RUMAH tua beratap tinggi dan bercat putih itu terletak di sebuah bukit, yang halaman luasnya dipenuhi rumput hijau kekuningan musim kemarau. Dan di setiap hampir jengkal sudutnya, kulihat tumbuh sejumlah pohon pendek berbunga ungu-jingga...
Kehadiran rumah yang temboknya dihiasi belasan jendela lebar dan bercat hijau gelap ini mencolok mata, karena arsitekturnya yang paling berbeda. Bentuk fisiknya mengingatkan pada bangunan rumah kuno di kawasan Menteng, Jakarta, yang mungkin dibangun tahun 1930-an. Sementara di sekeliling tumah itu, kebanyakan adalah bangunan bertipe baru.
Rumah itu memang telah lama berdiri, dan ketika kami -- saya, istri, dan anakku -- kunjungi pada bulan Oktober lalu (saat liburan lebaran), dia masih berdiri kokoh -- dan tampaknya terawat. Walaupun sempat terbengkalai, dan sempat berubah wujud menjadi sebuah sekolah, sejak tahun 1976, bangunan itu kemudian diperbaiki.
Saya bisa membayangkan, apa jadinya rumah bekas tempat peristirahatan di sebuah wilayah bernama Linggarjati, di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat itu, apabila Sutan Syahrir, Mohammad Roem, atau Van Mook serta Profesor Schermerhorn, serta seorang Inggris bertubuh raksasa tetapi "bijak" Lord Killearn, tak singgah di sana, di sekitar bulan November 1946?
***
SEPERTI ditulis sejarah, perundingan Linggarjati semula memberi harapan suatu penyelesaian. Ketentuan terpenting dalam perundingan itu, Belanda akhirnya mengakui "de facto" Republik Indonesia di Jawa da Sumatera. Dan Indonesia setuju dengan pembentukan federasi Indonesia, yang dalam bentuk uni, masih terikat dengan Belanda.
Perundingan ini terselenggara, antara lain karena pilihan diplomasi Perdana Menteri Sutan Syahrir, sekaligus kepala juru runding Republik. Sementara Belanda, dengan baju Komisi Jenderal, diwakili Profesor Willem Schermehorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Di tengah-tengahnya adalah wakil Inggris, Lord Killearn.
Namun seperti diketahui, persetujuan ini (yang ditandatangani 25 Maret 1947 di Jakarta) belakangan ditentang oleh kalangan oposisi Republik dan ditolak parlemen Belanda. Intinya, konsensi-konsesi yang dihasilkan dari perundingan itu sudah dianggap terlalu jauh bagi penentang Syahrir dan Schermerhorn.
Ujungnya, hampir semua partai besar, utamanya sayap kiri dan PNI, menarik dukungannya terhadap Syahrir. Dan pada tanggal 27 Juni 1947, Syahrir, "si bung kecil itu", mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri...
***
KETIKA tombol itu kupencet, dan jendela mobil terbuka perlahan, udara segar pegunungan di areal tempat parkir di sisi gedung di atas perbukitan itu langsung menyergap -- menyulap suasana di dalam mobil yang kurasakan pengap, semenjak kami terjebak macet, tiga jam sebelumnya, tidak jauh dari di pertigaan arah Cirebon-Kuningan-Linggarjati...
Ini memang perjalanan yang kurang nyaman, tetapi akhirnya kusadari: resiko perjalanan yang tanpa perencanaan matang! Saya dan istri tidak paham bahwa tidak jauh dari gedung museum Linggarjati, ada empat wisata air terjun, yang selalu dipenuhi warga, utamanya saat lebaran atau hari libur. Mereka ini berduyun-duyun hendak ke lokasi plesiran itu, sementara kami berencana ke rumah bercat putih dan berhalaman luas itu...
"Kita balik saja, yuk," kalimat bernada frustasi ini keluar dari mulut istriku, ketika ribuan orang (yang kebanyakan menggunakan truk dan kendaraan bermotor lainnya) membuat kami terjebak di jalan desa itu. Mobil kami yang berukuran kecil seperti digenjet kanan-kiri oleh truk-truk beroda raksasa.
Saya semula terdiam kecut, dan mengunci mulut, tetapi akhirnya bilang "ya, udah, yuk kita memutar..." Tapi jalan untuk memutar, tak ada lagi. Dan kerumunan orang-orang itu seperti mau menelan kami -- untungnya anakku, yang duduk di belakang, tak panik. Justru istri dan aku, mulai dihantui rasa was-was -- yang menjelmah seperti sesak nafas.
