Dec 31, 2008

"Kolak pisang" bikinan sendiri...

Rating:★★
Category:Other
AGAK frustasi lantaran sulit mendapatkan menu kolak pisang di sebagian tempat di Jakarta, yang akhirnya bisa kulakukan adalah bikin dan masak sendiri makanan "masa lalu" itu -- tentu ditemani istri, utamanya ketika bicara "kapan dan berapa air yang harus dicampur santan (instan)".

Dan, hasilnya, tak begitu mengecewakan. "Enak juga," kata istriku, seraya menyantap kolak pisang itu, hari Minggu (28/12) lalu. Anakku sayangnya belum terbiasa dengan makanan tersebut, dan menolak mencicipinya. Dalam dua hari, praktis kolak pisang itu akhirnya ludes -- setengah porsi tertinggal di kulkas di kantor.

Tapi kolak pisang (tanpa dicampur bahan lain, seperti kolang-kaling, atau ubi) adalah makanan favoritku. Utamanya, apabila kuah santan kolak itu kental, dan dicampur gula Jawa. Dan biasa kusebut sebagai "makanan masa lalu", karena yang kuingat makanan itu disajikan saat buka puasa -- dan ini artinya kolak pisang bikinan ibuku, dulu.

Dalam perjalanannya, aku pernah beberapa kali merasakan "varian" kolak pisang -- yang ternyata tidak tunggal. Ada warna kuahnya yang agak kelabu ("itu artinya dia nggak pakai gula merah," celetuk istriku), lalu bahkan dicampur es batu segala.

Yang terakhir ini, menurutku, agak aneh. "Karena, seingatku, kolak itu dahsyat rasanya kalau disajikan pas panas," jelasku, bila berdiskusi ihwal selera kolak di depan istri -- dan memang enggak bisa ketemu, akhirnya.

Tapi aku lupa jenis pisang apa yang kubeli kemarin. Tapi menurut penjualnya, bisa untuk digoreng -- dan kusimpulkan sendiri, itu artinya bisa juga dibikin kolak.

Dan seperti kusebut di awal, rasa kolak bikinanku itu (plus campur tangan istriku), lumayan juga -- untuk ukuran tukang masak pemula (he,he,he... ini pengalamanku pertama bikin kolak pisang). "Tapi jangan langsung dimakan dulu, biarkan pisangnya meresap dulu," katanya, setelah kumasukkan pisang dalam kuah santan yang sudah mendidih.

Dan kalau kusebut diriku agak frustasi ketika sulit mendapatkan kolak pisang, itu ada benarnya. Dulu ketika keinginan itu meluap-luap, aku di kala senggang ke sebuah restoran kecil di sebuah mal langganan -- biasanya di akhir pekan. Di sana, mereka menyediakan menu kolak pisang. Namun semenjak restoran itu berganti rupa, praktis aku cuma bisa menyantap kolak pisang saat ramadhan, atau ketika ibu mertuaku kebetulan membuat makanan itu. ***

"Kolak pisang" bikinan sendiri...

Rating:★★
Category:Restaurants
Cuisine: Asian
Location:Bintaro, Sektor 9, Tangerang Selatan
AGAK frustasi lantaran sulit mendapatkan menu kolak pisang di sebagian tempat di Jakarta, yang akhirnya bisa kulakukan adalah bikin dan masak sendiri makanan "masa lalu" itu -- tentu ditemani istri, utamanya ketika bicara "kapan dan berapa air yang harus dicampur santan (instan)".

Dan, hasilnya, tak begitu mengecewakan. "Enak juga," kata istriku, seraya menyantap kolak pisang itu, hari Minggu (28/12) lalu. Anakku sayangnya belum terbiasa dengan makanan tersebut, dan menolak mencicipinya. Dalam dua hari, praktis kolak pisang itu akhirnya ludes -- setengah porsi tertinggal di kulkas di kantor.

