Oct 31, 2008

Liburan ke Linggarjati: membayangkan debat Syahrir-Schermerhorn, 1946...




RUMAH tua beratap tinggi dan bercat putih itu terletak di sebuah bukit, yang halaman luasnya dipenuhi rumput hijau kekuningan musim kemarau. Dan di setiap hampir jengkal sudutnya, kulihat tumbuh sejumlah pohon pendek berbunga ungu-jingga...

Kehadiran rumah yang temboknya dihiasi belasan jendela lebar dan bercat hijau gelap ini mencolok mata, karena arsitekturnya yang paling berbeda. Bentuk fisiknya mengingatkan pada bangunan rumah kuno di kawasan Menteng, Jakarta, yang mungkin dibangun tahun 1930-an. Sementara di sekeliling tumah itu, kebanyakan adalah bangunan bertipe baru.

Rumah itu memang telah lama berdiri, dan ketika kami -- saya, istri, dan anakku -- kunjungi pada bulan Oktober lalu (saat liburan lebaran), dia masih berdiri kokoh -- dan tampaknya terawat. Walaupun sempat terbengkalai, dan sempat berubah wujud menjadi sebuah sekolah, sejak tahun 1976, bangunan itu kemudian diperbaiki.

Saya bisa membayangkan, apa jadinya rumah bekas tempat peristirahatan di sebuah wilayah bernama Linggarjati, di lereng Gunung Ciremai, Kuningan, Jawa Barat itu, apabila Sutan Syahrir, Mohammad Roem, atau Van Mook serta Profesor Schermerhorn, serta seorang Inggris bertubuh raksasa tetapi "bijak" Lord Killearn, tak singgah di sana, di sekitar bulan November 1946?

***

SEPERTI ditulis sejarah, perundingan Linggarjati semula memberi harapan suatu penyelesaian. Ketentuan terpenting dalam perundingan itu, Belanda akhirnya mengakui "de facto" Republik Indonesia di Jawa da Sumatera. Dan Indonesia setuju dengan pembentukan federasi Indonesia, yang dalam bentuk uni, masih terikat dengan Belanda.

Perundingan ini terselenggara, antara lain karena pilihan diplomasi Perdana Menteri Sutan Syahrir, sekaligus kepala juru runding Republik. Sementara Belanda, dengan baju Komisi Jenderal, diwakili Profesor Willem Schermehorn, mantan Perdana Menteri Belanda. Di tengah-tengahnya adalah wakil Inggris, Lord Killearn.

Namun seperti diketahui, persetujuan ini (yang ditandatangani 25 Maret 1947 di Jakarta) belakangan ditentang oleh kalangan oposisi Republik dan ditolak parlemen Belanda. Intinya, konsensi-konsesi yang dihasilkan dari perundingan itu sudah dianggap terlalu jauh bagi penentang Syahrir dan Schermerhorn.

Ujungnya, hampir semua partai besar, utamanya sayap kiri dan PNI, menarik dukungannya terhadap Syahrir. Dan pada tanggal 27 Juni 1947, Syahrir, "si bung kecil itu", mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri...

***

KETIKA tombol itu kupencet, dan jendela mobil terbuka perlahan, udara segar pegunungan di areal tempat parkir di sisi gedung di atas perbukitan itu langsung menyergap -- menyulap suasana di dalam mobil yang kurasakan pengap, semenjak kami terjebak macet, tiga jam sebelumnya, tidak jauh dari di pertigaan arah Cirebon-Kuningan-Linggarjati...

Ini memang perjalanan yang kurang nyaman, tetapi akhirnya kusadari: resiko perjalanan yang tanpa perencanaan matang! Saya dan istri tidak paham bahwa tidak jauh dari gedung museum Linggarjati, ada empat wisata air terjun, yang selalu dipenuhi warga, utamanya saat lebaran atau hari libur. Mereka ini berduyun-duyun hendak ke lokasi plesiran itu, sementara kami berencana ke rumah bercat putih dan berhalaman luas itu...

