May 28, 2008

Kliping sepakbola, kegilaan itu...

KEGILAAN terhadap sesuatu yang berbau sepakbola itu tidak berangsur hilang, walaupun usia terus digerus waktu. Dan sekarang, tanda-tanda kerasukan itu kembali kurasakan, dua pekan menjelang pembukaan kejuaraan sepakbola antar negara-negara Eropa, awal Juni nanti.

Wujud kegilaan itu bisa macam-macam, tetapi salah-satu diantaranya adalah mengumpulkan dan menempel guntingan berita dan foto kejuaraan itu dari koran atau majalah -- mengkliping, begitulah nama lainnya. Sebuah kegiatan yang kusebut menyerupai hobi kegiatan seni, yang  sulit kuenyahkan tatkala memasuki momen seperti kejuaraan Eropa itu atau peristiwa akbar Piala Dunia...

Kadar kegilaan itu sekarang memang tidak seperti dulu, yang begitu menggebu. Kini saya tampaknya lebih realistis, lantaran kesibukan dan ada kehidupan lain yang lebih penting. Apalagi, sekarang ada kemudahan untuk mengakses internet (yang menyediakan data lengkap), serta banyak tersedianya media cetak yang memuat kejuaraan sepakbola itu.

Tapi kalau dikatakan hasrat hobi itu kemudian hilang, tentu saja tidak. Pada bulan lalu, misalnya, sebuah majalah sepakbola yang memuat persiapan kejuaraan itu sudah ada di tangan. Berita-berita seputar perhelatan sepakbola terbesar setelah Piala Dunia itu, juga kubaca habis setiap harinya. Namun apa penyebab kenapa kegilaan itu tak juga sirna?

***
SAYA tahu persis, kapan kegilaan berbau seni ini mulai menjangkitiku. Kejadiannya sudah berlangsung sekitar 30 tahun silam, tepatnya tahun 1978, ketika aku duduk di bangku klas 4 sekolah dasar -- saat aku mulai menyukai cabang olahraga tersebut. Kala itu, aku masih ingat, sebagian anak-anak di tempat tinggalku di kawasan Kauman, Malang, dihipnotis seorang lelaki gondrong yang mengenakan kostim garis biru-putih, dan ahli menggiring bola, serta mencetak gol. (Semula saya tidak tahu persis warna kostimnya, karena saat itu televisi di rumahku dan milik warga di sekitar rumahku masih hitam-putih).

Dialah bintang sepakbola Argentina, Mario Kempes, yang akhirnya ditahbiskan sebagai pemain terbaik dan pencetak gol pada kejuaraan Piala Dunia 1978, di Argentina. Dan mirip dengan yang terjadi pada pesepakbola zaman sekarang seperti David Bechkam atau Cristiano Ronaldo, atau Kaka, yang dikagumi anak-anak muda, Kempes saat itu pun dijadikan idola -- kendatipun, saya dulu begitu asing dengan nama Kempes, dan selalu heran "kok ada nama orang Kempes, seperti ban kempes saja...".

Itulah sebabnya, saya dan kakak lelaki pun memiliki kaos bergaris-garis (dibelikan ibuku), tetapi dengan garis hijau-putih, mirip yang dikenakan Kempes.

Saat-saat itulah waktu bermainku habis untuk bermain sepakbola di alun-alun kota Malang, di depan Masjid Jami, sampai akhirnya seorang temanku di klas 5, bernama Happy Andrean (yang juga menggilai bermain sepakbola) memberiku beberapa lembar gambar pemain sepakbola-- seingatku digunting dari majalah olahraga Olimpik atau Prestasi (aku lupa persisnya, tetapi dua majalah itu yang kuingat acap mengulas sepakbola dunia).

"Ini untuk kamu, Fan," begitu kurang-lebih kalimat Happy yang diucapkannya di tahun 1979. Perawakan Happy tinggi besar, paras dan fisiknya mirip legenda pesepakbola Belanda, Johan Cruyff. Dia juga sempat bersamaku ikut kursus sepakbola di Klub Gajayana, Malang. Dan aku ingat, guntingan majalah itu adalah foto berwarna gelandang tim belanda Johan Neeskens (terakhir sempat menjadi asisten Frank Rijkaard, saat melatih klub Barcelona) tengah dibuntuti Mario Kempes. Satu lagi seingatku adalah foto diri Kempes usai mencetak gol di final piala dunia 1978 -- sebuah foto yang kemudian jadi ikon dan acap dicetak ulang, sampai sekarang.     

*** 

SEKALI waktu, awal tahun 2000, kumpulan guntingan berita dan gambar seputar Piala Dunia 1998 (yang belum kutempel), diguyur air hujan, setelah atap kamar kos-ku di wilayah Manggarai Jakarta Selatan, bocor. Dengan perasaan agak sedih, kukumpulkan lagi kertas-kertas koran itu, dan kukeringkan di depan kamar. Teman-teman kos, juga pak kos, merasa heran melihat tingkahku, dan tertawa. Tapi itulah yang kulakukan, hingga kertas-kertas itu akhirnya berbentuk bundel kliping dengan judul 'Piala Dunia 1998 di Perancis'.

Bila seorang teman bertanya 'manfaat apa yang kau peroleh dengan kegiatan ini', aku biasanya seraya tertawa menjawab: kebahagiaan itu terasa saat proses mengumpulkan, menggunting dan menempel bahan-bahan itu -- yang dalam banyak hal membutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan proses penyelesaiannya tidak langsung tuntas. Rasa senang itu kemudian timbul lagi, ketika di lain waktu, membaca ulang kliping itu -- kini terkadang  ada godaan untuk melengkapi kliping itu dengan data-data atau gambar yang kudapatkan belakangan. 

(Saya jadi ingat, dulu acap menunggu di sebuah toko buku dekat rumah, dengan harapan dapat lembaran Tabloid BOLA yang kualitas cetakannya jelek dan dijadikan bungkus koran lainnya. Kejadian ini terjadi tahun 1986. Lembaran-lembaran tabloid itu, yang biasanya tidak lagi rapi, kurawat ulang, kugunting dengan perlahan dan kutempel).

Dan kliping Piala Dunia 1986 di Meksiko, memang paling fenomenal, karena kukerjakan sampai 'berdarah-darah'. Kusebut demikian, karena tidaklah gampang mendapatkan guntingan koran yang tidak bisa kudapatkan dengan gratis. Maklum, saat itu keluargaku tak berlangganan surat kabar. Jadilah aku memanfaatkan uang saku untuk membeli koran atau tabloid Bola.

