Nov 26, 2008

Dunia bawah tanah Kota London...




SAAT duduk di dalam tube, yang melaju kencang, di lorong bawah tanah Kota London, aku selalu mengenyahkan "rasa takut" yang dirasakan temanku...

Kawanku ini, entah kenapa, panik apabila berlama-lama berada di kereta listrikpana yang berusia lebih dari seratus tahun bawah tanah

Nov 24, 2008

Ciliwung Express, kelilling pelosok Jakarta...




DI DALAM gerbong kereta listrik yang kami tumpangi pada Jumat pekan lalu, hanya aku dan istriku penumpangnya. Satu orang lagi adalah lelaki bertopi, serta kondektur yang rajin hilir-mudik. Sisanya, adalah deru kereta, sejuknya AC, serta sesekali aroma pasar di pinggir rel -- yang menyelinap di celah-celah pintu kereta, yang kurang tertutup rapat.

Perjalanan menjelajahi rel tua dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu, memang bukan perjalanan "biasa" -- bukan seperti jalur rutin kami berangkat-pulang kerja, dari Stasiun Sudirman ke Stasiun Pondok Ranji, Tangerang. Di dalam KRL bernama "Ciliwung Express" (yang diresmikan sekitar 1 tahun lalu itu), perjalanan itu kami namakan "jalan-jalan"...

Dan "jalan-jalan" di atas jalur kereta lama itu, sudah lama kami rencanakan, jauh-jauh hari. Dan waktu itu akhirnya tiba, ketika hari Jumat lalu aku dapat jatah libur, dan istriku demikian pula -- sayangnya, anakku Aida tak bisa ikut, karena dia masuk sekolah.

"Pengin tahu ngerasain kereta Ciliwung, sekalian pengin lihat-lihat stasiun yang jarang kita jumpai," begitulah kurang-lebih alasan kami.

Seperti biasa tanpa bekal informasi jadwal KRL itu, pada pagi yang mendung, kami tinggalkan Stasiun Pondok Ranji, naik KRL Sudirman Express. Turun di Manggarai sekitar pukul pukul 09.30, kami sudah ditunggu kereta warna biru yang terlihat bersih itu. "Keretanya baru berangkat pukul 10 nanti," kata penjual tiket, seraya menyodorkan karcis seharga Rp 3,000 rupiah.

Sambil membayangkan sisa-sisa eksterior dan interior masa lalu Stasiun Manggarai yang masih tersisa, kereta pun berdesis -- pertanda mau berangkat. Jarum jam pada arlojiku menunjukkan pukul 10.15 menit -- artinya, terlambat seperempat jam dari jadwal semula. Tapi waktu molor itu tak kami hiraukan, saat hatiku mulai berdebar membayangkan stasiun-stasiun apa saja yang akan kami singgahi...

Yang lainnya, aku membayangkan bagaimana penulis sohor spesialis perjalananan, Paul Theroux, bisa mendeskripsikan perjalanan naik keretanya keliling Asia, yang dijelmahkan menjadi buku, dan dibaca banyak orang. (Salah-satunya bukunya berjudul The 'The Great Railway Bazar', tentang perjalanannya keliling Asia dengan kereta api).

Juga, kubayangkan perjalanan naik kereta api novelis Peter Zilahy dari sebuah kota di Honggaria menuju Yugoslavia -- dalam novelnya yang kontroversial 'The Last Window Giraffe' (edisi bahasa Indonesia, terbit Oktober 2008). "Sebelum tiba di Belgrade, kabut turun..." tulisnya di atas kereta 'Balkan Express', yang menghubungkan Budapest-Belgrade...

Entah apa yang dipikirkan istriku, saat itu. Tetapi setiap kereta kami mulai berjalan pelan (ini tandanya mau berhenti di stasiun tertentu), kami biasanya berujar kompak: "Ini stasiun apa ya?" seraya tanganku memencet tombol kamera, mengabadikan sekelabatan bangunan tempat orang berhenti, istirahat, dan melanjutkan perjalanan lagi...

