Feb 29, 2008

Sabtu malam besok, aku terbang ke Inggris...

PUNGGUNGKU terpampang di Tabloid olahraga BOLA! Ini serius, saya tidak berseloroh! Ha,ha,ha...Pada rubrik “Dari Redaksi” tabloid itu, ada foto seorang lelaki – yang cuma terlihat punggungnya – tengah mewawancarai lelaki lain di depannya. Nah, “foto seorang lelaki” itu adalah saya…


Kisahnya, pada malam itu, rekan sekantor, Sigit, menelepon. Suara baritonnya terdengar renyah, "Fan, sudah beli BOLA yang baru?"

Belum, kujawab. "Kalau begitu, beli segera ya.." Kenapa, kutanya lagi agak penasaran. Sigit pun akhirnya bercerita...

Rupanya, saat wawancara, fotografer tabloid itu mengabadikan peristiwa yang berlangsung hari Rabu lalu (20 Februari), di kantor BOLA. Saya, saat itu, tengah menginterviu salah-satu wartawan BOLA, Broto Happy, yang dikenal sebagai spesialis liputan bulutangkis – tempatku bekerja juga acap mengontaknya.


Broto kuhubungi, karena pada pekan ini, saya membuat laporan “di luar kebiasaan”. Kusebut demikian, karena jarang sekali aku bersentuhan dengan liputan olahraga bulutangkis. “Sekalian belajar,” begitu alasanku, tanpa basa-basi. (Ah, aku jadi ingat, wartawan itu acap disebut tipe “generalis”, karena tuntutan mengetahui berbagai hal (walau cuma sepenggal), sementara seorang ahli bidang tertentu biasa dianggap “spesialis..)


Jadi, apa salahnya, kucari orang yang kuanggap paham tentang bulutangkis, sekalian kujadikan tempat bertanya serta mewawancarainya…


Laporan ini akan diputar sehari sebelum pembukaan kejuaraan bulutangkis All England, pada awal Maret (4-9 Maret) nanti, di Kota Birmingham, Inggris. Sebelum bertemu Broto, saya dua kali kunjungi Pelatnas tim bulutangkis Indonesia di kawasan Cipayung, Jakarta Timur – di komplek pelatihan itu, saya menyaksikan foto-foto perjalanan tim pebulutangkis Indonesia yang melegenda, mulai Rudi Hartono sampai Susi Susanti, yang ditempel di ruangan. (Di sana pula, kulihat sosok legenda lainnya, Luis Pongoh, yang senyum "bayi"-nya tidak berubah seperti belasan tahun silam, saat dia masih memegang raket..)


Nah, pertanyaannya kemudian, kenapa saya diberi tugas buat laporan kesiapan tim bulutangkis Indonesia? Inilah yang ingin kuceritakan. Awal Maret nanti, saya dapat tugas meliput kejuaraan bulutangkis All England. Dan, kalau tak ada aral melintang, saya akan berangkat tanggal 1 Maret, pukul 23.00 Waktu Indonesia Barat, dengan maskapai Emirates


***


LEBIH dua pekan silam visa kunjunganku ke Inggris, akhirnya kelar – “silakan bapak ambil, barusan diantar dari kedutaan”, suara perempuan dari pesawat telepon begitu terdengar merdu, pagi itu. Dengan langkah kaki yang kurasakan enteng, siang itu juga kuambil paspor hijau itu (di lantai 22 gedung Abda, dekat British Council, Jalan Sudirman) – hujan gerimis yang jatuh dari langit Jakarta, akhirnya tak begitu kupedulikan.


Tanah Inggris, dalam bayanganku selama ini, memang seperti magnit – warna kelabu langitnya berikut gedung-gedung tuanya; bunyi “koak-koak” burung gagak di pelataran Tower of London; serta pohon-pohon oak yang daunnya rontok (berikut bentuk daunnya yang khas); serta sebuah hutan kecil di sebuah desa di wilayah Petersfield...


Ini memang bukan kunjunganku yang pertama.
Bila pesawatku kelak mendarat di Bandara Heathrow, awal Maret nanti, berarti ini adalah kunjunganku ketiga ke tanah Inggris – pertama kuinjakkan kaki di London, pada Desember 2002, dan kedua pada Februari 2004.


Itulah sebabnya atmosfir negara itu, utamanya kota London dan pinggirannya, rasanya sudah begitu kukenal – saya jadi teringat sebuah aroma yang selalu menyergap saat kakiku turun di Bandara Heathrow, tapi selalu sulit kujelaskan seperi apa bau-bauan itu…


Rencananya aku tinggal satu bulan di Inggris, sepekan di Birmingham (kira-kira 2 jam perjalanan dengan kereta api dari London, untuk meliput kejuaraan bulutangkis All England). Sisanya, saya membantu tim London.. sampai akhirnya kembali pada 31 Maret 2008.