"Kita balik saja, yuk," kalimat bernada frustasi ini keluar dari mulut istriku, ketika ribuan orang (yang kebanyakan menggunakan truk dan kendaraan bermotor lainnya) membuat kami terjebak di jalan desa itu. Mobil kami yang berukuran kecil seperti digenjet kanan-kiri oleh truk-truk beroda raksasa.

Saya semula terdiam kecut, dan mengunci mulut, tetapi akhirnya bilang "ya, udah, yuk kita memutar..." Tapi jalan untuk memutar, tak ada lagi. Dan kerumunan orang-orang itu seperti mau menelan kami -- untungnya anakku, yang duduk di belakang, tak panik. Justru istri dan aku, mulai dihantui rasa was-was -- yang menjelmah seperti sesak nafas.

Dipaksa oleh situasi, kami akhirnya berjalan terus, seraya berharap ada "keajaiban". Memang pada akhirnya, arus mobil itu berangsur longgar, setelah tempat wisata yang menjorok ke bawah itu, terlewati. Ada perasaan lega, terutama di wajahku, ketika dari kejauhan terlihat sebuah rumah itu, dengan genting coklat tua yang samar-samar pernah kulihat di buku sejarah...

"Itu dia gedungnya," kataku agak pelan, seraya melirik istriku. Semangatku pun mulai terpompa -- dan, adrenalinku kembali bugar. Segera ingin tiba, kami akhirnya parkir di sebelah kiri gedung itu, dan kulihat para penjual cindera mata (kaos, gantingan kunci, bertuliskan "Gedung Perjanjian Linggarjati"). Kupencet tombol pintu mobil bakpaoku, dan udara segar pegunungan menyergap... Sesak nafas itu pun lenyap!

***

DI PINTU masuk gedung itu, ada tiga atau empat orang yang sepertinya adalah petugas museum. Mereka duduk di belakang meja, berikut kotak kosong tempat pengunjung secara sukarela memberi sumbangan. Di saat yang sama ada belasan orang yang juga mengunjungi tempat itu, selain kami. Mengenakan kemeja batik, salah-seorang diantaranya yang berkulit coklat tua menghampiri kami, sementara pengunjung lainnya dibiarkan melenggang. Rupanya dia menawarkan diri sebagai guide tour.

"Ini kursi asli yang dulu digunakan para perunding, walau kulitnya sudah diganti," jelas lelaki itu, saat kami memasuki ruangan depan, di dekat pintu masuk. Di ruangan itu, juga dipasang diorama saat para juru runding Republik Indonesia, yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, berdialog dengan juru runding Belanda, dengan Profesor Schermehorn sebagai pimpinannya. Sebuah papan berukuran besar juga ditempel di sana, yang isinya tentang pasal-pasal hasil kesepakatan perundingan bersejarah itu.

Sejumlah foto hitam-putih berukuran HVS folio, tentang sebagian peristiwa itu dipasang di sejumlah sudut tembok gedung itu -- yang sebagian sudah acap kulihat di buku-buku sejarah. Juga dua buah lembar foto, yang menggambarkan ketika gedung itu berubah seperti barang rongsokan tak terawat selama puluhan tahun, sebelum diperbaiki tahun 1976 -- dan dijadikan museum.

Sebuah piano tua (yang disebut-sebut asli dan bagian dari saksi bisu perundingan itu) juga terlihat teronggok di ruangan tengah, dekat meja panjang yang digunakan sebagai tempat berunding. Tidak jauh dari sana, sebuah lemari setinggi pinggang didempetkan di tembok. Lampu bulat dengan kabel menjulur ke bawah juga terlihat di sejumlah ruangan, yang atapnya sungguh tinggi.