Dari Stasiun Manggarai, kurang dari 10 menit, Ciliwung Express singgah di Stasiun Jatinegara, lengkap dengan bangunan lamanya -- melewati kawasan banjir bernama Bukit Duri, dengan sungainya yang kelam, serta rerimbunan pohon pisang, dan...sampah.

Tanpa sempat kami berpikir "kemana kereta ini bergerak", sekonyong-konyong kereta berhenti hitungan detik di Stasiun Kramat. Saya tak tahu, apakah ada penumpang naik di dalam kereta luks ini. Pemandangan selanjutnya, adalah rumah-rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, dan seterusnya, dan seterusnya... dan sungai hitam kelam!

Sampai Stasiun Senen, mata dan hati sedikit terhibur, karena stasiun kuno itu terlihat dirawat. ("Perawatan stasiun ini, juga ikut dibiayai dari penjualan tiket kereta eksekutif,"Dirut Perumka, yang kuwawancarai akhir Oktober silam, jelang Idul Fitri. Dia menolak anggapan bila Perumka kurang memperhatikan aspek kenyamanan kereta ekonomi).

Dalam hitungan menit, Ciliwung Express berhenti pada stasiun yang kuanggap sama-sekali asing, yaitu Kemayoran. Dari lokasi ini, aku semakin seperti berada di tempat antah berantah, termasuk ketika kereta ini masuk stasiun mungil berwarna merah muda, Rajawali. "Ini di mana nih!" kataku setengah girang dan terperangah. Istriku cuma tertawa kecil, keheranan pula. Di sini ada dua siswa SD masuk di gerbong kami.

Selanjutnya kereta kami berlari kencang, sepertinya memasuki kawasan pertokoan Mangga Dua, dan masuk stasiun yang tak kutahu namanya. Di kejauhan, hnya terlihat gedung jangkung, dan dataran luas berair -- sepertinya sudah dekat arah Kota, kupikir begitu.

Ternyata benar. Kami sempat melewati kawasan kota Tua, yaitu jembatan gantung, dan deretan gudang tua peninggalan VOC. Tapi kereta ini tak masuk Stasiun Kota, dan tiba-tiba kami membaca papan nama Stasiun "Angke" dan "Duri" -- sama seperti di stasiun awal, banyak gubuk, sampah, dan sungai hitam...

Ada satu lagi stasiun, yang sepertinya di kawasan Roxi, tapi tak sempat kucatat..

Dan seperti pernah kulalui sebelumnya, keretaku melewati jalur rel menuju Stasiun Tanah Abang -- tempat pemberhentian akhir kami. Waktu menunjukkan pukul sekitar 11 siang. Udara terasa sejuk, sepertinya mau hujan. Kami menghabiskan waktu di sini, sambil makan siang di sebuah warung -- yang dindingnya berhias kalender, yang isinya mengingatkanku kawasan Jatibaru, Tanah Abang, yang dulu dikenal sebagai pusat prostitusi.

Sambil menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke rumah, aku kembali membayangkan "jalan-jalan" itu tadi. Kereta luks itu tadi, aroma pasar yang menyelinap di sela-sela pintu keretaku, bau sungai hitam, ribuan gubuk liar yang tak berkesudahan, serta gerbong kereta ber-AC yang melompong, tak berpenumpang... ***

Nov 15, 2008

Bakso Keju, bakso 'Akrom', dan kisah itu...

Rating:★★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Jakarta, Malang
"INI pentol, namanya! Di kota Malang, orang menyebutnya begitu," ujarku bersemangat di depan anakku, yang mulutnya penuh potongan pentol alias bakso, yang sudah kuiris-iris -- saya tahu, dia tak akan begitu peduli dengan ucapanku itu. Bayangkan, mulutnya yang mungil itu justru terus bekerja, dan, "Aida sekarang suka bakso, yang berisi keju!..."

Bakso keju -- alias pentol berisi keju. Para penggemar bakso di Jakarta, tentu sudah merasakan bakso jenis ini, dan sejumlah gerainya gampang di jumpai di sudut-sudut kota ini. Dan diantara sekian ribu konsumennya, anakku adalah salah-satu penggemarnya. "Asyik, kita makan bakso keju yuk," katanya girang, seraya menyebut nama perusahaan bakso itu.

