Apr 20, 2008

menyusuri sungai Thames...




'Kampung Arab' itu bernama Bayswater (1)




SEBUAH tempat jauh di seberang benua -- dan pasti jarang kukunjungi, tapi kehadirannya sungguh terasa akrab...

Itulah kenanganku terhadap sebuah wilayah, setingkat desa atau kelurahan atau distrik, bernama Bayswater. Lokasinya terletak di barat Kota London, yang berjarak ribuan kilometer dari tempatku berdiri sekarang...

Di bulan Maret lalu, yang hembusan angin utaranya masih terasa beku, saya mendatangi kembali tempat itu. Hampir semua sudut dari sebagian Bayswater, wujud fisik dan suasananya, nyaris tak berubah seperti saya datangi empat atau enam tahun silam: Kuil sinagog merah masih berdiri di sana, juga gereja ortodoks yang bunyi dentang loncengnya acap samar kudengar...

Ini memang sebuah perjalanan mengenang kembali, mengenang sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Enam tahun silam, layaknya seorang yang baru tinggal di sebuah tempat asing, saya pun digerakkan oleh rasa ingin tahu, untuk mengenal lebih jauh dan menjangkau segala sesuatu yang terkait dengan tempat itu -- sejarahnya, karakter penduduknya, atau apapun yang identik dengan Bayswater.

"Barangkali ini yang disebut sebagai upaya mendekatkan dengan tempat di mana kita tinggal," begitu yang kupikirkan saat itu.

Tapi itu tak mudah, pada akhirnya. Tetap saja saya selalu terbentur kepada melankoli betapa semuanya akhirnya tak bisa terjangkau -- betapapun kita mengklaim kemampuan daya indera kita! Dalam situasi seperti ini, biasanya saya lantas teringat novelis perempuan kelahiran Libanon, Nada Awar Jarnar, yang besar dan tumbuh di Australia, dalam novelnya Somewhere, Home (2003). Nadar yang sepertinya rindu akan "akarnya", akan masa lalu, serta sebuah kota masa kecilnya yaitu Beirut (di Libanon).

Melalui tokoh-tokohnya dalam novelnya itu, Nadar sepertinya ingin kembali berlaku "intim" terhadap masa lalunya, dengan kotanya. Akan tetapi, langkahnya itu tak memuaskannya. "Beirut," begitu tulis Nadar melalui tokohnya Maysa, "adalah mimpi yang berulang, sukar ditangkap sekaligus dikenal, kenangan dari pikiran yang berkelana..."

***
BAYSWATER, nama daerah itu, semula kukenal secara selintas dari teman-teman di London, yang pernah tinggal di sana. Sebagian temanku mengatakan, wilayah yang letaknya tidak jauh dari taman raksasa Kensington dan Hyde Park, di jantung kota London itu, disebut-sebut sebagai wilayah elit, dan banyak didiami warga imigran, utamanya Arab. "Itulah sebabnya, kau seperti pulang kampung, Fan," kata teman-temanku itu tadi, seraya tertawa.

Semula aku tak menanggapi serius ucapan itu. Dan aku selalu berupaya meyakinkan diri-sendiri bahwa sebutan "daerah kantong Arab" itu lebih sebagai sebuah anekdot, ketimbang sebuah kenyataan.

Itulah sebabnya kucoba menyisihkan pikiran itu dalam laci meja di kamarku yang hangat, atau di saku jaket tebalku, tapi toh gagal. Sebutan atau identitas itu -- "arab" lebih persisnya -- terus "mengganggu", tidak bisa hilang dari pikiran, mengendap, pernah hilang tapi muncul lagi, terus begitu.

Dalam situasi seperti itulah, saya akhirnya tiba di London, pada sebuah pagi, di awal Desember tahun 2002, satu tahun tiga bulan setelah peristiwa kekerasan yang disebut 11/9 di New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, pelaku kejadian kekerasan itu kemudian diketahui adalah orang-orang beridentitas Arab. Semua orang tahu itu, tak terkecuali warga London...

***
ENAM tahun lalu, ketika akhirnya taksi hitam yang membawaku dari Heathrow melintas di beberapa jalan di wilayah Bayswater, tak kudapati tanda-tanda "kampung Arab" seperti yang kubayangkan -- biasanya, pikiranku menerawang belasan silam, saat bermain atau bertemu keluarga di kampung Arab seperti di Malang atau Surabaya.

Yang kudapati, ketika aku menginjakkan kaki pertama kali di ruang depan tempat tinggal milik kantorku, di Jalan Prince Square, empat tahun silam, justru adalah bangunan bergaya Inggris. Disain eksterior atau interiornya terlihat seperti bergaya victoria -- sebuah gaya arsitektur yang konon menjadi tren di masa kekuasaan Ratu Victoria, dua abad silam. Terlihat seperti terpengaruh gaya Romawi, pintu depannya dihiasi dua pilar kokoh warna putih, bertingkat tiga, serta berjajar panjang -- sepertinya ini flat atau apartemen. Di pilar itu tertulis "Beaumount House".

Di dalam bangunan itu, selain ruangan kecil yang difungsikan sebagai kantor, terlihat pula ruangan santai. Seorang pengelola kulit putih kemudian menyambutku, dengan senyum ramah dan sebuah pertanyaan yang belakangan acap kudengar "bagaimana perjalanannya?"

Kulihat ruangan itu: tirai warna biru terlihat menutupi jendela berukuran besar, selain kursi sofa besar, serta sebuah tungku api. Sebuah pohon Natal dengan hiasan kerlap-kerlip terlihat mencolok di sudut. "Seperti inilah Fan, ruangan tamu atau keluarga rumah-rumah di Inggris, nggak berubah dari dulu," kata rekanan kerjaku, yang bersamaku berangkat ke London, kala itu.

Saya mengiyakan, seraya mataku terus menyelidik benda-benda apa saja yang ada di ruangan itu. Dan di atas tungku itu tadi, teronggok foto-foto, serta kartu ucapan. Ada pula sebuah almari, yang di dalamnya terdapat beberapa cinderamata yang berasal dari berbagai negara -- ya, sebagian besar tamu yang menginap di tempat itu adalah orang-orang dari luar Inggris.

