Jun 6, 2005

Aida, National Geographic dan Ayahku

KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah itu, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku menyusuri kembali masa laluku, dan berjumpa kembali dengan ayahku, untuk untuk sebuah percakapan yang tertunda.

**
EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, beberapa menit sebelum aku terbang ke Bali, untuk liputan Kongres PDI Perjuangan di Sanur -- akhir Maret 2005. Saat kukeluarkan uang dan kubayarkan kepada petugas kasir di toko buku berukuran sekitar 4 meter kali 5 meter itu, perasaanku begitu hidup: aku akhirnya mampu membeli majalah itu, dan baru!

Dan, setelah keluar dari ruangan toko buku berukuran sekitar 4 meter itu, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu -- sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat. Ada perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya bangga, saat tanganku menggapitnya -- ha, ha, aku jadi menertawakan diriku sendiri, karena aku teringat perangai temanku di masa mahasiswa dulu, yang begitu bangga menggapit Majalah Time, saat melenggang di antara teman-temannya. Kekonyolan temanku itu tadi, kini kulakoni -- dengan sadar!

Itulah yang terjadi pada diriku, pada siang yang terang itu. Bagian depan majalah itu, yang laporan utamanya tentang penemuan fosil manusia purba di Pulau Flores, sengaja kuletakkan di bagian depan. Perasaan seperti ini berlanjut saat aku merebahkan diri di kursi ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk pesawat. Kuhabiskan waktu untuk membuka halaman demi halaman majalah itu. Kubaca dari kata per kata -- dengan diselingi gerakan mataku melirik ke penjuru sudut ruangan: adakah calon penumpang membaca majalah yang sama.


Pikiranku saat itu memang tidak satu, kadang aku berusaha keras membaca satu artikel, dan di saat yang hampir bersamaan, perasaanku kubiarkan hanyut Harga majalah ini memang relatif mahal untuk ukuran harga majalah di Indonesia -- 40 ribu rupiah. Bahan kertasnya sungguh luks, dengan kualitas gambarnya yang yahud pula. Dulu, sungguh tidak terbayang, untuk membeli majalah itu di kota kecil Malang. Setahuku tidak ada toko buku yang menjualnya, kecuali memesan langsung ke penerbitnya di Amerika Serikat.


Hampir semuanya berwarna

Kertasnya luks dan


Tapi itu sajakah alasannya? Bagiku, rasanya lebih dari itu. Majalah yang sampul depannya selalu dihiasi bingkai kuning ini,


adalah masa laluku, sebuah proses panjang






proses mengingat-ingat



Sebuah majalah yang

Setelah membeli 3 edisi terbaru NG edisi Bahasa Indonesia,


memang tidak semua artikel kubaca. Biasanya yang kubaca lebih dulu yang terkait dengan temuan paling baru seputar arkeologi, lalu setelah itu barulah artikel lainnya.



Agak klise memang, tapi kupikir, majalah itu adalah contoh kongkrit sebuah karya jurnalistik yang baik. Pernah kubaca sebuah buku tentang teknis jurnalistik, dan di sana disebutkan bahwa untuk mengetahui keakuratan dan keseriusan kerja jurbalistik, maka NG adalah patut dijadikan contoh. Bayangkan, seperti diakui penulisnya, mereka perlu turun ke lapangan selama sedikitnya 2 bulan, untuk menulis sebuah artikel yang cuma tidak lebih dari 3 halaman. Itu pun, setelah tulisan itu hendak memasuki proses cetak, si wartawan mengirim artikel setengah jadi itu kepada sumber beritanya -- untuk dicek ulang, apakah ada yang salah atau tidak.


Sudut dan sebagian barang-barang yang ada di ruangan kerja Walid, yang selalu ditata rapi dan bersih, tidak lekang dari ingatanku.

Kubayangkan Walid akan mengkritisi isi Majalah National Geography versi Bahasa Indonesia. Aku berani mengatakan hal ini, karena setahuku, Walid

Walid begitu teliti dan rapi dalam merawat buku dan majalah-majalah koleksinya. Dia akan menyampul sebagian bukunya, dengan kertas warna coklat muda bekas amplop berukuran besar, bila sampul buku itu mulai rusak.