Dilatari fakta keterbatasan akses ekonomi seperti itu, aku pun begitu   gembira, ketika menemukan sebuah gambar pada koran bekas, yang dipakai ibuku sebagai pola jahitan. Aku ingat, gambar itu adalah pertandingan final Piala Eropa 1980, antara tim Jerbar lawan Belgia. Bernd Schuster (kini pelatih Real Madrid), gelandang fenomenal itu meloncat dengan Horts Hrubesch (ujung tombak Jerbar, dan pemain Hamburg SV) yang memenangkan pertandingan itu. Saya rawat gambar itu, dan kutempel dengan hati-hati -- walau ada bekas coretan pinsil pola di atasnya. 

Lainnya adalah Kliping Piala Dunia 1990, yang walaupun menggunakan kertas folio bekas, aku merasa puas. Semua data pertandingan mulai babak awal sampai final, kuperoleh semua, kecuali ada satu atau dua pertandingan yang gagal kudapatkan data berita serta gambarnya -- belakangan,  data dan gambarnya kudapatkan di internet, dan kuselipkan di dalamnya. Di sinilah rasa puas itu muncul. 

Perasaan puas itu juga menyeruak ketika kubaca ulang kisah-kisah di dalam kliping itu -- seraya membayangkan, bagaimana saya harus berjibaku mendapatkan data-datanya.

Di dalam kliping Piala Dunia 1986, misalnya, saya selalu teringat bagaimana wartawan Kompas Budiarto Shambazy menggambarkan suasana pertandingan antara tim Jerman Barat lawan Uruguay (di babak awal, dengan skor akhir 1-1) di sebuah kota di Meksiko. Shambazy, aku masih ingat, menggambarkan terik matahari yang memanggang para pemain-pemain Jerbar. "Panasnya mirip di Tanjung Priok pada siang hari, "tulisnya.

Atau, pada guntingan koran tentang Piala Dunia 1994, kutemukan nama Anton Alifandi -- sekarang menjadi kawan akrabku, dan rekan satu kantor -- yang disebut sebagai kontributor sebuah koran terbitan Jawa Timur dengan tiras tertinggi di Indonesia, di kota London. Tentu saja, di luar semua itu, aku bisa mendapatkan kembali data seputar kejuaraan itu, yang memuat berita detil, yang terkadang akhirnya dilupakan sejarah -- misalnya, saya sebut salah-satunya, faktor penyebab seorang pemain dicoret dari tim inti..      

Adapun Piala Eropa, aku memulainya saat Piala Eropa 1984 digelar di Perancis. Ini bertepatan dengan munculnya Tabloid BOLA, yang dulu disisipkan di koran Kompas, setiap hari Jumat. Aku teringat, di Malang, Kompas baru datang siang hari, dan hari Jumat adalah hari yang kutunggu dengan berdebar-debar. Yang membuatku senang, gambar pada tabloid itu sudah berwarna dan cetakannya lebih jelas. Itulah sebabnya masih kusimpan foto tim Perancis lengkap, dengan pelatihnya Michel Hidalgo duduk di tengah diadit 23-nya pemainnya.

***

TENTU saja, semakin ke sini, pembuatan kliping itu kurasakan semakin ideal. Selain data dan gambarnya lebih lengkap, termasuk data pemain yang berlaga serta skor akhir, kumasukkan pula sumber guntingan koran berikut kapan terbitnya. Ini yang terlihat pada kliping Piala Dunia 1998 di Perancis, sepuluh tahun lalu, yang kukerjakan di sela-sela kesibukanku sebagai wartawan koran NUSA. (Memang proses pembuatannya tak langsung jadi, dan selalu ada waktu jedah yang bisa memakan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Kliping Piala Dunia 1998 Perancis itu, misalnya, baru bisa kujilid awal tahun 2002, itu pun pertandingan finalnya belum kujilid sampai sekarang).   

Dilatari kendala waktu, akhirnya tidak semua tumpukan koran itu selesai dalam bentuk kliping. Sebagian diantaranya masih berupa guntingan koran atau majalah, dan lainnya masih berupa tumpukan koran (piala Eropa 1996 di Inggris) serta kliping dalam beberapa buku. Ada pula koleksi puluhan poster tim sepakbola tahun 80-an -- termasuk tim Italia saat juara dunia 1982 (kubeli dengan harga seratus rupiah saat itu). Bahan-bahan itu akhirnya kusimpan dalam kardus plastik, dan sebagian ikut kuboyong saat aku pindah ke Jakarta, tahun 1997.

Dalam berbagai kesempatan, kesadaran untuk mengkliping itu kuanggap terlambat, setelah momen piala dunia itu berahkir lama. Di sinilah, ada godaan untuk mengumpulkan kembali data-data Piala Dunia 1978 dan 1982 -- walaupun akhirnya tidaklah muda. Jadilah aku di tahun 1990-an, berburu majalah bekas di pasar loak di jalan Kelud, kota Malang, untuk mendapatkan gambar-gambar era Mario Kempes 1978 atau Paolo Rossi 1982. Dan terkadang aku beruntung, bahan-bahan itu masih kudapatkan -- saya begitu gembira saat menemukan gambar hitam-putih tim Spanyol pada Piala Dunia 1978, saat melawan Brazil... 


 
Sebagian koleksi gambar dan guntingan koran itu, akhirnya harus kutinggal di Kota Malang. Semuanya kumasukkan dalam kardus dan kuletakkan di bawah dipan. Di kala perasaan kegilaan itu muncul, saya biasanya bertanya pada diri-sendiri "apakah koleksiku itu bisa bertahan dari kehancuran akibat dimakan rayap atau kecoak ya.."

(Selain koleksi berita dan gambar dari koran, aku pun menyimpan puluhan poster sepakbola peroide tahun 80-an. Dulu, di tahun 80-an akhir, kamarku penuh dengan poster sepakbola. Kamar yang kutempati penuh dengan gambar tim Italia, Polandia, Jerbar, dengan bintang-bintangnya seperti Rossi, Zico, Junior, Rummeningge, atau Platini. Suatu saat teman kakak menginap di kamar itu, dan dia berkomentar "ini lapangan sepakbola atau kamar ya" Aku tertawa senang mendengarnya...)    