***


"POKOKNYA, Walid balik dari London tanggal 3 Maret, karena itu ulang tahun teman Aida,” kalimat ini meluncur dari mulut anakku, satu bulan lalu. Anakku rupanya “tidak rela” ayahnya pergi jauh – entah apapun alasannya. Tapi, aku dan istri sepakat: mesti cerita apa adanya, bahwa Walid “mendapat tugas liputan bulutangkis ke Inggris dan tinggal selama satu bulan”.


Itulah sebabnya, saya sengaja bercerita ihwal rencana perjalanan itu jauh-jauh hari – dan, awalnya memang tidak mudah. Dan ini adalah ide istriku, “biar dia nggak kaget, dan sekalian biar dia memahami bagaimana kerjaan bapaknya.”

Kebiasaan ini akhirnya selalu kulakukan -- hampir pada setiap ada liputan, entah di luar kota atau pulau, atau luar negeri. Hasilnya memang terlihat, walaupun prosesnya tidak segampang yang dibayangkan.


Dan perjalananku ke Inggris kali ini, bukanlah dalam waktu singkat. Sebulan aku bakal meninggalkan anak dan istriku – ya, ampun siapa bisa menahan rasa kangen itu! (Sebelumnya belum pernah aku selama itu – paling-paling 3 minggu paling lama: saat ke Inggris tahun 2002, ke perbatasan Kalimantan Timur hingga ke Mataram tahun 2005 hampir 15 hari,  liputan rusuh Abepura di Papua selama 10 hari; serta liputan tsunami yang memakan lebih dari 2 pekan).


"Kalau Aida kangen Walid, kan bisa menelpon, atau kirim email ke Walid,” aku mencoba melanjutkan percakapan, Jumat malam, sehari jelang keberangkatanku. Ini terjadi di dalam mobil, di perjalanan pulang dari kantor. Istriku mengajaknya, untuk menjemputku – sekalian belanja apa yang harus kubawa besok. “Walid kalau kangen, juga pasti menelepon Aida...”


Semula dia mau menjawab pertanyaan itu, tapi dengan kalimat singkat “ya, Lid..” Namun dia bertanya lagi, dengan kalimat yang mulai tercekat.

Kok lama di Inggris, kok satu bulan?”

Kan setelah liputan bulutangkis, Walid ada tugas di kantor London,” kataku, dengan nada yang kubuat ramah.


Pertanyaan ini dia ulang-ulang, dan kucoba menghiburnya, bahwa satu bulan tidak akan terasa lama, asal “Aida beraktivitas seperti biasanya,” kata istriku, mencoba membuatnya nyaman. Upayaku untuk membujuknya, terus kulakukan saat kami sampai di rumah. Saya coba yakinkan sekali lagi bahwa “kita nanti akan ketemu lagi..” Tapi, senyumnya yang hilang itu membikin aku sedih... (saya lantas teringat perjalanan tugas ke Inggris tahun 2002, tanpa anak-istri, membuat perjalanan itu akhirnya tidak sepenuhnya nikmat..).


Sabtu malam besok, aku terbang ke Inggris...

PUNGGUNGKU terpampang di Tabloid olahraga BOLA! Ini serius, saya tidak berseloroh! Ha,ha,ha...Pada rubrik “Dari Redaksi” tabloid itu, ada foto seorang lelaki – yang cuma terlihat punggungnya – tengah mewawancarai lelaki lain di depannya. Nah, “foto seorang lelaki” itu adalah saya…

Kisahnya, pada malam itu, rekan sekantor, Sigit, menelepon. Suara baritonya terdengar renyah, "Fan, sudah beli BOLA yang baru?"
Belum, kujawab. "Kalau begitu, beli segera ya.." Kenapa, kutanya lagi agak penasaran. Sigit pun akhirnya bercerita...

Feb 24, 2008

Majalah EPPO, nomor 39 Tahun 1979…

KALAU ada yang mengatakan, lebih gampang mengingat sebuah gambar ketimbang tulisan, ini bukanlah sekedar isapan jempol. Setidaknya begitulah pengalamanku, tatkala menemukan kembali majalah ‘cerita bergambar’ EPPO terbitan 1979,  majalah milikku yang kubaca pertama kali 28 tahun silam – saat saya bercelana pendek, murid sebuah sekolah dasar...  

