinggi.

Di gedung itu, saya lebih banyak mengambil gambar, sementara anakku banyak bertanya, dan lari ke sana-kemari, dengan kakinya yang lincah. Istriku berusaha mendampinginya, seraya mendengarkan keterangan sang pengantar. Ternyata rumah itu cukup luas, dan banyak terbagi dalam beberapa ruangan. Yang menarik, ada dua kamar khusus istirahat para juru runding, termasuk penengahnya, yaitu Lord Killearn. Kamar ini berhadap-hadapan, dan di atas daun pintunya ditempel nama-nama yang tinggal di ruangan itu.

***

"ADA guling besar!" Anakku lari kegirangan, saat di hadapannya ada tempat tidur beralas kain putih bersih, dengan bantal dan guling di atasnya. Anakku, Aida, memang punya guling kesenangan, yang selalu dia ke mana-mana -- yang kali ini dia bawa dalam perjalanan ke Linggarjati. Saya lupa menanyakan apakah tempat tidur berdisain sederhana itu apakah asli atau diletakkan belakangan di ruangan itu.

Masih dibayang-bayangi bagaimana situasi perundingan saat itu, pengantar mengajak kami ke sebuah ke ruangan kecil, sepertinya dapur. Di dalamnya ada lemari kaca bercat kusam, yang rupanya tempat menyimpan sejumlah piring dan peralatan makan, yang dulu digunakan para juru runding. "Dulu, ada yang menyimpan barang-barang ini, dan kemudian dihibahkan kepada kami," jelas lelaki itu tadi.

Tidak membutuhkan waktu lama, untuk keliling gedung itu -- saya teringat museum Sumpah Pemuda di jalan Kramat Raya, Jakarta, yang juga tak begitu luas. Dan cukup puas berada di dalam, kami pun melangkah keluar yang udaranya begitu segar. Para pengunjung sebagian memilih bercengkeramah di sepanjang pagar beton yang kokoh, di teras rumah itu. Dari sini, pandangan mata bisa menjangkau lembah dan jalan yang letaknya jauh di bawah halaman nan luas... ***



Oct 29, 2008

Usai kabut meleleh di Pulau Nusakambangan...




KABUT tipis yang beraroma laut menyelimuti sebagian pucuk pepohonan yang tumbuh lebat di Pulau Nusakambangan, hari Jumat pagi pekan lalu. Suara pagi berupa bunyi mesin perahu klotok dan peluit kapal feri, serta klakson kendaraan yang hilir mudik di dermaga itu, menyelusup di antara wajah-wajah malas para wartawan -- yang mulai dijangkiti rasa bosan, karena menunggu proses eksekusi tiga terpidana bom Bali yang tak juga digelar...

Saya dan teman-teman wartawan, memang nyaris tak beranjak dari dermaga milik LP Nusakambangan, di Kota Cilacap, Jawa Tengah, sejak isu eksekusi hukuman mati terhadap tiga terpidana itu bergulir. Dermaga itu memang pintu keluar-masuk resmi, walau ada lebih dari lima dermaga milik instansi lain yang menghubungkan Cilacap-Pulau Nusakambangan.

Dan kami hanya bisa menunggu, karena keputusan itu sepenuhnya di tangan "elit" di Jakarta. Kenyataan lainnya, rombongan jurnalis itu dilarang masuk ke Nusakambangan yang hanya berjarak "lima belas menit dengan menggunakan perahu klotok."

Dari dermaga berukuran kecil itulah, yang bisa kita lakukan akhirnya semata menyaksikan pulau Nusakambangan, walaupun indera dan pikiran terus membayangkan "isi" pulau yang acap diidentikkan dengan Pulau Al Catraz, bekas pulau penjara di Amerika, tempat hunian penjahat klas kakap.

Juga mencoba mengkhayal bagaimana dulu penjahat sekelas Johnny Indo mencoba kabur, tetapi akhirnya tertangkap. Serta pula, mengingat-ingat bagaimana kisah Tomi Suharto -- yang pernah mendekam di sana -- "bergaul" dengan penjaga dan narapidana, di dekat selnya yang luks.

