Nov 12, 2007

Bunyi "Bruaaak!" dan ratapan anakku...

"BRUAAK!"  Bunyi yang memekakkan telinga itu hanya berlangsung hitungan detik, sisanya adalah raung kesakitan.. dan hidung bus yang ringsek -- setelah menyenggol badan kendaraan roda empat di sisi kanannya, dan menghantam pagar beton sebuah kantor. Dalam gelap, dan diteror kepanikan, serta percikan pecahan kaca (seperti potongan kecil es batu), saya dan belasan penumpang yang tak tahu apa-apa itu,  berebut meninggalkan bus kota naas itu..    

"Bakar, bakar saja! Bunuh sopirnya!" Suara-suara itu samar kudengar dari kerumunan di luar bus. Saya sempat memikirkan nasib sopir itu (sepertinya anak muda, terlihat dari lagu  piringan CD-nya yang dia putar berulang-ulang sejak dari Terminal Blok M), tapi sekonyong-konyong pikiranku tercurah pada rasa nyeri di dadaku, juga tulang kaki keringku...  

Melaju dengan kekuatan penuh, tidak ada tanda-tanda bus metromini jingga jurusan Blok M - Rempoa itu (nomor 74), akan bernasib naas pada Rabu malam, 7 November lalu -- sudah biasa, kupikir, sopir bus di Jakarta sebagian besar tidak ada yang berlaku tertib. Semula saya menunggu nomor 71 (arah Bintaro), karena nantinya berhenti di depan komplek tempat saya tinggal, tapi selalu dipadati penumpang. Jadilah aku duduk pada bus 74 di antara penumpang lainnya, di kursi nomor 3 tiga dari belakang.  

Saat melaju di Jalan Barito, pikiranku masih tercurah kepada kehadiran penumpang baru, yang tak dapat tempat duduk, sementara tanganku  menggapit tas punggung,  yang kuletakkan di atas paha. Persis lewat depan gereja di jalan itu, tiba-tiba sopir bus mengerem  dan membanting ke arah kiri, setelah menabrak Kijang Innova -- tapi sopir agaknya panik dan menginjak gas, yang berakhir dengan bunyi keras "bruaak!" itu tadi...  

Saking kerasnya, dadaku beradu dengan pegangan besi pada kursi depan, dan kakiku terantuk besi penyanggah kursi yang sama. Sempat aku terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya memilih meninggalkan bus, mengikuti langkah-langkah penumpang lainnya. Badan bus agak miring ke depan (separoh depannya pesok), melinang di trotoar dan pagar yang jebol, mesinnya masih hidup, serta pecahan kaca tergeletak di lantai bus yang gelap itu..

"WALID meninggal ya?" Anakku, Aida, rupanya, mendengar percakapan teleponku dengan istriku, beberapa menit setelah kejadian itu. (Walid adalah kata lain ayah, sebutan anakku untuk diriku). Malam itu dia tengah rebah dengan ibunya di atas tempat tidur, membaca sebuah buku dongeng -- bersiap-siap tidur. Menurut istriku (belakangan), Aida bertanya seperti itu dengan mata berkaca-kaca dan melamun sekian detik. "Bus yang ditumpangi Walid kecelakaan, tapi Walid nggak apa-apa, kok." Istriku berharap jawabannya itu bisa menenangkan Aida, walaupun dia akhirnya terus bertanya..   

(Aida memang sudah paham tentang konsep kematian, dalam arti yang paling sederhana: kalau orang mati itu tak bisa hidup lagi, dan akan berlaku untuk siapa saja -- tak terkecuali bapaknya. Aku dan istriku, dalam beberapa kesempatan, sengaja mengenalkan konsep itu kepadanya, seperti halnya kami memberi tahu apa itu hidup, senang, sedih.. )

Kuraba dadaku, terasa nyeri, dan ada luka terbuka -- tapi aku menyimpulkan tak ada luka dalam, setidaknya tulangku tak patah -- tidak bengkak, seperti tanganku yang patah, tahun 1982. Tapi toh kubiarkan badanku melangkah, melihat sekeliling.. Kemana pemilik motor, yang motornya ringsek tertindih bus itu? Masih hidupkah dia? Kemana sopir anak muda itu, dimana dia diamankan? Seperti apa bentuk bus itu, dan bagaimana nasib penumpang yang duduk di depan? Bagaimana awalnya hingga tabrakan itu terjadi? Di mana polisi? Pertanyaan ini sebagian terjawab, sebelum teleponku berdering, "pulang segera naik taksi.."

