Oct 16, 2008

Tiba-tiba aku teringat mendiang Munir...

TIBA-TIBA aku teringat mendiang Munir, ketika mobilku melaju kencang di atas tol Bintaro, pertengahan bulan Ramadhan lalu. Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu...

Adalah istriku yang membuka "pintu kesedihan" tersebut. Di atas mobil, dia bertanya: siapa penceramah pada buka bersama di komplek tempat kami tinggal, Sabtu kemarin? (Kami baru saja pindah rumah, dan setelah sekian tahun, inilah pertama kalinya aku duduk tenang, mendengarkan sebuah khotbah...).

Aku pun membuka pembicaraan. Kujelaskan, pengkhotbah itu adalah Wakil Rektor Universitas Islam Negeri Hidayatullah. Dan, "ceramahnya bagus ya, nggak menggurui.."

Istriku mengiyakan, dan entah kenapa kemudian tiba-tiba aku berkata lirih seraya mataku mulai berkaca-kaca, "ah, aku jadi ingat Munir.."

Pikiran ini muncul seketika, dan suasana di dalam mobil itu pun menjadi haru. Musik Cranberries -- ode to my family -- yang mengalun dari tape mobilku, semakin menggenapkan suasana miris itu, dan berubah menjadi mirip musik kematian. Kami sempat terdiam beberapa detik -- rupanya perasaan yang sama juga muncul di benak istriku. (Anakku yang duduk di belakang juga diam seribu bahasa).

Wajah tirus Munir, rambut yang kemerahan, tubuh yang ringkih, kemudian membayang sekelebat. Kemudian, kepingan-kepingan memori seperti berputar kembali. Dan muncullah potongan percakapan -- yang samar-samar kuingat -- antara diriku dengan mendiang, sekian tahun silam, sebelum racun itu membunuhnya...

"Kita ikut berdosa, kalau hadir dan mendengarkan khotbah (Jumat) yang isinya cuma menghujat, mengajak bermusuhan..." Kalimat ini dia utarakan, setengah berkelakar, kepada segelintir wartawan, yang biasa ngepos di Kantor YLBHI, Jakarta. (Saat itu, dia dipercaya memimpin LSM itu). Aku ada di sana saat itu. Saya tidak menimpali kalimatnya, tetapi kalimat itulah yang masih kuingat sampai sekarang.

Sebuah mesjid kecil tidak jauh dari kami berdiri kami, memang tengah menyuarakan suara pengkhotbah melalui pengeras suara. "Ayo Fan sholat," ajaknya seraya tertawa. Walau aku agak malas, kami akhirnya menuju mesjid itu, tetapi di saat-saat ketika khotbah itu segera berakhir.

***

SAYA mengetahui sosok Munir, jauh sebelum dia dikenal sebagai pegiat HAM yang dikenal vokal dan berani. ("Saya juga pernah merasa ketakutan, Fan," ujarnya setelah mendirikan organisasi Kontras, tahun 1998). Saya dan Munir berasal dari tempat kuliah yang sama, di kota Malang, Jawa Timur, walau beda fakultas. Saat itu dia aktif di organisasi ekstra serta intra kampus, sementara aku sejak awal terbenam di dunia pers mahasiswa.Tapi saya tak pernah mengenalnya, dan kita jarang bertemu saat itu. "Kupikir kau dulu juga dari Fakultas Hukum," tanya mendiang kepadaku,  beberapa bulan sebelum dia hendak terbang ke Belanda.

Namun nama Munir mulai kudengar setelah dia bergelut sebagai pegiat aktivis LBH Surabaya dalam menangani kasus Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh tahun 1993. Saat itu aku masih berstatus mahasiswa, dan kasus Marsinah menjadi santapan kami dalam diskusi-diskusi, yang terkadang melibatkan pula pegiat LBH di kota Malang...

***

DUA tahun sebelum Suharto jatuh, aku menjadi wartawan harian lokal di Denpasar, Bali. Hanya tiga bulan di kota itu, aku kemudian ditugaskan ke Jakarta, awal 1997 -- dengan spesialisasi liputan di dunia LSM, pengadilan, serta Partai Golkar. Pada tahun inilah, seingatku, aku berkenalan dengan Munir, yang kala itu dipromosikan bertugas di YLBHI Jakarta.

