Apr 17, 2005

anakku..... dan sepak bola (ditulis tanggal 17 April 2005 di heyderaffan.blogspot.com)


"KALAU kelak aku punya anak lelaki, dia akan kuberi nama, misalnya, Maradona, Rossi, Keegan, Zico... Juga, mungkin Rummenigge, atau Littbarski. Tapi, bagaimana kalau anakku perempuan?"

DULU, dulu sekali, persisnya di awal tahun 80-an, saat aku banyak menghabiskan waktu bermain sepakbola di alun-alun kota Malang, aku mengidolakan sejumlah bintang sepakbola dunia. Nama-nama mereka kudapatkan dari siaran televisi, yang saat itu menyiarkan Liga Jerman di TVRI tiap hari Minggu-- meski bukan siaran langsung. Aku ingat betul, di situ ada nama yang relatif kuhafal, seperti pesepakbola Inggris yang merumput di Kesebelasan Hamburg, Jerman: Kevin Keegan.

Pengetahuanku soal pemain sepakbola luar negeri, saat itu, lumayan luas. Ini kudapatkan bukan hanya melalui media televisi. Usai pulang sekolah, aku selalu menyempatkan membaca atau melihat gambar-gambar pemain sepakbola di majalah atau koran -- di sebuah toko buku, tak jauh dari rumahku. Kebetulan saat itu tengah berlangsung Piala Dunia FIFA di Spanyol, tahun 1982. Di sini, kukenal nama-nama, seperti Karl Heinz Rummenigge, Paulo Rossi, atau Zico. Ada pula nama pemain muda Jerman Barat, Pierre Littbarski.

Sebagai bintang sepakbola yang kupuja, aku menjadi nyaman dan senang, bila telah mendapatkan gambar atau potret diri mereka. Itulah sebabnya, aku suka sekali berburu gambar mereka, dengan cara mencari di koran-koran atau majalah, atau poster. Lantas, gambar mereka kupasang di sebuah buku, atau di tembok di dinding, dekat meja belajarku.

TAPI, pada saat-saat tertentu, kesenangan itu rasanya tidak cukup dengan hanya mendapatkan poster bintang pujaanku -- aku ingat saat itu harga poster 100 rupiah per lembar. Entah dari mana inspirasinya, tetapi aku ingat betul, saat itu sudah muncul semacam keinginan agar kelak, bila aku sudah menikah, dan mempunyai anak lelaki, namanya akan kusesuaikan dengan pemain sepakbola pujaanku. Aku lupa nama siapa yang harus kudahulukan -- apakah Zico, Maradona, atau Rossi. Seingatku, 3 nama itulah yang kujadikan alternatif pertama, sedangkan nama yang lain rasanya 'asing' -- bayangkan, bagaimana komentar orang-orang kalau anakku kuberi nama Rummenigge?

"Bagus sekali nama Maradona, Zico, atau Rossi. Lucu juga, kalau orang-orang memanggilnya. Wah, pasti aku bangga, saat anakku dipanggil nama itu, yang itu artinya menunjukkan bahwa bapaknya pegila bola.'' Tiga nama itu, menurutku, lebih enak di telinga orang Indonesia -- atau setidaknya di keluargaku. Bukankah nama seperti Rossi, juga banyak dipakai oleh orang Indonesia kebanyakan?

Image hosted by Photobucket.com

"AIDA mau main sepakbola dengan Walid, di lapangan depan rumah? Nanti kita beli sepatu bola dan bolanya seklaigus ya." Itulah yang kadang kuucapkan di depan anakku. Jawaban Aida, seingatku, kadang-kadang ''ya'', namun sesekali jawabannya ''tidak''. Harus kuakui, ajakan itu tak sepenuhnya serius, tapi juga tak sepenuhnya omong kosong. Barangkali karena sering kuulang, Aida kadang mengulangi kalimat itu ''Yuk, walid, kita main sepakbola di dekat lapangan volley.'' Aku, tentu saja, senang mendengarnya.

AIDA Ameera, adalah anakku, perempuan, kini umurnya sekitar 3 tahun, kuajak bermain sepakbola? Itulah yang nyatanya kuutarakan kepadanya, tatkala dia sudah bisa diajak bercakap-cakap. Percakapan ini biasanya muncul, saat aku, istriku, dan Aida, meninggalkan atau memasuki komplek Hankam, di mana kami tinggal di rumah orang tua istriku. Di situ ada lapangan luas, dan hampir setiap sore selalu ada orang yang bermain sepakbola.

AKU tidak tahu apakah setiap lelaki di dunia ini, pada masa-masa di dalam hidupnya, selalu membayangkan akan mempunyai anak lelaki -- seperti yang kubayangkan dengan memberi namanya sesuai nama bintang sepakbola pujaanku, yang tentu saja lelaki? Apakah bayangan seperti itu tidak terelakkan pada setiap lelaki, di manapun, atau kapanpun? Apakah pikiran seperti itu bisa disebut sebagai 'merendahkan' perempuan? Tapi, adakah lelaki pernah mengidamkan anak perempuan, dan bukan anak lelaki? Bagaimana dengan adikku atau kakakku perempuan, apakah ada yang salah, kalau mereka membayangkan kelak punya anak lelaki, walaupun mereka berjenis kelamin perempuan?