Tapi kolak pisang (tanpa dicampur bahan lain, seperti kolang-kaling, atau ubi) adalah makanan favoritku. Utamanya, apabila kuah santan kolak itu kental, dan dicampur gula Jawa. Dan biasa kusebut sebagai "makanan masa lalu", karena yang kuingat makanan itu disajikan saat buka puasa -- dan ini artinya kolak pisang bikinan ibuku, dulu.

Dalam perjalanannya, aku pernah beberapa kali merasakan "varian" kolak pisang -- yang ternyata tidak tunggal. Ada warna kuahnya yang agak kelabu ("itu artinya dia nggak pakai gula merah," celetuk istriku), lalu bahkan dicampur es batu segala.

Yang terakhir ini, menurutku, agak aneh. "Karena, seingatku, kolak itu dahsyat rasanya kalau disajikan pas panas," jelasku, bila berdiskusi ihwal selera kolak di depan istri -- dan memang enggak bisa ketemu, akhirnya.

Tapi aku lupa jenis pisang apa yang kubeli kemarin. Tapi menurut penjualnya, bisa untuk digoreng -- dan kusimpulkan sendiri, itu artinya bisa juga dibikin kolak.

Dan seperti kusebut di awal, rasa kolak bikinanku itu (plus campur tangan istriku), lumayan juga -- untuk ukuran tukang masak pemula (he,he,he... ini pengalamanku pertama bikin kolak pisang). "Tapi jangan langsung dimakan dulu, biarkan pisangnya meresap dulu," katanya, setelah kumasukkan pisang dalam kuah santan yang sudah mendidih.

Dan kalau kusebut diriku agak frustasi ketika sulit mendapatkan kolak pisang, itu ada benarnya. Dulu ketika keinginan itu meluap-luap, aku di kala senggang ke sebuah restoran kecil di sebuah mal langganan -- biasanya di akhir pekan. Di sana, mereka menyediakan menu kolak pisang. Namun semenjak restoran itu berganti rupa, praktis aku cuma bisa menyantap kolak pisang saat ramadhan, atau ketika ibu mertuaku kebetulan membuat makanan itu. ***

Ambil cuti, dan masuk kerja kembali 5 Januari 2009

Start:     Dec 26, '08 12:00p
End:     Jan 4, '09
Location:     Jakarta, Indonesia
LEGA rasanya bisa cuti, jauh dari aktivitas pekerjaan, walau akhirnya tak kemana-mana -- cuma di Jakarta, maksudnya. Tapi memang ada saja yang dikerjakan selama cuti, seperti membereskan segala sesuatu yang selama ini tak dilakukan, atau tak melakukan sesuatu bahkan -- tak perlu disibukkan deadline kerjaan kantor, misalnya.

Dalam kesempatan ini, yang mungkin bisa kulakukan, adalah membaca beberapa buku, yang selama ini jarang dijamah, karena berbagai keterbatasan. Dan yang pasti, tentu saja, menonton filem-filem di DVD atau VCD lama -- dalam tiga hari ini, kami antara lain sudah nonton filem "Chocolate", "Anne Frank", atau "Munich".

Juga meluangkan waktu lebih banyak untuk anak dan istri.
Jadi, apapun, aku masih berharap semua itu bisa dilakukan di tengah cuti ini, sebelum tanggal 5 Januari itu di depan mata... ***

Dec 29, 2008

"Tjakrabirawa" di Musium Pak Nas...




DILATARI berbagai versi sejarah di seputar kejadian kekerasan di tahun 1965-66, aku ajak anak-istriku ke Musium Abdul Haris (AH) Nasution hari Senin sore (29/12) kemarin. Lokasinya, adalah bekas rumah mendiang Pak Nas, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Sore itu langit Jakarta kelabu, dan bergerimis...

Musium ini baru diresmikan, 3 Desember lalu, oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Dan sebetulnya bukan kunjungan pertamaku ke bangunan itu. Dulu, mungkin sekitar tahun 1997 atau 1998, sebagai wartawan, pernah datang dan masuk ke rumah itu. Pak Nas, kala itu, masih sehat -- aku lupa, ada kejadian apa di rumahnya, tapi banyak sekali jurnalis yang datang.