Saya hampir selalu mengiyakan permintaannya -- tentu, bila dia belum makan dan tak setiap hari mengkonsumsinya. Dan beruntungnya, restoran penjual bakso itu, relatif tak jauh dari rumah kami di kawasan Sektor 9, Bintaro Jaya, Tangerang Selatan. Hanya sekitar lima menit dengan kendaraan, kami sudah berada di restoran yang disain eksteriornya bernuansa kuning.

***

UKURAN pentol, alias bakso di restoran itu, cukup besar: sebesar bola tenis. Yang membedakan dengan bakso di tempat lain, di dalamnya tak melulu dipadati daging. Selain keju, ada yang diisi sumsum, urat, buntel (yang digoreng), serta tentu saja yang berisi daging padat -- heeem, yang terakhir adalah menu favoritku...

Bila ditanya kenapa bakso daging padat, tapi renyah dan 'klasik', lebih kusuka, jawabannya antara lain begini: rasa dan bentuknya mengingatkanku saat masa kecil, ketika pertama kali kenal dengan makanan asal Tiongkok itu.

Dulu, saat tinggal di kota Malang, di tahun 1970 dan 80'-an, aku dan saudara-saudaraku mengenal sebuah warung bakso yang terkenal. Letak warungnya, tolong dibayangkan, di sebuah gang sempit -- hanya motor bisa melaluinya. Jalannya agak menurun, tak jauh di belakang Masjid Jami' di kawasan Kauman, di pusat kota Malang...

Nama warung itu 'Akrom' -- saya tak tahu, dari mana nama itu, mungkin saja nama keluarga pemiliknya. Dan seingatku, ruangan warung itu sempit. Sepertinya bekas dapur, yang disulap sedemikian rupa. Pintu warung itu ada dua. Dan saya sering melalui pintu belakang, langsung ke dapurnya.

Dulu, dua kakak perempuanku selalu mengatakan, bakso akrom adalah "bakso Malang paling enak..."

***

SEBUTAN "bakso Malang paling enak" itu terpatri terus dalam benakku. Konsepku tentang bakso di kemudian hari, selalu bertolak dari konsep tersebut. Dan aku selalu berpikir: bakso itu adalah kumpulan pentol, mie kuning, tahu putih atau goreng; sementara di Jakarta, bakso itu pentol semata...

***

DI DALAM benakku, seingatku, pentol akrom ukurannya kecil, yang biasanya dipadu mie kuning (yang digulung), tahu goreng dan tahu putih, serta satu lagi yang sepertinya daging cacah yang digoreng dan dilumuri tepung -- aku lupa namanya.

Nah, yang khas, kuah dari bakso Malang itu bening. Bumbunya tak pekat. Paling-paling dicampuri potongan bawang goreng dan seledri. Dan satu lagi, aku agak lupa, sepertinya bakso Malang tak pernah dicampuri mie putih...

Namun dalam perjalanannya, ruangan sempit warung bakso Akrom, pernah sepi. Tak ada pengunjung yang datang ke sana. "Pemilik warung itu penganut Islam Jamaah", "Mereka punya masjid sendiri di lotengnya", dan "Pentolnya pakai daging babi"...

Itulah selentingan yang kudengar samar-samar di saat aku berusia kurang dari 15 tahun. Seingatku, ketika itu, isu Islam Jamaah menjadi gunjingan di media, dan bahkan menyeret dua atau tiga artis ibukota. Dan, orang-orang di Kauman dan sekitarnya termakan berita-berita itu -- termasuk aku.

***

TAPI bagaimanapun politik, dan isu agama, tak bisa mengalahkan rasa. Seiring luruhnya isu itu, aroma racikan bakso dari warung sempit itu, kembali memabukkan orang-orang di kampung Kauman dan sekitarnya -- yang kuingat dari kata-kata yang terlontar dari mulut ibu atau kakak-kakak perempuanku adalah "jahat sekali orang yang bikin fitnah..."