Saya lantas diantar ke lantai atas, menuju ruangan kamarku. Saya lupa nomor berapa, tapi yang selalu kuingat: saya harus angkat dua koporku dengan nafas terengah-engah, karena harus melalui tangga melingkar -- karena memang tidak ada lift di gedung kuno itu. Karena itulah bunyi "bruk, bruk" di atas tangga kayu yang dilapisi karpet, yang kulalui, adalah suara-suara yang selalu kuingat sampai sekarang -- juga pikiran yang selalu terngiang-ngiang tentang Bayswater dan "kampung Arab" itu...

***

ADAKAH aku akrab dengan wilayah Bayswater, karena identitas yang dilekatkan padaku serta mayoritas penduduk di lokasi itu adalah orang-orang Arab? Pertanyaan yang belum terjawab ini kuulang lagi saat aku tiba di tempat yang sama, awal Maret 2008. Tidaklah salah juga apabila jawabanku adalah "ya", karena pikiran identitas tersebut tidak bisa hilang, walaupun aku selalu menanyakan ulang apa-apa yang disebut sebagai tradisi dan masa lalunya.

Harus kukatakan, nenek moyangku berasal dari Hadramaut, Yaman, dan memilih datang serta tinggal di Indonesia. Barangkali sejak tiga atau empat generasi sebelum kakek dari ayahku lahir di negeri ini, mereka datang ke wilayah dimana aku berdiri sekarang. Sebuah sejarah kemudian terbentuk, dan tradisi mengikutinya, berikut aturan-aturannya. Tapi lebih dari enam tahun lalu, aku memilih menikahi perempuan beridentitas Jawa-Padang...

Tapi dulu, dulu di masa muda, aku bisa marah tatkala seorang teman -- mungkin maksudnya berseloroh -- memanggilku "arab". Sebuah perasaan yang kutafsirkan dulu sebagai pembedaan, atau menganggap aku sebagai "orang lain".

Namun nada emosional itu lambat-laun kurasakan berubah, tatkala seorang teman di Solo, Jawa Tengah, mengatakan sebuah kalimat yang membuatku menjadi agak teduh, "Kau harus terima (identitas Arab) itu sebagai kenyataan sosiologis Fan.. Saya, ambillah contoh, akhirnya menerima sebutan itu sebagai olok-olok belaka, janganlah dibuat serius..."

***

LEBIH dari tiga pekan, tinggal dan hilir-mudik di sepenggal kawasan Bayswater, pada bulan Maret lalu, saya akhirnya makin mafhum atas predikat "daerah imigran Arab". Selain beberapa orang mengutarakan hal yang sama, saya coba mencari data lebih lengkap, dan akhirnya kuperoleh jawaban.

"Bayswater," begitu tulis sebuah situs internet, "adalah salah-satu wilayah kosmolit di London, yang salah-satunya ditandai banyaknya hotel berdiri di sana." (saya jadi ingat, melangkah pertama dari tempatku tinggal, ada dua hotel berdiri).

Dan, masih tulis situs itu, "Di Bayswater, utamanya di Edgware Road, banyak terdapat populasi orang Arab (Saya akhirnya berulang kali bertemu anak-anak muda Arab yang funky -- misalnya, dengan meninggikan suara audio mobilnya dengan musik hip-hop -- hingga yang masih menghormati tradisi). Tapi di sana, ternyata, juga ada komunitas orang Amerika, Yunani (saya jadi terkenang gereja ortodok di belakang kamarku, serta sebuah minimarket bercat biru), serta warga Brazil, dan orang-orang lokal."

Kesan wilayah itu ditempati berbagai etnis, memang terlihat mencolok, saat saya setiap hari berjalan kaki di Queensway (saya setiap hari melewati jalan ini dari rumah ke stasiun kereta bawah tanah, atau sebaliknya), sebuah jalan besar, yang dipadati turis dan restoran yang menjual makanan China, India, Arab, Spanyol, Rusia sampai "nasi goreng" ala Malaysia...


Apr 17, 2008

Mencocokkan jam di Greenwich...




DELAPAN bulan setelah kunjunganku ke sebuah wilayah bernama Greenwich, di kota London, aku mencoba mengingat-ingat kembali, kapan persisnya aku pertama kali bersentuhan dengan kata Greenwich. Dan, tidak mudah ternyata...

"Kayaknya waktu kita SD atau SMP ya, saat kita dapat pelajaran ilmu bumi atau geografi," kataku, dengan ada tanya, kepada istriku, pekan lalu.

Tapi aku juga lantas teringat, dulu mendiang bapakku acap mendengar siaran radio BBC London di tahun 70-an, melalui saluran SW -- yang terkadang berisik, dan acap hilang suaranya. Di setiap pembukaannya, sang penyiar berkata "BBC Siaran Indonesia... Pukul 22.00 waktu Greenwich, bertepatan dengan pukul 05.00 waktu Indonesia bagian barat...."

Walaupun detilnya tetap sulit untuk kuingat lagi, tapi perlahan aku berhasil membuka kembali ingatan tentangnya. "Orang Inggris-lah yang pertama mencoba membuat patokan waktu, dan titik nol-nya itu dibuat di Kota Greenwich," aku mencoba merekonstruksi apa yang dikatakan guruku, puluhan tahun silam.

"Maka kemudian, lahirlah istilah Greenwich Mean Time (GMT)..." (Belakangan aku paham, penemu sistem itu adalah orang Kanada)

***

"FAN, kalau ke London, jangan lupa ke Greenwich," Kalimat bernada ajakan ini disodorkan Endang Nurdin, rekan kerjaku di London. Dia utarakan ini, enam tahun silam, saat aku ada tugas ke kota itu. "Selain soal sejarah waktu itu, kau bisa menikmati taman yang maha luas...," ujarnya, dengan nada meyakinkan.

Aku seingatku mengiyakan ajakan itu. Tetapi toh, tiga pekan aku di sana, tak sempat juga aku mendatangi "kota waktu" itu. Dan ini kuulangi lagi di tahun 2004, saat aku mendatangi lagi London untuk kedua kalinya -- "aku belum tertarik mendatanginya," begitu kesimpulanku saat itu...

Sampai akhirnya pada sebuah Sabtu sore yang gerimis, tanggal 15 Maret lalu, aku memutuskan untuk mendatangi Greenwich ("bacanya yang benar itu Grei-nidh, Fan," kata Endang Nurdin,"Huruf W-nya ditelan.."). Itu pun setelah temanku itu menelepon khusus agar aku mampir ke tempat tersebut...

Aku ingat jam tanganku menunjuk sekitar pukul 3 sore GMT, saat aku berada di sekitar London Bridge, di pusat kota, setelah mengunjungi makam Karl Marx di Highgate, London Utara. Artinya, ada waktu sekitar 2 jam, sebelum Royal Observatory Greenwich (tempat titik nol waktu GMT itu berada) tutup...

Berbekal peta tube, dan informasi secuil, aku -- yang bernungkus dua setelan jaket dan dua helai kaos lengan panjang di dalamnya -- pun mendatangi stasiun kereta Tower Gateway, tak jauh dari bekas kastil Tower of London. Dari stasiun itu, aku naik kereta Docksland ke arah Westferry, dan ganti kereta lagi ke arah Lewisham, dan turun di Greenwich...

Layaknya sebuah wilayah yang banyak didatangi turis, maka di jalanan banyak kutemui orang-orang berbondong ke arah yang sama. Ini sungguh menguntungkan buat diriku, yang belum paham arah dan jalan menuju ke sana. Dan ketika gerimis sore mulai mengguyur Greenwich, aku menemukan kebaikan seorang perempuan setengah baya yang berambut pirang, yang bersedia mengantar sampai aku dapat "menemukan" tempat yang kutuju -- sebuah taman yang luas itu tadi...

Dan berlomba dengan waktu, dan sengatan udara dingin, aku pun menaiki taman berbukit (yang hampir semua pepohonannya beku, basah tanpa daun), berlawanan arah dari ratusan turis yang hendak turun. "Kalau di musim semi, atau musim panas, banyak orang mendatangi taman itu, Fan.. asyik sekali buat piknik," cerita Endang, temanku itu).

***

WALAUPUN tinggal sekitar 20 menit sebelum ditutup, puluhan turis masih banyak kujumpai di atas bukit itu. Hujan gerimis yang membasahi Greenwich, tak pula menyurutkan mereka "menikmati" (misalnya dengan foto bersama) pada pusat garis khayal pembagian waktu itu -- yang membagi dunia menjadi dua bagian, sebelah barat garis bujur barat 00, disebut bujur barat dan sebelah timur garis bujur 00 disebut bujur timur...

Seperti diketahui, apa yang kulihat di atas bukit itu, di sebuah sudut bangunan bernama Royal Observatory Greenwich itu, orang-orang di belahan dunia lain kemudian mendasari perhitungan waktunya sejak tahun 1884...

Selain menampilkan aneka ragam terkait dengan pembagian waktu, di dalam bangunan itu turis juga memperoleh hal lain. Selain informasi perihal astronomi, musium waktu berikut "maknanya" (saya lantas teringat, seloroh seorang teman: jika ingin punya waktu yang tepat, jangan lupa cocokkan jam-mu di Greenwich..), orang-orang dapat juga mengunjungi planetarium di komplek bangunan itu...

Para pengelola tempat wisata itu juga membuka semacam ruangan cinderamata. Mulai kartu pos, kaos tshirt, hingga gantungan kunci seputar tempat itu, dapat diperoleh di sana...

Namun sayang karena keterbatasan waktu, aku tak sempat mendatangi Musium Nasional Maritim, yang letaknya satu komplek di dalam taman itu. Saya akhirnya cuma sempat melongok dari luar pagar tinggi berwarna putih, membayangkan apa yang ada di dalamnya, sementara waktu berjalan terus...

***

SETELAH keluar dari areal 'gedung waktu' dan turun menuruni taman nan luas itu (aku sempat memergoki dua sejoli tengah bermesraan di bawah pohon, seraya berpayung..), aku keliling di sejumlah ruas jalan di sudut kota Greenwich. Seorang teman mengatakan, "Greenwich itu seperti kota yang berdiri sendiri, walau lokasinya tak jauh dari London." Ada benarnya juga, kupikir.

Betapa tidak. Selain banyak kutemui restoran di sana, adapula toko buku (namanya Waterstone, yang bisa membuat aku berlama-lama di sana), dan pasar yang menjual aneka cinderamata -- saya sempatkan masuk ke pasar tradisional itu. Di sini juga berseliweran bus double decker warna merah, yang bisa ke sejumlah jurusan -- tapi kuputusan tak naik bus warna merah itu, karena takut kesasar...

Dan sementara langit Greenwich makin mendekati biru tua, aku pun merasakan lapar -- yang tak terkira. Kucoba keliling jalan-jalan di sekitar itu, akhirnya kutemukan restoran China, yang sepertinya menjual mie kuah -- sebuah makanan yang kusuka, dan kujadikan alternatif selama di London, sekaligus obat rindu kepada Jakarta. Nama restorannya "Tai Won Mein". Kupesan mie kuah, dengan isi daging bebek...

Kenyang dan puas, aku seorang diri akhirnya meninggalkan Greenwich, dengan masih diantar gerimis kota itu. Kembali mendatangi stasiun tube, aku naik kereta yang sama, tapi mengarah dan turun di stasiun Bank. Di dalam gerbong yang sepi, aku berhadap-hadapan dengan 4 orang turis asal Spanyol, yang masih belia..

Dari Bank, aku pindah ke Centre Line menuju Queensway, stasiun terakhirku. Langit London berganti gelap, tetapi kehidupan di daerah itu justru masih belum terlelap. Dengan letih yang tersisa, dan dingin yang masih mendekap, aku tak menyia-nyiakan kehangatan kamarku di lantai atas, di penginapan tempatku di kawasan Bayswater. Kukenakan segera kaos kaki, dan kusembunyi di balik selimut, setelah membersihkan badan. Kulihat jarum jam di arlojiku menunjuk pukul 19.30 Waktu Greenwich Mean Time, atau GMT.. ***

Apr 16, 2008

Membayangkan bakwan jagung di Birmingham..




KETIKA kenangan terhadap sebuah kota bernama Birmingham (di Inggris, sekitar dua jam naik kereta api dari London) muncul di benak, aku selalu teringat "bakwan jagung". Makanan campuran tepung dan butiran jagung yang digoreng itu kubayangkan, ketika aku kesulitan menemukan makanan yang pas saat tinggal sepekan di kota Birmingham, awal Maret 2008 lalu.