Dalam masanya, Walid juga membawa buku dan majalahnya ke percetakan, untuk dikemas ulang sampulnya.

Di dalam lemari pribadinya, aku selalu melihat kapur barus. Barang-barangnya, seperti buku atau kartu pos lama, selalu ditata rapi -- hampir tanpa cela! Wangi, karena di sana selalu kutemukan kapur barus. Kuakui, aku dulu kadang-kadang secara diam-diam pernah membuka lemari walid -- dan Walid selalu tahu, kalau ada yang mengotak-atik barangnya.

Di sana ada barang-barang yang menarik buatku: berlembar-lembar kartu pos tua dari sahabat Walid di luar negeri; perangko-perangko yang diantaranya dicetak sebelum perang dunia ke-2;

Barangkali karena rajin menata ulang tempatnya, Walid jadi hafal di mana letak barang-barangnya -- karena itu, walid tahu dan sedikit protes, bila anak-anaknya mengutak-atik koleksinya, sehingga tidak lagi rapi seperti sedia kala.

Meja kerjanya selalu dibersihkan dengan lap basah, dan dibiarkan kering terlebih dulu, sebelum Walid duduk rapi -- dan membuka-buka bukunya. Ada satu buku yang gemar dia baca, dan kadang-kadang dilafalkan dengan agak keras, sehingga anak-anaknya ikut mendengar. Aku lupa persisnya, tetapi itu catatan dia tentang kata-kata mutiara atau kutipan orang kesohor tentang apa itu hidup -- semuanya dalam bahasa Inggris. Biasanya Walid tertawa kecil, saat kepergok membaca isi buku itu, dan baru kemudian menjelaskan apa makna tulisan itu.

Saat Walid mulai pikun dan 'kehilangan' pekerjaannya sebagai guru privat, aku kadang-kadang berfikir bahwa karena itu Walid makin menderita. Awal-awal, Walid masih memaksakan untuk tetap mengajar, walaupun sebagian muridnya makin berkurang akibat pendengarannya yang mulai berkurang.

Buku-buku yang berkaitan dengan kerjanya sebagai guru les privat, kemudian diletakkan di sudut-sudut mejanya. Ditumpuk rapi. Di belakang meja dan kursi kayu di mana Walid biasa duduk, terdapat papan tulis warna hijau dan sebuah kotak berisi kapur warna-warni -- agar debu kapur itu tidak merusak paru-parunya, Walid rajin menutup hidungnya dengan sapu tangan dan membersihkan debu kapur dari penghapus.


Kemarin saat ke Hero Supamarket, anakku Aida, saat kugendong, tiba-tiba menunjuk suatu barang. "Itu apa Walid?" Alat itu bentuknya seperti perpaduan antara alat penggorengan dan serok tanah, tapi pipih dan terbuat dari plastik. Warnanya hijau dan berlobang-lobang. "Oh, itu alat untuk mengusir lalat, atau alat untuk mematikannya." Bersamaan dengan penjelasan itu, pikiranku langsung ke sosok Walid beserta ruangan meja kerjanya, dan alat untuk membunuh lalat itu. Dulu, saat aku seumur Aida -- atau agak besaran -- juga ikut memain-mainkan alat itu, dan bertanya apa fungsinya.


SAAT aku pulang ke rumah ibuku di kota Malang, kira-kira 2 tahun yang lalu, masih kulihat puluhan majalah itu masih teronggok di lemari kayu, persisnya di rak bagian kiri yang terbuka -- bayangan dan nafas Walid masih kurasakan dari lemari itu, yang barangkali salah-satu barang peninggalan Walid, yang kini masih tersisa. Debu tipis menempel pada jari-jariku, saat kujamah majalah yang paling atas. Dengan warna khas majalah itu, yaitu bingkai kuning dan foto di tengah-tengahnya, mataku gampang mengetahuinya

No comments: