Jan 7, 2009

Han Awal, arsitek yang peduli bangunan cagar budaya...

RAMAI-RAMAI menggunjingkan perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, saya teringat seorang lelaki berambut putih -- dan bersuara lembut. Han Awal, nama lelaki berusia 78 tahun itu, adalah seorang arsitek senior.

Kuingat Han, karena dia adalah arsitek yang peduli terhadap keberadaan bangunan tua yang bersejarah. Kepeduliannya itu, tentu saja, tak berhenti di tingkat retorika. Dia terjun sepenuhnya pada bidang konservasi bangunan tua bersejarah.

Saya masih ingat, di sebuah sore pada Desember 2008 lalu, di teras belakang rumahnya, yang asri, dia mengutarakan sebuah kalimat yang membekas pada diriku. "Dunia konservasi," demikian Han melukiskan perasaannya, "membuat masa lalu itu menjadi sangat menghidupkan... sangat memperkaya diri, terutama emosional dan jiwa.."

Lelaki kelahiran Kota Malang, Jawa Timur, ini, lantas bercerita kesedihannya tatkala pulang ke kampung halamannya itu. "Saya sedih sekali ketika komplek lapangan tenis, kolam renang, serta stadion 3 tingkat peninggalan Belanda itu dihancurkan, dan dijadikan mal," suaranya hampir hilang. Saya pun sempat terdiam, dan geram..   

Namun dalam perbincangan santai itu, Han Awal yang ikut mengkonservasi Gedung Arsip di Jalan Gadjahmada, Jakarta Pusat itu, begitu bersemangat, ketika bercerita "keberhasilannya" menyelamatkan gedung BI di kawasan kota tua, Jakpus, dari kerusakan. Dia memang dipercaya oleh otoritas BI untuk mengkonservasi bangunan yang kini menjadi musium tersebut.   

***

GEDUNG Musium Bank Indonesia, yang didirikan tahun 1828, kini telah berdiri megah di kawasan kota tua, Jakarta. Bangunan warna putih bergaya neo klasik ini terletak di depan stasiun kereta api "Kota", di wilayah kota tua Jakarta. Semenjak diresmikan sebagai musium dua tahun lalu, ratusan orang pengunjung tiap minggunya kini dapat melihat keindahan bekas gedung De Javasche Bank -- milik pemerintah kolonial Belanda.

Konservasi yang berlangsung lebih dari dua tahun itu, membuat gedung itu mirip bangunan asli di tahun 1935. Atas jerih payah Han Awal dan timnya, hasil konservasi itu pun diperjuangkan untuk menjadi nominasi di ajang UNESCO Asia Pacific Heritage Award 2008.

Padahal, sebelum "dipugar", gedung yang dibangun tahun 1828 ini, sempat terancam rusak. Ini terjadi karena bangunan ini pernah digunakan BI sebagai "operasional bank" sejak tahun 1957. "Makanya ada banyak tambahan penyekat di sana-sini.Tapi begitu ditetapkan sebagai musium, maka penyekat itu kita hilangkan," jelas Gede Aryana, penanggungjawab pengelolaan Museum Bank Indonesia, kepada saya, di kantornya.

***

TENTU saja, upaya ini membutuhkan tenaga ahli di bidangnya. Bank Indonesia, sebagai pemilik gedung, lantas menghubungi Han Awal,  arsitek senior itu. Dia dikenal berpengalaman melakukan konservasi Gedung Arsip Nasional, di Jalan Hayamwuruk, Jakarta.

Seperti diketahui, konservasi gedung arsip yang dulunya adalah milik pejabat VOC, dianggap sebagai karya monumental. Dan dunia internasional, akhirnya mengakui upaya konservasi terhadap gedung itu. Ini terbukti setelah badan PBB UNESCO memberikan penghargaan atas jerih payah Han Awal dan timnya, tahun 2001.

