Oct 29, 2008

Usai kabut meleleh di Pulau Nusakambangan...




KABUT tipis yang beraroma laut menyelimuti sebagian pucuk pepohonan yang tumbuh lebat di Pulau Nusakambangan, hari Jumat pagi pekan lalu. Suara pagi berupa bunyi mesin perahu klotok dan peluit kapal feri, serta klakson kendaraan yang hilir mudik di dermaga itu, menyelusup di antara wajah-wajah malas para wartawan -- yang mulai dijangkiti rasa bosan, karena menunggu proses eksekusi tiga terpidana bom Bali yang tak juga digelar...

Saya dan teman-teman wartawan, memang nyaris tak beranjak dari dermaga milik LP Nusakambangan, di Kota Cilacap, Jawa Tengah, sejak isu eksekusi hukuman mati terhadap tiga terpidana itu bergulir. Dermaga itu memang pintu keluar-masuk resmi, walau ada lebih dari lima dermaga milik instansi lain yang menghubungkan Cilacap-Pulau Nusakambangan.

Dan kami hanya bisa menunggu, karena keputusan itu sepenuhnya di tangan "elit" di Jakarta. Kenyataan lainnya, rombongan jurnalis itu dilarang masuk ke Nusakambangan yang hanya berjarak "lima belas menit dengan menggunakan perahu klotok."

Dari dermaga berukuran kecil itulah, yang bisa kita lakukan akhirnya semata menyaksikan pulau Nusakambangan, walaupun indera dan pikiran terus membayangkan "isi" pulau yang acap diidentikkan dengan Pulau Al Catraz, bekas pulau penjara di Amerika, tempat hunian penjahat klas kakap.

Juga mencoba mengkhayal bagaimana dulu penjahat sekelas Johnny Indo mencoba kabur, tetapi akhirnya tertangkap. Serta pula, mengingat-ingat bagaimana kisah Tomi Suharto -- yang pernah mendekam di sana -- "bergaul" dengan penjaga dan narapidana, di dekat selnya yang luks.

(Saya di dermaga itu, bertemu seorang pemilik perahu klotok, yang dulu dibiayai orang-orangnya Tomi untuk membeli perahu, dengan harapan memudahkan mereka hilir-mudik Cilacap-Nusakambangan).

***

"MUNGKIN eksekusi atas tiga orang terpidana Bali itu akan dilakukan pada Jumat dini (24 Oktober lalu) hari nanti," begitu selentingan yang menyebar. Kabar itu makin diyakini kebenarannya, karena Kejaksaan Agung disebutkan akan menggelar jumpa pers pada hari Jumat (24 Oktober lalu), namun belum jelas isinya, apakah akan menerangkan "hasil eksekusi" atau "kapan eksekusi akan dilaksanakan."

Saya beruntung datang agak belakangan -- hari Kamis, 23 Oktober lalu, sementara ada beberapa jurnalis yang datang lebih awal. Bahkan seorang wartawan sebuah stasiun televisi lokal, disebutkan telah berada di Kota Cilacap, sejak dua bulan silam. Wartawan perempuan ini memang dikenal spesialis liputan yang "nyerempet" bahaya. "Saking lamanya, warga di sekitar pelabuhan kenal wartawan itu," kata sopir ojek, yang setiap hari menunggu di depan pintu masuk pelabuhan kecil itu.

***

MENUNGGU adalah bagian kerja wartawan. Kalimat ini akhirnya yang kuulang-ulang untuk meyakinkan diri, agar tak jenuh dimakan waktu. "Jadi, yang cuma bisa kita lakukan adalah menunggu di Dermaga, dengan berharap ada peristiwa itu di sini," kata wartawan lokal, sebuah kantor berita nasional, agak masygul. (Kami akhirnya mempraktekkan istilah "pasang telinga" bak radar, mencatat semua informasi sekecil apapun, demi memproleh kepastian eksekusi).

Dua hari hilir-mudik di dermaga itu, membuat kami akhirnya akrab dengan orang-orang di sana. Salah-satu orang itu bernama Risno, tukang ojek motor -- yang akhirnya kusewa selama 2 hari liputan di kota Cilacap, Jawa Tengah. Dia bersama istri dan empat anaknya, tinggal di sebuah gubuk kecil berdinding bambu tidak jauh dari pelabuhan tersebut.

"Kota Cilacap itu, ya besarnya segitu saja, dan letaknya di ujung lagi, mentok!" celetuk Risno, agak berteriak, mengimbangi suara mesin motornya, memecah keheningan jalanan kota Cilacap di sore hari. Kalimat ini keluar dari mulutnya beberapa detik setelah aku secara spontan mengomentari geografi kota ini, "ternyata kotamu bersih ya, dan sepi..."

Aku saat itu sengaja minta diajak berkeliling mengitari sejumlah jalan protokol kota -- sebuah ritual yang acap kulakukan saat mengunjungi atau liputan di sebuah wilayah baru. Ini terjadi menjelang kepulanganku ke Jakarta, setelah mendapat kepastian eksekusi itu akan dilakukan awal November nanti.

