KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah National Geographic (NG) yang berbingkai kuning, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku diajak berjalan ke masa silam, untuk sebuah perjumpaan yang tertunda -- dengan ayahku.
**
EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, beberapa menit sebelum aku terbang ke
Keluar dari ruangan toko buku, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat.
Itulah yang terjadi pada diriku, pada siang yang terang itu, apapun. Bagian depan majalah itu, yang laporan utamanya tentang penemuan fosil manusia purba di Pulau
Perasaan aneh ini berlanjut saat aku merebahkan diri di kursi ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk pesawat. Dalam waktu yang tersisa, kubuka halaman demi halaman majalah itu. Kuharap aku bisa membaca dari kata per kata -- dengan diselingi gerakan mataku melirik ke penjuru sudut ruangan, adakah calon penumpang membaca majalah yang sama.
Pikiranku kala itu memang tidak tunggal, kadang aku berusaha keras membaca satu artikel di majalah itu, tetapi di saat yang hampir bersamaan, perasaanku kubiarkan hanyut dalam jutaan kata-kata yang tertera dalam majalah itu, berikut makna yang timbul demikian, semenjak aku menemukannya di rak buku milik ayahku, lebih dari 20 tahun silam.
**
“TAK, tak, tak..,” suara seperti ini pernah terdenyar nyaring, dari balik pintu kamarku. Suara itu keluar dari sebuah mesin ketik – aku lupa merek-nya. Melalui benda itulah, ayahku, menghabiskan waktunya di ruangan kerjanya yang selalu rapi dan bersih (belakangan mesin ketik itu hilang, entah kemana, tapi aku masih ingat ayahku tidak begitu memperlihatkan rasa kehilangan – walaupun, aku yakin, benda itu sangat penting buat dia yang gemar menulis)
Ayahku, kelahiran tahun 1917, yang mendapat panggilan kesayangan “walid”, adalah seorang guru Bahasa Inggris – dia mengajar secara privat, di mana murid-muridnya datang ke rumah. Sejak pensiun sebagai guru Bahasa Inggris bagi karyawan perusahaan minyak Stanvac, di Palembang, dia membuka les di salah-satu ruangan, yang letaknya di bagian depan rumah kami di kota Malang, Jawa Timur (ayah-ibu kami memboyong anak-anaknya, meninggalkan Palembang, tahun 1969, dan pindah ke Malang, Jawa Timur).
Di salah-satu ruangan rumah, seluas 3 meter kali 8 meter itulah, ayahku menghidupi 5 orang anaknya – aku sendiri anak keempat. Tapi, setelah beberapa tahun mendiami ruangan itu, ayahku harus “rela” membagi ruangannya untuk dibagi, karena tuntutan ekonomi: separoh ruangan itu disewakan kepada orang lain, dengan dibatasi sehelai triplek – saya ingat, jika ada kegaduhan di ruang sebelah, ayahku akan menggerakkan tangannya, mengetuk triplek pembatas itu (Belakangan, ruangan tersisa itu akhirnya harus dikontrakkan pula. Sebagai gantinya, ruangan untuk sholat, yang letaknya di sebelah kamar tidur anak-anak lelaki, disulap menjadi tempat kerjanya).
Setiap hari bertemu, dan setiap saat pula bisa bermain di ruangan kerjanya, membuat anak-anaknya akrab dengan benda-benda miliknya. Itulah sebabnya, kami, anak-anaknya, juga bisa tahu bagaimana dia begitu menyayangi, dan merawat secara teliti barang-barangnya – mulai buku filsafat, majalah berbahasa Inggris (juga majalah Tempo), perangko-perangko kuno (ada beberapa perangko bergambar Adolf Hitler, dicetak sebelum Perang Dunia kedua), kartu pos lama serta surat-surat pribadinya kepada para sahabat penanya di luar negeri (beberapa diantaranya adalah warga negara Turki, Inggris, dan Filipina).
Rasa sayangnya itu dia tunjukkan dalam merawat buku dan majalah-majalah koleksinya -- dia akan menyampul sebagian bukunya bila perlu, dengan kertas warna coklat muda, bekas amplop berukuran besar. Dalam masanya, Walid juga membawa buku dan majalahnya ke percetakan, untuk dikemas ulang sampulnya – utamanya bila sudah mengelupas.
Di dalam lemari pribadinya, saya selalu melihat kapur barus. Itulah sebabnya, barang-barangnya, seperti buku atau kartu pos lama, selalu wangi. Kerapian memang identik dengannya -- hampir tanpa cacat! Tidak sampai di situ. Meja kerjanya juga selalu dibersihkan dengan lap basah, dan dibiarkan kering terlebih dulu, sebelum dia duduk rapi -- dan membuka-buka bukunya, atau mulai mengajar.
Barangkali karena rajin menata ulang tempatnya, Walid jadi hafal di mana letak barang-barangnya -- karena itu, dia tahu dan sedikit protes, bila anak-anaknya mengutak-atik koleksinya, sehingga tidak lagi rapi seperti sedia kala. “Siapa ini yang buka-buka buku, dan nggak ngembalikan dengan benar,” begitu kata-katanya yang kuhafal.
