Jan 31, 2008

Mendiang ayahku dan majalah NG

KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah National Geographic (NG) yang berbingkai kuning, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku diajak berjalan ke masa silam, untuk sebuah perjumpaan yang tertunda -- dengan ayahku.

 

**

EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, beberapa menit sebelum aku terbang ke Bali, untuk liputan Kongres PDI Perjuangan di Sanur -- akhir Maret 2005. Saat kukeluarkan uang dan kubayarkan kepada petugas kasir di toko buku berukuran sekitar 4 meter kali 5 meter itu, perasaanku begitu hidup: aku akhirnya mampu membeli majalah itu, dan baru! (Harga majalah ini memang relatif mahal untuk ukuran harga majalah di Indonesia -- 40 ribu rupiah, tapi aku mafhum karena sebanding dengan kualitas kertas yang sungguh luks, serta kualitas foto dan gaya tulisan  yang yahud pula).

Keluar dari ruangan toko buku, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat. Ada perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya bangga, saat tanganku menentengnya --  aku jadi  teringat perangai temanku di masa mahasiswa dulu, yang begitu bangga menggapit Majalah Time, saat melenggang di antara teman-temannya. Kekonyolan temanku itu tadi, kini kulakoni -- dengan sadar!

Itulah yang terjadi pada diriku, pada siang yang terang itu, apapun. Bagian depan majalah itu, yang laporan utamanya tentang penemuan fosil manusia purba di Pulau Flores, sengaja kuletakkan di bagian depan – agar orang-orang di bandara bisa ikut menikmatinya, tentunya.   

 

Perasaan aneh ini berlanjut saat aku merebahkan diri di kursi ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk pesawat. Dalam waktu yang tersisa, kubuka halaman demi halaman majalah itu. Kuharap aku bisa membaca dari kata per kata -- dengan diselingi gerakan mataku melirik ke penjuru sudut ruangan, adakah calon penumpang membaca majalah yang sama.


Pikiranku kala itu memang tidak tunggal, kadang aku berusaha keras membaca satu artikel di majalah itu, tetapi di saat yang hampir bersamaan, perasaanku kubiarkan hanyut dalam jutaan  kata-kata yang tertera dalam majalah itu,  berikut makna yang timbul demikian, semenjak aku menemukannya di rak buku milik ayahku, lebih dari 20 tahun silam.

 

**   

 

TAK, tak, tak..,” suara seperti ini pernah  terdenyar nyaring, dari balik pintu kamarku. Suara itu keluar dari sebuah mesin ketik – aku lupa merek-nya. Melalui benda itulah, ayahku, menghabiskan waktunya di ruangan kerjanya yang selalu rapi dan  bersih (belakangan mesin ketik itu hilang, entah kemana, tapi aku masih ingat ayahku tidak  begitu memperlihatkan rasa kehilangan – walaupun, aku yakin, benda itu sangat penting buat dia yang gemar menulis) 

 

Ayahku, kelahiran tahun 1917, yang mendapat panggilan kesayangan “walid”,  adalah seorang guru Bahasa Inggris – dia mengajar secara privat, di mana murid-muridnya datang ke rumah. Sejak pensiun sebagai guru Bahasa Inggris bagi karyawan perusahaan minyak Stanvac, di Palembang, dia membuka les di salah-satu ruangan, yang letaknya di bagian depan rumah kami di kota Malang, Jawa Timur (ayah-ibu kami memboyong anak-anaknya, meninggalkan Palembang, tahun 1969, dan pindah ke Malang, Jawa Timur).

 

Di salah-satu ruangan rumah, seluas 3 meter kali 8 meter itulah,  ayahku menghidupi 5 orang anaknya – aku sendiri anak keempat.  Tapi, setelah beberapa tahun mendiami ruangan itu,  ayahku harus “rela” membagi ruangannya untuk dibagi, karena tuntutan ekonomi: separoh ruangan itu disewakan kepada orang lain, dengan dibatasi sehelai  triplek – saya ingat, jika ada kegaduhan di ruang sebelah, ayahku akan menggerakkan tangannya, mengetuk triplek pembatas itu (Belakangan, ruangan tersisa itu akhirnya harus dikontrakkan pula. Sebagai gantinya, ruangan untuk sholat, yang letaknya di sebelah kamar tidur anak-anak lelaki, disulap menjadi tempat  kerjanya). 

 

Setiap hari bertemu, dan setiap saat pula bisa bermain di ruangan kerjanya, membuat anak-anaknya akrab dengan benda-benda miliknya.  Itulah sebabnya, kami, anak-anaknya,  juga bisa tahu bagaimana dia begitu menyayangi, dan merawat secara teliti barang-barangnya – mulai buku filsafat, majalah berbahasa Inggris (juga majalah Tempo), perangko-perangko kuno (ada beberapa perangko bergambar Adolf Hitler, dicetak sebelum Perang Dunia kedua), kartu pos lama serta surat-surat pribadinya kepada para sahabat penanya di luar negeri (beberapa diantaranya adalah warga negara Turki, Inggris, dan Filipina).    

Rasa sayangnya itu dia tunjukkan dalam merawat buku dan majalah-majalah koleksinya -- dia akan menyampul sebagian bukunya bila perlu, dengan kertas warna coklat muda, bekas amplop berukuran besar. Dalam masanya, Walid juga membawa buku dan majalahnya ke percetakan, untuk dikemas ulang sampulnya – utamanya bila sudah mengelupas.

Di dalam lemari pribadinya, saya selalu melihat kapur barus. Itulah sebabnya, barang-barangnya, seperti buku atau kartu pos lama, selalu wangi. Kerapian memang identik dengannya --  hampir tanpa cacat! Tidak sampai di situ. Meja kerjanya juga selalu dibersihkan dengan lap basah, dan dibiarkan kering terlebih dulu, sebelum dia duduk rapi -- dan membuka-buka bukunya, atau mulai mengajar.

 

Ada satu buku yang gemar dia baca, dan kadang-kadang dilafalkan setengah keras. Aku lupa persisnya, tetapi itu catatannya tentang kata-kata mutiara atau kutipan orang kesohor tentang apa itu hidup -- semuanya dalam bahasa Inggris. Biasanya Walid tertawa kecil, saat kepergok membaca isi buku itu, dan baru kemudian menjelaskan apa makna tulisan itu.

Barangkali karena rajin menata ulang tempatnya, Walid jadi hafal di mana letak barang-barangnya -- karena itu, dia tahu dan sedikit protes, bila anak-anaknya mengutak-atik koleksinya, sehingga tidak lagi rapi seperti sedia kala.  “Siapa ini yang buka-buka buku, dan nggak ngembalikan dengan benar,” begitu kata-katanya yang kuhafal.