WAJAH anakku semu merah dengan bibir tertutup, saat aku melangkah masuk ke kamar. Aida tidak mau bertatap langsung denganku -- dia memasang wajah antara marah dan sedih. Aku ingin menunjukkan kepadanya, bahwa aku tak apa-apa. "Sehat, tak kurang apapun". Tapi dia tak bereaksi, dan terlihat marah saat aku dipijat oleh tukang urut -- yang kebetulan tengah memijat kerabat istriku. Kutanyakan kepada istriku, kenapa anakku seperti itu..

(Belakangan istriku menganalisa di dalam blognya, Aida adalah anak yang perasa, tapi di sisi lain keras kepala. Dia agaknya begitu syok, begitu anggapan istriku, dan meratapi  kejadian yang menimpaku. Istriku lantas mengingat sebuah kajian psikologi anak, karena alasan tertentu, Aida masih kesulitan mengekspresikan kesedihannya itu, yang akhirnya menjelma antara marah dan sedih..)

KUCIUM keningnya, setelah dia kembali tenang, malam itu. Sebelumnya dia menangis terseduh -- memilukan, membuat mataku berkaca-kaca seketika. Amarahnya berhenti perlahan, setelah istriku membujuk dan merangkulnya. Dengan caranya, istriku lantas mempersilakan Aida menunjukkan kegalauan hatinya. Dia lantas berurai air mata, suaranya menembus dinding kamar, dan merontokkan hati seorang bapak. "Walid nggak apa-apa kan," kataku pelan, menahan emosi. 

SETELAH butuh keyakinan, dua hari kemudian aku akhirnya ke rumah sakit, mengecek apakah isi badanku bermasalah setelah kejadian itu. Dari foto rontgen, dokter memastikan tidak ada yang salah dengan tulang rusuk, dan paru-paruku. "Hanya memar ototnya, karena trauma.." kata dokter. Lega mendengarnya, dan sungguh menenangkan..

Tapi yang paling kuingat, dan membuatku terharu, sehari setelah kejadian itu, senyum akhirnya mengembang di wajah anakku. Malam itu, dia dan ibu serta ibu mertuaku tengah berada di sebuah mal -- sedang makan malam. Saya menyusulnya, dengan langkah tergesa, sehabis kerja. Dia menyapaku, dan lari menggandengku -- kemanapun aku melangkah, jari-jarinya yang mungil terus mendekap-erat tanganku.

Setengah berbisik, dan berulang-ulang, dia berkata "Pokoknya, walid jangan naik bus metromini  lagi ya, naik taksi saja.." Semula aku cuma tersenyum tipi, kualihkan dengan mencium pipinya seraya berkata lirih "walid kan nggak apa-apa". Rupanya dia belum puas, dia ulangi lagi harapannya itu tatkala saya bertiga dengan istriku. Jawaban kami -- seperti yang kami lakukan terhadap Aida selama ini, "Kadang-kadang tidak ada pilihan lain, Aida... Naik bus, atau naik mobil sendiri, kecelakaan bisa terjadi, bisa menimpa siapapun... "    

 

27 comments:

ika ardina said...

ternyata bener... Baca tulisan orang lain lebih menyentuh :(

niniel wda said...

ffan.. sure elo gak papa? aku pengin nangis baca tulisanmu. Sudah kubayangkan perasaan Aida. Duh itu anak!

Alana Skiera said...

Duh, Affan, glad you're fine! Take very good care of yourself for your family!