Di gedung itu, saya lebih banyak mengambil gambar, sementara anakku banyak bertanya, dan lari ke sana-kemari, dengan kakinya yang lincah. Istriku berusaha mendampinginya, seraya mendengarkan keterangan sang pengantar. Ternyata rumah itu cukup luas, dan banyak terbagi dalam beberapa ruangan. Yang menarik, ada dua kamar khusus istirahat para juru runding, termasuk penengahnya, yaitu Lord Killearn. Kamar ini berhadap-hadapan, dan di atas daun pintunya ditempel nama-nama yang tinggal di ruangan itu.

***

"ADA guling besar!" Anakku lari kegirangan, saat di hadapannya ada tempat tidur beralas kain putih bersih, dengan bantal dan guling di atasnya. Anakku, Aida, memang punya guling kesenangan, yang selalu dia ke mana-mana -- yang kali ini dia bawa dalam perjalanan ke Linggarjati. Saya lupa menanyakan apakah tempat tidur berdisain sederhana itu apakah asli atau diletakkan belakangan di ruangan itu.

Masih dibayang-bayangi bagaimana situasi perundingan saat itu, pengantar mengajak kami ke sebuah ke ruangan kecil, sepertinya dapur. Di dalamnya ada lemari kaca bercat kusam, yang rupanya tempat menyimpan sejumlah piring dan peralatan makan, yang dulu digunakan para juru runding. "Dulu, ada yang menyimpan barang-barang ini, dan kemudian dihibahkan kepada kami," jelas lelaki itu tadi.

Tidak membutuhkan waktu lama, untuk keliling gedung itu -- saya teringat museum Sumpah Pemuda di jalan Kramat Raya, Jakarta, yang juga tak begitu luas. Dan cukup puas berada di dalam, kami pun melangkah keluar yang udaranya begitu segar. Para pengunjung sebagian memilih bercengkeramah di sepanjang pagar beton yang kokoh, di teras rumah itu. Dari sini, pandangan mata bisa menjangkau lembah dan jalan yang letaknya jauh di bawah halaman nan luas... ***



Oct 29, 2008

Usai kabut meleleh di Pulau Nusakambangan...




KABUT tipis yang beraroma laut menyelimuti sebagian pucuk pepohonan yang tumbuh lebat di Pulau Nusakambangan, hari Jumat pagi pekan lalu. Suara pagi berupa bunyi mesin perahu klotok dan peluit kapal feri, serta klakson kendaraan yang hilir mudik di dermaga itu, menyelusup di antara wajah-wajah malas para wartawan -- yang mulai dijangkiti rasa bosan, karena menunggu proses eksekusi tiga terpidana bom Bali yang tak juga digelar...

Saya dan teman-teman wartawan, memang nyaris tak beranjak dari dermaga milik LP Nusakambangan, di Kota Cilacap, Jawa Tengah, sejak isu eksekusi hukuman mati terhadap tiga terpidana itu bergulir. Dermaga itu memang pintu keluar-masuk resmi, walau ada lebih dari lima dermaga milik instansi lain yang menghubungkan Cilacap-Pulau Nusakambangan.

Dan kami hanya bisa menunggu, karena keputusan itu sepenuhnya di tangan "elit" di Jakarta. Kenyataan lainnya, rombongan jurnalis itu dilarang masuk ke Nusakambangan yang hanya berjarak "lima belas menit dengan menggunakan perahu klotok."

Dari dermaga berukuran kecil itulah, yang bisa kita lakukan akhirnya semata menyaksikan pulau Nusakambangan, walaupun indera dan pikiran terus membayangkan "isi" pulau yang acap diidentikkan dengan Pulau Al Catraz, bekas pulau penjara di Amerika, tempat hunian penjahat klas kakap.

Juga mencoba mengkhayal bagaimana dulu penjahat sekelas Johnny Indo mencoba kabur, tetapi akhirnya tertangkap. Serta pula, mengingat-ingat bagaimana kisah Tomi Suharto -- yang pernah mendekam di sana -- "bergaul" dengan penjaga dan narapidana, di dekat selnya yang luks.