Aku lupa kapan persisnya Bakso Akrom berjaya lagi, tapi yang kuingat pelan-pelan kehadiran Akrom mulai tersaingi para pendatang baru. Kehadiran pemain baru di bidang per-bakso-an di kota Malang, tidak terlepas dari ide baru, kreativitas, dan modal yang tak cekak. Mereka menciptakan bakso berukuran besar (sebesar bola tenis), dan warungnya yang letaknya di belakang stasiun kereta kota baru Malang (makanya diberi julukan "Bakso Stasiun) pun dipenuhi para mania bakso....

Sekarang, sekian tahun kemudian, jangan kaget, ada banyak jenis atau varian bakso ala Malang itu -- seorang teman asal Jakarta, bahkan sempat tanya, "Fan, bakso Malang mana yang paling enak?" Jawabanku yang terkaang sok tahu, tak akan beda dengan jawaban warga kota Malang secara umum: "Bakso Presiden" (aku pernah mengajak istriku makan di warung itu, yang selalu bergoyang, jika kereta api lewat di sisinya) atau "Bakso Cak Man.." -- bakso Akrom tak kusebut..

(Beberapa kali pulang ke Malang, aku selalu tak sempat datang ke warung Akrom. Aku hanya mendengar, warung itu masih berdiri. Tetapi aku tak tanya lebih lanjut, apakah aroma bakso itu masih memikat...).

***

MENJEJAKKAN kaki di Jakarta awal 1997, aku kesulitan menemukan kenikmatan makan bakso, seperti "bakso Malang". Kuanggap bakso yang ada di Jakarta, kuahnya tak sepenuhnya bening, kaldunya sepertinya dibuat berlebih, dan ada mie putih.

Tapi pencarian itu datang juga, ketika istriku -- sekitar pertengahan 2000 -- mengajakku ke restoran yang menyebut baksonya sebagai bakso Malang. Dan rasanya memang mengingatkanku pada bakso Akrom. "Ini dia bakso Malang.."

Belakangan, pilihan warung bakso itu makin beragam, termasuk restoran yang menjual menu bakso keju, yang disukai anakku itu. Tapi kata istriku "bakso keju bukan khas kota Malang, tapi itu bakso Solo.."

Aku memang akhirnya tak mendebat kata-kata istriku. Aku agaknya harus mengkoreksi konsep "bakso Malang" yang mengendap di otakku (atau di ujung lidahku?). Apa pasal? Ternyata menu bakso berisi daging padat di restoran berdinding kuning itu enak sekali rasanya -- apalagi dipadu kuah panas yang bening, daun seledri, bawang goreng, serta sambal hijau...

Pada akhirnya, rasa melampaui identitas, politik, atau sesuatu yang mengatasnamakan agama... ***





Nov 12, 2008

Anda setuju, rumah Bung Karno dibangun kembali?

TAHUKAH Anda di manakah lokasi saat Bung Karno -- didampingi Bung Hatta di sebelah kirinya -- membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di sebuah pagi, tanggal 17 Agustus 1945?

Tidak semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Kondisi seperti inilah yang membuat prihatin sejumlah veteran, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penting itu, serta para saksi mata.

Sehingga, sebagian dari mereka berencana membangun kembali rumah tempat teks proklamasi itu dibacakan, yang kini telah rata dengan tanah. Sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, terus mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi ini, dihidupkan kembali.

Tetapi mengapa sebagian arkeolog mempertanyakan proyek ini?

***

DI SEBUAH siang, pada bulan September lalu, saya mendatangi lokasi yang disebut-sebut bekas rumah milik Bung Karno. Saya memang tengah menyiapkan liputan tentang rencana pembangunan bekas rumah bersejarah itu. Seraya melangkah kaki ke arah tempat tersebut, saya membayangkan bagaimana bentuk rumahnya -- dalam ingatanku, gambaran yang selalu terlintas adalah, saat dua orang proklamator itu berdiri di teras depan rumah, yang beratap canopy terbuat dari kain bergaris-garis (seperti yang acap ditunjukkan foto usang karya fotografer IPPHOS...).