 

Secara tak sengaja majalah itu kutemukan di dalam kotak plastik, yang kusimpan di gudang. Semula aku ingin melihat kembali foto-foto lama, koleksi kliping sepakbola dan sejumlah buku. Namun mataku lebih tertuju pada majalah itu, dan tergoda lebih lanjut untuk melihat kembali isinya…   

 

Jauh sebelum disimpan di gudang,  majalah berwarna ini tergeletak di sebuah lemari di rumah ibuku di Kota Malang (dulu, aku punya lebih dari 10 majalah itu). Dilatari semacam argumen “melihat masa lalu adalah sebuah kebutuhan”, maka majalah itu serta sebuah lagi majalah kanak-kanak milikku (yaitu ‘cerita bergambar’ terbitan Gramedia) kubawa ke Jakarta. Namun lantaran kendala tempat, akhirnya majalah itu kusimpan juga di gudang. 

 

Dan, ketika tanganku membuka lembar per lembar majalah itu, sosok-sosok tokoh yang sebagian kuimpikan dulu, muncul kembali. Memang tidak semua berujud kartun, ada beberapa cerita yang digambar secara realis. Nah, figur-figur seperti ‘Storm’ (lelaki tanpa baju yang berpetualang melawan kejahatan, dengan partnernya seorang perempuan yang dijuluki ‘rambut merah’, diletakkan pada halaman-halaman pertama majalah ini) itulah yang kisahnya mengharu-biru masa kanak-kanakku.       

 

Tapi, yang selalu membuatku selalu ingin tahu cerita lanjutan pada edisi berikutnya, adalah kisah fiksi berseri dengan latar sejarah Perang Dunia 2, berjudul ‘Partisan’. Melalui tokoh seorang mayor tentara asal Inggris bernama Dragon (saya dulu selalu terobsesi model rambutnya yang kuning, dan kumis tipis di wajahnya), cerita ini mengajak pembacanya mengarungi berbagai pertempuran seputar perang dunia itu.

 

Saya juga ‘jatuh cinta’ dengan kisah ini, karena goresan tinta pelukisnya – teliti, dan agak detil. Dan, karena begitu terbius  kisah ini, aku masih ingat, dulu aku dan teman-teman di kampung, “main perang-perangan” dengan senjata dari kayu yang model senjatanya kuambil dari kisah ini, selain filem perang di televisi berjudul ‘Combat’ dan ‘The Spy Force’…

 

Cerita bergambar lainnya, yang juga membuat imajinasiku meletup-letup saat itu, adalah kisah pemain sepakbola asal sebuah klub di Belanda – namanya Roel Dijkstra, pemain depan dengan rambut blonde mirip legenda sepakbola Belanda sesungguhnya, Johan Cruyff. Aku menyukai cerita ini, juga dilatari kesukaanku bermain sepakbola.. (saya ingat, ada kisah Roel akhirnya dikontrak sebuah klub Inggris, dimana diceritakan lelaki berambut pirang itu menghadapi konflik dan intrik)     

 

Tentu saja, cerita gambar dalam bentuk kartun di majalah itu, juga menjadi daya tarik – mulai detektif kocak Johnny Goodbye, Agen 327 dengan rekannya lelaki   berambut gondrong, hingga Leonardo ‘si pencipta’, serta profil EPPO sendiri (lelaki dengan kacamata tebal, dan rambut agak jabrik…)

 

Toko Buku Surya Buwana

DIBESARKAN dalam keluarga dengan ayah seorang guru, tentulah sulit secara ekonomi untuk berlangganan majalah EPPO – aku ingat, dibandingkan majalah BOBO, majalah ini lebih mahal (tahun 1979, harganya 300 rupiah). Saya akhirnya membaca majalah itu di sebuah toko buku, yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah – namanya Surya Buwana. Di sanalah, pertama kali aku mengenal majalah itu.

 

Lantaran terbitnya bulanan (atau mingguan ya? Aku lupa), maka saya selalu penasaran setiap menjelang hari terbitnya. Pulang sekolah, di hari terbitnya, saya selalu nongkrong di depan toko buku itu. Biasanya majalah yang baru datang diletakkan di atas rak kaca, di bagian depan.

 

Di sanalah, terkadang berdiri dan sering jongkok, aku lahap isi majalah itu – bersama  seorang teman tetangga yang seumur, namanya Hidayat (dulu, kita acap bersaing, siapa paling cepat membaca majalah itu – ha,ha.. kalau ingat semua ini, dan bertemu kembali dengan Hidayat, kita cuma bisa tertawa sekarang…).

 

Untungnya, pengelola toko buku itu begitu sabar menghadapi kami. Walaupun terkadang mereka berkata “bacanya nanti ya, karena sedang banyak pembeli”, mereka membiarkan kami masuk ke bagian dalam, dan dibiarkan duduk dipojok sambil membaca.  Tapi, sebetulnya, bukan hanya EPPO yang kami baca, tentunya. Ada cerita bergambar yang kusebut pada awal tadi (terbitan Gramedia, tentang kisah-kisah terkenal di seluruh dunia) dan buku tentang penemuan dan petualangan – seingatku kala itu  aku tidak tertarik lagi dengan Majalah Bobo. (Kini ganti anakku yang berlangganan majalah dengan mascot bergambar kelinci itu).