(Saya di dermaga itu, bertemu seorang pemilik perahu klotok, yang dulu dibiayai orang-orangnya Tomi untuk membeli perahu, dengan harapan memudahkan mereka hilir-mudik Cilacap-Nusakambangan).

***

"MUNGKIN eksekusi atas tiga orang terpidana Bali itu akan dilakukan pada Jumat dini (24 Oktober lalu) hari nanti," begitu selentingan yang menyebar. Kabar itu makin diyakini kebenarannya, karena Kejaksaan Agung disebutkan akan menggelar jumpa pers pada hari Jumat (24 Oktober lalu), namun belum jelas isinya, apakah akan menerangkan "hasil eksekusi" atau "kapan eksekusi akan dilaksanakan."

Saya beruntung datang agak belakangan -- hari Kamis, 23 Oktober lalu, sementara ada beberapa jurnalis yang datang lebih awal. Bahkan seorang wartawan sebuah stasiun televisi lokal, disebutkan telah berada di Kota Cilacap, sejak dua bulan silam. Wartawan perempuan ini memang dikenal spesialis liputan yang "nyerempet" bahaya. "Saking lamanya, warga di sekitar pelabuhan kenal wartawan itu," kata sopir ojek, yang setiap hari menunggu di depan pintu masuk pelabuhan kecil itu.

***

MENUNGGU adalah bagian kerja wartawan. Kalimat ini akhirnya yang kuulang-ulang untuk meyakinkan diri, agar tak jenuh dimakan waktu. "Jadi, yang cuma bisa kita lakukan adalah menunggu di Dermaga, dengan berharap ada peristiwa itu di sini," kata wartawan lokal, sebuah kantor berita nasional, agak masygul. (Kami akhirnya mempraktekkan istilah "pasang telinga" bak radar, mencatat semua informasi sekecil apapun, demi memproleh kepastian eksekusi).

Dua hari hilir-mudik di dermaga itu, membuat kami akhirnya akrab dengan orang-orang di sana. Salah-satu orang itu bernama Risno, tukang ojek motor -- yang akhirnya kusewa selama 2 hari liputan di kota Cilacap, Jawa Tengah. Dia bersama istri dan empat anaknya, tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding bambu tidak jauh dari pelabuhan tersebut.

"Kota Cilacap itu, ya besarnya segitu saja, dan letaknya di ujung lagi, mentok!" celetuk Risno, agak berteriak, mengimbangi suara mesin motornya, memecah keheningan jalanan kota Cilacap di sore hari. Kalimat ini keluar dari mulutnya beberapa detik setelah aku secara spontan mengomentari geografi kota ini, "ternyata kotamu bersih ya, dan sepi..."

Aku saat itu sengaja minta diajak berkeliling mengitari sejumlah jalan protokol kota -- sebuah ritual yang acap kulakukan saat mengunjungi atau liputan di sebuah wilayah baru. Ini terjadi menjelang kepulanganku ke Jakarta, setelah mendapat kepastian eksekusi itu akan dilakukan awal November nanti.

Dihiasi langit Cilacap yang kelabu, dan dihampari tanah basah akibat hujan, kurang dari satu jam, kami bisa mengunjungi tempat wisata Teluk Penyu, melihat belasan kilang minyak berukuran raksasa, serta mengintip Benteng Pendem peninggalan kolonial Belanda...

***
TERIAKAN "huu!" memecah siang itu, ketika sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan siaran langsung dari gedung Kejaksaan Agung, sekitar pukul 2 siang, hari Jumat lalu. Kami, para wartawan, menunggu dengan tak sabar di ruangan masuk dermaga, di depan layar TV berukuran kecil. Reporter TV itu menyebut, eksekusi baru akan dilakukan awal November nanti...

Pengumuman itu menjengkelkan, tetapi sekaligus melegakan. Sebagian wartawan merasa jengkel, karena itu artinya kedatangan awal mereka sia-sia. Namun di sisi lain, bisa juga disebut melegakan, karena kepastian itu akhirnya datang juga...