 

Salah-satu majalah kesayangannya adalah majalah berbingkai kuning itu tadi, National Geographic – yang dia letakkan di salah-satu sudut mejanya, dan ditumpuk nyaris rapi dan berurutan, sesuai waktu penerbitan.  Di masa kecilku, dia acap mengenalkan isi majalah berbahasa Inggris NG, yang dia beli dari sejumlah pasar loak di kota Malang.

 

 

Seingatku, di meja persegi itu ada beberapa terbitan majalah NG terbitan tahun 1950-an, serta edisi tahun-tahun setelahnya. Dan semakin tua usia majalah itu, ayahku meletakkannya pada sisi paling bawah. Kalau ditanya, apakah saya ingat semua isi NG milik ayahku, tentu tidak. Namun bila sekarang ini, saya melihat ulang tema yang sama, maka ingatan itu akan otomatis muncul lagi. “O, ya, aku pernah  membacanya,” kira-kira begitulah jawabanku kelak.

 

Yang kuingat sekarang ini, selintas, adalah kisah tentang sebuah kereta api diesel luks yang bisa membawa penumpangnya keliling Amerika, di tahun 50-an; ada pula kisah tentang sejarah Olimpiade kuno Yunani -- berikut gambar-gambarnya yang mencengangkan! Kisah-kisah dari sebuah negeri yang jauh,  pedalaman Afrika hingga ujung Kutub Utara, serta penelusuran  sejumlah negeri Arab yang eksotis, kisah sepenggal Afganistan (termasuk cover majalah bergambar gadis Afgan, yang belasan tahun kemudian dilacak NG dan berhasil), adalah tema-tema yang sempat kuingat. 

 

Pilihan ayahku membaca majalah itu, tentu juga didasari kesukaannya terhadap apa yang disebut sebagai ilmu geografi. “Kalau soal pengetahuan peta dunia, Walid dulu paling jago di sekolah. Walid hafal di luar kepala-kepala nama kota-kota di dunia..” katanya suatu saat.  Kusadari betul, cerita-cerita ayahku itu akhirnya membuat anak-anaknya, utamanya yang lelaki,  ikut jatuh cinta atas obyek yang menarik perhatiannya.

 

Saya dan kakak lelakiku, mulai tahun 70 dan 80-an, acap  membuka  majalah berbingkai kuning itu – biasanya lebih ingin tahu gambar-gambarnya. Terkadang tanpa sepengetahuan ayahku, saya menyelinap ke ruangan kerjanya,  dan  membuka-buka majalah itu dan menikmati  isinya. Sekarang aku sadar pula, bacaan tentang kisah-kisah itu membentuk watakku dalam memandang majalah itu… 

 

 

***


AGAK klise memang, tapi kupikir, majalah itu adalah contoh kongkrit sebuah karya jurnalistik yang baik. Pernah kubaca sebuah buku tentang teknis jurnalistik, dan di sana diberikan bagaimana  kisah wartawan NG mencari berita dan melaporkannya. Dari kisah itu, kusimpulkan bahwa untuk mengetahui keakuratan dan keseriusan kerja jurnalistik, maka NG adalah patut dijadikan contoh.

 

Bayangkan, seperti diakui penulisnya, mereka perlu turun ke lapangan selama sedikitnya 2 bulan, untuk menulis sebuah artikel yang cuma tidak lebih dari 3 halaman. Itu pun, setelah tulisan itu hendak memasuki proses cetak, si wartawan mengirim artikel setengah jadi itu kepada sumber beritanya -- untuk dicek ulang, apakah ada yang salah atau tidak.

***

SAAT aku pulang ke rumah ibuku di kota Malang, tahun 2005, masih kulihat puluhan majalah itu masih teronggok di lemari kayu, persisnya di rak bagian kiri  -- bayangan dan nafas Walid masih kurasakan dari lemari itu, yang barangkali salah-satunya barang peninggalan Walid, yang kini masih tersisa. Debu tipis menempel pada jari-jariku, saat kujamah majalah yang paling atas.

 

Tapi saat pulang pada Oktober 2007 lalu, semuanya tidak lagi kujumpai lagi.  Isi rak itu telah kosong! Ada perasaan nelangsa, saat peninggalan walid seperti perangko, majalah-majalah NG itu, tidak ada lagi di tempatnya -- walaupun bau wangi kapur barus masih tercium dari lemari itu...

 

Kuingin bertanya dikemanakan barang-barang itu, tapi kubatalkan.  (Saat Walid mulai pikun dan 'kehilangan' pekerjaannya sebagai guru privat, aku kadang-kadang berfikir bahwa karena itu Walid makin menderita. Begitu pula saat meja kerjanya dipindahkan. Awalnya, seingatku, ayahku itu masih memaksakan untuk tetap mengajar, walaupun sebagian muridnya makin berkurang. Tidak lama  kemudian dia terkena stroke awal tahun 2001, dan berujung kematiannya pada sebuah siang, 26 Januari 2002…)

***

 

KINI saya bisa membalik-balik majalah itu, dengan antusiasme yang bisa kukatakan mirip ayahku – walaupun tentu tidak serapi ayahku, tentu saja. (Walau aku terkadang dipaksa bertanya bila ada yang meminjam majalah itu, dan kemudian tidak berada kembali di tempatnya -- ha, ha, ha...). Dan setiap membuka halaman per halamannya, kurasakan semangat ayahku hadir bersamaku  – saya selalu pelan-pelan membuka per halaman, berusaha menikmati setiap kalimat atau paragraf yang ditorehkan para penulis kesohornya, serta mencermati karya jurnalistik foto dahsyat hasil jepretan fotografernya..

 

Dan setiap akhir bulan, kubuat diriku penasaran,  menunggu penerbitan edisi berikutnya. Ini terulang lagi saat saya bertugas ke luar kota, dua hari lalu. Usai meliput pemakaman mantan Presiden Suharto di Solo,  majalah edisi terakhir --yang tema laporan utamanya tentang peninggalan budaya Mesir kuno di Sudan -- kuburu dengan gelora tinggi di sebuah toko buku di kota Solo, Jawa Tengah, 29 Januari,  tiga hari setelah lima  tahun kematian ayahku…  (Jakarta, 31 Januari 2008) 

 

Mendiang ayahku dan Majalah NG


KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah National Geographic (NG) yang berbingkai kuning, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku diajak berjalan ke masa silam, untuk sebuah perjumpaan yang tertunda -- dengan ayahku.
**

EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, beberapa menit sebelum aku terbang ke Bali, untuk liputan Kongres PDI Perjuangan di Sanur -- akhir Maret 2005. Saat kukeluarkan uang dan kubayarkan kepada petugas kasir di toko buku berukuran sekitar 4 meter kali 5 meter itu, perasaanku begitu hidup: aku akhirnya mampu membeli majalah itu, dan baru! (Harga majalah ini memang relatif mahal untuk ukuran harga majalah di Indonesia -- 40 ribu rupiah, tapi aku mafhum karena sebanding dengan kualitas kertas yang sungguh luks, serta kualitas foto dan gaya tulisan yang yahud pula).