 

Saya lupa, kapan persisnya tidak lagi membaca majalah EPPO. Namun yang jelas, sejak toko buku itu pindah ke tempat lain (yang jauh dari rumahku), praktis aku tak lagi membacanya. Ada perasaan kehilangan saat itu, karena saya masih dibuat penasaran beberapa cerita dalam majalah itu, yang tidak lagi kuikuti -- di toko itu pula, saya pertama kalinya menemukan Tabloid BOLA, yang saat itu, tahun 1984, disisipkan Surat Kabar KOMPAS…

 

Beberapa tahun kemudian, sebuah penerbitan menerbitkan kembali kisah-kisah dalam majalah itu --dalam sebuah majalah terbitan khusus. Tapi, seingatku, aku tidak lagi tertarik, mungkin karena usia yang bertambah dan minat bacaan yang berubah. Kini, 28 tahun kemudian, aku kembali membalik-balik majalah yang mulai kusam itu. Melalui gambar-gambar tokoh rekaan di dalamnya aku pun kemudian mengenang, memotret beberapa halamannya, dan kemudian majalah itu kusimpan lagi…     

Majalah EPPO, nomor 39 Tahun 1979…

KALAU ada yang mengatakan, lebih gampang mengingat sebuah gambar ketimbang tulisan, ini bukanlah sekedar isapan jempol. Setidaknya begitulah pengalamanku, tatkala menemukan kembali majalah ‘cerita bergambar’ EPPO terbitan 1979, majalah milikku yang kubaca pertama kali 28 tahun silam – saat saya bercelana pendek, murid sebuah sekolah dasar...
Secara tak sengaja majalah itu kutemukan di dalam kotak plastik, yang kusimpan di gudang. Semula aku ingin melihat kembali foto-foto lama, koleksi kliping sepakbola dan sejumlah buku. Namun mataku lebih tertuju pada majalah itu, dan tergoda lebih lanjut untuk melihat kembali isinya…
Semula majalah ini tergeletak di sebuah lemari di rumah ibuku di Kota Malang (dulu, aku punya lebih dari 10 majalah itu). Dilatari semacam argumen “melihat masa lalu adalah sebuah kebutuhan”, maka majalah itu serta sebuah lagi majalah kanak-kanak milikku (yaitu ‘cerita bergambar’ terbitan Gramedia) kubawa ke Jakarta. Namun lantaran kendala tempat, akhirnya majalah itu kusimpan juga di gudang.
Dan, ketika tanganku membuka lembar per lembar majalah itu, sosok-sosok tokoh yang sebagian kuimpikan dulu, muncul kembali. Memang tidak semua berujud kartun, ada beberapa cerita yang digambar secara realis. Nah, figur-figur seperti ‘Storm’ (lelaki tanpa baju yang berpetualang melawan kejahatan, dengan partnernya seorang perempuan yang dijuluki ‘rambut merah’, diletakkan pada halaman-halaman pertama majalah ini) itulah yang kisahnya mengharu-biru masa kanak-kanakku.

Feb 22, 2008

Perdebatan itu tidak berujung di Bogor…


gjgjg
 
 1

kjkjkj
 
 1

ANAKKU yang tahu karakter “kurang tegasku”, kembali mendapat kesempatan untuk menguji sifatku itu. Dan, yakinlah, aku  juga diuji bagaimana menghadapi “sifat manjanya” – yang terkadang minta ampun deh... 


Semua ini terjadi tatkala kami – saya dan Aida, tanpa ditemani ibunya – jalan-jalan ke Kota Bogor, awal pekan lalu (ini adalah perjalanan aku dan Aida ketiga kali ke kebun raya di kota hujan, sejak tahun 2004). Dan sepanjang perjalanan itulah, bapak-anak ini saling uji kekuatan, berdebat,  bahkan terkadang diwarnai saling tarik urat…

 

“Ujian pertama”  mulai dia perlihatkan sepanjang perjalanan naik taksi ke Blok M, dan berlanjut di atas busway ke Stasiun Kota. Ia tahu aku membawa 2 bungkus permen, yang kusiapkan sebagai  “hadiah akhir pekan” – kami sengaja membatasi dia mengkonsumsi makanan itu, kecuali di akhir pekan.

 

Kuberi anak perempuanku  satu bungkus permen (yang bikin sensasi, katanya, karena dapat “meletus” di dalam mulut). "Kres, kres..," bunyi giginya. Aku katakan, lebih baik dihisap. Tapi Aida asyik dengan sensasi permen itu, dan tak menjawab -- permen itu akhirnya habis, saat taksi kami merapat di Pasaraya Blok M.