***

MELIHAT tumpukan koran berisi berita-berita dan foto pertandingan sepakbola itu, pada akhir pekan lalu, saya berpikir keras dengan sedikit frustasi: mau dikemanakan barang-barang itu, sementara aku tak punya waktu lagi untuk mengerjakannya. Berulangkali pertanyaan  itu muncul, saya akhirnya cuma bisa menyimpannya (lagi), sehingga tumpukan itu makin bertambah banyak.

Masalahnya kemudian, adalah terbatasnya ruangan, sementara aku tidak sebersit pun untuk membuang bahan-bahan itu. Terdiri dari berbagai tumpukan koran, tabloid yang sudah kupilah-pilah, bahan-bahan itu meliputi data Piala Dunia 2006, 2002, serta 1994.
Sementara, data-data tentang Piala Eropa (PE) adalah PE 1996 (kusimpan di rumah ibuku di Malang), PE 2000, dan 2004.

Belum menemukan solusi yang pasti, akhirnya semuanya kusimpan secara rapi dalam peti plastik -- satu momen kejuaraan biasanya membutuhkan satu peti, sehingga keseluruhannya memakan 5 peti. Tapi aktivitas menyimpan ini bukanlah perkara muda, ketika saya tidak hidup sendiri.

Biasanya yang kulakukan adalah "melibatkan" istri dan anakku, dengan mengatakan, "Ini adalah satu-satunya hobi Walid" (Walid adalah  panggilan akrabku yang dilafalkan anak dan istriku).

Suatu saat, pelibatan itu tampaknya berbuah: anakku meniru kesukaanku membuat kliping! Bedanya, anakku, Aida, suka menggunting dan menempel gambar-gambar tokoh kartun Jepang, Naruto. Saya pun dengan senang hati menyediakan lem, gunting serta buku gambar. "Kita nanti bisa membuat kliping sama-sama, pada sebuah meja yang besar ya," kataku berulang-ulang di hadapan anakku. Istriku lantas biasanya tersenyum. ***  


 

Kliping Sepakbola, kegilaan itu...


KEGILAAN terhadap sesuatu yang berbau sepakbola itu tidak berangsur hilang, walaupun usia terus digerus waktu. Dan sekarang, tanda-tanda kerasukan itu kembali kurasakan, dua pekan menjelang pembukaan kejuaraan sepakbola antar negara-negara Eropa, awal Juni nanti.
Wujud kegilaan itu bisa macam-macam, tetapi salah-satu diantaranya adalah mengumpulkan dan menempel guntingan berita dan foto kejuaraan itu dari koran atau majalah -- mengkliping, begitulah nama lainnya. Sebuah kegiatan yang kusebut menyerupai hobi kegiatan seni, yang sulit kuenyahkan tatkala memasuki momen seperti kejuaraan Eropa itu atau peristiwa akbar Piala Dunia...
Kadar kegilaan itu sekarang memang tidak seperti dulu, yang begitu menggebu. Kini saya tampaknya lebih realistis, lantaran kesibukan dan ada kehidupan lain yang lebih penting. Apalagi, sekarang ada kemudahan untuk mengakses internet (yang menyediakan data lengkap), serta banyak tersedianya media cetak yang memuat kejuaraan sepakbola itu.
Tapi kalau dikatakan hasrat hobi itu kemudian hilang, tentu saja tidak. Pada bulan lalu, misalnya, sebuah majalah sepakbola yang memuat persiapan kejuaraan itu sudah ada di tangan. Berita-berita seputar perhelatan sepakbola terbesar setelah Piala Dunia itu, juga kubaca habis setiap harinya. Namun apa penyebab kenapa kegilaan itu tak juga sirna?

May 21, 2008

May, filem berlatar kerusuhan '98...

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
SEPULUH tahun setelah kerusuhan itu, yang menyisakan kehilangan, nestapa, dan luka, keluarga itu digambarkan bertemu kembali. Suasana gembira dihadirkan melalui senyum empat orang di dalam ruangan itu: May (diperankan pendatang baru Jenny Chang) dan anaknya, ibunya alias Cik Bing (Tuti Kirana), serta Antares (Yama Carlos), kekasih May.

Kamera yang semula menyorot dari jarak dekat, kemudian pelan-pelan bergerak pelan menjauh, dan sebagian penonton barangkali bernafas lega: akhirnya filem ini berakhir "bahagia"...

Tapi tunggu dulu. Ada beberapa "tanda", yang disusupkan sang sutradara (Viva Westi) dalam adegan tersebut, yang bisa berarti meruntuhkan anggapan penonton itu. Pertama, sang ibu tetap mengenakan gaun merah, persis seperti yang dia kenakan sepuluh tahun silam -- saat dia terakhir bertemu anaknya, May, sebelum kerusuhan terjadi, yang akhirnya memisahkan mereka.

Kedua, adegan akhir itu hanya berupa gambar, tanpa dialog, tetapi dilatari musik yang sungguh menyayat: sebuah bahasa gambar yang indah, tapi sendu, sekaligus menyentuh. Sutradara filem ini, Viva Westi mengaku, adegan reuni itu adalah mimpi keluarga tersebut. "Mimpi orang-orang yang ingin seandainya kejadian (kerusuhan) itu tak terjadi, maka kejadian akhir yang menyenangkan itu akan mereka alami."

***
JUDUL filem ini adalah May, yang diharapkan sebagai filem drama (percintaan) dengan latar kerusuhan Mei tahun 1998. May, yang dipakai sebagai judul filem, adalah nama seorang perempuan keturunan Tionghoa, tokoh utama dalam filem ini.

May awalnya diceritakan menjalin kasih dengan seorang lelaki bernama Antares namun hubungan ini menjadi hancur-lebur karena kerusuhan tersebut. Sang kekasih, saat kerusuhan 13 Mei 1998, digambarkan sibuk dengan perannya sebagai pembuat filem dokumenter -- dia tidak berada di sisi May, yang hari itu terjebak pada situasi rusuh, dan menjadi korban perkosaan. (May juga terpisah dari ibunya Cik Bing, yang harus mengungsi ke Malaysia).

Filem ini memang berdasarkan kejadian kekerasan sepuluh tahun itu, tetapi kejadian itu sendiri hanyalah latarnya. Ini adalah filem bagaimana manusia yang berada dalam pusaran kerusuhan, utamanya para korban, menghadapi hidup. Juga bagaimana orang-orang yang memanfaatkan kejadian itu, dan akhirnya gelisah.