Ingin mengetahui bagaimana Han Awal melakukan konservasi terhadap gedung musium BI, saya kemudian berkunjung ke rumahnya yang asri, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada bulan lalu. Walaupun rambutnya sudah memutih, dan berjalan agak pelan, pikirannya masih tajam ketika bicara masalah arsitektur atau konservasi bangunan tua.

Pada awal pembicaraan, Han yang bersuara lembut mengungkapkan betapa bernilainya sebuah upaya konservasi. "Saat melakukan aktivitas dalam dunia bangunan tua," kata Han, "itu seperti berhubungan dengan masa lalu. Nah, masa lalu itu biasanya kita anggap mati".

Tapi menurut Han, dalam dunia konservasi, "masa lalu itu justru sangat menghidupkan. Ini saya kira romantika konservasi, yang saya rasakan sangat, sangat memperkaya diri, terutama emosional dan jiwa. Dan itu adalah kebudayaan."

Saya terkesima mendengar penjelasan lelaki kelahiran kota Malang, Jawa Timur ini. Itulah sebabnya, ketika Bank Indonesia memberi kepercayaan dirinya untuk mengkonservasi gedung BI di kawasan kota itu, Han merasa "terpanggil jiwanya".

Dengan gelora hati yang tinggi, Han beserta timnya kemudian memulai proses "pemugaran" gedung tersebut. Dimulai tahun 2000, upaya konservasi yang memakan waktu lebih dari 2 tahun ini, ternyata membutuhkan persyaratan yang tidak gampang.

***
UNTUK mengetahui apa "syarat-syarat" yang harus dilalui, saya minta diantar Gede Aryana, melihat langsung contoh hasil konservasi di gedung berlantai dua itu. Berjalan melalui lorong-lorong bangunan yang bertiang-tiang itu, (yang saya bayangkan seperti menziarahi masa lalu dengan khidmat), kami lantas berdiri di salah-satu sudut ruangan.

Kusaksikan dengan agak tercengang, Aryana lantas menunjuk talang air dari tembaga, yang menempel di salah-satu sudut bangunan. "Kita sepuh kembali tembaga itu, yang dulunya dicat berulang-ulang. Nah, dalam konservasi ini, kita kembalikan dalam bentuk aslinya. Kita kerik kembali seperti aslinya, yang rata-rata menggunakan tangan," jelas Aryana, panjang-lebar.

Di bagian ruangan lain gedung itu, Aryana tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia berjongkok, seraya tangannya menyentuh ubin warna merah marun.

"Ini sebuah ubin yang mirip dengan di tahun 1935, baik warna, bahan, atau bentuk, "jelas Aryana. "Cuma karena dibuat baru, maka diberi tanda, untuk membedakan dengan ubin yang asli."

Kuperhatikan dengan teliti, ubin "palsu" itu diberi tanda titik, berupa lubang berdiameter kurang dari setengah sentimeter. Bila tidak dilihat secara teliti, tentu orang tidak akan bisa membedakan antara ubin asli dan bukan. Namun itu tadi, kata Han Awal, barang pengganti yang tidak asli itu harus diungkapkan kepada pengunjung musium, seperti yang menjadi kaidah konservasi.

Dan untuk mendapatkan bahan ubin seperti yang asli, tentu saja tidaklah gampang. Han beserta stafnya harus keliling sampai ujung timur Pulau Jawa. Untuk mendapatkan bahan logam untuk pegangan pintu, misalnya, mereka harus mendatangkan ahli logam dari pelosok desa. "Kita mesti membuat penggantinya dengan bahan-bahan lokal, lalu mengkopinya sehingga betul-betul hampir tidak kelihatan bedanya," paparnya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana Han Awal dan timnya bisa membuktikan bentuk asli ornamen gedung itu? Salah-satu cara, demikian Han Awal, "Atas dasar survei foto-foto lama. Dari sanalah, kita kembalikan seperti keadaan aslinya."