Dipaksa oleh situasi, kami akhirnya berjalan terus, seraya berharap ada "keajaiban". Memang pada akhirnya, arus mobil itu berangsur longgar, setelah tempat wisata yang menjorok ke bawah itu, terlewati. Ada perasaan lega, terutama di wajahku, ketika dari kejauhan terlihat sebuah rumah itu, dengan genting coklat tua yang samar-samar pernah kulihat di buku sejarah...
"Itu dia gedungnya," kataku agak pelan, seraya melirik istriku. Semangatku pun mulai terpompa -- dan, adrenalinku kembali bugar. Segera ingin tiba, kami akhirnya parkir di sebelah kiri gedung itu, dan kulihat para penjual cindera mata (kaos, gantingan kunci, bertuliskan "Gedung Perjanjian Linggarjati"). Kupencet tombol pintu mobil bakpaoku, dan udara segar pegunungan menyergap... Sesak nafas itu pun lenyap!
***
DI PINTU masuk gedung itu, ada tiga atau empat orang yang sepertinya adalah petugas museum. Mereka duduk di belakang meja, berikut kotak kosong tempat pengunjung secara sukarela memberi sumbangan. Di saat yang sama ada belasan orang yang juga mengunjungi tempat itu, selain kami. Mengenakan kemeja batik, salah-seorang diantaranya yang berkulit coklat tua menghampiri kami, sementara pengunjung lainnya dibiarkan melenggang. Rupanya dia menawarkan diri sebagai guide tour.
"Ini kursi asli yang dulu digunakan para perunding, walau kulitnya sudah diganti," jelas lelaki itu, saat kami memasuki ruangan depan, di dekat pintu masuk. Di ruangan itu, juga dipasang diorama saat para juru runding Republik Indonesia, yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, berdialog dengan juru runding Belanda, dengan Profesor Schermehorn sebagai pimpinannya. Sebuah papan berukuran besar juga ditempel di sana, yang isinya tentang pasal-pasal hasil kesepakatan perundingan bersejarah itu.
Sejumlah foto hitam-putih berukuran HVS folio, tentang sebagian peristiwa itu dipasang di sejumlah sudut tembok gedung itu -- yang sebagian sudah acap kulihat di buku-buku sejarah. Juga dua buah lembar foto, yang menggambarkan ketika gedung itu berubah seperti barang rongsokan tak terawat selama puluhan tahun, sebelum diperbaiki tahun 1976 -- dan dijadikan museum.
Sebuah piano tua (yang disebut-sebut asli dan bagian dari saksi bisu perundingan itu) juga terlihat teronggok di ruangan tengah, dekat meja panjang yang digunakan sebagai tempat berunding. Tidak jauh dari sana, sebuah lemari setinggi pinggang didempetkan di tembok. Lampu bulat dengan kabel menjulur ke bawah juga terlihat di sejumlah ruangan, yang atapnya sungguh tinggi.
Di gedung itu, saya lebih banyak mengambil gambar, sementara anakku banyak bertanya, dan lari ke sana-kemari, dengan kakinya yang lincah. Istriku berusaha mendampinginya, seraya mendengarkan keterangan sang pengantar. Ternyata rumah itu cukup luas, dan banyak terbagi dalam beberapa ruangan. Yang menarik, ada dua kamar khusus istirahat para juru runding, termasuk penengahnya, yaitu Lord Killearn. Kamar ini berhadap-hadapan, dan di atas daun pintunya ditempel nama-nama yang tinggal di ruangan itu.
***
"ADA guling besar!" Anakku lari kegirangan, saat di hadapannya ada tempat tidur beralas kain putih bersih, dengan bantal dan guling di atasnya. Anakku, Aida, memang punya guling kesenangan, yang selalu dia ke mana-mana -- yang kali ini dia bawa dalam perjalanan ke Linggarjati. Saya lupa menanyakan apakah tempat tidur berdisain sederhana itu apakah asli atau diletakkan belakangan di ruangan itu.
Masih dibayang-bayangi bagaimana situasi perundingan saat itu, pengantar mengajak kami ke sebuah ke ruangan kecil, sepertinya dapur. Di dalamnya ada lemari kaca bercat kusam, yang rupanya tempat menyimpan sejumlah piring dan peralatan makan, yang dulu digunakan para juru runding. "Dulu, ada yang menyimpan barang-barang ini, dan kemudian dihibahkan kepada kami," jelas lelaki itu tadi.
Tidak membutuhkan waktu lama, untuk keliling gedung itu -- saya teringat museum Sumpah Pemuda di jalan Kramat Raya, Jakarta, yang juga tak begitu luas. Dan cukup puas berada di dalam, kami pun melangkah keluar yang udaranya begitu segar. Para pengunjung sebagian memilih bercengkeramah di sepanjang pagar beton yang kokoh, di teras rumah itu. Dari sini, pandangan mata bisa menjangkau lembah dan jalan yang letaknya jauh di bawah halaman nan luas... ***