Ibu yang terpisah dari anak, dan dua orang lelaki yang pernah yang melakukan kesalahan, dan berusaha keras untuk menebusnya.

Itulah sebabnya, sang sutradara kemudian memasukkan tokoh lain bernama Gandang (diperankan Lukman Sardi), yang kehadirannya ikut berperan atas nasib May dan ibunya. Saat kerusuhan meledak, ibu May dan warga keturunan lainnya panik dan menjual apapun agar dapat kabur ke luar negeri.

Gandang, yang bekerja sebagai tukang cuci sebuah hotel di Jakarta, dapat keuntungan, setelah Ibu May menjual sertifikat rumah demi mendapatkan tiket ke luar negeri, untuk menghindari kerusuhan. (Dalam filem digambarkan, suasana sebuah hotel di Jakarta, di mana terlihat warga keturunan yang panik. Di sini dimunculkan seorang pimpinan menengah hotel itu, yang 'mengambil' kesempatan, dengan menawarkan tiket ke luar negeri dengan harga selangit. Dan Gandang berada dalam pusaran itu...).

Gandang adalah orang yang akhirnya mendapatkan sertifikat itu. Selembar tiket yang kemudian mengubah hidupnya -- dari seorang pekerja rendahan di laundry hotel, menjadi seorang pengusaha laundry yang sukses.

***
SEPULUH tahun kemudian, Gandang dan Antares yang gelisah, menemukan kembali gambaran masa lalunya itu. Di sebuah kota di Malaysia, mereka secara terpisah bertemu kembali dengan orang-orang yang selama ini membuat keduanya merasa berdosa. Antares bertemu bekas kekasihnya, May, sementara Gandang menjumpai ibu May yang setengah linglung.

Filem yang menggunakan metode berlombat-lompat ini, dari masa kini ke masa lalu, dan sebaliknya, kemudian menyorot bagaimana dua orang itu membayar apa yang disebut sebagai kekeliruan masa lalunya. Dan ini tidaklah gampang...

Seperti dikatakan sutradara filem ini, Viva Westi, filem ini tidak merekonstruksi kerusuhan Mei '98, namun peristiwa itu lebih dimunculkan sebagai latar belakangnya. Sebagian penonton tentu penasaran bagaimana filem ini menggambarkan kerusuhan yang merenggut korban ribuan itu. "Kalau kejadian rusuh itu direkonstruksi ulang secara gamblang, maka bagi saya itu menyakitkan. Maka saya pakai media TV, yang saya refleksikan melalui kaca," kata Viva Westi. (Dalam filem kejadian rusuh itu ditampikan sekelumit, selain melalui TV, juga berupa gambar dengan jarak dekat dengan bunyi kaca pecah dan terikana orang-orang).

Kejadian perkosaan terhadap May, juga digambarkan secara simbolis. Dia digambarkan setengah terduduk, menangis, sebelum ditemukan penolongnya.

Dalam cerita filem ini, May semula menolak bayi dari rahimnya. Di sinilah tokoh lain dimasukkan, seorang jurnalis asing yang menyelamatkan May pada hari naas itu. Raymond, lelaki itu, kemudian yang membesarkan bayi itu hingga menjadi bocah berumur sembilan tahun.

Namun sebetulnya, ada satu tokoh lagi yang kurang ditonjolkan, yaitu Harriandja, yang diperankan aktor Tio Pakusadewo. Orang inilah di saat kerusuhan terjadi, menjadi tokoh yang diwawancarai Antares untuk proyek filem dokumenternya -- sepertinya dia seorang politisi yang saat itu menganjurkan reformasi. Dan sepuluh tahun kemudian, tokoh itu menjadi bos Antares.

"Saya sengaja menampilkan tokoh seperti dia, karena orang seperti itu gampang dijumpai. Dulu, mungkin dia sosialis, tapi sekarang dia adalah kapitalis," jelas Viva.

Menjelang akhir cerita, tokoh Gandang akhirnya menjual perusahaan miliknya, untuk apa yang disebut sutradara, sebagai upaya penyembuhan kesalahan masa lalunya. Uang hasil penjualan itu digunakannya untuk membeli kembali rumah milik Ibu May, sekalian membawanya pulang ke Jakarta. May juga berdamai dengan Antares, dan bertemu anaknya, namun ini bukanlah sebuah adegan akhir...

***
FILEM yang pengambilan gambarnya dilakukan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Malaysia ini, akan diputar secara serentak pada 5 Juni 2008. Pada 14 Mei lalu, para wartawan diundang dalam jumpa pers (dihadiri sutradara, produser serta para pemerannya), sekaligus menyaksikan langsung pemutaran filem berdurasi 105 menit ini. ***

May 20, 2008

Diinterogasi Polisi London...

HARI itu, Minggu pagi, 23 Maret 2008. Sebagian Kota London diguyur salju tipis -- dari jendela kamarku, terlihat atap gereja ortodoks terlihat memutih. Ada rasa malas beranjak dari tempat tidur, apalagi malamnya aku terbangun beberapa kali, karena dingin yang menusuk -- walau pemanas ruangan sudah kutinggikan, tapi tetap dingin!

Tapi aku akhirnya memilih bangun segera. Hari itu aku masuk sore, sehingga ada luang waktu untuk menikmati jalan-jalan. Dan tatkala jarum jam menunjuk pukul 10 pagi, aku sudah di atas tube (kereta bawah) menuju stasiun Holborn -- kira-kira 20 menit dari stasiun dekat rumahku, Queensway. Tujuanku saat itu adalah British Museum (ini kunjungan kedua).

Setelah puas keliling sebagian museum, sekitar pukul 12.15 siang waktu setempat, aku meninggalkan tempat itu. Udara masih beku. Kugunakan syal dan topi, dan aku pun melangkah ke Jalan New Oxford, yang lokasinya tak jauh dari museum. Di sepanjang jalan itu sampai ujung Jalan Oxford, banyak berdiri toko yang menjual aneka sandang.

Saya rasanya tak juga bosan-bosan menapaki  trotoarnya, untuk sekedar cuci mata. Terasa lapar, aku makan siang pada sebuah restoran yang menjual masakan Cina (namanya Wok in Box) , dengan harga 5, 50 pound, tetapi rasanya kurang enak -- tidak habis, tinggal separoh.