(Saya di dermaga itu, bertemu seorang pemilik perahu klotok, yang dulu dibiayai orang-orangnya Tomi untuk membeli perahu, dengan harapan memudahkan mereka hilir-mudik Cilacap-Nusakambangan).

***

"MUNGKIN eksekusi atas tiga orang terpidana Bali itu akan dilakukan pada Jumat dini (24 Oktober lalu) hari nanti," begitu selentingan yang menyebar. Kabar itu makin diyakini kebenarannya, karena Kejaksaan Agung disebutkan akan menggelar jumpa pers pada hari Jumat (24 Oktober lalu), namun belum jelas isinya, apakah akan menerangkan "hasil eksekusi" atau "kapan eksekusi akan dilaksanakan."

Saya beruntung datang agak belakangan -- hari Kamis, 23 Oktober lalu, sementara ada beberapa jurnalis yang datang lebih awal. Bahkan seorang wartawan sebuah stasiun televisi lokal, disebutkan telah berada di Kota Cilacap, sejak dua bulan silam. Wartawan perempuan ini memang dikenal spesialis liputan yang "nyerempet" bahaya. "Saking lamanya, warga di sekitar pelabuhan kenal wartawan itu," kata sopir ojek, yang setiap hari menunggu di depan pintu masuk pelabuhan kecil itu.

***

MENUNGGU adalah bagian kerja wartawan. Kalimat ini akhirnya yang kuulang-ulang untuk meyakinkan diri, agar tak jenuh dimakan waktu. "Jadi, yang cuma bisa kita lakukan adalah menunggu di Dermaga, dengan berharap ada peristiwa itu di sini," kata wartawan lokal, sebuah kantor berita nasional, agak masygul. (Kami akhirnya mempraktekkan istilah "pasang telinga" bak radar, mencatat semua informasi sekecil apapun, demi memproleh kepastian eksekusi).

Dua hari hilir-mudik di dermaga itu, membuat kami akhirnya akrab dengan orang-orang di sana. Salah-satu orang itu bernama Risno, tukang ojek motor -- yang akhirnya kusewa selama 2 hari liputan di kota Cilacap, Jawa Tengah. Dia bersama istri dan empat anaknya, tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding bambu tidak jauh dari pelabuhan tersebut.

"Kota Cilacap itu, ya besarnya segitu saja, dan letaknya di ujung lagi, mentok!" celetuk Risno, agak berteriak, mengimbangi suara mesin motornya, memecah keheningan jalanan kota Cilacap di sore hari. Kalimat ini keluar dari mulutnya beberapa detik setelah aku secara spontan mengomentari geografi kota ini, "ternyata kotamu bersih ya, dan sepi..."

Aku saat itu sengaja minta diajak berkeliling mengitari sejumlah jalan protokol kota -- sebuah ritual yang acap kulakukan saat mengunjungi atau liputan di sebuah wilayah baru. Ini terjadi menjelang kepulanganku ke Jakarta, setelah mendapat kepastian eksekusi itu akan dilakukan awal November nanti.

Dihiasi langit Cilacap yang kelabu, dan dihampari tanah basah akibat hujan, kurang dari satu jam, kami bisa mengunjungi tempat wisata Teluk Penyu, melihat belasan kilang minyak berukuran raksasa, serta mengintip Benteng Pendem peninggalan kolonial Belanda...

***
TERIAKAN "huu!" memecah siang itu, ketika sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan siaran langsung dari gedung Kejaksaan Agung, sekitar pukul 2 siang, hari Jumat lalu. Kami, para wartawan, menunggu dengan tak sabar di ruangan masuk dermaga, di depan layar TV berukuran kecil. Reporter TV itu menyebut, eksekusi baru akan dilakukan awal November nanti...

Pengumuman itu menjengkelkan, tetapi sekaligus melegakan. Sebagian wartawan merasa jengkel, karena itu artinya kedatangan awal mereka sia-sia. Namun di sisi lain, bisa juga disebut melegakan, karena kepastian itu akhirnya datang juga...