Dan dengan menyisakan pertanyaan "kapan persisnya Amrozi dkk dieksekusi mati", saya akhirnya harus meninggalkan Cilacap. Pada Sabtu (25 Oktober) pagi yang diwarnai gerimis , mobil sewaan kami akhirnya meninggalkan pemandangan indah di kejauhan: kabut turun perlahan dan meleleh di pepohonan lebat Pulau Nusakambangan... ***

Oct 16, 2008

Tiba-tiba aku teringat mendiang Munir...

TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan lalu. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu...

Adalah istriku yang membuka "pintu kesedihan" tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah...).

Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, "ceramahnya bagus ya, nggak menggurui.."

Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, "ah, aku jadi ingat Munir.."

Pikiran ini muncul seketika, dan suasana di dalam mobil itu pun menjadi haru. Musik Cranberries -- ode to my family -- yang mengalun dari tape mobilku, semakin menggenapkan suasana miris itu, dan berubah menjadi mirip musik kematian. Kami sempat terdiam beberapa detik -- rupanya perasaan yang sama juga muncul di benak istriku. (Anakku yang duduk di belakang juga diam seribu bahasa).

Wajah tirus Munir, rambut yang kemerahan, tubuh yang ringkih, kemudian membayang sekelebat. Kemudian, kepingan-kepingan memori seperti berputar kembali. Dan muncullah potongan percakapan -- yang samar-samar kuingat -- antara diriku dengan mendiang, sekian tahun silam, sebelum racun itu membunuhnya...

"Kita ikut berdosa, kalau hadir dan mendengarkan khotbah (Jumat) yang isinya cuma menghujat, mengajak bermusuhan..." Kalimat ini dia utarakan, setengah berkelakar, kepada segelintir wartawan, yang biasa ngepos di Kantor YLBHI, Jakarta. (Saat itu, dia dipercaya memimpin LSM itu). Aku ada di sana saat itu. Saya tidak menimpali kalimatnya, tetapi kalimat itulah yang masih kuingat sampai sekarang.

Sebuah mesjid kecil tidak jauh dari kami berdiri kami, memang tengah menyuarakan suara pengkhotbah melalui pengeras suara. "Ayo Fan sholat," ajaknya seraya tertawa. Walau aku agak malas, kami akhirnya menuju mesjid itu, tetapi di saat-saat ketika khotbah itu segera berakhir.

***

SAYA mengetahui sosok Munir, jauh sebelum dia dikenal sebagai pegiat HAM yang dikenal vokal dan berani. ("Saya juga pernah merasa ketakutan, Fan," ujarnya setelah mendirikan organisasi Kontras, tahun 1998). Saya dan Munir berasal dari tempat kuliah yang sama, di kota Malang, Jawa Timur, walau beda fakultas. Saat itu dia aktif di organisasi ekstra serta intra kampus, sementara aku sejak awal terbenam di dunia pers mahasiswa.Tapi saya tak pernah mengenalnya, dan kita jarang bertemu saat itu. "Kupikir kau dulu juga dari Fakultas Hukum," tanya mendiang kepadaku,  beberapa bulan sebelum dia hendak terbang ke Belanda.

Namun nama Munir mulai kudengar setelah dia bergelut sebagai pegiat aktivis LBH Surabaya dalam menangani kasus Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh tahun 1993. Saat itu aku masih berstatus mahasiswa, dan kasus Marsinah menjadi santapan kami dalam diskusi-diskusi, yang terkadang melibatkan pula pegiat LBH di kota Malang...

***

DUA tahun sebelum Suharto jatuh, aku menjadi wartawan harian lokal di Denpasar, Bali. Hanya tiga bulan di kota itu, aku kemudian ditugaskan ke Jakarta, awal 1997 -- dengan spesialisasi liputan di dunia LSM, pengadilan, serta Partai Golkar. Pada tahun inilah, seingatku, aku berkenalan dengan Munir, yang kala itu dipromosikan bertugas di YLBHI Jakarta.

Dan Munir bukanlah tipikal pegiat yang menjaga jarak dengan media. Dengan segala keterbatasan, dia mau berbagi informasi, walau tidak untuk ditulis. Bersama sejumlah wartawan yang biasa meliput di LBH, saya bisa seenaknya nyelonong masuk ke ruangan kerjanya, untuk sekedar berkelakar, atau menanyakan latar sebuah kasus.