"Saya tidak tahu, di mana letak bekas rumah itu," kata seorang lelaki berkacamata, saat kutanya secara iseng. Percakapan ini terjadi di taman tugu Proklamasi, di Jalan Proklamasi, tak jauh dari bioskop Megaria atau Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Di dalam areal itu, sekitar 15 meter di sebelah kiri saya, berdiri patung Sukarno-Hatta, sementara di belakang ada tugu peringatan 1 tahun proklamasi, yang berukuran kecil. Adapun Gedung Pola (yang di tahun 60-an, disiapkan Sukarno sebagai tempat menggodok perencanaan pembangunan Indonesia ke depan).

Informasi di mana persisnya letak rumah itu, sebelumnya sudah kudapatkan, tetapi samar-samar. Ada yang mengatakan, rumah itu dulu berdiri di areal yang sekarang berdiri gedung POLA. Namun ada yang menyebut pula, letak persis teras rumah itu, kini dibangun tiang "halilintar". Saya siang itu akhirnya menemukan tiang beton yang lingkarannya berdiameter lebih dari 100 sentimeter, dan di atasnya terpasang logam berbentuk halilintar.

"Di sinilah dibatjakan proklamasi kemerdekaan Indonesia..." begitulah tulisan pada sebuah logam, yang ditempel di bagian bawah tiang tersebut.

***

SEMINAR rekonstruksi rumah Bung Karno, begitulah bunyi sebuah spanduk, yang dipasang di tembok depan Hotel Cemara, di kawasan Menteng, Jakpus. Digelar selama dua hari pada pertengahan Agustus lalu, acara ini dihadiri sejumlah pejabat dari kantor dinas Kebudayaan dan Permuseman DKI Jakarta, sejarawan, pemerhati sejarah, para veteran, serta seorang arkeolog.

Di sela-sela rehat makan siang, saya bertemu pemerhati sejarah yang juga wartawan senior, Alwi Shahab. Dia begitu bersemangat mendukung rencana pembangunan kembali rumah proklamasi itu. Menurutnya, sebagian besar generasi muda sekarang menganggap proklamasi kemerdekaan dibacakan di Istana Merdeka. "Sehingga rumah proklamasi yang sekarang menjadi gedung POLA itu, perlu dibangun kembali, karena tempat itu bersejarah," tegas Alwi.

Rencana ini sepertinya akan berjalan serius. Melalui seminar itu, sang tuan rumah, yaitu Kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, akan membawa hasil seminar itu ke pemerintah pusat -- agar direalisasikan, dengan tentu saja sembari berharap dapat guyuran dana. Dan mudah ditebak, dalam diskusi hari pertama, semua peserta dan pembicara berduyun-duyun mendukung rencana pembangunan kembali rumah BK.

"Di rumah itu pula kabinet pertama RI bersidang beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan," tegas sejarahwan Universitas Padjadjaran, Bandung, Doktor Sobana Hardjasaputra.

Selain itu, Eddy Syafuan salah-seorang pembicara, yang juga pemerhati sejarah, mengatakan, mempelajari sejarah tidak cukup hanya melalui buku-buku sejarah. Warga masyarakat, menurutnya, perlu juga tahu di mana persisnya peristiwa sejarah itu terjadi.

"Kalau peristiwa proklamasi kemerdekaan, hampir semua tahu itu. Tapi anak-anak itu juga ingin tahu, seperti apa ya rumah BK seperti di foto-foto itu," tegas Eddy, bersemangat.

"Jangan sampai orang datang ke sana, dan berfikir bahwa BK membaca teks proklamasi itu persis di bawah patung proklamator... Itu salah kaprah!"

***

DARI seminar terungkap pula, kenapa Bung Karno membongkar rumah tersebut, pada tahun 1962 -- namun sepertinya tidak ada keterangan tunggal. Seorang peserta mengatakan, rumah itu dihancurkan, karena presiden pertama ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan ke Monumen Nasional (Monas). Sementara Eddy Syafuan mengatakan, rencana pembongkaran itu sempat dipertanyakan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung.