***

MASIH takjub atas proses konservasi gedung ini, di dalam gedung itu saya kembali dikejutkan sesuatu. Adalah sebuah tiang beton, yang sepertinya menjadi titik pertemuan dua bangunan berbeda. Di tengah tiang itu, kulihat ada kolom seukuran sekitar 3 sentimeter -- memanjang dari atas ke bawah dan dicat berbeda.

"Tanda seperti ini menunjukan bangunan ini tidak dibuat secara bersamaan," kata Aryana, bersemangat. Menurutnya, tanda ini dibuat secara sengaja oleh pihak konservator, yang dulunya tak terlihat, "agar pengunjung yang tertarik arsitektur dapat memahaminya," lanjutnya.

Gede Aryana lantas mengajak saya melihat sebuah ruangan, yang disebut sebagai "karya agung" (masterpiece). Namanya "ruangan hijau", tempat ruangan kerja presiden bank saat dibawah pemerintahan kolonial Belanda. Dinding ruangan itu ditutupi marmer hijau, lengkap dengan kaca patri dari Belanda. "Sekarang kita tengah melengkapi koleksi barang-barang, yang dulu ada di ruangan ini. Termasuk lukisan ratu dan raja Belanda, yang dihilangkan saat Jepang datang," tutur Aryana.

Dan bicara soal dinding gedung ini, Han Awal mengungkapkan salah-satu cara mengkonservasi sebagian besar dinding bangunan itu. "Kita hati-hati sekali memberlakukan konservasi gedung ini, sesuai dengan kedaaan teknologi pada jaman itu," kata Han, membuka pembicaraan. "Semen saat itu sedikit atau jarang dipakai. Pelesterannya itu memakai campuran pasir dengan kapur. Kemudian dicat dengan kapur."

Dengan menggunakan teknologi seperti itu, lanjut Han, bangunan itu secara natural bisa bernafas. "Kalau hujan, dinding itu bisa menyerap, dan kalau ada matahari dapat mengering sendiri," kata Han.

Sayangnya, dalam perjalanannya, para pemilik gedung mengecat ulang dinding itu dengan bahan cat yang berbeda, utamanya yang berbahan akrilik. "Lambat laun itu terdesak oleh cat-cat yang modern, sehingga cat akrilik itu menutup pori-pori. Akibatnya air tanah bisa ke atas."

Itulah sebabnya, dalam konservasi yang dilakukannya, Han mengupas semua lapis-lapis cat moderen yang ada pada dinding itu. Selanjutnya, dia mengecat ulang dengan cat yang bisa membuat dinding itu bernafas.

***

SAAT saya berkunjung ke musium Bank Indonesia, terlihat pengunjung dari sebuah sekolah dasar. Mereka tengah mengikuti pemutaran filem tentang pengertian bank serta fungsi uang, di sebuah ruangan dari gedung itu. Pikiran lantas saya mengembara, memikirkan bagaimana nasib bangunan bersejarah ini, apabila tak ada orang seperti Han Awal.

Namun kupikir juga, kini Han boleh bernafas lega. Bangunan musium BI -- yang termasuk cagar budaya yang harus dilindungi dari kerusakan itu -- telah berdiri elegan: seperti wujud asli saat dipugar tahun 1930-an lalu. Bahkan atas hasil konservasinya itu, pihak-pihak terkait mendaftarkan Museum BI untuk diperjuangkan menjadi nominasi di ajang UNESCO Asia Pacific Heritage Award 2008.

Penghargaan serupa pernah diraih Indonesia, dengan obyek konservasi Gedung Arsip Nasional, yang juga tak terlepas dari andil Han Awal, tahun 2001 lalu. Tetapi kepada saya Han Awal mengaku tak terlalu memikirkan penghargaan itu. Dia justru mengkhawatirkan bagaimana perawatan Museum Bank Indonesia ke depan.