"Ayo masuk ke ruangan, aku punya informasi penting nih..." Di dalam ruangan kerjanya, di sala-satu pojok gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, kami pun saling berbagi informasi. Seingatku aku saat itu lebih banyak mendengar, dalam percakapan yang sebagian besar dipenuhi seloroh itu. Munir memang bukanlah tipe serius..

Dan suhu politik yang memanas pada tahun-tahun itu, membuat jarak kami makin dekat. Peristiwa penculikan aktivis politik, pengungkapan kerusuhan Mei '98, disusul pendirian lembaga Kontras, adalah peristiwa-peristiwa yang membuat saya acap bersua "si rambut merah" -- julukan bernada seloroh yang ditahbiskan kepadanya, selain panggilan akrab "Cak Munir"...

***

SEKALI waktu, aku mewawancarai Munir, tetapi bukan dalam kapasitas dia sebagai pengamat, yang menganalisa sesuatu dengan jarak yang jauh. Pertengahan tahun 2001, aku tengah menyiapkan program seri radio tentang dampak serangan 11 September terhadap komunitas keturunan Arab di Indonesia. Munir kuwawancarai sebagai salah-seorang keturunan Arab yang memilih aktivitas LSM sebagai profesinya.

Yang menarik dari jawabannya, tatkala dia kutanya tentang sikapnya tentang isu pembauran. "Sikap sebagian keturunan Arab yang menikah dengan sesama keturunan Arab, itu cerminan feodalisme, kalau didasari karena kesucian darah," katanya tegas. Seperti diketahui, istri Munir, Suci (juga pegiat LBH di divisi perburuhan), yang dikenalnya saat aktif di LBH Surabaya, bukanlah keturunan Arab.

***

PESAN pendek itu masuk ke telepon selulerku, pada sebuah siang, bulan September 2004. Saya setengah kaget, syok, tidak percaya kematian itu begitu cepat menjemputnya. Saya kontak orang-orang terdekatnya, dan semua membenarkan berita kematian Munir, yang diiringi kesedihan, berikut nada amarah di baliknya.

Saya masih ingat, Susilo Bambang Yudoyono (saat itu masih calon presiden) di depan wartawan di Hotel Mandarin menghentikan sebentar diskusinya, dan mengucapkan bela sungkawa. Teman sekantorku tak kuasa menahan tangis," Cak Munir sudah tiada," dan bertanya-tanya apa penyebab kematiannya. Adakah dia dibunuh? Siapa yang tega melakukan ini semua? Mengapa?

Deretan pertanyaan seperti ini diutarakan orang-orang yang paham atas resiko profesi yang menjadi pilihan Munir. ("Saya sudah terbiasa hidup dalam ancaman,  ya, dijalani saja," katanya suatu saat, dengan tetap tersenyum. Dia saat itu masih mengendarai sepeda motor, dari rumahnya di kawasan Cipinang ke kantornya di Jalan Diponegoro).

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seperti diketahui, baru terjawab sekian tahun kemudian. Tetapi bagiku, rasa kehilangan itu belum juga beranjak, empat tahun setelah peristiwa itu. "Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu..." ***

Tiba-tiba aku teringat mendiang Munir...


TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan lalu. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu...
Adalah istriku yang membuka "pintu kesedihan" tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinnya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah...).
Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, "ceramahnya bagus ya, nggak menggurui.."
Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, "ah, aku jadi ingat Munir.."

Jun 8, 2008

Bertemu Karl Marx di Highgate...

KETIKA ideologi komunisme dan sosialisme dikatakan bangkrut, lantas apa yang mendasari kedatanganku ke kuburan Karl Marx, lelaki yang identik dengan ideologi itu?

"Untuk memenuhi rasa ingin tahu, itu saja...," kataku setengah tertawa, menjawab pertanyaan rekan di London, yang merasa heran atas kunjunganku itu, di bulan Maret lalu. Tapi, pikiranku kemudian bertanya-tanya kenapa sampai muncul pertanyaan seperti itu, dan mengapa aku tertarik mendatanginya...