"Dan, ada lagi sentilan yang mengatakan, BK membongkar (rumah) atas desakan itu. Nah, di dalam salah-satu statement Henk Ngantung, dia mengatakan (anggapan) itu tidak benar. Malah seolah-olah (dia) mengatakan BK seolah-olah merestui (pembongkaran rumah tersebut)," jelas Eddy.

Alkisah, pada tahun 1962, tiba-tiba Sukarno memutuskan akan membongkar rumahnya, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. "Berita itu," demikian menurut makalah yang dibuat oleh Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, "muncul secara ekstrim di berbagai koran ibu kota." Henk Ngantung, pejabat Gubernur DKI Jakarta saat itu, dilaporkan merasa prihatin terhadap rencana itu. Dia lantas menemui Presiden, membujuk agar membatalkan rencana itu.

Namun bujukan itu tak kuasa meluruhkan hati Sukarno. "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku," jawab Bung Karno di hadapan Henk Ngantung, seperti dikutip Alwi Shahab. Dan tanpa alasan yang jelas, menurut makalah itu, dan kini masih merupakan misteri, pembongkaran jadi dilakukan -- yang kemudian disesalkan sebagian orang di kemudian hari.

Tapi usaha Henk Ngantung, tidaklah seluruhnya sia-sia. Presiden dilaporkan setuju di kemudian hari, rumah itu dapat dibangun kembali.

"Untuk keperluan itu, Gubernur Henk Ngantung menugaskan sejumlah stafnya untuk membuat maket, foto-foto, dan menyimpan sejumlah perabot rumah tangga agar dikemudian hari dapat dipergunakan secara semestinya," kata pemerhati sejarah, Rushdy Hoesein, yang pernah dilibatkan dalam proyek pembangunan kembali rumah itu, di masa Presiden Suharto berkuasa.

***

DI SELA-SELA seminar itu, saya beruntung bertemu Rushdy Hoesein, lelaki berambut perak, yang pernah dilibatkan dalam upaya merekonstruksi rumah Bung Karno (yang ditinggali sejak tahun 1942), dulu. Rupanya, ide seperti ini pernah diupayakan, sekian tahun silam, tetapi juga gagal. Siang itu, dia membawa sebuah salinan buku yang isinya berupa disain dua dimensi rumah itu, berikut foto-foto. Dengan bersemangat, Rusdhy bercerita betapa rumah itu bersejarah.

"(Rumah itu) tempat tinggal BK, lalu tempat proklamasi Ketiga, (tempat) perundingan dengan Belanda jaman (perdana Menteri) Syahrir sampai perundingan Linggarjati (1947). Dan tahun 1949, tempat persiapan pengakuan kedaulatan rakyat (oleh Belanda). Kemudian tahun 1957, ada musyawarah besar, di mana Bung Hatta tak lagi menjadi wapres, dan masyarakat meminta agar dwi tunggal terbentuk lagi."

Rushdy lantas bercerita, di masa Presiden Suharto berkuasa, pernah ada ide untuk membangun kembali rumah itu. Saat itu, katanya, ahli sejarah, toko masyarakat, serta saksi sejarah meminta agar Presiden Suharto membangun kembali rumah tersebut. "Pak Harto mengatakan, 'Yang mbongkar saja nggak setuju... Sudahlah kita akan mengenang beliau... Saya akan bangun patung proklamator yang gede'," ungkap Rushdy menirukan Pak Harto.

"Tapi orang 'kan menilai itu kan patungnya Pak Harto, meski sosok patungnya proklamator. Lagipula posisinya tak tepat, banyaklah koreksinya. Tapi, ya sudah, kita terima... Patungnya 'kan juga bagus," tambah Roesdy.

Disebutkan, tahun 2002, sejumlah veteran angkatan 45 pernah memunculkan kembali ide pembangunam rumah itu, dan tampaknya berlangsung serius. Melalui pembicaraan yang panjang, sampai tahun 2005, mereka sudah sampai pada satu titik, yaitu membangun kembali rumah itu sepersis mungkin dengan aslinya -- dan akan dijadikan musium proklamasi.