"Yang saya kuatirkan dan membuat saya was-was," kata Han Awal, "adanya pemasangan AC, aliran kabel listrik di gedung itu."

Menurutnya, jika terpaksa tidak ada jalan lain, teknologi baru bisa dipasang, namun harus "diperlihatkan". "Pipa-pipa listrik itu misalnya harus diperlihatkan dengan jelas, tapi dengan warna yang membuat kesan ruangan tetap utuh, tidak terganggu," tegas Han.

Namun bukan Han Awal bila dia akhirnya cuma berdiam diri. "Kita memang perlu terlibat terus-menerus dalam pemeliharaan gedung itu. Memang pekerjaan saya sudah selesai, tapi saya selalu datang jika diminta datang untuk melihat. Dan bila mereka meminta advis, saya dengan senang hati melakukan itu," kata Han, tegas. Saya terharu mendengar kalimat ini, walau akhirnya tetap khawatir, memikirkan apakah nanti akan lahir "Han Awal" lainnya, setelah belajar dari kasus pengrusakan situs bersejarah Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. ***

 

Han Awal, arsitek yang peduli bangunan cagar budaya...




RAMAI-RAMAI menggunjingkan perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, saya teringat seorang lelaki berambut putih -- dan bersuara lembut. Han Awal, nama lelaki berusia 78 tahun itu, adalah seorang arsitek senior.
Kuingat Han, karena dia adalah arsitek yang peduli terhadap keberadaan bangunan tua yang bersejarah. Kepeduliannya itu, tentu saja, tak berhenti di tingkat retorika. Dia terjun sepenuhnya pada bidang konservasi bangunan tua bersejarah.
Saya masih ingat, di sebuah sore pada Desember 2008 lalu, di teras belakang rumahnya, yang asri, dia mengutarakan sebuah kalimat yang membekas pada diriku. "Dunia konservasi," demikian Han melukiskan perasaannya, "membuat masa lalu itu menjadi sangat menghidupkan... sangat memperkaya diri, terutama emosional dan jiwa.."
Lelaki kelahiran Kota Malang, Jawa Timur, ini, lantas bercerita kesedihannya tatkala pulang ke kampung halamannya itu. "Saya sedih sekali ketika komplek lapangan tenis, kolam renang, serta stadion 3 tingkat peninggalan Belanda itu dihancurkan, dan dijadikan mal," suaranya hampir hilang. Saya pun sempat terdiam, dan geram..

Jan 3, 2009

Mendung di atas Kastil Windsor...




WAJAH kastil Windsor yang megah itu, dulu acap kulihat di kartu pos atau kalender -- yang setiap melihatnya, selalu membuatku teringat legenda pencuri baik hati Robin Hood, dengan bangunan-bangunan menara seperti yang terlihat di gambar-gambar kastil Windsor itu...

Tapi pada hari Minggu, 16 Maret 2008 lalu, imajinasiku itu menemukan bentuk kongkritnya, saat mendatangi kastil berusia "lebih dari seribu tahun" tersebut. Disamun angin utara yang dinginnya menusuk-nusuk, diantar kawanku Endang Nurdin dan keluarga, berikut karib-karibnya asal Belanda, aku mengunjungi salah-satu sudut luar kastil yang menjadi tempat peristirahatan Ratu Elizabeth ke-2 itu.

Sebagai tempat kunjungan turis yang diminati, hari itu aku bukanlah turis satu-satunya. Kutaksir ada ratusan orang wisatawan -- sebagian besar berkulit putih -- berada di sekitar komplek bangunan itu. Di tahun 2002, di kunjungan pertamaku ke London, banyak orang merekomendasikan agar mendatangi tempat tersebut.

Letak kastil ini berada pada sebuah wilayah bernama Windsor, dekat bandar udara internasional Heathrow, di pinggir kota London. Itulah sebabnya, jangan kaget, "hampir setengah menit, kau bisa lihat pesawat komersial ukuran kecil dan jumbo berseliweran di atas menaranya, Fan," kata mas Oni, suami Endang Nurdin, temanku sekantor. Kami ke sana dengan mengendarai kendaraan roda empat.