TATKALA istriku, Ika, diketahui hamil, pertanyaan tentang jenis kelamin calon anakku, otomatis muncul. Menurutmu, anak kita lelaki atau perempuan? Kamu lebih suka memilih anak lelaki atau perempuan? Bagaimana kalau dia nantinya perempuan, apakah kamu akan sayang dia? Serentetan pertanyaan seperti ini keluar dari mulut istriku, meskipun harus kuakui, pertanyaan serupa juga ada di benakku. ''Sama saja, lelaki atau perempuan, yang penting kamu dan bayinya nanti sehat.'' Jawaban ini kuutarakan dengan sadar, dan agaknya aku tidak peduli apakah anakku nantinya perempuan atau lelaki. Istriku sendiri ingin anak perempuan. Aku sendiri tak bertanya: mengapa ingin anak perempuan. Justru istriku yang rajin bertanya, ''Tapi, kamu kalau disuruh memilih, pilih lelaki atau perempuan?" Aku dengan agak malas menjawab: ''Ya, kalau diberi hak memilih, aku pilih lelaki. Tapi, kalau toh nantinya, yang keluar perempuan, ya, aku terima. Aku senang juga.''

DAN, saat anakku -- Aida Ameera Alkaff -- akhirnya diketahui berjenis kelamin perempuan, dunia tak kiamat. Aku seingatku senang, dan rasanya pula aku -- dengan gelora hati yang tinggi -- ikut menyiapkan segalanya.

KEINGINAN agar anakku kuberi nama dengan nama-nama pemain sepakbola pujaanku, memang nyatanya bukan keinginan yang serius, itulah kesimpulanku belakangan ini. Tapi, mengapa aku yang dilahirkan sebagai lelaki, pada tahun 80-an, sudah membayangkan mempunyai anak lelaki, dan tidak perempuan? Pertanyaan ini belum bisa kujawab. Mengapa aku tak membayangkan punya anak perempuan, dan menghubungkannya dengan hobi bermain sepakbolaku?

APAKAH kebiasaanku memilihkan baju ala lelaki untuk Aida, itu tidak lain keinginan alam bawah sadarku karena aku menginginkan anak lelaki? Apakah semua itu bentuk kompensasi karena aku gagal mematrikan nama pemain sepakbola idolaku kepada anak perempuanku? Pertanyaan itu selalu muncul di benakku, dan biasanya kujawab sendiri. Harus kuakui, jawaban ''ya'' muncul, setelah perlakuanku terhadap anakku itu sudah berlangsung lama. Kesadaran itu muncul, utamanya setelah istriku juga bertanya-tanya, bahwa ''kok pakaian anak kita banyak yang kayak cowok ya.'' Aku biasanya sadar dan berkata ''oh, iya'' -- meskipun saat jalan-jalan di sebuah mal, aku masih sering suka melongok ke stand baju anak lelaki. ''Lucu juga kalau Aida pakai baju itu,'' celetukku sambil melirik istri dan anakku.

"Kamu itu sebetulnya ingin punya anak lagi ya, yang lelaki ya,'' itulah yang kutangkap dari ucapan istriku, belakangan, setelah membaca beberapa paragraf tulisanku di atas. Aku sudah menduga komentar itu bakal muncul, walaupun aku terkadang dibuat kaget dengan pertanyaan-pertanyaan Ika, istriku -- dalam banyak hal, Ika lebih ekspresif ketimbang aku. Rasanya dia gampang mengutarakan apa yang ada di benaknya, sebaliknya aku sulit sekali melakukannya. Tapi, aku cuma lebih memilih diam, meski dalam beberapa detik, keluar juga kalimat pendek: ''Nggak juga.''

Sejauh ini, aku berfikir, ingin punya anak satu saja. Ika juga punya pikiran yang sama, setahuku. Tapi, kadang-kadang kalimat itu tidak berhenti di situ. ''Tapi, kalau di luar dugaan, ada anak lagi, ya tak apa-apa.'' Kalimat terakhir ini, kadang-kadang muncul lewat mulutku, tapi di saat lain, istriku yang mengutarakannya -- rasanya tak ada beban yang berlebihan tatkala kami membicarakannya. Enteng hati, begitulah. Ada banyak alasan yang mendasari kenapa kami ingin 1 anak saja, tapi ada pula alasan tertentu kenapa mesti ada anak satu lagi. Namun itu, tadi, kehendak ingin satu anak, itulah yang lebih mendominasi pikiranku. ''Kasihan Aida kalau nanti ada adik baru, nanti rasa sayang kita terbagi.''