 

Aku tahu, setelah permen pertama habis, dia akan minta permen berikutnya. Dan itulah sebabnya, aku berkata pada diri-sendiri, “untuk sementara cukup satu bungkus permen, kecuali usai makan nanti.” Namun selang beberapa menit, aku toh mengiyakan permintaan, walaupun aku mengajukan syarat: tidak dihabiskan ya, karena nanti kenyang, sementara kau belum makan (Permen warna-warni isi coklat itu akhirnya habis, sesaat kereta listrik kami melaju, meninggalkan Stasiun Kota). 

 

Tapi seingatku, kupasang sikap tegas saat tiba makan siang -- di sebuah restoran di Stasiun Kota. Kali ini dia mengulangi lagi senjatanya.  Mulutnya baru mengunyah 3 sendok makan, dia sudah melontarkan kalimat “Walid, Aida sudah kenyang..”   (Kali ini, fiuh, aku menganggap diriku berhasil. Dia makan dan minum cukup, walaupun dalam proses itu selalu  dia menawar, dengan berulang-ulang mengatakan kalimat itu tadi).

 

Tidak kuasa, dan Teriak

TAPI perdebatan belum berakhir. Di atas kereta yang menderu,  anakku yang berusia 6 tahun lebih 2 bulan lagi-lagi membuat karakterku terbuka kembali. Saat sebuah kereta makanan (milik perumka) lewat di depan kami duduk, dia minta dibelikan snack kripik kentang. Saya tegas menolaknya, “karena Aida tahu kan (makanan) ini nggak sehat!” – kami selama ini tidak membiasakan dia mengkonsumsinya, dan berhasil.

Tapi apa daya, dia teriak, setengah menangis, ngotot, sementara penjualnya tidak beranjak dari depan kursi kami, sementara mata penumpang lain – seolah-olah – menyorotku. Kesadaranku pun runtuh, dan kembali gagal “bersikap tegas”. Kripik kentang itu akhirnya pindah ke tangannya, dia kunyah, dan penjual makanan itu pun berlalu. Saya tidak berkutik. 

 

Kisah pun berpindah di Stasiun Bogor. Barangkali paham bapaknya “bisa dikadalin”, anakku kembali berulah. Tanganku ditariknya menuju sebuah mini supermarket, tapi tak kutolak, karena aku berfikir untuk membeli tisu basah. Didalam ruangan itulah, sifat manjanya – yang terkadang keterlaluan – mencapai puncaknya. “Aida pokoknya mau permen lagi!” 

 

Saya tolak tegas-tegas kemauannya. Walaupun begitu dia tetap mengambil 2 permen, dan menyodorkannya kepadaku. “Tidak, tolong dikembalikan Aida… Sudah cukup makan permennya.” Menghadapi sebuah tembok, dia keluarkan senjata terakhir: menangis (..oh, airmata anak-anak, betapa polosnya, begitu yang kupirkan, pada awalnya).

 

Namun,  toh rasioku kali ini bicara. Kualihkan pembicaraan, “Aida tujuan kita ke Bogor, 'kan mau ke Kebun Raya Bogor, mau main air di kolam teratai ‘kan?” Mimik wajahnya draktis berubah, dan tangannya mau kugandeng. Dan dia menghapus sisa-sisa air matanya.

Tapi selang beberapa menit, setelah saya serahkan karcis kepada penjaga pintu keluar stasiun, dia minta dibelikan mainan “panah-panahan” (yang sudah lama dia idamkan). Dan, kebetulan, dia melihat barang itu di deretan para kaki-lima di depan stasiun Bogor.

 

Aku sebetulnya enggan, tapi aku berfikir, apa salahnya dengan mainan panah-panahan. Bukankah saya selama ini tidak terlalu memilah, mana mainan yang dikategorikan untuk anak perempuan atau lelaki.

 

“Ya, udah, habis dari Kebun raya, Walid janji beli panah-panahan,” kataku serius.

“Nanti tutup, Lid,” jawabnya ketus.

“Makanya, kita mesti cepat-cepat ke kebun raya, biar nanti bisa ke sini sebelum jam 5 sore,” jelasku, dengan nada meninggi.

 

Penjelasanku tampaknya bisa melegakannya. Kami pun beranjak naik angkot ke kebun raya.

 

Minta gendong

MEMASUKI komplek Kebun Raya Bogor, tanda-tanda “manja” Aida terlihat kembali.  Dia minta gendong, padahal kita baru berjalan kurang dari 20 meter. Saya menolaknya -- dan dia ngambek, jalan lebih cepat dan muka ditekuk. Namun kali ini aku bisa mengajaknya bercanda, dengan harapan bisa mengalihkan keinginannya itu.