Kenapa bakwan jagung berulangkali muncul di bayanganku saat itu, tentu ada kisah di baliknya. Ceritanya begini. Di tahun 2004, tepatnya di bulan Februari yang udaranya masih kurasakan beku, aku diajak temanku, Anton Alifandi ke Birmingham -- dengan mengendarai mobil pribadinya. Bersama temannya, seorang redaktur Harian The Jakarta Post (maaf, aku lupa namanya) yang tengah sekolah di Birmingham, kami pun melewati jalan tol menuju arah utara daratan Inggris.

Melewati kawasan pedesaan di sepanjang jalan tol, panorama itu kemudian berubah, ketika mobil memasuki wilayah Birmingham. Cerobong asap, atap pabrik yang terlihat di kejauhan, menggantikannya. "Birmingham memang kawasan industri, dan jangan kaget banyak dijumpai imigran India, China di sini," kata Anton, saat itu.

Lebih dari dua jam perjalanan, seingatku mobil tak sampai masuk ke sudut tengah kota Birmingham. Udara dingin masih kurasakan, walau mobil Anton menyediakan mesin penghangat -- maklumlah, Ton, kawanmu ini dibesarkan di negeri yang kaya sinar matahari...

Perjalanan ke Birmingham ini, memang untuk mengantarkan wartawan The Jakarta Post itu, ke tempat tinggalnya. Aku lupa nama wilayahnya, tetapi seingatku, kediamannya seperti rumah kebanyakan di London: rumah berlantai dua, berdinding bata merah marun atau ke-oranye-an, degan cerobong asap di atasnya. Di dalam rumah itulah, "kehangatan" kutemukan. Tuan rumah, istri teman Anton itu tadi, ternyata adalah adik kelasku saat kuliah di kota Malang -- kami lantas sedikit bernostalgia.

Tak lama berselang, sebuah hidangan pun disajikan sang tuan rumah: bakwan jagung yang baru saja dientas dari penggorengan! Asapnya masih mengepul! Lalu, disusul kemudian sayur di dalam mangkok (aku lupa apa nama persis sayuran berkuah itu), kemudian selanjutnya adalah nasi putih panas. "Ya, ampun," benakku teriak kegirangan, saat itu.

Tak sampai setengah jam, makanan itu sudah masuk perutku. Aku tak begitu ingat apa reaksi Anton kala itu, tapi -- meski tak terucap -- sepertinya kami berdua sepakat: sajian itu dahsyat sekali dikonsumsi saat perut kami keroncongan disamun angin utara yang membuat aku mengigil itu...

(Dan bakwan jagung yang baru dientas dari penggorengan itu, yang masih mengepul asapnya, terus kubayangkan, sampai aku mendatangi kembali ke Birmingham, bulan Maret 2008 lalu, seorang diri, tetapi tetap masih dibekap udara dingin...).

***
SAYA begitu bersemangat, ketika mengetahui bakal naik kereta api dari London ke Birmingham. Kubayangkan di perjalanan itu, dari balik jendela yang lebar, aku bisa menikmati kesunyian pedesaan di pedalaman, perbukitan yang maha luas, langit biru, serta rumah-rumah bata merah dengan cerobong asapnya. Juga sapi, stasiun-stasiun kecil, dan wajah-wajah pucat sebagian penduduknya.

Dan saatnya pun tiba, Selasa pagi yang beku, 4 Maret lalu. Namun saat tiba di Stasiun Euston, aku sempat bingung cara melihat jadwal pemberangkatan kereta, yang belum pernah kualami sebelumnya. (Rupanya jadwal itu keluar, beberapa menit sebelum kereta berangkat -- sekitar pukul 11.05 GMT, barulah nomor platform 10 akhirnya keluar!)

Sejurus kemudian, para calon penumpang lantas bergerak cepat, ke arah kereta berbentuk seperti peluru. Kuikuti pula langkah mereka yang lebar-lebar, menuju kereta yang luarnya berawrna merah-kuning itu. Dan dengan tiket di tangan (yang dipesankan kantor), aku cari gerbong D, dan segera naik kereta bernama "Virgin"...

"Nyaman juga suasana di dalamnya," benakku berucap, seraya membayangkan pemandangan dari jendela yang bakal kulihat. Namun posisi tempat dudukku, ternyata kurang nyaman: kursiku tidak persis di tengah jendela...

***

"KETIMBANG London, suhu Birmingham lebih dingin, dan berangin. Maklum kan lebih ke utara," beberapa temanku sudah mengingatkanku, sebelum keberangkatan ini. "Dan jangan lupa: jangan terlambat makan," kata seniorku yang lain, seraya menyebut beberapa restoran Asia di Birmingham, yang bisa kudatangi. Aku mengiyakan semua nasihat ini, tapi toh nantinya aku kesulitan dengan makanan di kota itu, dan akhirnya jatuh sakit...

Demam, panas-dingin, begitulah yang kurasakan, semenjak hari kedua tinggal di Birmingham. Di kota ini, aku tengah bertugas meliput kejuaraan bulutangkis All England -- sejumlah atlit bulutangkis Indonesia ikut bertanding dalam kejuaraan perorangan ini. Dipaksa situasi, aku memaksa diri untuk makan tepat waktu. (padahal, aku selalu tak bernafsu makan jika badan didera sakit). Apapun yang ada, termasuk roti setengah bulat, yang atasnya diolesi pemanis warna putih, dan diberi cap "All England", pun kulahap..

Obat Paracetamol yang direkomendasikan kawanku Susilo, juga ketelan, seraya mencuri-curi waktu untuk tidur sejenak -- akibat obat itu. Dalam kondisi seperti ini, aku baru sadar: betapa sengsaranya hidup sendiri di negeri orang saat sakit mendera. Tapi demam itu akhirnya berangsur meredah. Dalam 2 hari, rasa meriang itu berangsur-angsur hilang. Di sinilah kemudian bakwan jagung yang baru dientas dari penggorengan itu, kembali membayang...