Salah-satu majalah kesayangannya adalah majalah berbingkai kuning itu tadi, National Geographic – yang dia letakkan di salah-satu sudut mejanya, dan ditumpuk nyaris rapi dan berurutan, sesuai waktu penerbitan. Di masa kecilku, dia acap mengenalkan isi majalah berbahasa Inggris NG, yang dia beli dari sejumlah pasar loak di
Seingatku, di meja persegi itu ada beberapa terbitan majalah NG terbitan tahun 1950-an, serta edisi tahun-tahun setelahnya. Dan semakin tua usia majalah itu, ayahku meletakkannya pada sisi paling bawah. Kalau ditanya, apakah saya ingat semua isi NG milik ayahku, tentu tidak. Namun bila sekarang ini, saya melihat ulang tema yang sama, maka ingatan itu akan otomatis muncul lagi. “O, ya, aku pernah membacanya,” kira-kira begitulah jawabanku kelak.
Yang kuingat sekarang ini, selintas, adalah kisah tentang sebuah kereta api diesel luks yang bisa membawa penumpangnya keliling Amerika, di tahun 50-an; ada pula kisah tentang sejarah Olimpiade kuno Yunani -- berikut gambar-gambarnya yang mencengangkan! Kisah-kisah dari sebuah negeri yang jauh, pedalaman Afrika hingga ujung Kutub Utara, serta penelusuran sejumlah negeri Arab yang eksotis, kisah sepenggal Afganistan (termasuk cover majalah bergambar gadis Afgan, yang belasan tahun kemudian dilacak NG dan berhasil), adalah tema-tema yang sempat kuingat.
Pilihan ayahku membaca majalah itu, tentu juga didasari kesukaannya terhadap apa yang disebut sebagai ilmu geografi. “Kalau soal pengetahuan peta dunia, Walid dulu paling jago di sekolah. Walid hafal di luar kepala-kepala nama kota-kota di dunia..” katanya suatu saat. Kusadari betul, cerita-cerita ayahku itu akhirnya membuat anak-anaknya, utamanya yang lelaki, ikut jatuh cinta atas obyek yang menarik perhatiannya.
Saya dan kakak lelakiku, mulai tahun 70 dan 80-an, acap membuka majalah berbingkai kuning itu – biasanya lebih ingin tahu gambar-gambarnya. Terkadang tanpa sepengetahuan ayahku, saya menyelinap ke ruangan kerjanya, dan membuka-buka majalah itu dan menikmati isinya. Sekarang aku sadar pula, bacaan tentang kisah-kisah itu membentuk watakku dalam memandang majalah itu…
***
AGAK klise memang, tapi kupikir, majalah itu adalah contoh kongkrit sebuah karya jurnalistik yang baik. Pernah kubaca sebuah buku tentang teknis jurnalistik, dan di
Bayangkan, seperti diakui penulisnya, mereka perlu turun ke lapangan selama sedikitnya 2 bulan, untuk menulis sebuah artikel yang cuma tidak lebih dari 3 halaman. Itu pun, setelah tulisan itu hendak memasuki proses cetak, si wartawan mengirim artikel setengah jadi itu kepada sumber beritanya -- untuk dicek ulang, apakah ada yang salah atau tidak.
***
SAAT aku pulang ke rumah ibuku di kota Malang, tahun 2005, masih kulihat puluhan majalah itu masih teronggok di lemari kayu, persisnya di rak bagian kiri -- bayangan dan nafas Walid masih kurasakan dari lemari itu, yang barangkali salah-satunya barang peninggalan Walid, yang kini masih tersisa. Debu tipis menempel pada jari-jariku, saat kujamah majalah yang paling atas.
Tapi saat pulang pada Oktober 2007 lalu, semuanya tidak lagi kujumpai lagi.
Kuingin bertanya dikemanakan barang-barang itu, tapi kubatalkan. (Saat Walid mulai pikun dan 'kehilangan' pekerjaannya sebagai guru privat, aku kadang-kadang berfikir bahwa karena itu Walid makin menderita. Begitu pula saat meja kerjanya dipindahkan. Awalnya, seingatku, ayahku itu masih memaksakan untuk tetap mengajar, walaupun sebagian muridnya makin berkurang. Tidak lama kemudian dia terkena stroke awal tahun 2001, dan berujung kematiannya pada sebuah siang, 26 Januari 2002…)
***
KINI saya bisa membalik-balik majalah itu, dengan antusiasme yang bisa kukatakan mirip ayahku – walaupun tentu tidak serapi ayahku, tentu saja. (Walau aku terkadang dipaksa bertanya bila ada yang meminjam majalah itu, dan kemudian tidak berada kembali di tempatnya -- ha, ha, ha...). Dan setiap membuka halaman per halamannya, kurasakan semangat ayahku hadir bersamaku – saya selalu pelan-pelan membuka per halaman, berusaha menikmati setiap kalimat atau paragraf yang ditorehkan para penulis kesohornya, serta mencermati karya jurnalistik foto dahsyat hasil jepretan fotografernya..
Dan setiap akhir bulan, kubuat diriku penasaran, menunggu penerbitan edisi berikutnya. Ini terulang lagi saat saya bertugas ke luar kota, dua hari lalu. Usai meliput pemakaman mantan Presiden Suharto di Solo, majalah edisi terakhir --yang tema laporan utamanya tentang peninggalan budaya Mesir kuno di