Keluar dari ruangan toko buku berukuran sekitar 4 meter, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat. Ada perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya bangga, saat tanganku menentengnya -- aku jadi teringat perangai temanku di masa mahasiswa dulu, yang begitu bangga menggapit Majalah Time, saat melenggang di antara teman-temannya. Kekonyolan temanku itu tadi, kini kulakoni -- dengan sadar!

Jan 23, 2008

Warung sate Jalan Sabang...

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Dekat Sarinah Jalan Thamrin, dekat Jalan Sabang
DALAM banyak hal, saya pilih restoran, biasanya lebih didasari "mana yang lebih dekat kantor atau rumah" -- utamanya saat di kantor. Adapun menu dan rasa masakan, lazimnya, selalu nomor dua. Alasan ini pula yang membuatku mendatangi sebuah restoran berukuran kecil, yang letaknya di dekat pertigaan Jalan Sabang dan Jalan Wahid Hasyim (di samping Toserba Sarinah), Jakarta Pusat.

Saya hampir tidak pernah tahu nama restorannya (belakangan kuketahui namanya 'Jaya Agung' -- tapi, saya yakin para karyawan atau pekerja di kawasan itu mengenalnya sebagai warung "sate kambing"). Dulu saat bujangan, jika ada waktu luang, usai kerja, saya sempatkan ke sana. Biasanya juga dengan rekan sekantor. Dan setelah menikah, saya dan istri ganti menyambanginya -- salah-satu restoran yang kemudian kami sebut "layak dikunjungi"...

Ciri khas restoran ini adalah letaknya di pinggir jalan yang padat. Juga asap yang selalu mengepul dari pembakaran satenya -- "asapnya itu yang bikin kangen," kataku dalam hati. Ciri lainnya adalah meja kasir, kursi-kursi pengunjung, berikut mejanya, yang dibiarkan menyita trotoar pejalan kaki.

Tapi apa kelebihan warung sate yang pemiliknya asal lamongan, Jawa Timur ini? Inilah yang kelak membuatku meralat motivasi mendatangi restoran itu: tidak hanya soal jauh-dekat dari kantor. Lebih dari itu! "Daging kambingnya yang empuk," kata istriku, suatu saat. Memang betul, sate kambing warung itu adalah andalannya. Biasanya, selain pesan sate itu, kami pesan pula gulai kambing, nasi, serta jeruk hangat. Kami biasanya pilih kursi di bagian dalam...

Peluncuran Buku Ajip Rosidi: "Hidup Tanpa Ijazah..."

Start:     Feb 1, '08 09:30a
Location:     Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, Jakarta
"BERLAINAN dengan kebiasaan orang yang membagi hidupnya berdasarkan tema atau karier, dalam HIDUP TANPA IJAZAH ini, saya membagi-bagi bab sesuai dengan tempat rumah yang saya tinggali.."

Begitulah kalimat pembuka Ajip Rosidi, sastrawan senior, dalam undangan peluncuran bukunya, yang saya terima, hari ini. Saya lantas teringat, Ajip Rosidi (lahir 1938 di Majalengka, Jawa Barat) pernah tinggal selama 22 tahun di negeri Jepang -- mengajar mata kuliah tentang budaya Indonesia.

Dan saya ingat pula, kegigihannya untuk mengenalkan kepada dunia, sastra dan budaya tradisional, utamanya Sunda. Namun, "Ajip Rosidi bukan orang yang etnocentris, provinsialis, atau sukuisme dalam arti sempit," kata seorang pengamat sastra. Dia juga dikenal sebagai sastrawan yang tidak terjebak dalam dikotomis antara moderen dan tradisional.

Kini, penulis sekitar 50 buku dalam bahasa Indonesia dan Sunda ini, akan menerbitkan buku tentang dirinya (autobiografi). Seperti dia katakan dalam kalimat di atas, dia kemudian melanjutkan, ..."Hal itu disebabkan karena selama hidup saya ternyata sering berpindah-pindah rumah..."

Saya tentu penasaran, apa isi persisnya buku Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage ini. Pengalaman apa saja yang akan dia bagi terkait kehidupannya yang banyak berpindah-pindah. Dan bagaimana kehidupan seorang sastrawan sesungguhnya, karena selama ini dia dikenal lewat karya-karyanya?

Semua ini tentu akan terjawab pada tanggal 1 Februari nanti, hari Jumat, di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki. Rencananya selain peluncuran bukunya, ada diskusi dengan pembicara Parakitri Simbolon, Hilmar Farid, dengan moderator Hawe Setiawan. Acara ini dibuka pukul 19.30 WIB malam..

Saya rencana ke sana, selain untuk liputan, juga ingin mendapatkan bukunya...

Tsunami Aceh, dan foto-foto itu...

"KAU berada di Aceh 'kan, saat tsunami itu terjadi?" Kalimat ini dilontarkan seorang rekan, pada pekan lalu, di sela-sela liputan perawatan mantan Presiden Suharto -- dia bercerita pengalamannya.

 

Saya mengiyakan -- dengan menggerakkan dagu ke atas, dan ke bawah, tanpa mengeluarkan suara: nafas rasanya tercekat. Ada semacam keengganan mengingat kembali saat liputan tsunami Aceh, 4 tahun silam. Tapi, kupaksa mendengarkan celoteh temanku itu tadi, seraya terbayang kembali kejadian-kejadian saat itu... 

 

Saya, setelah liputan tsunami Aceh, selalu berusaha melawan "keengganan" itu, walaupun rasanya begitu sulit -- tapi kupaksa selalu. Caranya, aku mencoba siap menerima apapun, entah itu kisah-ulang, cerita, foto, atau apalah. Harapannya, tentu agar aku lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi saat itu...

 

Dan, masih dalam kerangka keinginan itu, di bawah ini kusajikan lagi awal kisahku, yang kutulis 4 tahun silam, dua pekan setelah kejadian...

Sudah saatnya saya bisa berbagi pengalaman ini:

 

DIBANDINGKAN hari-hari awal setelah bencana, suasana Banda Aceh siang itu relatif berubah. Suasana hiruk-pikuk di Bandar Udara Iskandar Muda, yang terlihat ramai di minggu pertama, kini tidak seramai dulu. Pesawat-pesawat berukuran besar yang bertugas mengirim bantuan ke lokasi terpencil di pesisir barat, misalnya, saat itu tidak terlihat sibuk.