***
AKU selama sepekan (4 sampai 10 Maret 2008) menginap di Hotel Norfolk, yang terletak di sebuah jalan nan sepi agak menanjak -- "suasananya, mengingatkan kawasan Dago atas di Bandung, tapi minus angkot dan factory outlet," ucapku. Bangunan hotel yang sebagian besar pegawainya adalah imigran dari India, Pakistan, serta Eropa Timur ini, dindingnya terbuat dari bata warna jingga- kecoklatan.

Kamarku terletak di lantai dua, satu kamar tidur dan kamar mandi di dalam, lengkap pemanas ruangan dan televisi berukuran kecil. Ada jendela yang bisa dibuka di sisinya, di mana aku bisa melihat rumah-rumah di samping. Sekali waktu, aku iseng berjalan menelusuri jalan kecil di sebelah hotel, karena dari kejauhan kulihat bangunan gereja kecil beraksitektur lama -- yang bentuk dan suasana di sekitarnya mengingatkanku pada masa kanak-kanakku di Palembang).

**
DEMAM redah pada akhirnya, tetapi persoalan yang menimpaku tak beranjak sudah. Pada malam yang larut, usai meliput momen kejuaraan bulutangkis All England di gedung olahraga INA , aku berencana naik bus yang disediakan panitia. Lantaran takut dtinggal, aku mengencangkan lariku, sementara beban berat pada tas punggungku seperti tak tertahan. Melewati tangga menurun, kaki kananku terlalu cepat melangkah, dan bunyi "kraak!" terdengar. Bunyi itu berasal dari pergelangan kaki kananku. Ya, ampun sakitnya! Aku sempat beberapa detik tertelungkup, menahan sakit, sampai seorang ibu tua mendekatiku dan berkata "apakah kamu baik-baik saja?" Kujawab pelan ya, dan aku berupaya bangkit, walau pergelangan kaki itu kemudian membengkak. Di sini aku memarahi diriku sendiri, dan menahan tangis dalam diam...

Dengan jalan terseok, aku pun menaiki bus itu, bersama rombongan pemain Indonesia. Aku berpikir, alangkah baiknya kakiku dipijat, mungkin keseleo. Aku juga berpikir, barangkali ada ahli pijat yang ikut rombongan tim bulutangkis Indonesia. Tapi, "Pak Giat (tukang pijatnya) sudah balik ke hotel. Besok saja ketemu dia," kata salah-seorang pemain Indonesia. (Esok harinya, aku akhirnya bertemu tukang pijat itu, dan sekali pijat aku bisa berjalan normal, walau bengkaknya masih terlihat..)

***
TENTU saja, di luar kisah bakwan jagung, bunyi "kraak", serta demam itu, aku berusaha menikmati segala hal yang kualami, atau kusaksikan, selama aku tinggal sepekan di kota Birmingham. Satu diantaranya adalah pengalamanku tersesat, karena keliru naik bus kota. Ini terjadi malam hari, 8 Maret lalu, sekitar pukul 9 malam waktu setempat.

"Sorry, ini terminal terakhir. Anda tampaknya salah naik bus," kata sopir bus yang kunaiki itu. Aku setengah panik, dan mulut kemudian tergetar,"Lalu kemana saya harus pergi?" Pak tua yang berseragam ini, dengan tenang kemudian berkata. "Tunggu saja di halte di depan itu, nanti ada bus nomor.. (maaf aku lupa) yang mengarah ke hotel tempatmu tinggal. Sopirnya akan saya beritahu.."

Saya lega mendengarnya, walaupun tak sepenuhnya percaya. Dan cukup lama menunggu, seraya menahan dingin malam, aku kemudian berpikir macam-macam, dengan sedikit frustasi. Tiba-tiba ada bus berhenti, dengan nomor bus yang dijanjikan semula. Tapi aku ragu-ragu. Namun sejurus kemudian, sopir bus itu turun, dan mencari seseorang. "Ada yang mau ke arah Hotel Norfolk?" Hatiku berbunga-bunga mendengarnya....

Kisah lainnya? Tentu saja kunjunganku ke sejumlah tempat atau ikon di sepenggal kota Birmingham. Kusebut sepenggal, karena dalam sepekan itu, jalur yang kulalui hanyalah jalan dari hotel tempatku tinggal menuju gedung olahraga tempat kejuaraan bulutangkis digelar. Kecuali, jalur saat aku keluar dari stasiun kereta api Birmingham ke hotel, atau sebaliknya...

Selain gereja tua bernama Saint Augustine itu, kusempatkan mendatangi salah-satu pusat belanja kota Birmingham, yang disebut Bullring -- di salah-satu sudutnya berdiri kokoh patung besi banteng, yang acap dijadikan obyek foto para turis. Lokasinya tak jauh dari gedung olahraga itu. Tinggal jalan kaki, melintasi sebuah taman, gedung teater "The Rep" dan bangunan "War Memorial" (berbentuk kubah).

Di komplek pertokoan itu, ada pertokoan yang menjual barang mewah, hingga barang kaki lima. Nah, tak jauh dari patung bullring itu, berdiri gereja kuno -- aku lupa namanya, mungkin Saint Martin. Di dekat gereja itu, berdiri bangunan "postmo", menyempal, yang bernama The Selfridges. Bangunan mirip amuba ini berdiri berhadap-hadapan dengan gereja itu tadi.

Nah, di dekat gedung olahraga itu tadi, ada ikon kota Birmingham yang sungguh terkenal, yaitu aliran kanal -- yang mulai dibangun tahun 1820-an. Aku paling menikmati saat berjalan di sisi kanal ini, sebelum dan sesudah liputan di gedung tersebut. Yang menarik, kanal itu betul-betul diberdayakan, sehingga sangat atraktif bagi turis -- misalnya di sekitar gedung olahraga itu berdiri komplek bernama "Brindleyplace", yang menyediakan restoran dan pusat aktivitas macam-macam.

Lebih dari itu, kanalnya juga diberdayakan. Di atasnya masih melaju perahu yang disulap jadi restoran, atau perahu pos. Burung dan unggas juga dibiarkan bermain di atasnya. Dan satu lagi, kanal dan di sekitarnya, sungguh bersih..

Dari kanal ini, di sebelah kirinya berdiri sebuah lapangan terbuka. Ada gedung teater "The Rep" dan "war memorial" itu tadi. Dari sini, aku biasanya melangkah ke sebuah mal, yang banyak berdiri restoran. Favoritku adalah restoran Nando's -- gabungan afrika-portugis, yang menjual ayam goreng atau panggang dengan bumbu pedas yang khas...