Dan dengan menyisakan pertanyaan "kapan persisnya Amrozi dkk dieksekusi mati", saya akhirnya harus meninggalkan Cilacap. Pada Sabtu (25 Oktober) pagi yang diwarnai gerimis , mobil sewaan kami akhirnya meninggalkan pemandangan indah di kejauhan: kabut turun perlahan dan meleleh di pepohonan lebat Pulau Nusakambangan... ***

Oct 16, 2008

Tiba-tiba aku teringat mendiang Munir...

TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan lalu. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu...

Adalah istriku yang membuka "pintu kesedihan" tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah...).

Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, "ceramahnya bagus ya, nggak menggurui.."

Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, "ah, aku jadi ingat Munir.."

Pikiran ini muncul seketika, dan suasana di dalam mobil itu pun menjadi haru. Musik Cranberries -- ode to my family -- yang mengalun dari tape mobilku, semakin menggenapkan suasana miris itu, dan berubah menjadi mirip musik kematian. Kami sempat terdiam beberapa detik -- rupanya perasaan yang sama juga muncul di benak istriku. (Anakku yang duduk di belakang juga diam seribu bahasa).

Wajah tirus Munir, rambut yang kemerahan, tubuh yang ringkih, kemudian membayang sekelebat. Kemudian, kepingan-kepingan memori seperti berputar kembali. Dan muncullah potongan percakapan -- yang samar-samar kuingat -- antara diriku dengan mendiang, sekian tahun silam, sebelum racun itu membunuhnya...

"Kita ikut berdosa, kalau hadir dan mendengarkan khotbah (Jumat) yang isinya cuma menghujat, mengajak bermusuhan..." Kalimat ini dia utarakan, setengah berkelakar, kepada segelintir wartawan, yang biasa ngepos di Kantor YLBHI, Jakarta. (Saat itu, dia dipercaya memimpin LSM itu). Aku ada di sana saat itu. Saya tidak menimpali kalimatnya, tetapi kalimat itulah yang masih kuingat sampai sekarang.

Sebuah mesjid kecil tidak jauh dari kami berdiri kami, memang tengah menyuarakan suara pengkhotbah melalui pengeras suara. "Ayo Fan sholat," ajaknya seraya tertawa. Walau aku agak malas, kami akhirnya menuju mesjid itu, tetapi di saat-saat ketika khotbah itu segera berakhir.

***

SAYA mengetahui sosok Munir, jauh sebelum dia dikenal sebagai pegiat HAM yang dikenal vokal dan berani. ("Saya juga pernah merasa ketakutan, Fan," ujarnya setelah mendirikan organisasi Kontras, tahun 1998). Saya dan Munir berasal dari tempat kuliah yang sama, di kota Malang, Jawa Timur, walau beda fakultas. Saat itu dia aktif di organisasi ekstra serta intra kampus, sementara aku sejak awal terbenam di dunia pers mahasiswa.Tapi saya tak pernah mengenalnya, dan kita jarang bertemu saat itu. "Kupikir kau dulu juga dari Fakultas Hukum," tanya mendiang kepadaku,  beberapa bulan sebelum dia hendak terbang ke Belanda.

Namun nama Munir mulai kudengar setelah dia bergelut sebagai pegiat aktivis LBH Surabaya dalam menangani kasus Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh tahun 1993. Saat itu aku masih berstatus mahasiswa, dan kasus Marsinah menjadi santapan kami dalam diskusi-diskusi, yang terkadang melibatkan pula pegiat LBH di kota Malang...

***

DUA tahun sebelum Suharto jatuh, aku menjadi wartawan harian lokal di Denpasar, Bali. Hanya tiga bulan di kota itu, aku kemudian ditugaskan ke Jakarta, awal 1997 -- dengan spesialisasi liputan di dunia LSM, pengadilan, serta Partai Golkar. Pada tahun inilah, seingatku, aku berkenalan dengan Munir, yang kala itu dipromosikan bertugas di YLBHI Jakarta.