 

Saya kembali tiba di kota Banda yang hancur itu, setelah  sempat  tinggal tujuh hari di awal kejadian tsunami. Sebagian wilayah kota  Banda yang lolos dari terjangan tsunami, pekan itu juga jauh lebih hidup. Sejak  enam hari di kota ini, saya, misalnya  telah hampir tiap pagi minum kopi Aceh -- di sebuah warung tidak jauh dari pendopo, rumah dinas Gubernur Aceh. Nasi dengan gulai yang menurut selentingan dicampur dengan daun ganja juga sudah mengisi perutku.

 

Pasar-pasar yang menjual buah langsat, serta rambutan, sempat pula kudatangi. Wilayah yang luluh-lantak di dekat laut, seperti Pasar Malam Rex mulai terlihat  dibenahi. Puing-puing dan rerutuhan yang dulu menyerupai bukit, kini tidak lagi terlihat, meski bangkai kapal nelayan berukuran raksasa masih teronggok di depan Hotel Medan.

 

Mayat-mayat yang di awal-awal masih gampang dijumpai di jalanan, saat itu tidak terlihat -- kecuali di bawah puing-puing yang belum tersentuh.  Tapi yang tidak berubah adalah foto-foto itu, berikut keterangannya -- yang dicopy dan ditempel dalam lembaran kertas seukuran folio di beberapa  sudut kota. Mataku otomatis  akan tertuju pada gambar-gambar itu, karena dipasang di tempat yang begitu mencolok.

 

Di bandara, misalnya, kertas-kertas itu ditempel di tiang-tiang, di ruang  kedatangan bandara yang gampang terlihat. Walau kertasnya sudah terlihat lusuh dan sedikit terlipat di ujung-ujungnya, dan warna tintanya mulai buram, tetap membuat orang yang lewat di situ melihatnya.

 

Saya pun akhirnya merapat di depannya. Seolah gambar dalam foto-foto itu meminta  berbagi kerinduan akan hidup. Juga, mungkin harapan akan pertolongan saat ombak setinggi setinggi 6-7 meter mengedor pintu rumah mereka – pada pagi itu.

 

“Dicari Unzir, suami 24 tahun dan Sani, istri 20 tahun.” Pasangan ini tinggal di Dusun Tualang, di Kabupaten Aceh Timur. Aku tak tahu alamat ini, tapi menurut cerita teman-teman, lokasi ini adalah bagian yang hancur akibat tsunami.

 

Dalam foto itu Unzir dengan mata sayu tampak memeluk Sani, sementara sang istri yang duduk di depan tangannya merengkuh dan membelai pipi atas Unzir. Agaknya saat pemotretan, Sani agak malu-malu. Senyumnya dikulum. Sepertinya pemotretan dilakukan secara otomatis di studio boks.

 

Enam hari saya tinggal di Banda, kertas pengumuman lengkap dengan foto mencari keluarganya yang hilang, masih menempel di sudut-sudut kota, tapi ada yang mengatakan, kini sebagian keluarga korban -- satu bulan setelah kejadian, mulai bisa menerima kenyataan bahwa sebagian keluarga mereka memang telah mati.

 

Aku sendiri menyaksikan di sebuah lokasi pengungsian di wilayah Mata’i, di pinggiran  kota, tidak lagi terlihat pengumuman yang disiarkan dari corong suara: tentang orang-orang yang kehilangan keluarganya. Ini terjadi setelah 3-4 hari setelah kejadian. Kini suara-suara itu hilang.

 

Tetapi siapa yang bisa mengukur apakah orang-orang itu telah bisa menerima kenyataan tragedi itu? Seperti apa bentuk kongkrit bentuk penerimaannya? Lantas, bagaimana dengan foto-foto itu yang  dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga?

 

Saat-saat pertanyaan itu muncul, aku bertemu seorang kawan lama, yang sama-sama asal kota Malang. Kita dulu bertetangga, dan sekarang dia jadi relawan sebagai tukang cerita atau pendongeng bagi anak-anak korban di wilayah pengungsian.

 

Saya bertemu dia di lokasi pengungsi di wilayah Mata’i, tepatnya di komplek sekolah calon Tantama milik TNI. “Saya sering menjumpai  anak yang masih trauma. Ketika saya sodori spidol dan kertas putih, mereka menggambar laut yang ganas dengan tsunaminya.” Begitu cerita teman saya itu.

 

Yuda Andi, nama teman saya di masa kecil itu, lantas menjelaskan model terapi yang dia terapkan. “Saya ajak mereka menggambar laut tapi dengan laut yang indah. Pantainya menakjubkan lengkap dengan matahari yang terbenam.”

 

Dia begitu yakin – karena, menurutnya, anak-anak itu harus menerima konsep takdir: bahwa Yang mencipta dunia  itu ada, dengan keputusan takdirnya “entah buruk atau baik.”

 

Yuda, yang juga seorang karikaturis, menawarkan medium gambar sebagai obat untuk menyembuhkan trauma anak-anak korban tsunami.

 

Setelah bertugas beberapa hari, dia meninggalkan anak-anak itu. Di sinilah saya lantas bertanya lagi, apa yang bisa kau berbuat lagi terhadap anak-anak sementara kau harus balik ke Jakarta. Yuda lantas menjawab, “Aku buatkan gambar foto diriku, dengan harapan mereka  selalu ingat saya dan pesan-pesan saya.”

 

Kupikir-pikir terapi temanku itu tidak lain adalah menghibur agar anak-anak itu bisa berusaha melupakan kejadian itu -- dengan kegiatan lainnya. Kali ini Andi menggunakan gambar sebagai hiburan.

 

Tapi, bagaimana dengan foto orang-orang hilang itu,  yang dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga? Bukankah itu mirip dengan terapi gambar pantai indah yang diberikan temanku itu tadi kepada anak-anak itu?

 

Pertanyaan itu muncul kembali saat saya membuka kembali beberapa halaman surat kabar Serambi Indonesia dan Waspada. Di sana, ternyata, kudapatkan dua halaman berisi pengumuman  orang hilang -- berikut potret dirinya.

 

Kutatap foto diri mereka satu-satu, dan tidak terasa mataku berkaca-kaca. Kalau sudah  begini, aku lantas bertanya ulang: jadi, sebetulnya siapakah yang trauma? Adakah saya yang sudah 6 hari di sini (Banda), dan sebelumnya 7 hari tinggal di antara korban tsunami, ikut pula terkena trauma?

Aku tak begitu yakin akan jawabanku: apakah aku trauma atau tidak. Aku sendiri kesulitan punya satu kata yang tepat untuk mewakili apa yang disebut sebagai situasi perasaanku saat itu.