***
TIDAKLAH sulit menemukan kuburan Marx di kota London -- "Tidak sesulit memahami ajaran filsafatnya,"seloroh seorang teman. Letaknya di sebuah pekuburan berusia tua di atas bukit, bernama Highgate, di kota London bagian utara. Lokasinya berdempetan dengan sebuah taman indah dan luas bernama Waterloo Park... 

Saya memperoleh informasi tentang kuburan "kakek berjenggot" itu dari internet -- semula saya tahu dia tinggal lama di London (selain kota Paris), namun tak paham di mana dia dikuburkan. "Dari pusat kota London, naik saja tube (kereta bawah tanah) zone Northern Line, dan turunlah di stasiun Archway," begitulah tulisan di sebuah website tersebut. "Dari stasiun itu, Anda menghadap ke arah kiri, dan berjalanlah pada jalan mendaki, namanya Highgate High Street"...

Keinginan mendatangi makam Marx sudah lama kuidamkan, namun selalu tertunda. Itulah sebabnya, kedatanganku ke London pada bulan Maret lalu, kuniatkan betul untuk melihat langsung peristirahatan terakhir salah-seorang berpengaruh di dunia itu. 

Akhirnya kesempatan itu tiba. Di sebuah siang yang mendung, 15 Maret lalu, berbekal tulisan di website itu (berikut peta tube kereta bawah tanah, tentu saja), aku akhirnya  mendatangi tempat tersebut. Dari stasiun Queensway, aku turun di Tottenham Court Road, dan pindah kereta arah Northen Line, serta turun di stasiun Archway.

Di Jalan Highgate High  Street, aku temui sejumlah tanda seperti yang ditulis website itu: jalan yang menanjak, sebuah pub dengan bangunan aneh Whittington Stone Pub, serta sebuah patung kucing di dalam terali besi -- aku tak paham makna patung ini. 

Di sepanjang jalan ini berderet bangunan yang disebutkan dulu dihuni para kelas buruh, kelompok masyarakat yang 'diperjuangkan' Marx. "Anda harus menaiki jalan yang menanjak itu sampai Gereja St Joseph, yang stupanya beraksitektur neo gothic, yang berhadapan dengan pub The Old Crown," kubuka copy-an website, yang menjelaskan rute menuju pemakaman Highgate. 

Sampailah aku pada sebuah perempatan itu. Udara dingin tetap setia menyergap, tapi tak kuhiraukan. Gereja dan pub itu persis di depan mata, dan di sisi lainnya adalah taman Waterloo. "Ambil sisi kiri, dan masuklah ke dalam taman Waterlow. Di ujung taman itu, di pintu bagian barat, kau akan mendapati kuburan itu," tulis penulis website itu.

Melewati taman yang teduh itu, dan sunyi, aku akhirnya menemukan pintu di sisi barat. Di depannya ada sebuah jalan nan sepi (namanya Swains Lane), dan satu mobil kuno diparkir. "Di mana kuburan Karl Marx," tanyaku pada seseorang, setengah bersemangat. Tanpa kesulitan, lelaki itu menunjuk sebuah komplek pemakaman, yang kemudian kuketahui sebagai "makam Highgate bagian timur" (east cemeteries). Di depannya, memang berdiri pula "pekuburan Highgate bagian barat" (west cemeteries). 

***
PEMAKAMAN Highgate bagian barat dibangun lebih awal yaitu tahun 1839, sementara bagian timur dibangun belakangan, tahun 1854.  Aku pun melangkah ke sisi kiri, ke bagian timur pekuburan itu -- karena di sanalah lelaki yang identik dengan faham komunis itu dikuburkan.

Dan di balik pagar setinggi lebih dari 1 meter, berdiri sebuah pos warna merah jambu, dan seorang lelaki berjaket yang rajin tersenyum.

"Silakan masuk, kuburan Karl Marx tak jauh dari sini," katanya ramah, seraya meminta aku membeli tiket senilai 3 pounds. Dia menawarkan stafnya sebagai pengantar, tapi kutolak halus...

Aku pun melangkah masuk, dan hamparan kuburan yang sebagian nisannya bersalib, segera menyapu mataku --  aku tidak sepenuhnya kaget, karena pemandangan seperti ini sudah terekam di otakku, setelah berulang kali melihat filem horor ala Hollywood.