Setelah sempat masuk toko buku dan masuk ke sebuah taman di kawasan Soho,  aku memilih balik ke arah Stasiun Holborn. Waktu menunjukkan pukul 13 siang. Dua jam lagi aku harus masuk kerja -- tidak jauh dari stasiun itu, berdiri kantorku, yang terletak di pertigaan Jalan Kingsway dan Jalan Aldwiych. 

Di dalam perjalanan itulah, aku mengeluarkan kembali kamera saku. Ini memang kegiatan yang mirip hobi ("seperti melukis," kataku dalam hati). Setidaknya hingga siang itu, aku sudah mengabadikan lebih dari 20 obyek. Kali ini yang kuambil gambarnya antara lain sejumlah bangunan, suasana keramaian dekat stasiun Totenham Court Road, beberapa mobil berwarna yang diparkir, orang lanjut usia yang menunggu di halte, serta dua orang polisi yang tengah bertugas -- yang terakhir ini, aku sebetulnya aku ragu untuk memotretnya, tapi toh kulakukan.   

Menjelang perempatan Jalan New Oxford Street dan Kingsway, aku memotret lagi sebuah kafe -- yang kuanggap unik eksteriornya. Dingin masih terasa menusuk. Tapi kondisi itu tak mematahkan semangat mengabadikan berbagai situs -- terakhir saat itu aku memotret tulisan Stasiun Holborn dan bus tingkat merah yang tengah berhenti...

Di sinilah, tiba-tiba muncul dua orang polisi berseragam warna hitam, dengan topi mirip helm -- khas polisi Inggris. Perawakan dua orang lelaki ini tinggi-besar. Rupanya, mereka adalah polisi yang kupotret beberapa menit  lalu.

"Maaf," kata salah-seorang polisi, membuka pembicaraan, "Kami mau minta informasi kepada Anda, terkait isu terorisme, dan kebetulan Anda yang kami jumpai..."

Saya tidak panik, karena kupikir tak ada yang salah pada diri saya, dan lagipula mereka begitu sopan.

"Mengapa Anda tadi memotret berbagai gedung, dan apa tujuannya?"

Saya jawab, kegiatan memotret itu lebih sebagai hobi. Kuperhatikan polisi kemudian mencatat jawabanku, dengan sebuah pensil. "Dan bangunan-bangunan di sini, menarik buat saya..."

Saya mencoba tersenyum ramah, setiap selesai menjawab pertanyaan, tapi mereka sepertinya serius.

"Anda berasal dari mana?"

Kujawab "Indonesia", seraya kukeluarkan paspor dari tas pinggangku. Polisi itu lantas membuka pasporku. Setiap halaman dibuka.

Disaksikan temannya, polisi itu juga menanyakan nama lengkap, termasuk nama keluarga. (Aku sempat khawatir perihal fam keluargaku "Alkaff", di mana kemudian aku berpikir ke belakang setelah kejadian 11 September 2001, teringat kisah warga negara Indonesia yang namanya ke-arab-an, sulit mendapatkan visa ke Amerika Serikat...).

Kuperhatikan secara seksama bagaimana paras dua orang polisi itu, juga kalimat yang mungkin muncul dari mulut mereka, setelah kusebut nama keluargaku...

Yang kudapat, justru angin dingin yang menusuk, membuat tangan dan kakiku bergerak-gerak. Saya tidak tahu apa yang ada di benak aparat polisi London itu, melihat gerak-gerik tubuhku.

"Kau kedinginan? Sudah pakai baju rangkap?"

Saya lega mendengar pertanyaan itu. Mereka justru bereaksi atas bahasa tubuhku, ketimbang latar belakang identitasku. Dengan cekatan, seraya menyungging senyum, kutunjukkan baju rangkap tigaku.

Dari beberapa pertanyaan, hanya satu pertanyaan yang tak bisa kujawab: nomor rumah tempatku menginap serta kode posnya. "Tak masalah," begitu polisi itu menjawab ketidaktahuanku. Tapi mereka tetap mencatat.

Ketika kukatakan aku berasal dari Indonesia, dan datang ke London dalam rangka kerja, seraya kusebutkan di mana tempatku bekerja, mereka bilang "kamu beruntung bisa kerja di sana."

Dan ditanya, kamu sedang apa di sini, Aku menjawab: jalan-jalan dan sekalian mau berangkat kerja. "Itu kantorku," kataku menunjuk bangunan di ujung jalan. Mereka mencatat lagi.

Tapi ketika pertanyaan menjurus umur, dan kujawab apa adanya, mereka sepertinya kurang percaya. "Apakah betul umurmu?"

Mata polisi sepertinya menyelidik, melihat sekujur tubuhku.

"Ya, umurku memang segitu," kataku agak masygul, dengan tetap memelihara senyum.

Dua orang polisi kemudian bercakap-cakap pelan. Aku tidak bisa mendengarnya. "Apakah betul ini umurmu?" Kali ini mereka memelototi tanggal kelahiran di dalam pasporku. Saya tidak kesal, namun pikiranku menebak-nebak, jangan-jangan polisi ini curiga pasporku palsu!

Seingatku, mereka bertanya perihal umur sampai tiga kali! Setelah pertanyaan ketiga, mereka pun bergantian memandangi sebagian kepalaku yang sudah ditumbuhi rambut warna keperakan. Polisi itu lalu saling lihat...

(Belakangan, aku mulai sadar kenapa polisi itu berulang-ulang menanyakan umurku. Dan aku menemukan jawabannya, setelah mendengar pengalaman temanku yang lama tinggal di London. Barangkali ini mirip seperti yang kualami. Suatu hari, temanku yang perawakannya kecil datang ke rumah sakit. Sang dokter terheran-heran saat temanku itu berkata umurnya sudah mendekati 40 tahun. Si dokter mengira dia masih berumur 20 tahunan..).

Terakhir, setelah puas bertanya, polisi itu berkata, "apakah Anda mau membawa copy catatan ini?"

Kujawab "ya".

Salinan kertas ukuran 10 sentimeter kali 15 sentimeter itu pun berpindah ke tanganku.

"Silakan melanjutkan perjalanan, terima kasih... Anda orang yang baik."

Aku lega mendengarnya. Kulipat segera kertas salinan itu. Kita lalu berpisah baik-baik. Tapi sebelumnya, aku iseng menawar untuk foto bersama...