Mungkin kata yang mudah-mudahan bisa mewakili: menikmati kesedihan – kesedihan yang tidak menetap, tepatnya. Soalnya aku kadang-kadang aku masih tertawa, tersenyum saat melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang datang dari luar atau sisi dalam diriku. (Banda Aceh, Januari 2005, sebulan setelah bencana tsunami…).

Tsunami Aceh, dan foto-foto itu...

"KAU berada di Aceh 'kan, saat tsunami itu terjadi?" Kalimat ini dilontarkan seorang rekan, pada pekan lalu, di sela-sela liputan perawatan mantan Presiden Suharto -- dia bercerita pengalamannya. Saya mengiyakan -- dengan menggerakkan dagu ke atas, tanpa mengeluarkan suara. Ada semacam keengganan mengingat kembali saat liputan tsunami Aceh, 4 tahun silam. Tapi, kupaksa mendengarkan celoteh temanku itu tadi, seraya terbayang kembali kejadian-kejadian saat itu...
Saya, setelah liputan itu, selalu berusaha melawan "keenganan" itu yang selalu muncul dari dalam setiap, walaupun sulit. Caranya, aku mencoba siap menerima apapun, entah itu kisah-ulang, cerita, foto, atau apalah. Harapannya, tentu agar aku lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi saat itu...
Dan, masih dalam kerangka keinginan itu, di bawah ini kusajikan lagi awal kisahku, yang kutulis 4 tahun silam, dua pekan setelah kejadian... Sudah saatnya saya bisa berbagi pengalaman ini:
DIBANDINGKAN hari-hari awal setelah bencana, suasana Banda Aceh siang itu relatif berubah. Suasana hiruk-pikuk di Bandar Udara Iskandar Muda, yang terlihat ramai di minggu pertama, kini tidak seramai dulu. Pesawat-pesawat berukuran besar yang bertugas mengirim bantuan ke lokasi terpencil di pesisir barat, misalnya, saat itu tidak terlihat sibuk.

Jan 21, 2008

Benteng Spelwijk, Banten Lama: suatu sore (liburan, tamat)




DAYA tarik kota Banten lama, yang pada tahun 1520-an dikenal berjaya dengan kerajaan Islamnya, selalu menggodaku untuk mendatanginya. Apalagi reruntuhan kerajaan, berikut benteng, kanal, serta bangunan masjid yang berdiri kokoh, masih bisa dijumpai di kawasan itu.

Dan, kesempatan itu akhirnya datang juga, awal Januari lalu. Berbekal pengetahuan seadanya tentang peninggalan Banten lama, saya coba meyakinkan istri agar mau mengunjungi kawasan bersejarah itu. Anggukan setuju, sebuah senyuman, dan kalimat tipis “boleh”, akhirnya menjadi kata pembuka sebelum akhirnya mobil kami melaju di jalan tol mengarah ke Merak, di ujung kanan Pulau Jawa…

Pertanyaan anakku “mau kemana kita hari ini”, kutunda menjawabnya, kecuali dengan mengatakan “ini kejutan buat Aida, tunggu saja ya..” Dan pada Sabtu siang itu, 5 Januari lalu, saya betul-betul menikmati perjalanan yang acap tertunda itu…

Di perjalanan, sempat khawatir hujan bakal merusak perjalanan. Namun hujan ternyata ‘cuma mampir sebentar’ saat mobil kami melaju di jalan tol. Berhenti sebentar pada sebuah tempat peristirahatan, mengisi perut dan bekal, mobil kami akhirnya memasuki kota tua itu (papan bertuliskan “kota Banten lama” cukup membantu kami sebagai penunjuk jalan – kira-kira letaknya 10 kilometer dari pintu tol).

Tujuan pertama kami adalah Masjid Agung Banten (dengan bangunan menaranya yang terkenal), tapi belum jauh melangkah mata kami tertumbuk pada sebuah papan tulis: Benda Cagar Budaya “Keraton Kaibon”. Letak bangunan yang tinggal reruntuhan itu, persis di sebelah sungai, dekat sebuah jembatan besi. “Eh, bangunan apa ini,” saya bertanya-tanya.

Kami pun menghentikan mobil, tapi rasanya sulit sekali menemukan lahan parkir – kami sempat was-was pula melihat gerombolan pemuda, yang ternyata tukang ojek motor. Dengan sedikit sok tahu, saya pun bergumam, “Oh, mungkin ini bangunan kerajaannya, sementara masjidnya ke arah sana lagi…” (kami tidak masuk ke dalam komplek reruntuhan, dan cuma memotret dari luar pagar).

Belakangan, aku akhirnya tahu, Keraton Kaibon – yang kini tinggal reruntuhan, tapi terlihat dirawat -- dulunya adalah keraton untuk tempat tinggal ibu salah-seorang sultan. Situs bangunan ini dipagari kawat berduri, walaupun sore harinya saya melihat arealnya dijadikan tempat bermain bola..

Dari situs ini, kami pun melanjutkan perjalanan – kami berlomba dengan waktu, karena “jangan sampai kita kemalaman di daerah yang belum kita kenal,” kata istriku. Dan melewati beberapa situs makam, dalam rentang waktu yang pendek, kami akhirnya sampai pada sebuah kawasan terbuka.

Agak bingung karena tidak ada papan penunjuk arah, kami akhirnya mengikuti sebuah jalan – dan parkir mobil seadanya. Di sebelah kiri terlihat para pedagang kaki lima, sementara di sisi kanan terlihat sebuah tembok tinggi – dan parit kecil di sekelilingnya. “Ini dia bangunannya, sepertinya benteng!” teriakku, walau aku tidak tahu apa namanya.

Dengan melewati kerumunan penjual cinderamata, kami akhirnya bisa melihat menara masjid itu – warnah putih, berdiri anggun, dan memang mirip mercusuar! Namun niat kami ke masjid kami tunda dulu…

Tembok tebal setinggi sekitar dua meter, yang luas berdiri di ruang terbuka, akhirnya yang kami kunjungi lebih dulu. Inilah tembok reruntuhan Keraton Surosowan, yang disebut sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banten tempo dulu…

Semula aku ingin ajak Aida (istriku tak tertarik) masuk ke dalam reruntuhan kerajaan itu, tapi kubatalkan setelah pintu masuknya terendam air – bekas hujan. Menurut beberapa arkeolog dan sejarawan, Istana Surosowan – yang luasnya sekitar 3 hektar -- dibangun ketika pasukan gabungan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dan Pangeran Fatahillah berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran dan merebut ibukota mereka, Banten Girang – sayangnya tahunnya tidak kuketahui.

Masih menurut para ahlinya, yang kukutip dari beberapa tulisan, Sultan Ageng Tirtayasa – yang dikenal sebagai sultan yang ikut memerangi kolonial Belanda -- mempercantik istana Surosowan dengan menyewa tenaga ahli dari Portugal dan Belanda , di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel.