Bahkan saat itu sudah dibentuk Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, yang disebutkan melibatkan kalangan profesional -- mulai arsitek yang berpengalaman dalam konservasi gedung bersejarah, serta sejarawan. Rushdy Hoesein, salah-seorang anggota komite itu, mengatakan, saat itu kerja panitia sangat serius, termasuk menggali pondasi bangunan tersebut, yang ternyata masih utuh.

Tetapi, proyek ini tidak berjalan. Dia menjelaskan, selain kendala dana dan masalah politik, penyebab lainnya adalah polemik tajam antara kalangan sejarawan dan arkeolog tentang cara merekonstruksi rumah itu. Rushdy kemudian menyebut nama seorang arkeolog senior, Profesor Mundardjito, yang disebutnya paling kritis mempertanyakan proyek itu.

Hari Kamis pada pertengahan September lalu, saya menemui Profesor Mundardjito di kediamannya, dan ternyata sikapnya tak berubah.

"Biarkan sisa fondasi bangunan yang ada, jangan didirikan bangunan di atasnya!" Tegas Mundardjito, yang dulu pernah berperan dalam pembangunan kembali Candi Borobudur. Dia mengusulkan, agar fondasi bekas bangunan itu digali dan diungkap, dan dikonservasi sedemikian rupa.

"Jadi, nanti biarlah orang mengerti seperti inilah denah bangunan yang tersisa apa-adanya. Namun masyarakat juga harus diberitahu, bahwa rumah ini dulu dibongkar, yang mungkin atas inisitaif Bung Karno sendiri," jelas Mundardjito.

Kalau ingin membangun rumah seperti aslinya, Mundardjito yang guru besar Universitas Indonesia, menyarankan begini, "Warga harus tetap diberitahu, bahwa ini bukan gedung aslinya, tapi kira-kira seperti inilah bentuknya," tandasnya.

Dan, menurutnya, bangunan tiruan ini jangan dibangun di atas fondasi aslinya. "Jangan dibangun di situ (fondasi yang lama), tapi di luar itu," kata Mundardjito, serius. Dia menambahkan, "Buat saja model (rumah)dalam bentuk miniatur, atau sebesar aslinya, itu silakan. Tapi tolong jangan di atas lokasi yang lama. Itu sangat ditentang arkoelog, karena itu tidak asli."

Keinginan Mundardjito ini bertentangan dengan niat orang-orang yang ingin mendirikan rumah baru di atas fondasi asli tersebut, seperti ditegaskan Eddy Safyuan, pemerhati sejarah.

Menurutnya, rumah baru lebih baik dibangun di atas fondasi bekas rumah yang lama. "Biarkan saja gedung POLA ada di belakang, jangan dibongkar, karena itu juga punya sejarah tersendiri," jelasnya, seraya menambahkan, gedung POLA adalah saksi bisu rencana Sukarno dalam melaksanakan kebijakan pembangunan semesta berencana.

Eddy menghormati alasan para arkeolog, yang berangkat dari segi disipilin ilmunya. Namun menurutnya, pembangunan rumah Sukarno adalah untuk kepentingan lebih luas. "Kenapa di negara besar seperti Amerika Seikat, bisa membangun kediaman presiden pertama George Washinton? Kenapa kita tidak ambil contoh baik seperti itu," katanya.

***

EDDY Safyuan dan para pendukung ide pembangunan kembali rumah itu, menganggap, yang penting rumah itu dibangun semirip mungkin dengan aslinya. Apalagi, mereka mengaku telah menemukan foto-foto, disain rumah itu sebelum dibongkar, serta saksi sejarah.

Tapi Mundardjito menganggap, syarat-syarat itu tidaklah cukup. Menurutnya, apabila ingin dibangun di atas fondasi yang lama, harus ada tembok yang tersisa, sehingga bisa diketahui bahan asli bangunan itu. "Namun semua ini tidak terpenuhi," katanya.