(saya jadi ingat, di zaman mahasiswa, tahun 1993, pada sebuah acara pendidikan pers mahasiswa, saya sebagai panitia pernah melakukan hal yang sama: mengajak foto seorang petugas Babinsa yang ditugasi memantau aktivitas kami. Dan berbeda dengan polisi Inggris yang menolak ajakan itu, Babinsa yang mengenakan kemeja dinas warna hijau itu bersedia kami ajak foto bersama - foto itu kusimpan, dan aku selalu tertawa setiap melihatnya) .   

Seraya memasukkan lagi tangan pada saku jaket, aku lantas berjalan pelan menuju kantor. Ada perasaan kosong. Ada sedikit ketakutan, tapi ada pula pikiran lain yang menjawab rasa takut itu dengan kalimat "bukankah polisi itu tadi mengatakan kau lelaki yang baik".

Kurang dari sepuluh menit, aku sampai di kantor. Ada waktu setengah jam sebelum masuk kerja. Tapi perasaan kosong itu terus membuntuti. Di kantin kantor, aku pesan segelas kopi hangat, dan memilih duduk di depan televisi - ada pertandingan Liga Utama Inggris, Manchester United lawan Liverpool, dengan kedudukan 3-0. Saya coba pindahkan pikiran ke pertandingan itu, tapi toh kubuka lagi kertas salinan polisi itu, dengan sedikit gemetar.

Pada kertas salinan itu, kulihat ada beberapa catatan.  Di bagian atas, ada tulisan  Metropolitan Police Service. Dan di bawahnya, ada tulisan Family Name, First Name, Sex, Age, yang harus di isi. Kemudian ada beberapa lagi, yang tak kupahami: IC code (ditulis angka 4), SDE Code: 09.  Kemudian ada kolom yang sepertinya merujuk pada ciri khas tubuh, seperti berat badan.

Lantas, di bawahnya lagi ada beberapa kata yang harus diisi: alamat tempat tinggalku di London, dan apakah aku mengendarai sesuatu. Ada pula tulisan Stop and Account, yang mana polisi memberi tanda pada  kolom Presence in area...

Sementara pada baris di bawahnya, ada tulisan Search Grounds. Pada baris itu, polisi itu menulis dengan pensil:  *S.44 TERRORISM.. Disampingnya, ada tulisan lain .... (aku sulit membacanya) with camera.. Di bawahnya lagi, dia menulis lagi: * Photos of prominence and buildings...

Di baris ke enam,  waktu dan tanggal kejadian, berikut lokasinya. Ada lagi tulisan yang sepertinya kode. Di baris berikutnya, polisi itu memberi tanda pada kotak yang isinya "saya tidak ditahan, dan hanya ditanya serta diberhentikan sementara".

Juga disebutkan saya cuma "seorang diri". Akhirnya, di ujung kanan kertas itu tertera nama petugas polisi itu. Namanya Luke, berikut kode dia... ***















































































Diinterogasi Polisi London...

HARI itu, Minggu pagi, 23 Maret 2008. Sebagian Kota London diguyur salju tipis -- dari jendela kamarku, terlihat atap gereja ortodoks terlihat memutih. Ada rasa malas beranjak dari tempat tidur, apalagi malamnya aku terbangun beberapa kali, karena dingin yang menusuk -- walau pemanas ruangan sudah kutinggikan, tapi tetap dingin!
Tapi aku akhirnya memilih bangun segera. Hari itu aku masuk sore, sehingga ada luang waktu untuk menikmati jalan-jalan kota London. Dan pukul 10 pagi, aku sudah di atas tube (kereta bawah) menuju stasiun Holborn -- kira-kira 20 menit dari stasiun dekat rumahku, Queensway. Tujuanku saat itu adalah British Museum (ini kunjungan kedua).
Setelah puas keliling sebagian museum, sekitar pukul 12.15 siang waktu setempat, aku meninggalkan tempat itu. Udara masih beku. Kugunakan syal dan topi, dan aku pun melangkah ke Jalan New Oxford, yang lokasinya tak jauh dari museum. Di sepanjang jalan itu sampai ujung Jalan Oxford, banyak berdiri toko yang menjual aneka sandang.
Saya rasanya tak juga bosan-bosan menapaki trotoarnya, untuk sekedar cuci mata. Terasa lapar, aku makan siang pada sebuah restoran yang menjual masakan Cina (namanya Wok in Box) , dengan harga 5, 50 pound, tetapi rasanya kurang enak -- tidak habis, tinggal separoh.
Setelah sempat masuk toko buku dan masuk ke sebuah taman di kawasan Soho, aku memilih balik ke arah Stasiun Holborn. Waktu menunjukkan pukul 13 siang. Dua jam lagi aku harus masuk kerja -- tidak jauh dari stasiun itu, berdiri kantorku, yang terletak di pertigaan Jalan Kingsway dan Jalan Aldwiych.

May 4, 2008

Waterlow park, Maret 2008...




BANGKU panjang warna coklat tua, yang sebagian agak kusam warnanya itu, seperti bisa bertutur tentang sebuah kehilangan -- seseorang yang kehilangan sang kekasih, sahabat, atau orang tersayang, atau entah siapa lagi yang mungkin begitu dipuja...

Kehilangan itu, yang mungkin tak selamanya, kurasakan setiap membaca kalimat-kalimat yang tertera di setiap bangku panjang, yang diletakkan di sudut-sudut taman itu. "..Rest in peace dear friend, I miss you so much..,"adalah salah-satu contoh kalimat yang dicetak di atas plakat, yang ditempel pada sandarannya. Di sana dicantumkan pula nama, dan barangkali tanggal kematian orang tersayang itu...

Kali pertama melihat bangku "ratapan" itu, aku terheran, dan setengah kagum, dan syahdu. Tapi aku berpikir cepat dan menyimpulkan: tentu bangku-bangku yang bersandaran itu adalah pemberian warga yang tinggal tak jauh dari areal taman itu -- secara sukarela. "Dan, mereka diberi hak untuk menuliskan semacam kata kenangan, untuk orang yang disayanginya..." pikirku.