Benteng istana ini disebutkan pernah terbakar tahun 1605 dan 1607, sebelum dihancur-leburkan pasukan Daendels pada 21 November 1808. Namun demikian, seperti ditulis sebuah situs, kendati kini tersisa reruntuhan, situs Surosowan “masih cukup menarik sebagai salah satu obyek wisata arkeologis” – sayangnya, seperti saya saksikan sendiri, sore itu kompleks situs dipenuhi pedagang kaki lima, dan tanpa dijaga petugas…

Di samping situs istana Surosowan, sebuah kanal terlihat mengalir. Disebut-sebut kanal itu untuk mengalirkan air bersih dari sebuah sumber ke komplek istana itu – barangkali untuk keperluan mandi dan minum para sultan, putri serta keluarga besarnya (saya bayangkan para putri itu mandi di tengah kolam,di tengah istana yang kini tinggal reruntuhan...)

Dan masih di samping istana itu, berdiri masjid agung dan museum yang isinya peninggalan Kerajaan Banten lama. Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini – “Semoga di museum itu ada penjelasan, atau konteks, dari situs-situs ini,” kataku pada istriku.

Walaupun isinya tidak lengkap, saya akhirnya punya gambaran lebih lengkap tentang kawasan situs arkeologis Kerajaan Banten. Di dekat pintu masuk museum, ada semacam miniatur (diorama) komplek kerajaan itu. Saya dan istri jadi paham, setidaknya lokasi situs lainnya – seperti Benteng Spelwijk, Menara masjid Pecinan, atau kemana arah kanalnya…

Di sana kutemukan juga sebuah lukisan sosok duta besar Banten di Inggris – hah, saya jadi ingat, ini bukti kongkrit kejayaan yang penah disandang Kerajaan Banten pada jaman itu: tercatat bangsa yang berniaga sampai ke Banten adalah Inggris, Spanyol, Portugis, Arab, Melayu, Gujarat, Persia, Cina, dan bangsa-bangsa lainnya – namun menurut sejarah, Belanda akhirnya menghancurkan kerajaan ini setelah terjadi perpecahan pada pewarisnya.

Setelah puas menjelajahi museum berukuran kecil itu, saya pun melirik masjid Agung. Diwarnai rasa was-was, karena dihadang anak-anak yang meminta uang, kami memutuskan tidak berlama-lama di pelataran Masjid Agung Banten Lama -- dibangun tahun 1566, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin, yang kemudian dilanjutkan pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

Kami akhirnya berhenti sekian meter dari menara masjid yang mirip mercusuar. Setelah ambil gambar, kami pun beranjak kembali ke mobil – kami parkir agak jauh, dan mesti melewati jalan keluar yang dipadati para penjual mulai CD bajakan sampai tasbih. “Aida ingin naik ke atas menara!” Protes anakku tak membuat kami berubah pendirian.

Dari sejumlah laporan, menara masjid itu disebut-sebut dirancang seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, atas perintah salah seorang Sultan Banten. Itulah sebabnya, demikian menurut laporan itu, bangunan menara itu lebih mirip menara suar. Di sekitar masjid, disebutkan ada makam sejumlah Sultan Banten serta keluarganya…

Kini ada tiga situs lagi, yang belum kami kunjungi di kawasan arkeologis itu, yaitu Vihara Avalokitesvara (yang dibangun pada abad ke-16, dan konon terawatbaik sampai sekarang), menara mesjid Pecinan dan benteng Spelwijk.

Sayangnya, karena kendala waktu, kami akhirnya mendatangi menara masjid pecinan (kami cuma mampir sebentar, dan mengambil gambar di sini), benteng yang kusebut terakhir itu…

Saat mobil kami merapat di dekat benteng itu, terasa sekali bekas aroma peperangan antara Kerajaan Banten dan kolonial Belanda. Beberapa bangunan makam – milik penggede dan prajurit kolonial Belanda yang tewas saat perang dengan pasukan Banten – masih terlihat di pelataran benteng itu, walau tidak terawat. Dari catatan sejarah, disebutkan benteng seluas 2 hektar ini dibangun Belanda untuk menyaingi Keraton Surosowan – yang saat itu tengah diperbaiki. Letak benteng Spelwijk memang tidak jauh dari keraton itu, dan berjarak sekitar 600 meter dari tepi laut (konon, arsitek benteng itu juga tukang disain Surosowan: Hendrik L Cardeel).

Speelwijk, yang sore itu sebagian lahannya dibuat bermain sepakbola, sekarang memang tinggal reruntuhan. Dahulu benteng ini bekas keraton Kerajaan Banten, tapi tahun 1785 di hancurkan Belanda, kemudian dibangun menjadi benteng -- lengkap dengan ruangan bawah tanah…(aku sempatkan naik tembok benteng itu, mencoba membayangkan apa yang pernah terjadi di benteng itu..).

Pada sore yang hangat itu, akhirnya aku harus menyudahi lamunanku. Kuajak istri dan anakku memutar jalan (melewati sebuah kampong nelayan), melewati sebuah muara (yang airnya coklat), dan kapal-kapal nelayan, sebelum akhirnya kutinggalkan kota Banten lama… (tamat)

Jan 14, 2008

bila Jenderal Ter Poorten menangis di Kalijati (liburan akhir tahun, bagian2)




AWALNYA adalah sebuah gambar buram, yang kusimak lebih dari 25 tahun silam, pada sebuah buku sejarah dunia – milik kakakku, yang kulit bukunya dilapisi kertas warna coklat. Dalam gambar itu, terlihat sejumlah lelaki berseragam militer berhadap-hadapan di sebuah meja, di dalam sebuah rumah, pada sore yang lembab, 8 Maret 1942.

Dua lelaki berkulit pucat pada gambar tersebut terlihat tegang, memikirkan sebuah negeri -- dijuluki zamrud katulistiwa – yang bakal hilang. Sementara, di depannya, terlihat kepala beberapa lelaki (yang kubayangkan berkulit kuning) tengah membayangkan sebuah penaklukan baru.

Apa yang terjadi di balik foto buram (yang dicetak di kertas yang kualitasnya buruk, sehingga membuat aku dulu penasaran), serta kejadian sejarah di dalamnya, terus kuingat. Walau ingatanku mulai memudar, ada beberapa kata yang masih kuingat dari keterangan foto: “Jenderal Ter Poorten”, “8 Maret 1942”, “Penyerahan Tanpa Syarat Belanda atas Jepang” serta “Kalijati”…

***

KALIJATI, saat itu (tatkala aku masih bercelana pendek, murid sekolah dasar) kuanggap sebuah titik kecil di tengah belantara titik-titik besar pada sebuah peta pulau Jawa. Letak persis kota kecamatan itu, kalau tak kucermati secara seksama, tentu tidak kutemukan pada peta – terkadang, bahkan, kota kecil penghasil buah nanas madu itu acap kusalah-pahami sebagai Linggarjati (sebuah kota kecil lain yang berdekatan dengan Cirebon, yang juga bersejarah).