Kita, para jurnalis, kala itu bahkan bisa mewawancarai Pak Nas, orang penting dalam perjalanan Republik ini -- dia juga saksi sejarah yang langkah. Istrinya, yang masih terlihat cantik, ikut menemani dalam wawancara itu. Juga anak sulung mereka, yang tak lain kakak mendiang Ade Irma Suryani...

Aku masih ingat, dalam sebuah wawancara istri mendiang Pak Nas pernah bercerita, bahwa "interior dan eksterior rumah itu tak ada yang diubah, persis seperti saat kejadian itu". Dan dari kalimat ini, aku di tahun 1997 atau 1998, mencoba membuktikannya. Kumasuk ruangan dalamnya, dan sepertinya betul perkataannya itu -- walau aku tak tuntas untuk melihat semua ruangan "bersejarah" rumah tersebut...

Sepuluh tahun kemudian, hari Senin kemarin, keinginanku itu terkabul. Ditingkahi tawa, dan rasa ingin tahu anakku, juga "ketenangan" istriku, kudatangi semua ruangan rumah itu -- termasuk tembok di samping rumah itu, yang dijadikan batu loncatan Pak Nas untuk meloloskan dari kejaran pasukan Tjakrabirawa...

Tapi barangkali adalah anakku yang paling "terkesan", saat dia memasuki kamar, yang dulu dijadikan kamar tidur mendiang Ade Irma Suryani. (Beberapa bulan lalu, aku dan istri menceritakan profil Ade Irma, beserta kejadian tahun 1965-1966). Seperti diketahui, Ade yang saat itu berusia 5 tahun, tertembak dalam serangan, dan beberapa hari kemudian meninggal dunia. "Yuk, lid, kita ke kamarnya Ade Irma lagi," pintanya sore itu.

Di sana bisa dijumpai baju milik Ade, yang dikenakan pada subuh yang naas itu. Baju warna biru pucat, yang sepertinya terawat, ditempel pada sebuah papan berkaca, beserta boneka dan botol minuman miliknya. Yang lain tentu, segala atribut milik Pak Nas -- termasuk pakaian militer berikut tongkat yang acap kita lihat di buku-buku sejarah setelah tragedi itu.

Agak pahit, dan getir memang, saat memasuki ruangan-ruangan rumah itu -- saya dan istri lantas teringat filem G30S/PKI yang dulu diputar acap tahun. Juga ada perasaan sedih, dan sedikit mengerikan, ketika sejumlah sosok patung Tjakrabirawa dihadirkan di sebuah lorong dan di kamar ajudan Pak Nas, mendiang Pierre Tendean. Tapi kupikir, sejarah kekerasan itu haruslah diketahui, apapun yang melatari, bagaimanapun ragam dan versi kejadiannya, yang akan terus ada... ***

Dec 16, 2008

Camden, 'Cihampelas'-nya London...




HUJAN gerimis dan udara dingin yang menusuk, tak menghalangi niatku mendatangi Camden Market, akhir Maret lalu. "Di tempat itu," kata temanku yang lama tinggal di London, Yusuf Arifin,"ada pasar murah, pernak-pernik, dan kau bisa menawar..."

Aku tertarik tawaran temanku itu, karena kupikir, aku bisa belanja pernak-pernik untuk sekedar oleh-oleh sebagian teman di Jakarta -- sesuai isi kocek yang tersisa, tentunya. Lagipula hari Jumat, tanggal 28 Maret lalu itu, aku libur. Dibayangi harapan yang membumbung, serta ditemani langit London yang (selalu) kelabu, kaki pun mantap menuju ke Camden, di utara kota itu.

Walaupun aku belum pernah ke tempat itu, tak ada risau sama-sekali. Ini tak lain karena sarana transportasi di kota London "sungguh ajaib". Itulah sebabnya, seorang teman setengah berkelakar berkata, "Kau tak mungkin tersesat di kota ini, asal kau pegang peta tube.."