Dan Munir bukanlah tipikal pegiat yang menjaga jarak dengan media. Dengan segala keterbatasan, dia mau berbagi informasi, walau tidak untuk ditulis. Bersama sejumlah wartawan yang biasa meliput di LBH, saya bisa seenaknya nyelonong masuk ke ruangan kerjanya, untuk sekedar berkelakar, atau menanyakan latar sebuah kasus.

"Ayo masuk ke ruangan, aku punya informasi penting nih..." Di dalam ruangan kerjanya, di sala-satu pojok gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, kami pun saling berbagi informasi. Seingatku aku saat itu lebih banyak mendengar, dalam percakapan yang sebagian besar dipenuhi seloroh itu. Munir memang bukanlah tipe serius..

Dan suhu politik yang memanas pada tahun-tahun itu, membuat jarak kami makin dekat. Peristiwa penculikan aktivis politik, pengungkapan kerusuhan Mei '98, disusul pendirian lembaga Kontras, adalah peristiwa-peristiwa yang membuat saya acap bersua "si rambut merah" -- julukan bernada seloroh yang ditahbiskan kepadanya, selain panggilan akrab "Cak Munir"...

***

SEKALI waktu, aku mewawancarai Munir, tetapi bukan dalam kapasitas dia sebagai pengamat, yang menganalisa sesuatu dengan jarak yang jauh. Pertengahan tahun 2001, aku tengah menyiapkan program seri radio tentang dampak serangan 11 September terhadap komunitas keturunan Arab di Indonesia. Munir kuwawancarai sebagai salah-seorang keturunan Arab yang memilih aktivitas LSM sebagai profesinya.

Yang menarik dari jawabannya, tatkala dia kutanya tentang sikapnya tentang isu pembauran. "Sikap sebagian keturunan Arab yang menikah dengan sesama keturunan Arab, itu cerminan feodalisme, kalau didasari karena kesucian darah," katanya tegas. Seperti diketahui, istri Munir, Suci (juga pegiat LBH di divisi perburuhan), yang dikenalnya saat aktif di LBH Surabaya, bukanlah keturunan Arab.

***

PESAN pendek itu masuk ke telepon selulerku, pada sebuah siang, bulan September 2004. Saya setengah kaget, syok, tidak percaya kematian itu begitu cepat menjemputnya. Saya kontak orang-orang terdekatnya, dan semua membenarkan berita kematian Munir, yang diiringi kesedihan, berikut nada amarah di baliknya.

Saya masih ingat, Susilo Bambang Yudoyono (saat itu masih calon presiden) di depan wartawan di Hotel Mandarin menghentikan sebentar diskusinya, dan mengucapkan bela sungkawa. Teman sekantorku tak kuasa menahan tangis," Cak Munir sudah tiada," dan bertanya-tanya apa penyebab kematiannya. Adakah dia dibunuh? Siapa yang tega melakukan ini semua? Mengapa?

Deretan pertanyaan seperti ini diutarakan orang-orang yang paham atas resiko profesi yang menjadi pilihan Munir. ("Saya sudah terbiasa hidup dalam ancaman,  ya, dijalani saja," katanya suatu saat, dengan tetap tersenyum. Dia saat itu masih mengendarai sepeda motor, dari rumahnya di kawasan Cipinang ke kantornya di Jalan Diponegoro).

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, seperti diketahui, baru terjawab sekian tahun kemudian. Tetapi bagiku, rasa kehilangan itu belum juga beranjak, empat tahun setelah peristiwa itu. "Rasa kehilangan itu tiba-tiba menguasai tubuh, menggantikan panorama indah biru langit Jakarta sore itu..." ***

25 comments:

ika ardina said...

welcome back :D
jangan lupa di-copy-paste ke facebook ya

restu dewi said...

ya...begitulah walid....tabir mesteri itu sampai saat ini gak ada tanda2nya terungkap....tersimpan rapi

syaifuddin sayuti said...

sy berkali2 bertemu dg almarhum untuk wwc. perjumpaan yang tak pernah lama.

perjumpaan yang sangat mengesankan buat saya saat kami bertemu di sebuah diskusi (kalo gak salah) yang diadakan Pemuda Anshor. dia datang dengan motor dan jaket kulit lusuh. sungguh membuat kagum. almarhum yang sangat sohor waktu itu ternyata tetaplah pribadi sederhana.

arie alina said...

saya ingat.. ketika bertemu alhm.. kami bertukar no. telp...lalu ngobrol2 panjang tentang ham, penculikan, dan ketakutan saya ketika di teror di aceh. beliau menjawab itu seakan2 sudah menjadi bagian dari hidupnyaa..

beberapa hari setelah Ramadhan, suami saya sakiiiittt perutnya.. dan komentar dia:"aaah.. munir pasti lebih sakit ketika racun arsenic menjalar di tubuhnya..".. seketika itu.. mata saya basah...

krisna diantha said...

langit jakarta mana pernah biru? kabut terus

Nabiha Shahab said...