Dan Munir bukanlah tipikal pegiat yang menjaga jarak dengan media. Dengan segala keterbatasan, dia mau berbagi informasi, walau tidak untuk ditulis. Bersama sejumlah wartawan yang biasa meliput di LBH, saya bisa seenaknya nyelonong masuk ke ruangan kerjanya, untuk sekedar berkelakar, atau menanyakan latar sebuah kasus.

"Ayo masuk ke ruangan, aku punya informasi penting nih..." Di dalam ruangan kerjanya, di sala-satu pojok gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, kami pun saling berbagi informasi. Seingatku aku saat itu lebih banyak mendengar, dalam percakapan yang sebagian besar dipenuhi seloroh itu. Munir memang bukanlah tipe serius..

Dan suhu politik yang memanas pada tahun-tahun itu, membuat jarak kami makin dekat. Peristiwa penculikan aktivis politik, pengungkapan kerusuhan Mei '98, disusul pendirian lembaga Kontras, adalah peristiwa-peristiwa yang membuat saya acap bersua "si rambut merah" -- julukan bernada seloroh yang ditahbiskan kepadanya, selain panggilan akrab "Cak Munir"...

***

SEKALI waktu, aku mewawancarai Munir, tetapi bukan dalam kapasitas dia sebagai pengamat, yang menganalisa sesuatu dengan jarak yang jauh. Pertengahan tahun 2001, aku tengah menyiapkan program seri radio tentang dampak serangan 11 September terhadap komunitas keturunan Arab di Indonesia. Munir kuwawancarai sebagai salah-seorang keturunan Arab yang memilih aktivitas LSM sebagai profesinya.

Yang menarik dari jawabannya, tatkala dia kutanya tentang sikapnya tentang isu pembauran. "Sikap sebagian keturunan Arab yang menikah dengan sesama keturunan Arab, itu cerminan feodalisme, kalau didasari karena kesucian darah," katanya tegas. Seperti diketahui, istri Munir, Suci (juga pegiat LBH di divisi perburuhan), yang dikenalnya saat aktif di LBH Surabaya, bukanlah keturunan Arab.

***

PESAN pendek itu masuk ke telepon selulerku, pada sebuah siang, bulan September 2004. Saya setengah kaget, syok, tidak percaya kematian itu begitu cepat menjemputnya. Saya kontak orang-orang terdekatnya, dan semua membenarkan berita kematian Munir, yang diiringi kesedihan, berikut nada amarah di baliknya.

Saya masih ingat, Susilo Bambang Yudoyono (saat itu masih calon presiden) di depan wartawan di Hotel Mandarin menghentikan sebentar diskusinya, dan mengucapkan bela sungkawa. Teman sekantorku tak kuasa menahan tangis," Cak Munir sudah tiada," dan bertanya-tanya apa penyebab kematiannya. Adakah dia dibunuh? Siapa yang tega melakukan ini semua? Mengapa?

Deretan pertanyaan seperti ini diutarakan orang-orang yang paham atas resiko profesi yang menjadi pilihan Munir. ("Saya sudah terbiasa hidup dalam ancaman,  ya, dijalani saja," katanya suatu saat, dengan tetap tersenyum. Dia saat itu masih mengendarai sepeda motor, dari rumahnya di kawasan Cipinang ke kantornya di Jalan Diponegoro).

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seperti diketahui, baru terjawab sekian tahun kemudian. Tetapi bagiku, rasa kehilangan itu belum juga beranjak, empat tahun setelah peristiwa itu. "Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu..." ***

Tiba-tiba aku teringat mendiang Munir...


TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan lalu. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu...
Adalah istriku yang membuka "pintu kesedihan" tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinnya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah...).
Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, "ceramahnya bagus ya, nggak menggurui.."
Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, "ah, aku jadi ingat Munir.."