Tapi semuanya berubah, tatkala kukenal seseorang – yang akhirnya menjadi istriku, tahun 2000. Dia ternyata lahir dan masa kanak-kanaknya dibesarkan beberapa ratus meter dari rumah bersejarah tersebut (dulu rumah seorang perwira Belanda, bagian dari komplek pangkalan udara militer Belanda – dibangun tahun 1914).

Sejak 1949, pangkalan itu berubah menjadi pangkalan udara militer pertama Indonesia. Terletak di Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat (sekitar 175 kilometer dari Jakarta), belakangan namanya berganti menjadi Pangkalan TNI Angkatan Udara Suryadarma. Di pangkalan udara itulah, 65 tahun yang lalu, di rumah milik perwira Belanda itu, Belanda dibuat bertekuk lutut di hadapan Jepang – hilang sudah negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, yang mereka kuasai lebih dari 350 tahun!

Tahun 80-an, istriku dan keluarganya meninggalkan tempat bersejarah Kalijati, dan pindah ke Jakarta. Tapi kenangan masa kecilnya atas kota itu, selalu dia ceritakan kepadaku, berulang-ulang (“kau percaya-nggak, dulu aku pernah mandi di kubangan di komplek itu…” atau “rumahku dulu atapnya tinggi, maklum peninggalan Belanda…” begitu dia bernostalgia).

Dan aku, biasanya, takzim mendengarkan ceritanya -- seraya membayangkan bentuk rumah-rumah itu, halamannya yang luas dan berumput, serta kubangan itu. Tapi, tentu saja, fikiranku melayang pula, memikirkan gambar buram di buku sejarah itu – “aku ingin melihat dan membayangkan bagaimana Jenderal Ter Poorten itu berjalan gemetar, dan menangis meski dalam hati… “

***

KALIJATI, sebuah siang hangat berawan, 27 Desember 2007. Kulihat dari dekat rumah bercat krem, yang pintu lebarnya berkaca dan berwarna coklat tua. Sebuah monumen – berupa tonggak putih bertuliskan Jepang – berdiri di depannya. Di belakangnya ditempel papan bergambarkan bendera Indonesia, Jepang, Belanda, pada sisi depan tembok rumah itu. Berteras ubin abu-abu, rumah itu berhalaman luas. “Belakangan, rumah ini dikosongkan, dan dijadikan semacam museum,” jelas mertuaku, tanpa menyebut tahun persisnya – sayangnya, kami tak bisa masuk ke dalamnya.

Namun angin semilir yang berhembus siang itu, akhirnya mengantar kami ke sejumlah obyek bersejarah lain di komplek itu -- hanggar pesawat yang masih berdiri kokoh (walau berkarat sebagian dan berubah fungsi jadi museum, namun kujumpai pesawat albatros di dalamnya), bunker beton (namun tak lagi dihadiri lagi tentara Belanda atau Jepang yang mungkin kesepian di dalamnya), museum sejarah pangkalan udara itu (sayangnya dokumen dan datanya minim sekali) dan deretan rumah berdinding tebal (dua diantaranya pernah dihuni istriku, dan lainnya beberapa teronggok tak terurus)…

***

BEBERAPA hari setelah kunjungan itu, aku tergoda melihat kembali cuplikan sejarah dari peristiwa yang digelar di rumah itu. Semuanya berawal dari kedatangan Tentara Jepang, di Pantai Eretan Wetan, di pesisir Kabupaten Indramayu, awal Maret 1942, yang membuat panik orang-orang Belanda di pangkalan Kalijati -- hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari lokasi pendaratan. Sejarah kemudian mencatat, Kalijati adalah sasaran penting, sebelum kota Bandung.

Sempat terjadi pertempuran sengit di Ciater, 6 Maret, Kota Subang akhirnya dikuasai pasukan Jepang – dan pasukan Belanda mundur ke Bandung. Khawatir serangan itu berlanjut ke Bandung, sehari kemudian bendera putih dikibarkan pihak Belanda, tanda menyerah. Maka dibuatlah sebuah pertemuan di Kalijati, pada sebuah sore, 8 Maret 1942…

Sejarawan Belanda Lambert Giebels, dalam buku berjudul 'Biografi Soekarno (1901-1945)', yang dikutip sebuah media, mencatat sebuah percakapan antara juru runding Belanda dan Jepang -- Jendral Ter Poorten, selaku Panglima Belanda, hanya bersedia untuk kapitulasi Bandung saja. Namun, keinginan itu dengan tegas ditolak Panglima Imamura, yang mewakili Jepang, yang menginginkan kapitulasi untuk seluruh wilayah Hindia Belanda.

Dalam pertemuan itu, Letnan Jenderal Imamura bertanya pada Ter Poorten, "Kemarin Tuan mengeluarkan perintah untuk meminta gencataan senjata. Apakah itu karena Tuan tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertempuran?"

"Karena saya tidak mau melanjutkan lagi kesengsaraan perang ini," Jawab Ter Poorten.

Lalu Letnan Jenderal Imamura bertanya kepada Gubernur Jenderal, "Apakah Tuan bersedia menyerah tanpa syarat?"

"Tidak, saya tidak bersedia untuk menerima penyerahan tanpa syarat," sahut Gubernur Jenderal.

"Kalau begitu untuk apa Tuan datang kemari?"

Gubernur Jenderal menjawab, "Tuan meminta saya datang dan saya memenuhi undangan itu, karena saya mengharapkan untuk membicarakan dengan Tuan tentang pemerintahan sipil atas pulau Jawa."

Letnan Jenderal Imamura tidak menggubris jawaban itu. Ia berpaling kepada Ter Poorten, lalu mendesak, "Apakah Tuan menyerah tanpa syarat?"

"Saya hanya dapat menawarkan pada Tuan penyerahan kota Bandung."

"Kapitulasi Bandung tidak menjadi perhatian kita."

Letnan Jenderal Imamura mengulangi lagi pertanyaannya dan Ter Poorten tetap menjawab dengan kalimat yang sama.

"Tidak ada gunanya untuk mengulangi permintaan ini. Jikalau Tuan tidak menyerah, maka tidak ada jalan lagi bagi kami kecuali meneruskan penyerangan. Tuan dapat kembali segera ke Bandung. Saya akan memberi kepada Tuan satu pas, sampai lini terdepan, tetapi pada waktu Tuan melintasi lini ini, saya akan melakukan pemboman atas Bandung dengan pesawat yang telah siap sedia di lapangan ini. Tetapi saya akan memberi kepada Tuan kemungkinan terakhir untuk mempertimbangkan permintaan saya. Saya beri waktu 10 menit."