Saya akhirnya berupaya membaca setiap kalimat-kalimat di setiap kursi kayu panjang tersbut, tetapi akhirnya tak tuntas. Selain jumlahnya yang tak sedikit, keindahan taman yang berkolam-angsa, berhias pohon beku tanpa daun, dan berhijau rumput nan luas dan basah, serta koak burung gagak dan gonggongan anjing berpenjaga dan bocah-bocah berlarian, akhirnya membuat pikiranku terbagi...

Taman luas yang letaknya di atas bukit itu, sebetulnya tak sengaja kudatangi. Delapan bulan lalu, tepatnya hari Sabtu, 15 Maret, di saat kota London diselimuti langit kelabu, aku bermaksud mendatangi kuburan Karl Marx di pemakaman kuno Highgate, di bagian utara kota tersebut.

Sebelum memasuki pemakaman itu, salah-satu rute yang mesti dilalui itu adalah taman tersebut. Namanya, Waterlow Park. Mula-mula kupikir nama itu diambil dari lokasi perang Pahlawan Inggris, Admiral Nelson saat mengalahkan laskar Napoleon, di "Waterloo", di wilayah Belgia. Ternyata aku salah...

Jawaban yang benar, tak perlu kucari jauh-jauh. Di salah-satu sudut taman itu, yang dihiasi aneka taman hias, berdiri sebuah patung lelaki. Dialah Sir Sydney Hedley Waterlow (1822-1906), mantan walikota London (periode 1872-1873), yang menghibahkan tanah miliknya untuk "taman umum". Semasa hidupnya, lelaki miliuner ini dikenal sebagai bankir, dan belakangan terjun di dunia politik. (Di saat berdiri di depan patung itu, aku sempat terlintas pikiran "seandainya ada orang kaya di Indonesia, mau mendonasikan secuil tanahnya untuk taman umum...).

Seolah tak ingin beranjak dari keindahannya, aku kembali berjalan mengelilingi lanskap taman berdanau itu, usai berziarah ke makam Karl Marx -- yang letaknya memang berdempetan. Sambil sesekali duduk di bangku "kehilangan", dan menahan dingin yang nyaman, kubiarkan diriku larut dalam "dunia" taman itu.

Berjalan sendiri, melamun, menghirup aroma pepohonan basah, itulah yang akhirnya kulakukan di sana. Pikiran kubiarkan mengalir, tanpa tendensi menganalisa, menikmati pemandangan yang ada: pasangan suami-istri yang salah-satunya mendorong kereta bayi, atau seorang kakek yang berkejaran dengan cucunya, dan ditemani anjingnya...

Disamun udara London sekitar 12 derajat celcius, berjalan lebih dari setengah jam di Waterlow Park, badan letih sungguh tak terasa. Tapi yang tak bisa dibohongi, tentu perutku yang lapar. Beruntung di dalam taman itu berdiri sebuah bangunan berwarna putih bernama "Lauderdale House" (didirikan sekitar tahun 1852, dan sekarang digunaka untuk pameran, aktivitas seni warga setempat).

Di bagian belakang Laundardale itu, didirikan kafe, dengan latar depan taman itu. Siang itu, ada lebih dari lima orang memesan makanan, yang sebagian besar membawa anak-istri. Saya pun mampir, dan memesan makanan "yang paling acap kucecap selama di London", heeem, kentang goreng dan secangkir teh susu. Di sini, ditemani langit London yang selalu kelabu, hati memang gampang disamun melankoli, tetapi terasa tentram.

Kupilih meja di luar kafe, agar pemandangan taman Waterlow bisa kurasakan -- setuntasnya! Kuhabiskan waktu dengan tak tergesa, rileks, apalagi di sana kurasakan waktu sungguh berjalan lambat. Hingga semuanya harus diakhiri, sebelum aku kembali melanjutkan perjalanan seorang diri ke sudut lain kota London, Greenwich... ***

Tak ada fanatisme di Stamford Bridge... (2)




SOROT mata orang-orang itu, kurasakan, tersedot pada kaos warna biru yang kukenakan. Semula aku menganggapnya semacam apresiasi atas atribut yang tertera pada kaosku. Tapi, lama-kelamaan, tatapan itu kurasakan tidak wajar. Aku akhirnya sadar. Seraya melirik rekan kerjaku, Anton Alifandi, yang ada di sebelahku, saat antri makan siang di kantin milik kantorku (di London), aku bertanya lirih kepadanya, "saya salah kostum ya?"

Saya lupa apa jawaban Anton kala itu. Namun kejadian di atas, yang berlangsung empat tahun silam, dampaknya kurasakan sampai aku kembali mengunjungi kota London, Maret lalu. Saya tidak pernah lagi mengenakan kaos itu sembarangan di sudut-sudut London. Kaos yang kukenakan itu memang berwarna biru, namun di bagian dada sebelah kanan ada tulisan "Chelsea Football Club" dan di belakangnya tertera tulisan "Zola"...

Rupanya, di sebuah negara yang dikenal masyarakatnya tergila-gila kepada permainan sepakbola, mengenakan kaos beratribut sebuah klub sepakbola (peserta liga utama Inggris) di tempat umum, dalam skala tertentu bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa sensitif. "Kalau urusan siapa mendukung klub apa, itu jadi isu sensitif di sini, Fan," seloroh temanku di London, Maret silam.

Ada benarnya juga pendapat temanku itu. Seperti diketahui, di London, sedikitnya ada tiga klub liga utama Inggris, yang sekarang bertengger di puncak klasemen. Selain Chelsea, ada Arsenal dan Tottenham Hotspur. Klub-klub ini, sudah menjadi rahasia umum, punya pendukung yang fanatik. Mereka inilah yang rajin datang ke stadion untuk memberi dukungan kepada klub kesayangannya.

Saya lantas teringat sebuah artikel yang kubaca pada tahun 80-an -- saat itu saya sudah tergila-gila pada olahraga ini. Isi artikel itu menyorot tentang sepak-terjang sepakbola di Inggris, berikut kegilaan yang mengiringi para pendukungnya. Bahkan, demikian isi laporan itu, seorang jurnalis olahraga di kota London mengisi kolom "agama" -- pada sebuah dokumen -- dengan tulisan "sepakbola".

Saat itu, saat saya masih mengenakan celana pendek, begitu terheran-heran membaca artikel tersebut. Tapi, pengalamanku di London mengenakan kaos Chelsea, dan kemudian ditatap dengan mata penuh curiga oleh orang-orang di sana, itu tadi, makin membuatku sadar: Inggris memang negeri fanatik sepakbola!