Dihiasi langit Cilacap yang kelabu, dan dihampari tanah basah akibat hujan, kurang dari satu jam, kami bisa mengunjungi tempat wisata Teluk Penyu, melihat belasan kilang minyak berukuran raksasa, serta mengintip Benteng Pendem peninggalan kolonial Belanda...

***
TERIAKAN "huu!" memecah siang itu, ketika sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan siaran langsung dari gedung Kejaksaan Agung, sekitar pukul 2 siang, hari Jumat lalu. Kami, para wartawan, menunggu dengan tak sabar di ruangan masuk dermaga, di depan layar TV berukuran kecil. Reporter TV itu menyebut, eksekusi baru akan dilakukan awal November nanti...

Pengumuman itu menjengkelkan, tetapi sekaligus melegakan. Sebagian wartawan merasa jengkel, karena itu artinya kedatangan awal mereka sia-sia. Namun di sisi lain, bisa juga disebut melegakan, karena kepastian itu akhirnya datang juga...

Dan dengan menyisakan pertanyaan "kapan persisnya Amrozi dkk dieksekusi mati", saya akhirnya harus meninggalkan Cilacap. Pada Sabtu (25 Oktober) pagi yang diwarnai gerimis , mobil sewaan kami akhirnya meninggalkan pemandangan indah di kejauhan: kabut turun perlahan dan meleleh di pepohonan lebat Pulau Nusakambangan... ***

20 comments:

Toto_Waluyo . said...

serem juga ya..., berat juga bawaanya..

Toto_Waluyo . said...

pornografi mas.. :)

Toto_Waluyo . said...

enak ya berpetualang terus...hehehe..

rahman AbduRahman said...

seru juga "penantian" nya..ditunggu berita selanjutnya

sensen gustavsson said...

Fan, itung2 refreshing.. liburan sambil kerja, gak perlu deg-degan dengan deadline..

Affan Alkaff said...

ya, Mas Wira, apalagi yang membayangkan itu aku, yang nggak bisa berenang..hehehe!

Affan Alkaff said...

hehehe.. Tapi percayalah, mas, saat penantian yang menjemukan itu, ketemu anak-anak ini, yang selalu ceria, dan selalu berteriak ke arahku "mas, orang bule ya", jadi hiburan tersendiri... :)

Affan Alkaff said...

Mas Wira, jalan-jalan seperti ini, sekitar sepuluh tahun lalu, mungkin lebih menyenangkan. Karena fisik masih segar. Sekarang, ya ampun, terasa gampang capeknya! Ujung-ujungnya, jika sudah sampai Jakarta, pijet total! :)

Affan Alkaff said...

Rahman, cerita ini barangkali akan berlanjut, kalau aku yang dapat tugas lagi ke Cilacap.... :)

Affan Alkaff said...

Akhirnya itu yang kulakukan Sen, walau tetap saja saya mesti diwawancarai -- setidaknya sampai tiga kali -- melalui telepon untuk melaporkan "pandangan mata" selama di Dermaga itu...

purwanti setia said...

asyik bgt mas. Kok agak kurusan sampeyan?

Affan Alkaff said...

iya, dari dulu nggak bisa bertambah beratku, Pur.. Dari dulu beratku berkisar 46-47 kilogram!... :)

Yiyik K said...

Yah walaupun penantiannya menyebalkan, itung2 pengalamanlah ke Nusakambangan :) Ini cuacanya untung lagi bagus, jadi perahunya nggak oleng kena ombak...

Affan Alkaff said...

Iya Yik... betul!

Muthz ' said...

jadi ngebayangin aktifitas "menunggu" itu...tapi nusakambangan lumayan juga viewnya ya mas...

Affan Alkaff said...

Betul Muthz! Fakta bahwa aku tak pernah ke sana (sehingga menjadi penasaran), membuat pemandangan Pulau Nusakambangan (dari kejauhan) -- yang ditumbuhi pepohonan lebat, air laut yang hitam, dan bunyi perahu kelotok di pagi yang berkabut -- menjadi eksotis...

aya blue said...

weleh2 ada model baru nih...

aya blue said...

Mantabs nih.. jalan2 terus, asyik juga ya tempatnya. kapan2 klo mudik minta jalan2 pe sana deh. masa sih beratnya cuma 46-47kg?? masa beratnya sama kaya aku sih. *geleng2 tdk percaya xixixi...
Sukses terus ya mas

Affan Alkaff said...

Iya Aya, dermaga Cilacap (untuk menyeberang ke Pulau Nusakambangan) pada hari sore, utamanya hari Sabtu atau Minggu, acap didatangi anak-anak. Dan semenjak ada rencana eksekusi ini, tempat itu makin ramai didatangi warga setempat. "Pengin tahu, mas, karena sebelumnya disiarkan TV," kata salah-satu anak-anak itu... (Dan mereka paham kenapa orang-orang itu mau dihukum mati!)

Affan Alkaff said...

Iya, aku juga heran: kok nggak bisa tambah gemuk, walau usia terus bertambah... :)