Kuajak dia berlari-lari, menirukan suara monyet, atau serangga “gareng” – dia selalu  penasaran seperti apa sosok serangga itu, karena aku selalu mengatakan wujudnya mirip lalat tapi fisiknya sebesar genggaman tangan. “Nah, kalau capek kita duduk saja,” kataku. Kami lantas  duduk di bangku. Dia bisa tertawa akhirnya, setelah permintaannya beli es krim kukabulkan.

 

Saya lantas mengajaknya sebuah lokasi favorit di kebun raya: sebuah hamparan rumput dan kolam yang dihiasi teratai, dan di depannya berdiri anggun Istana Bogor. Saya duduk di sana, sementara Aida berlarian, dan mendekati dua ekor angsa -- di balik pagar pembatas istana.

 

Di Kejauhan tampak 4 orang Pasukan Pengamanan  Presiden (Paspampres) tampak santai, memancing ikan.

Kami lantas melanjutkan perjalanan, dan rengekan minta gendong muncul lagi --  dan terkadang  kukabulkan, tapi seraya kujelaskan “bila capek kita bisa duduk sebentar…” Kadang dia mau, tapi sisanya menolak. Biasanya bila kutolak, ngambeknya keluar – tangannya melipat ke dada, dan mulutnya ditarik ke bawah. (Saya biasanya tertawa dalam hati, soalnya seperti melihat sosokku sendiri di waktu kecil..).

        

Memang dibutuhkan ketelatenan saat menghadapi perasaan manjanya. “Gertakan” pada akhirnya tak akan mampu meluluhkannya, meskipun jurus itu kadang kulakukan – utamanya bila fisik didera rasa lelah.

 

Tapi barangkali suasana teduh di lokasi kebun raya, juga ikut mempengaruhi. Praktis, pada akhirnya “perdebatan yang tidak berujung” itu sedikit mereda, hilang disamun aroma lumut, bunyi jengkerik,  dan harum dedaunan pandan, serta riak sungai yang  membelah kebun itu…

 

Lebih dari satu jam mengelilingi sebagian sudut kebun raya, kami pun beranjak pulang. Sesuai janji, saya pun membelikan mainan panah-panahan – “Aida ingin jadi pemburu”, katanya spontan. Kuberitahu kemudian, mending jadi atlet panahan, ketimbang jadi pemburu, yang melukai binatang. (Di rumah, dia kutunjukkan profil Robin Hood, yang selalu menenteng panah..).

 

Di atas kereta listrik, dia terus memainkan panah itu. Tapi ini tak berlangsung lama, setelah dia tak tahan menahan kantuk. Kepalanya lantas dia senderkan pada pahaku, dan sepanjang perjalanan sekitar 1 jam menuju Stasiun Kota, dia akhirnya terlelap.

 

Sambil terkantuk, kuperhatikan garis wajahnya, dua telapak tangan mungil yang menopang kepalanya, serta kakinya yang ditekuk, aku kemudian berfikir dan bertanya: apakah yang kulakukan terhadap Aida selama perjalanan ke Bogor ini bisa bermanfaat buat anakku, dan, tentu saja, saya sendiri…     

    

  

Perdebatan itu tidak berujung di Bogor…

ANAKKU yang tahu karakter “kurang tegasku”, kembali mendapat kesempatan untuk menguji sifatku itu. Dan, yakinlah, aku sendiri juga diuji bagaimana menghadapi “sifat manjanya” – yang terkadang minta ampun deh...
Semua ini terjadi tatkala kami – saya dan Aida, tanpa ditemani ibunya – jalan-jalan ke Kota Bogor, awal pekan lalu (ini adalah perjalanan kami ketiga kali ke kota hujan, sejak tahun 2004). Dan sepanjang perjalanan itulah, bapak-anak ini saling uji kekuatan, berdebat, bahkan terkadang diwarnai saling tarik urat…
“Ujian pertama” mulai dia perlihatkan sepanjang perjalanan naik taksi ke Blok M dan busway menuju Stasiun Kota. Ia tahu aku membawa 2 bungkus permen, yang kusiapkan sebagai “hadiah akhir pekan” – kami sengaja membatasi dia mengkonsumsi makanan itu, kecuali di akhir pekan.

Feb 5, 2008

Not One Less, kegigihan seorang guru...

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Kids & Family
“NOT one less” adalah sebuah judul filem, tentang kisah seorang guru pengganti di sebuah sekolah, di wilayah terpencil di negeri China. Ini bukanlah filem baru – diputar pertama kali tahun antara 1998-1999 (kami punya filem itu dalam bentuk VCD).

Setelah lama kusimpan, Minggu malam kemarin anakku meminta agar diputarkan filem itu -- disutradarai Zhang Yimou, yang dikenal melalui filemnya Raise the Red Lantern (1990)..