Dengan gertakan ini, seperti diketahui, akhirnya Belanda yang sudah bercokol di Hindia Belanda berabad-abad menyerah tanpa syarat.

***
ENAM puluh lima tahun kemudian, setelah peristiwa itu, saya selalu membayangkan Jenderal Ter Poorten menangis, menyesali keputusannya itu… (bersambung)

Jan 11, 2008

mendengar bunyi-bunyian di Ciater (liburan akhir tahun, bagian 1)




MELALUI suara-suara pada sebuah lembah, yang dialiri air hangat belerang dan kabut di kejauhan, kuabadikan ingatanku pada sebuah tempat. Suara-suara itu muncul bersahutan, utamanya jelang senja, melengkapi kesunyian yang seolah abadi.

Itulah pengalamanku, saat saya – beserta anak-istri dan mertua -- mengisi liburan di pemandian air panas dan penginapan Sari Ater, di kawasan Ciater, Kabupaten Subang. Kejadiannya pada akhir Desember lalu, ketika langit acap berwarna kelabu dan angin semilir menemani.

Tapi percayalah, suara-suara tersebut tidaklah muncul dari alam lain -- suara-suara itu barangkali pernah Anda dengarkan, bahkan amat sering, sehari-hari. Orang lain yang tinggal di tempat itu, mungkin juga istri dan mertuaku, aku yakin ikut mendengarnya. Namun ditelingaku, kala itu bunyi-bunyi tersebut kemudian menjadi berbeda.

Suara-suara muncul bersahutan, utamanya jelang senja tiba. Semuanya berirama, dan muncul dari arah yang berlawanan. Nadanya juga naik-turun, terkadang hilang karena disamun angin.

Awalnya kuanggap biasa, namun tiba-tiba ada tarikan dari dalam untuk mendengarkan lebih lanjut. Bunyi-bunyian yang pertama, muncul dari alat pengeras suara dari kantor pengelola penginapan itu. Sepertinya diputar dari sebuah kaset, suara itu adalah tembang Sunda, dengan kecapi dan degung sebagai alat musiknya. Sementara, dari arah yang berlawanan, dari corong menara mesjid terdengar lantunan ayat-ayat kitab suci..

Dan tatkala suara itu makin berirama, serta seiring kabut turun dari bukit berpohon pinus, rasa tentram, melankolis, mengenang sebuah tempat dan peristiwa, dengan sedikit melamun, pelan-pelan terbentuk di benakku. Kubiarkan ini terjadi apa adanya – tanpa campur tangan makna, dan keinginan untuk menganalisa. Saat itulah barangkali kurasakan apa yang disebut banyak orang sebagai keindahan..

Belakangan, setelah kejadian, aku mencoba bertanya tentang apa yang disebut sebagai mengalami keindahan. Pertama, kukatakan pengalaman itu sangatlah pribadi, dan tidak berlangsung lama – tapi membekas, karena aku selalu ingat kemudian. Kedua, ini lebih sebagai pertanyaan, apakah untuk mengalami keadaan seperti itu butuh suatu keadaan tertentu pula? Dan ketiga, betapa dahsyat kekuatan irama lagu atau musik! (saya lantas membayangkan bagaimana jadinya bila pidato para politisi diganti saja dengan alunan musik yang merdu..)

Bagaimanapun, tampaknya, di mana kita berada saat itu, tentu berpengaruh pula terhadap situasi batin, walaupun aku tak tahu persis berapa derajat pengaruhnya. Beruntung saat kami ke peristirahatan Sariater, tidak banyak pengunjung datang saat itu -- sehingga tak perlu pesan jauh-jauh hari, kami bisa mendapatkan kamar, serta kudapatkan situasi sepi itu tadi.

Rupanya, pilihan waktu kami ke sana, juga berpengaruh. Maklumlah, kami menyepi ke tempat itu, sehari setelah liburan Natal, dan lebih awal sebelum liburan akhir tahun. Tapi mengapa kami ke tempat itu?

Jangan kaget, perjalanan liburan kami jarang direncanakan secara matang. Acap mendadak, dan keputusannya dibuat dalam hitungan hari. Tapi percayalah, mengapa kami memilih Ciater, tentu ada latar belakangnya. Kali ini istriku adalah pelatuknya. Di masa kanak-kanaknya, istriku (yang lahir sekitar 15 kilometer dari sumber mata air belerang di Ciater) acap berlibur di sana. Itulah sebabnya, dia menyebut perjalanan ini sebagai wisata menjenguk masa lalu, alias bernostalgia.

Dan yang terjadi adalah, istriku – dan kedua mertuaku --sering membandingkan keadaan penginapan itu dengan kenangannya lebih dari 15 tahun lalu. “ Tak banyak berubah,” katanya dengan mata berbinar.

Aku sendiri sudah tiga kali ke sini. Ketimbang berlibur ke dataran rendah (pantai, misalnya), saya memilih di dataran tinggi. Rasanya aroma dataran tinggi, yang ditandai panorama pohon pinus di kejauhan, dan wajah beku penduduk desa yang bermantel, lebih menyenangkan ketimbang harus berkeringat, gerah…

Lokasi Sariater memang di dataran tinggi, sekitar 6 kilometer dari Gunung Tangkuban Perahu, di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dan tatkala masuk ke lokasi peristirahatannya, pemandangan dengan nuansa lama langsung terlihat. Harus kuakui, ada perasaan tenang, senang, nikmat, setiap memasuki sebuah tempat yang mengingatkan masa kecilku…

Taman yang luas, yang dihampari rumput hijau, yang dibiarkan begitu saja, tanpa dilekati atribut permainan baru. Di sana hanya terdapat ayunan besi yang selalu berderit jika digerakkan (mungkin karena kurang diberi pelumas), membuat masa kanak-kanak itu terlintas kembali -- kenangan akan masa lalu itu, rupanya bukan hanya milik istriku, tapi juga aku…

Dan bagaimana perasaan anakku? Saya tidak tahu, tapi pengalamannya menginap di sebuah peristirahatan yang tidak biasa (jauh dari rumah), menyediakan kolam renang (walau dia kurang suka air belerangnya), dan ayunan itu tadi, serta pengalaman naik kuda, tentu pengalaman yang menyenangkan…

Pengalaman berlibur ini, yang dihiasi suara-suara syahdu itu, tentu tak sepenuhnya indah. Pada malam hari, bebunyian lain justru menemani kami: gemuruh angin kencang membuat tidurku – dan istriku -- tak sepenuhnya nyenyak.. (bersambung)