Bola warna merah, dengan warna hitam di beberapa bagiannya, dan terbuat dari plastik, masih terlihat di sudut taman itu. Setiap mengantar Aida belajar main musik dan bernyanyi di sebuah sekolah musik di wilayah Cipete, Jaksel, mataku selalu menatap bola itu -- selain buku yang sedang kubaca. ''Aku ingin menendang bola itu, dan memainkannya.''

Itulah yang selalu kubayangkan, setiap melihat bola itu -- setelah lebih dari 10 tahun aku sama-sekali tak pernah bermain bola. Rasanya kaki gatal, tapi toh aku tak mendekati bola itu. Aku justru membiarkan mataku menari-nari, melihat bocah lelaki dan perempuan memainkan bola itu. Aku menikmati sekali pemandangan itu, tapi itu tak berlangsung lama, karena anakku tiba-tiba muncul didampingi istriku, Ika, pada Sabtu pagi, 16 April lalu. ''Aida mau main perosotan,'' teriaknya memecah heningku.

Aku tak kuasa melarang dia, dan kugandeng Aida menuju taman itu, melewati tangga warna-warni. Istriku menunggu di atas, sementara anakku lari gesit. Aku tahu dia senang, itu terlihat dari senyumnya yang mengembang. Kakinya yang mungil itu, sudah kuat menahan tubuh seberat 14 kilogram -- hah, aku sudah punya anak berumur 3 tahun 5 bulan!

Sesekali tangannya lincah membetulkan posisi rambutnya yang menutupi matanya. Dia lari ke ayunan, dan aku membantu mendorongnya. ''Hati-hati ya, kakinya jangan menempel tanah. Nanti Aida jatuh.'' Beberapa kali berayun, dia lantas minta berhenti. Dia agak ragu mau bermain perosotan, dan matanya justru melirik bola merah itu. Dan, ''Aida mau main bola!''

Barangkali kalimat itu merupakan kalimat yang terindah, yang pernah terdengar di telingaku, sejauh ini. Belum selesai lamunanku, Aida sudah berlari, mengejar benda bulat itu. Dia mengejarnya, dan berusaha menyergap dengan tangannya, tapi bola mengglinding ke depan, karena tersentuh kakinya dulu. ''Aida pakai kaki dong, itu kan bola sepakbola,'' ucapanku ini otomatis keluar dari mulutku, bak seorang pelatih sepakbola menginstruksikan anak latihnya.

Sekonyong-konyong, aku yang semula berdiri agak jauh dari Aida, ikut berlari-lari, ikut mengejar bola itu. Aida kuperhatikan tertawa, berusaha mendekap bola itu, dengan tangannya. ''Pakai kaki, Aida.'' Teriakku beberapa kali. Aida akhirnya menendang bola itu, dan lumayan pelan. Kudekati dia, dan kakiku menggaet bola itu, dan kucoba menggiringnya. Aida berteriak,''Walid, itu bola Aida.'' Dia mengambil kembali bola itu, dan senyumnya yang ngangeni itu memekar kembali.

Peristiwa Aida bermain bola denganku, tak berlangsung lama, tapi rasanya aku menikmati betul bermain sepakbola dengan anak perempuanku. Semula dia menolak berhenti, tapi aku membujuknya untuk kembali ke mobil, dengan janji ''nanti kita beli bola seperti itu, lalu kita main bola sama-sama lagi ya.'' Aida tak menolak, dan kami, dengan Ika istriku, segera naik mobil, meninggalkan sekolah musik dan taman rumput, di mana bola warna merah masih teronggok di sana. ***








Apr 16, 2005

anakku..... dan sepak bola

Image hosted by Photobucket.com
"KALAU kelak aku punya anak lelaki, dia akan kuberi nama, misalnya, Maradona, Rossi, Keegan, Zico... Juga, mungkin Rummenigge, atau Littbarski. Tapi, bagaimana kalau anakku perempuan?"

**

DULU, dulu sekali, persisnya di awal tahun 80-an, saat aku banyak menghabiskan waktu bermain sepakbola di alun-alun kota Malang, aku mengidolakan sejumlah bintang sepakbola dunia. Nama-nama mereka kudapatkan dari siaran televisi, yang saat itu menyiarkan Liga Jerman di TVRI tiap hari Minggu-- meski bukan siaran langsung. Aku ingat betul, di situ ada nama yang relatif kuhafal, seperti pesepakbola Inggris yang merumput di Kesebelasan Hamburg, Jerman: Kevin Keegan.

Pengetahuanku soal pemain sepakbola luar negeri, saat itu, lumayan luas. Ini kudapatkan bukan hanya melalui media televisi. Usai pulang sekolah, aku selalu menyempatkan membaca atau melihat gambar-gambar pemain sepakbola di majalah atau koran -- di sebuah toko buku, tak jauh dari rumahku. Kebetulan saat itu tengah berlangsung Piala Dunia FIFA di Spanyol, tahun 1982. Di sini, kukenal nama-nama, seperti Karl Heinz Rummenigge, Paulo Rossi, atau Zico. Ada pula nama pemain muda Jerman Barat, Pierre Littbarski.