Pepohonan oak yang gundul, bunga liar yang tumbuh di sudut-sudut, serta jalan yang basah, ikut menyemarakkan rasa ingin tahuku atas kuburan itu. Ada beberapa orang -- sepertinya turis -- punya tujuan yang sama seperti aku...  

Tentu saja, selain kuburan yang bernisan salib (yang sebagian dihiasi figur malaikat bersayap), ada pula makam milik orang Yahudi, Protestan atau Anglikan, serta barangkali atheis -- saya sendiri tak melihat makam milik orang Muslim. Semua ini bisa kukenali dari bentuk nisan serta tulisan di atasnya. Lantas, seperti apa simbol makam penganut Marxisme, atheis, atau agnostik?  

Walaupun saya tak begitu yakin, saya menganggap nisan mereka biasanya berbentuk kotak dan ada kalimat seperti "kamerad" atau "buruh" -- ini setidaknya yang kulihat pada beberapa nisan yang letaknya di sekitar makam Karl Marx, misalnya bekas aktivis atau politisi Partai Komunis Inggris atau negara lain. Di sana juga tak terdapat simbol-sombol agama...

Dan akhirnya dari jarak lebih dari sepuluh meter, kuburan lelaki keturunan Yahudi itu sudah bisa kukenali: sebuah tugu persegi panjang tampak berdiri kokoh, dan di atasnya dipasang patung Marx, lengkap dengan rambut dan berewoknya.

Di tugu warna kelabu itu, ada beberapa kalimat yang ditulis dengan warna emas, namun yang sempat kubaca adalah  "Workers of all Lands Unite". Sekuntum mawar merah diletakkan di salah-satu sudutnya -- saya sempat melihat sebuah keluarga juga meletakkan karangan bunga di sana.

Namun menurut sejumlah situs, nisan 'asli' Marx tidak seperti sekarang. Disebutkan, nisan asli Marx (yang pembangunannya dibiayai sahabatnya, Engels) hanyalah berbentuk nisan berbentuk kotak yang hampir rata dengan tanah -- sayangnya, saya baru tahu belakangan

Tapi semuanya berubah, ketika Partai Komunis Inggris, pada tahun 1956, mengubah nisannya -- dengan meletakkan patung kepala dan dada Karl Marx di sana. (Saya lantas teringat, bagaimana rezim Suharto mengubah kuburan Sukarno di Blitar, yang awalnya sederhana, kini berbentuk seperti sekarang...)     

***
ADA belasan orang yang kulihat berada tidak jauh dari nisan Karl Marx -- mereka sebagian sepertinya turis. Tetapi ada seorang lagi bertopi kelabu dan berbaju serba hitam, yang kuperhatikan membawa rangkaian bunga. Umurnya barangkali di atas 60 tahun. Tarikan wajahnya seperti dari kawasan Timur Tengah.

Dia rupanya juga memperhatikanku. "Kau dari mana?" suaranya serak, tidak begitu jelas terdengar.

Kujawab seraya tersenyum, saya dari Indonesia. "Indonesia? Bukankah Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia," tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih jelas terdengar. 

Saya mengiyakan. Kuperhatikan dia hilir mudik tengah menabur bunga itu di atas sebuah makam -- "anak saya dikuburkan di sana," katanya agak malas. Saya tahu diri, dan tak kulanjutkan rasa ingin tahu itu.    

"Indonesia?" Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. "Bukankah Presidenmu sedang berada di Iran, bertemu Presiden Ahmadinejad?" Lelaki ini ternyata adalah kelahiran Iran, tetapi sudah lama tinggal di London. Saya tak menanyakan kenapa dia meninggalkan Iran, namun dia dengan nada suara agak tinggi, menunjukkan nada amarahnya terhadap Ahmadinejad.  

Saya mendengarkan dengan takzim celotehnya, tapi aku memilih tak menanggapi...

Mengetahui aku berlama-lama di depan patung Marx, dia menawarkan diri untuk memotretku. Saya tak menolak, tetapi aku kemudian berpikir: jangan-jangan dia juga menaruh hormat pada siapa di balik patung itu. Atau, adakah dia seorang anggota Partai Komunis Iran yang mengasingkan diri setelah Revolusi Islam, tahun 1979? 