Peta tube, atau kereta listrik bawah tanah, itu hanya berukuran sekitar 10 sentimeter kali 20 sentemeter. Tapi itu kusebut "azimat" karena begitu pentingnya. Di dalamnya digambarkan dengan sederhana: rute tube, nama stasiun, serta jalurnya, dengan warna yang berbeda.

Singkat cerita, pada pagi yang mulai diwarnai kesibukan, aku naik tube dari stasiun Queensway, naik jurusan Northern Line. Turun di stasiun Camden yang tengah direnovasi, aku dihadang gerimis itu. "Pak di mana Camden Market?" Seraya tersenyum seorang polisi meminta aku belok kanan, "dan itu adalah pasarnya..."

Camden Market (yang konon mulai dibangun berangsur-angsur di tahun 1975), aku akhirnya paham, mirip tempat belanja di Jalan Cihampelas Bandung -- bahkan sangat mirip, dengan dekorasi yang dibuat "berlebihan" di atas rumah bertingkat dua, yang disulap menjadi toko. Kemiripan lainnya adalah dentaman suara yang bersahutan, keluar dari alat pengeras suara di masing-masing toko.

Saya memang datang terlalu pagi, tetapi ada beberapa gerai yang sudah menjajakan dagangannya -- mulai kaos oblong sampai cincin, dan anting-anting. Seperti pusat perdagangan di Cihampelas yang terletak di Jalan Cihampelas, maka Camden Market itu berpusat di Jalan Camden High Street -- dari ujung dekat stasiun sampai ujung di sebelah kanal yang berusia tua (dibuka tahun 1820).

Di sepanjang jalan itu, aku menyaksikan rumah-rumah bertingkat dengan dinding berbata jingga-kecoklatan sebagian -- yang saling berdempetan. Eksterior rumah itu memang sebagian besar sudah "dihiasi" aneka atribut budaya pop -- mulai patung hingga lampu neon kelap-kelip -- yang disebutkan mulai dilakukan tahun 1990-an. Di antara bangunan-bangunan itulah, ada sejumlah tempat seperti pasar kecil yang berisi gerai-gerai kaki lima -- mulai makanan tradisional, perhiasan, barang loakan, sampai barang sisa impor, buatan tangan atau pabrik.

Saya berjalan terus, walau gerimis terus mendera. Dan seiring perjalanan waktu, turis lokal maupun asing pun makin gampang di jumpai di jalan tak berukuran besar itu. Bus double decker dari jurusan tertentu, juga terlihat hilir-mudik di depanku.

Layaknya turis yang datang ke tempat baru, aku juga berpikir "amankah tempat ini." Dan walaupun kuanggar tak seseram Pasar Senen di Jakarta, tetap saja kau waspada, jangan sampai aku kena jambret. "Jangan salah, Fan, di London pun ada copet loh," kata temanku, suatu saat.

Puas keliling tempat itu, aku akhirnya gagal memperoleh barang oleh-oleh. Kupikir tak ada yang istimewa, dan barangnya hampir sama dengan beberapa tempat lain di London. Aku akhirnya meninggalkan tempat itu, Camden Market, dengan diantar gerimis yang tak juga redah. ***



Dec 2, 2008

Bila tim sepakbola sekolah anakku bertanding..




"PAK Syaiful, bantu kita dong..." suara memelas itu terlontar dari mulut seorang bocah. Keringat sebesar biji padi terlihat mengucur deras di dahinya, sementara kakinya hanya mampu melangkah perlahan di lapangan sepakbola itu. Matanya agak memicing, menahan terik matahari di atas kawasan Simprug..

Pak Syaiful, sang pelatih, hanya terdiam -- sepertinya kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab permintaan tersebut. Saya yang kebetulan berada disamping sang pelatih, dan beberapa orang tua, juga mendengar kalimat itu. Jujur saja, saya ingin tertawa mendengarnya, walau perasaan getir itu muncul pula..