Melewati bangunan itu, terhamparlah ikon kota Birmingham lainnya, yaitu "Victoria Square". Di dalamnya ada "Birmingham Musium and Art Gallery" dan gedung pemerintahan kota itu, serta sebuah patung seorang lelaki tengah duduk -- aku lupa siapa jati diri dia.

Walaupun tak seluas British Museum, lumayan juga menikmati beberapa koleksi seni klasik atau moderen di dalam musium itu. Dan kunjungan ini, tentu di sela-sela liputan pertandingan bulutangkis itu. Ini artinya, aku praktis tak banyak waktu -- "yang penting, aku mendatanginya, dan mengambil gambar," kataku, saat itu.

Dan setelah Minggu malam, Birmingham diguyur hujan deras yang berangin kencang, aku akhirnya harus meninggalkan kota itu, esok harinya (10 Maret). Agak bangun kesiangan, dan mengobrol panjang dengan wartawan asal Malaysia (kami diskusi ihwal Anwar Ibrahim), dan sarapan, aku harus berlomba dengan waktu -- agar tak terlambat naik kereta balik ke London.

"Jangan khawatir, aku tahu jalan alternatif, ke arah stasiun," sopir taksi berjenggot asal Pakistan itu, adalah dewa penyelamatku, pada pagi yang macet itu. Dalam waktu setengah jam, aku sampai juga di stasiun, berlari kencang, dan naik kereta "Virgin" warna merah yang penuh oleh penumpang itu. Selamat tinggal Birmingham! ***

Apr 15, 2008

Sempatkan melamun di Taman Kensington..(3)




APA yang kau lakukan di sebuah taman seluas lebih dari seratus hektar, dimana kau bisa melihat angsa putih berkecipak pada hamparan kolam, "koak-koak" burung gagak di pucuk pohon oak tanpa daun, serta rerumputan basah karena gerimis musim dingin?

Jawabanku adalah sebuah kalimat yang selalu terngiang di telingaku, kapan dan di manapun: "Sempatkan melamun barang semenit, walau pun kau sibuk dalam setiap harinya." Kalimat bernada puitis ini diutarakan kawanku, seorang penyair-wartawan asal Bali, I Made 'Ole' Adnyana, beberapa tahun silam.

Dan kalimat ini terngiang kembali, saat kakiku memasuki taman nan luas itu tadi, pada Maret lalu. Lokasinya memang di pusat kota London, sebuah kota yang memanjakan siapapun yang datang ke kota itu, dengan taman-tamannya yang meneduhkan hati. Taman itu, yang letaknya berdampingan dengan taman Hyde Park, adalah Kensington Gardens -- letaknya di London bagian barat, di samping Jalan Bayswater Road, atau Kensington Road di sisi lainnya.

Dua bulan lalu, di tengah udara musim dingin, saya setidaknya tiga kali berputar-putar di jalan-jalan melingkar di taman itu, seraya -- tentu saja, ehm -- "melamun"...

***
SUASANA hening itu merayap pelan, menggantikan deru mobil pagi di jalan raya yang kutinggalkan. Gedung-gedung lantas digantikan pemandangan yang kontras: hamparan rumput, orang-orang lalu lalang (sebagian membawa anjing, seraya berolahraga) dan sebuah bangunan kuno -- yang belakangan kuketahui sebagai istana yang pernah ditempati mendiang Lady Diana dan Ratu Victoria (1819-1901) di masa mudanya. Dari tempatku tinggal di kawasan Bayswater (aku tinggal di sini selama penugasan selama satu bulan), tidak membutuhkan tenaga berlebih untuk mencapainya -- cuma membutuhkan kurang dari 15 menit.

Dari pintu masuk dari arah Basywater, mataku langsung tertuju sebuah lokasi bermain untuk anak-anak (namanya Memorial Playground) dan sebuah cafe. Tempat yang disebut pertama ternyata adalah bagian dari sekolah taman kanak-kanak, tempat Lady Diana dulu mengajar.

Rupanya, berbagai situs yang terkait dengan mantan istri Pangeran Charles itu, termasuk istana yang kusebut di awal, kini dimunculkan kembali -- barangkali sebagai bentuk kecintaan sebagian warga kota itu.

Dan sekarang, lokasi ini dijadikan salah-satu tempat wisata yang acap dikunjungi turis yang berkunjung ke London. Hampir setiap hari, misalnya, saya yang selalu melewati jalan di samping taman, acap melihat sejumlah bis turis diparkir tak jauh dari taman. Saya juga menemukan sebuah brosur yang menawarkan kunjungan ke Istana Kensington beserta tamannya, dengan potret diri Lady Diana dan Ratu Victoria.

Di dalam taman yang gampang dijumpai burung gagak hitam (dengan suaranya yang khas), terdapat pula belasan jalan setapak, yang akhirnya terhubung satu-sama lain. Sejumlah ruas jalan itu disebut-sebut acap dilalui Lady Diana, sehingga di sana didirikan pula semacam prasasti berbentuk lingkaran -- terbuat dari besi dan ditanam di jalan itu juga.

Tak jauh dari sekolah itu, berdirilah Istana Kensington, serta sebuah restoran mewah bernama Orangery. Bangunan istana itu secara fisik tidak terlihat sebagai istana yang acap kulihat pada kisah-kisah kerajaan ala HC Andersen. Walaupun begitu, ada taman yang ditumbuhi pepohonan yang sudah ditata, yang begitu menawan. (Istana ini sebetulnya terbuka untuk umum, dengan membayar sekian poundsterling).

Dan di depan bangunan itu tadi, yang menghadap ke kolam, berdiri patung ratu Victoria dengan pose duduk seraya memegang tongkat -- ini salah-satu tempat favorit para turis untuk mengambil gambar.

Dan berjalan ke arah tengah taman itu, terlihatlah sebuah kolam air. Paling nikmat duduk di sini (ada puluhan kursi kayu atau besi), seraya menghabiskan waktu, menikmati belasan angsa putih 'berdansa' dengan anggunnya. Beberapa kali mengunjungi taman ini, saya biasanya mengakhirinya di pinggiran kolam ini...