Sebuah pertanyaan yang barangkali juga pernah banyak menghinggapi orang-orang Indonesia, ketika hantu Karl Marx dipikirkan sebagai sesuatu yang menakutkan... 

***
SAYA pernah hidup di dalam atmosfir politik yang "mengharamkan" Karl Marx (berikut pemikirannya),  dan orang-orang yang menjalankan pikiran-pikirannya dalam sebuah garis partai. Doktrin itu diciptakan terus-menerus (hingga sekarang), dan dipelihara, dengan menyebarkan ketakutan: ketika itu setiap tahun diputar sebuah filem tentang kekerasan tahun 1965  -- dan saya pun pada akhirnya tidak bisa mengelak dari trauma... 

Namun sejujurnya aku pernah tertarik untuk mendalami ideologi itu (setidaknya secara akademis), walaupun tak pernah tertarik mengenakan "jubah" organisasinya -- saya ingat, adalah kata "alienasi" adalah kata mujarab sebagai pintu pembuka masuk ke dalam ideologi itu. Sebuah proses pencarian, seperti halnya saya juga tertarik ide nasionalisme, sosialis demokrat, atau Islam -- kendati yang kusebut terakhir ini akhirnya lebih menetap karena "itulah agamaku".  

Sebagai pisau analisa, di tahun 80-an akhir, faham "kiri" itu "kutemukan" melalui momentum sejumlah kasus perampasan tanah rakyat oleh pemerintah -- ikut sekali demonstrasi, yang kuterjemahkan sebagai sebuah upaya perkenalan dengan sesuatu yang berbau "kiri". Tapi di sana kuakui ada juga romantisme -- rasanya gagah menyandang predikat kiri itu tadi.

Tapi tetap saja perkenalan itu tidak pernah utuh -- tidak pernah intens, bersifat mediokrat, dan akhirnya acap berhenti sebatas jargon atau diskusi di dalam sebuah ruangan tertutup. Bahkan, kadang-kadang semuanya berakhir pada kekonyolan -- misalnya, aku begitu bangga mengenakan kaos oblong bergambar Che Guevara dan begitu takut menyimpan buku karangan DN Aidit tentang "materialisme historis" (yang kutemukan di pasar loak), tapi akhirnya kubiarkan berdebu, kuselipkan ditumpukan buku paling bawah -- tak pernah kubaca... 

Barangkali ini dampak dari "trauma" itu tadi, dan mungkin juga lantaran faktor keterbatasan otakku. Tapi tak bisa kupungkiri, keragu-raguan itu sejak awal terlihat, karena dilatari perubahan politik global yang terjadi saat itu, juga ekses akibat bersentuhan dengan teks yang mengkritisi ajaran Marx sebagai ideologi. 

Siapa yang bisa menghindar ketika teks "ideologi telah mati" muncul, dan sebuah argumen (atau mode?) yang mengatakan "narasi besar telah berakhir", bergelombang menerpa pikiran yang masih muda itu. Lagipula, mau disemai di mana ide itu, di sebuah negara yang tidak memberi tempat sama-sekali pada ajaran-ajarannya..

Namun yang nyata berpengaruh adalah kondisi obyektif saat itu. Aku masih ingat, saat mencecap status mahasiswa baru (tahun 1987), dan di tengah trauma itu, tembok Berlin yang angkuh itu runtuh. Kemudian, seperti efek domino, negara-negara komunis --yang sistemnya tertutup, dan otoriter -- satu-per-satu  rontok, digulung perestroika, yang berujung terpecahnya Uni Soviet menjadi keping negara-negara kecil, dan meninggalkan ideologi "palu dan arit" -- seolah sebagai produk masa lalu yang usang.

Semua keping informasi itu akhirnya hilir-mudik di dalam hidupku saat itu. Semangat eklektik, akhirnya yang terlihat. Bergelut dengan teman-teman pers mahasiswa, dengan latar politik dan ideologi yang berbeda, ikut berperan pula membentuk kepingan itu tak pernah utuh. Tuntutan keseharian, serta akhirnya logika dunia industri serta akar-psikologi Islam, membuat pencarian itu akhirnya tak pernah rampung... 