***

"KAU mau kaos Chelsea atau Arsenal?" teman kantorku, sekitar tahun 2002, menawari sebuah pemberian saat dia pulang ke London. Saya tentu senang luar biasa mendengarnya. Tapi ditanya begitu, aku seperti biasa bilang "terserah kau, apapun aku suka." Kawanku itu, Yoko, akhirnya memilih membeli kaos Chelsea, tapi bukan dilatari motivasi fanatisme. "Kebetulan toko yang menjual kaos itu (Chelsea) tak begitu jauh dari rumahku," jelas Yoko.

Kaos pemberian temanku itu, akhirnya kukenakan, dan awalnya nyaris tanpa fanatisme -- saya, misalnya, tak mengetahui semua pemain Chelsea, saat itu. Tapi, percayalah, aku merawat kaos pemberian itu sepenuh hati, barangkali "karena harganya yang mahal" serta semacam dilatari faktor "gengsi" -- di belakang kaos itu tertera Zola, pemain nasional Italia (saat itu) serta ujung tombak The Blues. Ada semacam kebanggaan pula (dan mudah-mudahan bukan pamer), bisa mengenakan kaos itu kemana-mana..

Namun setelah sekian lama mengenakan kaos itu, ada perasaan aneh yang timbul pada diriku -- semacam bermantera! Perasaan ini yang semula cair kemudian mengental, dan menjelma rasa ingin tahu lebih banyak tentang klub Chelsea. Semangat ini tentu tidak berdiri sendiri, seingatku. Penyebabnya, di saat yang sama, klub itu kemudian mendatangkan banyak pemain top, setelah seorang milyuner Rusia (Abramovich) membelinya. "Banyak bertabur bintang di sana, yang artinya makin membuat saya penasaran untuk selalu menonton mereka bermain," jawabku, saat seorang teman bertanya, apakah aku pengagum Chelsea.

Tapi, tetap saja tak ada fanatisme di dalam perasaan itu. "Biasa-biasa saja," kataku lagi. Namun jujurkah aku? Barangkali fanatisme itu ada, namun takarannya yang berbeda? Menjawab pertanyaan ini, saya biasanya memberikan penjelasan seperti ini: Saya tidak sepenuhnya sedih disaat Chelsea kalah dalam sebuah pertandingan, atau saya bisa menerima alibi seorang kawan yang mengatakan "permainan Chelsea membosankan, lantaran cenderung bertahan"..

***

DI SEBUAH pagi yang bergerimis, dan dingin, pada hari Minggu, 16 Maret lalu, aku akhirnya mendatangi stadion milik klub Chelsea, Stamford Bridge. Semula mencoba jalan kaki, namun hanya sampai sekitar stasiun Gloucester Road. Dari sana, aku naik tube ke arah stasiun Fulham Broadway. Berjalan kaki sebentar, akhirnya terlihat stadion yang menurutku "tidak semegah yang kubayangkan semula." Gerimis masih mengguyur di sekitar stadion saat jam tanganku menunjuk pukul 10 pagi.

Bertemu seorang penggemar Chelsea, yang mengenakan kostim biru, dan sejumlah lelaki. Mereka berteduh di sisi samping stadion yang masih tutup, di dekat toko yang menjual aneka cindera mata terkait klub itu. Di tembok stadion, ada tertera tulisan yang isinya menjelaskan ada tur jalan-jalan ke dalam stadion. Saya tidak tertarik -- lagipula acara itu dibuka tidak setiap hari, dan harus bayar. (Jadilah saya cuma berjalan-jalan di areal stadion itu. Yang kuingat, ada sejumlah poster pemain top Chelsea -- termasuk Zola -- dipajang di tembok-tembok luar stadion). Saya akhirnya meninggalkan stadion, dan tak kurasakan darah adrenalinku naik-turun. Biasa saja...

***

FANATISME pada akhirnya harus luruh pada sikapku yang selalu mengambang. Dan ini tidak hanya bicara klub Chelsea. Sebagai penggemar sepakbola, dan dibesarkan di kota Malang, wajar saja bila ada yang bertanya "apakah aku penggemar klub Arema, asal kota Malang itu." Pertanyaan ini sempat dimunculkan Yusuf Bachtiar, kawanku, yang juga pembuat filem dokumenter tentang suporter sepakbola -- dia telah mendokumentasi sepak-terjang suporter Persija Jakarta (dan mendapat penghargaan bergengsi dari sebuah festival di Jerman) serta fanatisme suporter Arema.

Kujawab: Tidak sepenuhnya! "Saat Arema kalah, misalnya, aku tak sepenuhnya meratap," kataku. Tapi sejak awal, begitu jawabku menjawab pertanyaan Yusuf, cara pandangku melihat pertandingan sepak bola tak sepenuhnya diwarnai fanatisme. Saya terkadang datang ke stadion juga, namun tidak ada pemihakan seratus persen. "Memang ada dag-dig-dug saat tim kita kalah, sementara waktu tinggal 5 menit, misalnya. Tapi tidak lebih dari itu..."

Barangkali, demikian jawabanku, aku lebih tepat disebut sebagai 'penikmat' sebuah pertandingan, walaupun kadar pemihakan itu tetap ada -- saya justru agak melankoli apabila tim mapan dengan tradisi sepakbolanya yang panjang, kalah dan tersisih (saya akhirnya tak menonton final Piala Eropa tahun 2004, saat tim Yunani, yang penampilannya sangat membosankan, melaju ke final).

Saya lantas teringat seorang kolumnis Inggris yang selalu mendua saat menonton pertandingan sepakbola yang menghadirkan dua tim dengan tipe menyerang: di satu sisi dia ingin pertandingan itu berjalan terus, namun dia juga ingin pertandingan itu segera berakhir. "Saya mungkin seperti itu," kataku.

Tentu, aku masih mendukung sebuah kompetisi sepakbola (walau tanpa fanatisme), kendati rusuh antar suporter selalu terulang. Saya tak memilih sikap ekstrim, misalnya, dengan membubarkan sebuah kompetisi (Ide 'anti kompetisi' pernah bergulir sesaat setelah tragedi Heysel, tahun 80-an, yang menewaskan puluhan suporter Juventus dan Liverpool, dalam final Piala Champions). "Bayangkan, apa jadinya dunia tanpa piala dunia, tanpa final Liga Champions!" ***



Tak cukup sehari di British Museum...