***
DI BAGIAN lain taman itu, dari sisi Jalan Kensington Road, berdiri sebuah patung yang dikenal sebagai Albert Memorial. Monumen ini disebutkan sebagai penghargaan Ratu Victoria bagi mendiang suaminya, Pangeran Albert yang meninggal 1861. Di depan patung itu, berdiri dengan anggunnya gedung pertunjukan Royal Albert Hall, yang berbentuk setengah bulatan. Diresmikan pada tahun 1871, gedung itu akhirnya menjadi tempat pagelaran berbagai kegiatan seni, termasuk konser rock, sejak tahun 1941.

Ada sejumlah situs lainnya di dalam taman itu. Salah-satunya adalah patung perunggu Peter Pan (dibangun tahun 1912), yang digambarkan tengah meniup seruling. Saya selalu menyesal tidak mengunjungi patung ini, walau beberapa kali mengelilingi taman ini -- mungkin tempatnya yang terlalu ke dalam, lebih mendekati Hyde Park, sebuah taman lainnya di samping Kensington Gardes.

Tapi saya bersyukur mendatangi sebuah situs lain yang kuanggap tak kalah indah pula. Bangunan itu terletak di ujung taman, dekat monumen berupa pintu gerbang berskala raksasa, bernama Lancaster Gate. Nama yang dilekatkan pada bangunan seperti gazebo berukuran besar itu adalah Italian Gardens. Tempat ini juga merupakan salah-satu tempat favorit para turis dari luar kota London...

Apr 14, 2008

Perjalanan ke London itu

TITIK-TITIK kecil berwarna kuning itu makin terlihat menyala di lautan serba hitam, yang kulihat dari jendela pesawat.

Dan seiring pesawatku menukik turun perlahan, lamat-lamat ribuan titik tersebut berubah makin jelas sosoknya: cahaya lampu di cakrawala Jakarta, yang seolah menebarkan salam selamat datang.

Kemudian, lautan hitam yang sebagian riaknya dihiasi warna keperakan, akhirnya berganti menjadi daratan, yang memantulkan cahaya lampu itu tadi, di atasnya. Sensasi keindahan itu pun kurasakan.

Tapi, seperti dikatakan banyak orang, keindahan panorama itu hanyalah faktor kedua sebagai pelatuk rasa bahagiaku saat pesawat jelang mendarat. Yang utama, demikian kata orang-orang itu, adalah kegairahan jiwaku dalam menjalani apa yang disebut sebagai "konsep pulang".  

"Kita segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta… Hari Selasa, 1 April 2008, suhu di bawah berkisar antara 27 dan 31 derajat celcius...." Suara awak pesawat itu membuat rinduku makin tak tertahan, seiring jam tanganku menunjuk pukul 8 malam kurang 20 menit waktu Singapura, atau satu jam lebih cepat ketimbang Waktu Indonesia bagian Barat.

Saat-saat itulah perasaan aneh itu muncul, dan aku akhirnya bisa berujar lega, "saya akhirnya pulang..."

***

PERJALANAN pulang, seperti diutarakan para pengelana, hampir selalu tidak sedahsyat seperti di awal perjalanan. Tapi kali ini kasusku berbeda, tampaknya, saat kutinggalkan kota London, pada 31 Maret lalu, setelah kurang-lebih satu bulan tinggal dan merasakan dari dekat sosiologi kota yang acap bergerimis itu.

Sensasi "ingin cepat segera tiba di Jakarta", dan disesaki rasa rindu yang meluap, itulah yang membayangi perjalanan melelahkan hampir 22 jam dari London ke Jakarta.  

Akibat dibayangi atmosfir seperti itu, daya konsentrasiku tak sepenuhnya berjalan baik pagi itu, ketika kakiku masuk taksi, beberapa detik sebelum meninggalkan rumah penginapan milik kantorku, di kawasan Bayswater. Ditawari dicarikan taksi oleh pengelola penginapan (seorang perempuan setengah baya berambut kecoklatan, yang kusapa "Hello Wendy", kutolak secara halus -- mental tak suka merepotkan orang lain itu, rupanya sulit hilang, dan terkadang justru membuat aku repot sendiri).

Tapi aku akhirnya memilih mencari sendiri taksi itu. Celakanya, tak gampang menemukan taksi kosong di pagi yang mulai sibuk. Sedikit mengumpat, dengan jalan tergesa, akhirnya kudapatkan taksi kosong di seberang stasiun tube Queensway, selang beberapa menit, sementara waktu berjalan terus.

Dua kopor besar, satu tas punggung, serta sebuah tabung karton (berisi poster, yang kemudian tertinggal dan hilang di bandara Heathrow) pun menemaniku menuju Stasiun kereta Paddington -- sebelum melaju dengan kereta Heathrow Express menuju bandara. "Anda berasal dari mana? Hendak pulang ya?" sopir taksi itu mencoba membunuh pagi yang beku itu. Tapi pikiranku justru melayang-layang, mencoba merekonstruksi ulang perjalanan ini, satu bulan lalu...

***

DIHADAPKAN pada jarak budaya, iklim, dan barangkali bahasa, aku tiba di London, tanggal 2 Maret silam. Di bawah langit siang yang tak berwarna, di sepanjang perjalanan dari bandara ke penginapan milik kantorku, aku coba menyerap semua yang kulihat -- dan kuabadikan sebagian dengan kamera poketku, dengan alasan logis "sebuah gambar (potret) bisa mewakili seribu kata".

Tapi, tidak berhenti sampai di situ, aku juga berupaya selalu berfikir terbuka terhadap apa saja yang "dilahirkan" kota ini, dan menyerapnya -- walaupun awalnya agak sedikit syok! Mulai cara berpikir, sikap agnostik, sikap altruisme, gaya hidup urban, dan keragaman etnis, hingga masalah rasial. Semua keserap, dan kuenyahkan jauh-jauh keinginan untuk menilai, atau bersikap, atas segala yang terjadi di sana. Akhirnya, adalah "bagaimana menjalani hidup," begitu kata Albert Camus, sastrawan-filosof eksistensialis Perancis, "dan bukan lagi soal bagaimana berfikir."