Saat kalimat itu meluncur dari bocah itu, dan meruntuhkan "keteguhan" para orang tua, tim sepakbola sekolah anak saya, kalah 2-1. Walau ini uji persahabatan, tapi kenyataan di lapangan pada hari Minggu (30 November) lebih dari itu! Seperti tersengat, para orang tua, juga pelatih, berlomba untuk bersorak-sorai menyuntikkan semangat kepada anak-anak itu. "Ayo, balas, balas! Kamu bisa!..."

Dengan bersemangat, tim sepakbola sekolah anakku mampu menyamakan skor 2-2. Saat gol itu terjadi, saya berdiri di dekat gawang tim sepakbola Sekolah Madania, lawan tanding sekolah anakku. Seolah bagian dari tim itu, saya pun berteriak keras "gol...".

Dan mirip atraksi para pesepakbola profesional, si pencetak gol itu lantas dikerubuti kawan-kawannya. Saling menindih. Senyum itu pun mengembang di mulut mereka, termasuk si bocah pelontar kalimat di atas...

***

LANTAS di mana anakku, Aida Ameera? Anakku tak ikut dalam tim sekolahnya, walaupun dia sebelumnya ingin bergabung di dalamnya. Aku dan istriku menjelaskan, "Untuk ikut tim sekolah, kamu harus ikut ekstrakurikuler sepakbola. Kalau Aida tertarik, nanti didaftarkan ya..."

Tak gampang meyakinkan kalimat itu padanya. Dia sepertinya marah tak masuk tim. Menurutnya, ada satu teman perempuannya tak ikut ekstrakurikuler sepakbola, namun bisa ikut di dalam tim itu. Itulah sebabnya, saat diajak istriku menonton pertandingan itu, Aida menolak.

Kami membujuknya, tetapi dia seperti patah arang. Bujukan kami akhirnya bertuah: dia bersedia datang ke lapangan Simprug milik Pertamina itu, tetapi dia mengajukan syarat "Aida nggak mau jadi suporter," tegasnya dengan agak bersungut.

Saya dan istri tak bisa menolak permintaaannya. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertandingan, dia berulangkali berkata, bahwa dia lebih suka main basket ketimbang sepakbola -- sebuah ucapan yang menurutku bertolak dari keinginan awalnya. Kalimat itu dia utarakan, dengan raut muka mungil itu dibuat serius. (Alisnya yang tipis menaik, mirip tokoh "si muka masam" dalam legenda 7 kurcaci dan putri Snow White..)

***

TANGIS sesenggukan itu terdengar pelan pada pemain putri itu, ketika tim Sekolah Tara Salvia akhirnya kalah 3-2. Satu gol finalti di penghujung pertandingan itu, membuat anak-anak itu sepertinya tak menerima kenyataan tersebut. Para orang tua juga sempat terdiam mula-mula, walau akhirnya mereka kemudian mencoba bijak. "...Nggak apa-apa, kalian sudah tampil hebat! Ini kan pertandingan pertama kalian!"

Para orang tua kemudian menghampiri anak-anaknya. Diberinya para bocah (paling besar klas 4 SD) itu semangat, juga pelukan sayang. Pak Syaiful, sang pelatih, juga memberi pidato yang teduh. "Menang atau kalah, tak penting.. Yang penting kalian bermain sportif," katanya lagi. Anak-anak itu lantas bersalaman dengan para pemain lawannya...

Saya pun mengajak anak-anak itu untuk berfoto bersama. Semula agak berat, mereka kemudian melakukannya. Sebagian berdiri, dan sebagian lagi setengah duduk -- mirip kesebelasaan profesional. Mereka juga beryel-yel dengan sang pelatih. Para orang tua -- suporter itu -- kemudian mengeluarkan aneka penganan dan minuman...

Bagaimana sikap anakku atas kejadian ini? Walaupun terkesan enggan larut dalam kekalahan itu, belakangan di atas mobil dia berujar," Aida gemes, marah! Kok anak-anak Madania itu bilang kepada kita "selamat ya atas kekalahannya..." Saya dan istriku terdiam sejenak, dan tertawa pelan...***