Saya dan istri, tentu senang, dan bersemangat menanggapi permintaan anakku. . Alasannya jelas; filem ini bertutur tentang sebuah kerja keras, tanggungjawab (dalam bentuk paling sederhana), serta bagaimana menghadapi hidup – dengan cara paling polos. “Aida nanti bisa lihat, bagaimana anak-anak itu harus hemat kapur tulis, karena mereka nggak punya duit..,” begitu kalimat pembukaku, sebelum filem itu diputar.

Seraya memeluk guling, dan terkadang berdiri, anakku lantas mencoba menyerap gambar-gambar bergerak itu –seraya bertanya tentang jalan ceritanya..

***

FILEM berdurasi 106 menit ini, dan pernah memperoleh penghargaan untuk gambar terbaik oleh Festival Filem Venice tahun 1999, dibuka dengan sebuah panorama pedesaan, di sebuah wilayah di negeri China. Kamera lebar menyorot alam yang berbukit-bukit, begitu luas, dan tiba-tiba muncul dua orang yang berjalan – satu lelaki tua dengan topi ala Mao, dan seorang perempuan belia dengan rambut dikuncir ke belakang. Mereka berjalan bergegas menuju sebuah bangunan tak terurus, sebuah sekolah dasar…

Guru Gao, lelaki tua itu tadi, adalah guru sekolah dasar tersebut. Karena sesuatu hal (seingatku karena orang tuanya sakit parah), dia harus meninggalkan murid-muridnya. Di sinilah cerita mulai dijalin, ketika seorang guru pengganti, Wei Minzhi, digambarkan berusia 13 tahun, menggantikannya -- sementara waktu.

Guru Gao sempat memprotes pejabat pemerintah yang menunjuk guru belia dan belum berpengalaman. Dalam sebuah percakapan, pejabat setempat menjawab, “sulit mencari guru sepadan di wilayah ini, untuk menggantikan posisi Anda.”

Kelas yang diasuh Guru Gao awalnya berjumlah 40 orang, namun belakangan berkurang menjadi 28 orang. Dilatari gambar sekolah yang bangunannya buruk itu, Gao meminta Wei (diperankan bukan oleh pemain professional, yang juga bernama Wei Minzhi) agar “selama saya pergi, jumlah muridnya jangan berkurang satu pun…”

Guru itu juga meminta agar Wei menghemat kapur tulis – yang harganya tidak terjangkau di wilayah itu (dalam filem ini, sempat digambarkan sebuah pemandangan yang indah, sekaligus miris, saat seorang murid begitu sedih melihat kapur tulis hancur-berantakan terinjak, sementara Guru Wei semula terkesan tidak-mau-tahu).

Sepeninggal guru Gao, kisah antara seorang guru baru dan murid-muridnya pun dijalin. Kamera kemudian menyorot ‘keramaian’ di dalam ruangan sekolah dan tingkah puluhan anak-anak berpipi merah dan berbaju lusuh -- mereka tidak berseragam seperti di sekolah normal pada umumnya. Dari jarak dekat, kamera juga menyorot wajah guru Wei, yang jarang tersenyum.

***

PADA awalnya, Wei terlihat enggan menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Dia lebih memilih berdiam di luar kelas, mengoborol dengan dirinya sendiri, sementara murid-muridnya dibiarkan beraktivitas – menyalin tulisan di papan tulis. Tapi sikapnya ini berubah, setelah salah-seorang murid lelakinya yang bandel, Zhang Huike (juga tidak diperankan oleh bintang professional, yang bernama Zhang Huike) membuat tingkah, yang memaksanya bertindak – sebuah awal yang membuatnya tersadar akan tanggungjawab yang diberikan Guru Gao itu tadi.

Rupanya amanat guru itu membekas pada dirinya. Dan, barangkali karena kepolosannya, Guru Wei kemudian menerjemahkannya secara “hitam-putih” – menyerupai sikap keras kepala, bahkan.

Sikap ini dia tunjukkan saat sekolahnya kedatangan tamu, pada sebuah siang. Ditemani seorang pejabat setempat yang bertopi ala Mao, tamu itu adalah pemantau anak berbakat di bidang olahraga. Seorang murid Wei diharuskan ikut ke kota untuk diasah bakatnya. Tentu saja Wei menolaknya. “Guru Gao minta saya melindungi semua murid di sini. Tidak boleh ada hilang dari sini,” kata Wei dengan muka bersungut. Dia bahkan lari pontang-panting mengejar mobil yang akhirnya membawa salah-seorang muridnya.

***

KESETIANNYA kepada amanat guru Gao, memang, akhirnya menjadi nyawa filem ini. Dibenturkan dengan kenyataan kondisi ekonomi yang menyedihkan di wilayah itu, Wei kembali dikejutkan saat Zhang, murid paling bandel di kelas, tidak muncul di kelas, pada sebuah pagi. Walaupun Guru Wei semula kesal dengan tabiat Zhang, hatinya pedih melihat bangku milik Zhang kosong.