Cukup dekat dong lo ya dulu Fan... dulu 96/97 masih sering mampir ylbhi dan ngobrol sama Munir, BW tapi agak jarang nongkrong sih...
Mudah-mudahan terbukalah misteri ini... percuma reformasi kalau yang begini masih bisa lewat :(

a alifandi said...

Soal pembauran itu, aku ingat wawancar ente dg Munir untuk seri masyarakat keturunan Arab di Indonesia. Kayaknya pendapat ente sama dg pendapat dia.

Muthz ' said...

aku pernah wwc sekali mas..seems orangnya sangat humble.
nice to read this story..

haris fauzi said...

kemana aja mas affan ?

Affan Alkaff said...

Halo mbak...Sekarang salah-seorang tersangka barunya sedang diadili, setelah tersangka yang bekas pilot telah divonis... Sebagian orang masih yakin ada otak dari semua ini, tetapi polisi sepertinya belum mengarahkan ke sana, karena belum ada bukti...

Affan Alkaff said...

Halo mbak...Sekarang salah-seorang tersangka barunya sedang diadili, setelah tersangka yang bekas pilot telah divonis... Sebagian orang masih yakin ada otak dari semua ini, tetapi polisi sepertinya belum mengarahkan ke sana, karena belum ada bukti...

Affan Alkaff said...

Halo mbak...Sekarang salah-seorang tersangka barunya sedang diadili, setelah tersangka yang bekas pilot telah divonis... Sebagian orang masih yakin ada otak dari semua ini, tetapi polisi sepertinya belum mengarahkan ke sana, karena belum ada bukti...

Affan Alkaff said...

Saya sepakat denganmu, Din, bahwa mendiang pegiat LSM yang relatif sederhana. Kita mungkin bisa bandingkan dengan pegiat lainnya...

Affan Alkaff said...

.. Dan tentu kau ingat, Rie, racung yang masuk ke tubuh mendiang itu dosisnya tinggi...

Affan Alkaff said...

ha,ha,ha... betul Kris, langit Jakarta jarang sekali biru. Mungkin menjadi agak kelabu, karena tertutupi polusi...

Affan Alkaff said...

Ebi, sepertinya mendiang akrab dengan setiap wartawan yang biasa kontak dia. Pengalamanku, dia selalu angkat telepon, termasuk saat dia dirawat di rumah sakit...

Affan Alkaff said...

Iya cak Anton, Anda benar... :)

Affan Alkaff said...

.. betul Muthz, dia hampir tak pernah mau menolak wawancara...

Affan Alkaff said...

Harris! Apa kabar? Di Jakarta saja Ris, tapi penyakit malas ini yang tengah kambuh...:)

aya blue said...

akhirnya.... tulisannya muncul lagi...
Bahas pak munir pula... ihks.. masih sedih beliau sudah tidak ada bersama kita lagi. Wlo tidak kenal dekat tapi selalu merasa dia selalu dekat dg siapa saja. Ahh mas affan klo dah nulis kaya gini nih...
Jangan malas dong... hehe...

Lenah Susianty said...

Kamu bikin aku ingat Munir juga! Aku ingat waktu masih suka meliput di LBH. Munir tidak pernah sok bertingkah seperti pengacara HAM besar! Mudah-mudahan keadilan atas kematiannya bisa segera terwujud...

Affan Alkaff said...

.. Aya, saya yakin, semangat hidup yang ditularkan mendiang, akan tetap hidup..

Affan Alkaff said...

semoga, Len!

Julie Utami said...

Kehilangan sosok mas Munir adalah kehilangan untuk semua orang. Setelah dia, siapa lagi penggiat HAM yang berani ambil resiko? Belum kelihatan jelas kan?!

Sekali kembali kepadaNya tentulah dengan kebahagiaan abadi di taman surgaNya dalam genggaman Sang Maha Kasih. Semoga allah mengampuni dosanya dan menjamunya dengan kenikmatan belaka.

Affan Alkaff said...

Semoga...