Saat kakiku menginjak pelataran parkir tak jauh dari kastil itu, perasaan takjub itu meledak-ledak -- dari tempat itu, sudah terlihat salah-satu menaranya. Menaiki jalan menanjak, aku bergegas untuk segera menengok bangunan itu. "luar biasa," begitu batinku, ketika akhirnya kujejaki komplek kastil itu. Di sini perilaku yang sama juga dilakoni para turis, dengan cara mengambil gambar, misalnya.

Di sisi kastil, berdiri ratusan rumah penduduk setempat (yang diubah menjadi toko tempat belanja), serta sebuah bangunan bekas stasiun kereta api (yang disulap menjadi restoran). Bangunannya unik, dengan jalannya berupa batu. Lokasi ini paling banyak dikunjungi turis, karena beberapa toko menjual barangnya dengan harga discount -- di sini berdiri pula toko buku Waterstone's serta toko khas London, Next...

Tidak ada catatan resmi kapan pastinya kastil ini mulai dibangun, namun sebuah situs menyebut bangunan ini didirikan antara tahun1070-1086, di masa Raja William I. Karena itulah "umurnya lebih dari seribu tahun". Kastil yang beberapa kali berbuah fungsi ini juga berulangkali direnovasi (yang disebutkan sesuai selera pihak yang memperbaiki). Misalnya, demikian menurut situs itu, perbaikan yang dilakukan Raja Edward ke-3, dengan memperbaiki atau memperluas kastil tersebut yang dimulai tahun 1350.

Semenjak saat itulah, bangunan yang dindingnya berwarna paduan antara coklat susu dan abu-abu ini berulangkali direnovasi. Termasuk pembangunan kapel St George yang dimulai tahun 1475, di tengah komplek bangunan itu.

Tidak hanya itu. Selain pernah terbakar pada tahun 1992, kastil ini dilaporkan pernah rusak parah akibat perang sipil di tahun 1660-an, sehingga perlu diperbaiki secara menyeluruh -- pada masa perang itu kastil ini juga dijadikan semacam penjara. Renovasi itu dilakukan di masa Raja Charles II, yang antara lain ditandai pembangunan jalan panjang di bagian selatan kastil (yang belakangan menjadi ikon bangunan tersebut) -- pada masa ini pula, konon istana Versailles di Kota Paris, Perancis, juga dibangun.

Diwarnai langit mendung dan gerimis, aku hanya mendatangi salah-satu sudut dari kastil yang luas itu. Dari maket yang kulihat, bangunan ini memiliki beberapa sudut yang ditandai berdirinya menara nan kokoh. Rupanya yang kukunjungi tempo hari itu adalah di areal pintu gerbang "King Henry VIII", yang di sisinya berdiri menara bernama"The Curfew".

Aku lantas teringat, di dalam kalender atau kartu pos yang pernah kulihat, ada satu sudut kastil Windsor yang acap 'dijual', yaitu bagian sisi selatannya. Dari sudut ini, memang kastil itu terlihat indah dan megah. Melalui sebuah jalan yang dihampari rumpur nan luas, para turis bisa melihat kemegahan kastil itu dari kejauhan dengan cakrawala yang pas.

Aku memang tak masuk ke kastil yang berulang kali direnovasi itu -- itulah sebabnya, aku tak bisa melihat langsung menara berbentuk bulat, yang letaknya di tengah kastil itu. Namanya "The Round Tower", yang ukurannya paling besar dibandingkan menara-menara lainnya. Tapi berada di samping bangunan raksasa itu, aku sudah bisa membayangkan: kemegahan kastil ini menunjukkan betapa purbanya peradaban monarki bangsa Inggrisi... ***