Dengan bersemangat, Guru Wei, dibantu murid-murid lainnya, akhirnya ‘berjuang’ sedemikian rupa agar bisa menjemput Zhang di kota – dikisahkan anak lelaki itu mencari kerja ke kota, untuk mengurangi beban orang tuanya yang dililit utang. Di sinilah Wei, masih disokong murid-muridnya, berusaha sekuat tenaga untuk membawanya pulang.

Tapi persoalannya tidak mudah. Wei tidak punya uang untuk pergi ke kota. Berbagai cara pun dilakukan Wei dan murid-muridnya – mulai membantu mengangkut batu bata milik sebuah pabrik di desa itu (kamera dengan indahnya menyorot, diiringi sebuah musik yang murung, sehingga adegan gotong-royong menggotong batu-bata itu menjadi hidup).

Kisah kemudian berlanjut saat Wei dihadapkan kompleksitas dalam pencarian itu -- kamera secara kontras menyorot sudut-sudut kota, yang hiruk-pikuk, sementara Wei berjalan sendiri. Kamera juga menyorot Zhang, yang wajahnya tetap polos, tapi sikap bengalnya tidak lagi terlihat.

Dengan hanya bermodalkan nama dan alamat tempat kerja Zhang, Wei mengalami kesulitan demi kesulitan. Namun sikap keras kepalanya, dan pendiriannya yang keras, Wei akhirnya bertemu Zhang – dan membawanya kembali, walau dia mesti menunggu berjam-jam didepan sebuah halaman stasiun televisi swasta, tidur di emperan stasiun kereta, berdebat melelahkan dengan orang-orang..

Feb 1, 2008

Bakpao Ibu Maria

Rating:★★★
Category:Restaurants
Cuisine: Chinese
Location:Jakarta
"FAN, mau beli bakpao kah? Ini saya bawa, bakpao isi unti..." Suara seorang ibu dengan logat Menado, tiba-tiba memecah suasana kantor, hampir saban pagi. Biasanya, Ibu Maria, begitu dia begitu disapa, datang seraya membawa bungkusan plastik. Isinya, selain bakpao, dia juga membawa kue sambosa, kucur, atau apem...

Saya biasanya memilih bakpao, yang isinya berupa kelapa yang dicampur gula merah -- Ibu Maria menyebutnya bakpao "unti". Kupilih bakpao unti, dan bukan yang isi keju atau kacang ijo, tentu ada latarnya. Dulu, dulu sekali, bakpao ini gampang kudapatkan, karena faktor ibuku -- seminggu sekali biasanya dia rajin membuat penganan ringan yang kita makan bareng-bareng saat sore hari...

Dari kebiasaan mengkonsumsi bakpao jenis itu, sejak masa kanak-kanak itulah, aku punya gambaran: bakpao itu selalu berisi parutan kelapa dicampur gula merah. Dan ketika di jalan, aku melihat penjual bakpao dengan isi kacang ijo atau daging, aku selalu heran. "Kok nggak ada yang seperti dibuat ibuku?"

Semenjak saat itulah (sejak aku meninggalkan kota Malang, tempat masa kecilku, tahun 1996), rasanya sulit menemukan bakpao "unti", sebelum akhirnya aku bertemu Ibu Maria. Kapan persisnya saya kenal ibu asal Menado, Sulawesi Utara itu, saya lupa -- mungkin sekitar tahun 2006.

Yang jelas, ibu yang gemar mengenakan baju bermotif bunga ini, menjual penganan itu dengan mendatangi langsung kantor tempat saya bekerja. Dia diantar suaminya yang mengendarai sepeda motor. Sebagian penganan itu dititipkan suaminya, sementara dia menawarkan sebagian ke penghuni setiap kantor di sejumlah lantai pada gedung itu. "Selain ke sini (Gedung Deutsche Bank, Jalan Imam Bonjol), saya juga punya langganan di gedung BII (Jalan Thamrin)," ceritanya, suatu saat.

Tidak semua teman di kantor menggemari bakpao itu. Mungkin cuma saya, dan satu orang lagi. Saya biasanya beli 4 buah, satu untuk sarapan, sisanya buat sore hari. Sambil menyeruput kopi panas, atau teh panas, bakpao unti ala Menado itu kumakan pelan-pelan, seraya mata melototi komputer...

Kalau ditanya bagaimana rasanya, tentu jawabanku subyektif: enak, karena porsi antara parutan kelapa + gula merah (nggak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit) dan bakpaonya pas. Apalagi kalau masih hangat, wah, nikmat sekali..