Orang-orang yang tak paham bisa saja mengatakan: aku tak punya sikap. Namun itulah yang terjadi. Terkadang, menurutku tidak dibutuhkan sikap untuk menjalani sebuah kehidupan, di tengah kepungan informasi yang tidak sepenuhnya bisa kurengkuh untuk dipahami. Bukankah dengan tidak memilih itu juga sebuah sikap?  

Kusebut "aku tak punya sikap", kuambil contoh dari atmosfir kental yang mewarnai perjalanan ini, di mana isu terorisme, Islam dan barat, habis-habisan sungguh menyita dan menguras energi. Di bandara Heathrow, saat saya pertama kali menjejakkan kaki di London, pemandangan itu langsung menyergapku: setiap penumpang wajib melepas sepatu dan diperiksa ketat. Tapi toh aku melakoninya dengan sadar, tanpa ada pertanyaan.

Belum lagi pengalamanku berurusan dengan polisi London, dua pekan setelah tinggal di kota itu, gara-gara hobiku memotret. Segala identitasku dicatat -- toh, aku bisa menertawakan diri-sendiri dan polisi itu akhirnya berkata "anda lelaki baik, dan selamat jalan ya." 

Barangkali ini yang disebut sebagai perasaan skeptis, yang berujung apatis. Tidak mau tahu apa yang terjadi di sekeliling. Walaupun, saya sadar, informasi itu hampir selalu tersaji saban hari, sebagai konsekuen dari profesi yang kusandang. Ada memang perasaan gelisah, bertanya-tanya, lalu mungkin sedih dan amuk, tapi setelah itu, ya, sudah. Tidak ada lanjutannya, lupa, karena ada peristiwa lainnya yang muncul. Terus begitu, setiap hari, jam atau menit.

***

NAMUN toh hidup berjalan terus, dan kota London bukanlah semata-mata untuk "difikirkan", tapi juga "dinikmati" dan dijelajahi -- dengan rasa, tidak melulu dengan pikiran. Itulah sebabnya, sejak awal tiba di kota ini sampai detik-detik pesawatku meninggalkannya, semua yang kujumpai, kudengar, dan kurasakan, dengan segala daya yang ada, kunikmati sepenuhnya.

Di suatu pagi yang bersalju, misalnya, saya begitu syahdu saat lonceng gereja di belakang kamar yang kutinggali berdentang. Juga tatkala berjalan sendiri di Taman Kensington, masih di kawasan Bayswater, pada dingin yang menusuk, kubiarkan lamunan itu memenuhi otakku -- saya biasanya teringat sebuah kisah yang dirajut penyair Rabindranath Tagore yang melalui tokohnya "lebih memilih menjadi tukang kebun ketimbang politisi atau hartawan".

Atau, kubiarkan rasa melankoli itu berkibar-kibar, saat perasaan sepi itu menyelinap di antara deru kereta bawah tanah (tube, begitu disebut) dan hilir-mudik warga London yang berwajah pucat dan berjaket gelap. Atau, aku menangis tanpa air mata saat kakiku terkilir (dan bengkak), serta terserang demam di Birmingham, ketika tuntutan kerja ada di hadapan mata. Atau, aku tertawa gembira di saat menemukan restoran China yang menyajikan menu mie berkuah -- sebuah menu yang begitu nikmat disantap saat langit London berubah gelap. Atau, aku begitu syok saat seorang lelaki Inggris yang duduk di sampingku di atas pesawat menuju London secara tiba-tiba bertanya "apakah kau punya istri simpanan?". Atau, ketika aku terkagum-kagum saat masuk toko buku atau musium di kota ini yang begitu lengkap koleksinya...  

***

"WALID pulang!" Kalimat ini terlontar dari mulutnya yang mungil, saat aku dan istriku memarkir mobil di halaman rumah. Suara itu menyelinap dan memecah sisa-sisa rasa sepiku. Dan suara langkah kakinya semakin jelas terdengar, disusul suara anak kunci, dan sebuah wajah dari balik tirai. Kulihat rambutnya sudah lebat sepundak, tapi tawanya tidak berubah. Matanya tetap jernih.

Dan ketika pintu terbuka, kugendong dia. "Walid datang," ulangnya lagi. Kakinya lincah bergerak ke sana-kemari, seperti salah-tingkah. Mataku menjadi berkaca-kaca, dan aku pun ikut salah-tingkah. Rupanya benar kata istri temanku yang berkata "siap-siap saja kalau anakmu agak bersikap aneh saat kepulanganmu ini."

Dan sambil kuangkat barang-barang, tangannya terus berupaya menggelayut ke lenganku. Bola matanya yang coklat seperti berputar-putar melihatku dan pada tiga buah tas yang kubawa. Selang beberapa menit, seperti mudah ditebak, kalimat itu akhirnya keluar juga dari anakku, Aida, "Ayo, Lid, dimana oleh-oleh untuk Aida.." ***

Perjalanan ke London itu

TITIK-TITIK kecil berwarna kuning itu makin terlihat menyala di lautan serba hitam, yang kulihat dari jendela pesawat.
Dan seiring pesawatku menukik turun perlahan, lamat-lamat ribuan titik tersebut berubah makin jelas sosoknya: cahaya lampu di cakrawala Jakarta, yang seolah menebarkan salam selamat datang.
Kemudian, lautan hitam yang sebagian riaknya dihiasi warna keperakan, akhirnya berganti menjadi daratan, yang memantulkan cahaya lampu itu tadi, di atasnya. Sensasi keindahan itu pun kurasakan.
Tapi, seperti dikatakan banyak orang, keindahan panorama itu hanyalah faktor kedua sebagai pelatuk rasa bahagiaku saat pesawat jelang mendarat. Yang utama, demikian kata orang-orang itu, adalah kegairahan jiwaku dalam menjalani apa yang disebut sebagai "konsep pulang".
"Kita segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta… Hari Selasa, 1 April 2008, suhu di bawah berkisar antara 27 dan 31 derajat celcius...." Suara awak pesawat itu membuat rinduku makin tak tertahan, seiring jam tanganku menunjuk pukul 8 malam kurang 20 menit waktu Singapura, atau satu jam lebih cepat ketimbang Waktu Indonesia bagian Barat.
Saat-saat itulah perasaan aneh itu muncul, dan aku akhirnya bisa berujar lega, "saya akhirnya pulang..."