Itulah yang terjadi pada akhirnya. Dan meskipun  kadar simpati terhadap yang "kiri" itu tak juga hilang,  toh akhirnya persoalan ideologi itu tak lagi kupandang menarik -- saat awal menjadi wartawan (1996), saya pernah tertarik ide-ide yang diusung Partai Rakyat Demokratik (PRD) di ujung kekuasaan Suharto, namun kecewa dengan realitas politik partainya. Logika jurnalistik yang kupahami akhirnya membentuk karakterku untuk selalu berdiri di perbatasan... 
  
***
KARL Marx disebutkan tinggal dan mati di kota London. Dia disebutkan pernah tinggal di wilayah Hampstead, dan menyelesaikan karya monumentalnya Das Kapital, di ruangan perpustakaan di British Musuem. Di sebut-sebut pula dia pernah menghabiskan waktunya di sebuah pub di Jalan Tottenham Court Road. Marx juga pernah tinggal di Dean Street, Soho, di pusat kota London. Tapi mungkin tidak banyak tahu, kalau pada akhirnya jasadnya dikubur di pemakaman Highgate....

Dibuka pada tahun 1839, pekuburan Highgate bagian barat semula diperuntukkan untuk kalangan berkelas. Di dalamnya bisa dijumpai aneka bentuk nisan, atau patung, serta bangunan kuburan yang bernilai tinggi. (Saat saya berada di depan komplek itu, ada 6 orang turis sedang antri masuk pekuburan itu).

Sementara, komplek kuburan Highgate bagian timur (yang dibangun tahun 1854), yang mayoritas 'dihuni' orang-orang biasa saja -- salah-seorang diantaranya adalah Karl Marx, seperti pekuburan kuno lainnya. Dua komplek ini dipisahkan sebuah jalan menanjak, bernama Swains Lane, yang pagi itu terlihat sepi. 

Walaupun begitu, disebutkan lebih banyak pengunjung mendatangi pekuburan Highgate bagian timur, karena kehadiran Karl Marx di sana. Itulah sebabnya, di pintu masuk pekuburan itu dipasang namanya serta gambarnya.  

Selain makam Marx, disebutkan ada orang-orang terkenal lainnya dikubur di pemakaman itu. Diantaranya yang saya kenal, adalah novelis George Elliot (nama samaran Mary Ann Evans), filosof Inggris Herbert Spencer, serta ahli fisika Faraday. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, saya tak sempat melihat makam mereka -- kecuali secara tidak sengaja, saya menemukan makam bekas pemain sepakbola tim nasional Skotlandia: Joseph Robert Stewart... 

(Dari sebuah situs disebutkan, ada 850 orang dikuburkan di pekuburan Highgate di sisi timur dan barat. Dari angka itu, 18 orang adalah akademisi, 6 orang walikota London, serta orang-orang seperti kusebutkan di atas).

Sejak tahun 1975, pekuburan Highgate bagian barat, tidak lagi dijadikan pemakaman umum, namun bagian timur sejauh ini tetap dijadikan pemakaman umum. Kini komplek pemakaman itu dikelola sebuah organisasi nirlaba bernama The Friends of Highgate Cemetery (FOHC). Didanai oleh masyaraklat, mereka bertanggungjawab untuk merawat, dan memperbaiki apabila ada situs makam yang rusak. Mereka dibentuk para relawan yang peduli terhadap peninggalan sejarah kota London ini.

Di luar semua itu, bagi pecinta flora dan fauna, di dalam komplek pekuburan itu terdapat lebih dari seratus spesies bunga liar dan pepohonan -- seperti hornbea, exotic limes, oak, hazil, sweet chestnut, tulip dan field maple.

Barangkali karena situs bersejarah itu sudah terbilang tua, maka di sana juga terdapat 50 spesies burung dan 18 jenis kupu-kupu, serta 3 spesies laba-laba yang konon sekarang sulit dijumpai di tanah Inggris. Disebutkan pula rubah gampang dijumpai di sana...