Lebih dari itu, menurut Mundardjito, jika proyek ini dipaksakan, bisa merusak keaslian situs asli fondasi itu. Dan cara berfikir seperti ini, tegas Mundardjito, bisa membahayakan kebenaran akademis yang relatif dan terus berkembang. Dia kemudian mengusulkan, agar dibangun maket berukuran kecil yang bisa ditinjau ulang. Maket ini menurutnya dapat diletakkan di dekat fondasi asli, berikut memberi latar belakang sejarah bangunan tersebut.

"Lay out itu bisa direkonstruksi, agar nanti ada sejarawan lain bisa menilai ulang, 'oh bukan begitu, tugunya bukan di situ'. Nah, ganti lagi, taruh di sini... Jadi, ini sebagai rekonstruksi yang akademik sifatnya, yang boleh diganti sesuai pemikiran orang-orang yang punya data baru. Ini namanya perkembangan pemikiran orang-orang, yang tidak terus jadi berhenti," jelas Mundardjito. Dia khawatir apabila gedung baru dibangun di fondasi yang lama, orang-orang dipaksa untuk berhenti berfikir.

***

TIDAK adanya titik temu diantara kedua pihak ini, sayangnya tidak tampak dalam seminar rekonstruksi rumah Bung Karno itu. Pembicara dan peserta seminar justru mengamini agar pembangunan itu jangan ditunda lagi. Mereka lantas usul, jika rumah baru itu berdiri, dijadikan musium seputar peristiwa proklamasi kemerdekaan.

Para peserta seminar kemudian menyatakan, akan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan pemerintah pusat agar segera mengeluarkan dana, supaya proyek pembangunan kembali Rumah Bung Karno bisa segera terealisasi, dan sama-sekali tidak memasukkan keberatan para arkeolog. ***

Anda setuju, rumah Bung Karno dibangun kembali?



TAHUKAH Anda di manakah lokasi saat Bung Karno -- didampingi Bung Hatta di sebelah kirinya -- membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di sebuah pagi, tanggal 17 Agustus 1945?
Tidak semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Kondisi seperti inilah yang membuat prihatin sejumlah veteran, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penting itu, serta para saksi mata.
Sehingga, sebagian dari mereka berencana membangun kembali rumah tempat teks proklamasi itu dibacakan, yang kini telah rata dengan tanah. Sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, terus mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi ini, dihidupkan kembali.
Tetapi mengapa sebagian arkeolog mempertanyakan proyek ini?

Nov 11, 2008

Dari Penjara ke Pigura, sebuah pameran seni rupa..

Start:     Oct 17, '08 10:00a
End:     Dec 6, '08
Location:     Galeri Salihara, Jalan Salihara, Pasar Minggu, Jaksel
SEMPATKANLAH mampir ke Galeri Salihara, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dalam pekan-pekan ini. Di galeri milik Komunitas Salihara (yang baru saja diresmikan) itu, Anda akan menikmati sejumlah lukisan atau karya instalasi yang "tidak lazim".

Kusebut tidak lazim, karena pameran seni rupa ini menampilkan lukisan dan karya instalasi yang berangkat dari teks-teks yang ditulis oleh sejumlah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia -- dalam perjuangan melawan cengkeraman kolonialisme. Itulah sebabnya, para kurator menamakan pameran ini "Dari Penjara ke Pigura".

"Teks-teks itu (yang berasal dari dari naskah pidato, artikel, surat, atau catatan harian)", demikian keterangan para kurator dalam buku pengantarnya, "adalah buah pikiran (atau ungkapan pengalaman) Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan lain-lain."

Petikan teks-teks itu, lanjut kurator, kemudian ditafsir ulang, diolah dan dihidupkan kembali -- dalam beragam medium, oleh sejumlah perupa Indonesia (yang terpilih mengikuti pameran ini).

Pameran ini -- yang berlangsung mulai 17 Oktober sampai 6 Desember 2008 nanti -- menghadirkan karya-karya mutakhir sejumlah perupa, antara lain Agus Suwage, Dadang Christanto, Diyanto, Djoko Pekik, Hanafi, Mella Jaarsma, Oky Arfie, S Teddy D, Tisna Sanjaya, Ugo Untoro, dan Yuswantoro Adi.