Lita Koeswandi said...

Kecelakaan? lo gapapa kan??? heheheh telat ya pertanyaannya.
SUkurlah kalo 'gapapa'

Affan Alkaff said...

Makasih Nil, gak apa-apa kok... sakit dipinggang yang tersisa sudah kuolesin balsem :) hehehe

Affan Alkaff said...

Tadi pagi, dia senyum lagi melihat luka di dadaku yang sudah mengering.. :)

Affan Alkaff said...

... iya ya, betul :(

Affan Alkaff said...

Makasih Uly...

syaifuddin sayuti said...

yakin gak pa pa Fan?
jadi ingat peristiwa sekian tahun silam di cimacan puncak. bus turangga yang kutumpangi nabrak pohon di sisi jalan. seorang ibu dengan anak 2 tahunnya tewas tergencet pohon. alhamdulillah aku gak apa-apa, hanya pecahan kaca berserakan di kepala.

Affan Alkaff said...

gakpa-pa Lit, cuma memar dan lecet :)

Affan Alkaff said...

sudah diperiksa, Din, dan gak ada tulang yang patah... otot ini saja yang tegang, kaget kayaknya :) Terima kasih kawan

restu dewi said...

walid Affan udah nggak pa-pa khan sekarang? blai slamet orang jawa bilang...
ya..kapan2 lebih hati2 kalau mau naik bus yg kira2 sopirnya ugal2an ..yach di tunda beberapa waktu dech nunggu lewat lagi..naik bus yg sopirnya nggak ugal2an

Affan Alkaff said...

makasih.. susahnya, itu tadi, jarang menjumpai sopir metromini (sejenis buskota yang ukurannya lebih kecil) yang nggak ugal-ugalan... dan nggak ada pilihan lain, kecuali naik taksi atau kereta listeik (biasanya kalau nggak terlalu malam, saya naik kereta..)

Toto_Waluyo . said...

Syukurlah, Affan nggak mengalami cedera serius. Aida umurnya berapa sekarang mas??

Affan Alkaff said...

Terima kasih mas Wira....Aida umurnya 6 tahun, Desember nanti...

boru martombak said...

ikz ...sudah ya aida ga usah sedih lagi .... :)

Affan Alkaff said...

hiks.. tapi bapaknya yang nggak habis-habis rasa harunya...:D

Yiyik K said...

Duh... ngeri baca crita tabrakannya, terharu baca tentang Aida. Aku suka bingung sama sopir yg sembarangan begitu - kira2 apa ya yg ada di pikirannya & kok bisa nggak peduli nasib orang lain gitu?

Affan Alkaff said...

.. pada sejumlah bus kota, Yik, ada sticker yang berbunyi "bapak butuh waktu, kami butuh uang"..

Kupikir, kalimat itu jelas menunjukkan tabiat sebagian sopir: dengan alasan mengejar setoran, maka apa yang terjadi di dalam bus itu sepenuhnya di tangan sang sopir...

Selama benang ruwet ini nggak bisa diurai, paling-paling yang bisa dilakukan adalah menegur langsung si sopir itu (jika ugal-ugalan), atau memilih alternatif kendaraan lain, atau bus lain.. Jika tak ada pilihan, tentu 'waspada' di dalam bus itu, akhirnya..... :(

Nadrah Shahab said...

MashaAllah..udah mulai kritis banget yahh..:)

Affan Alkaff said...

...Drah, itu yang kadang-kadang bikin orang tuanya tergagap-gagap mendengarnya.. :)

Ruangku Menulis .... Lily Bertha Kartika said...

waaaaahhh ... hati-hati mas Affan ... bus - bus disini gila semua soalnya. mungkin mereka pikir kita sejenis bakpao, yang kalo kepentok sesuatu bisa membal lagi 'kali ya ..... aku juga suka sewot sama bus-bus itu kok .....

Affan Alkaff said...

betul Lily.. kita dikira bakpao, barang dagangan!... Kadang frustasi lihat kelakuan mereka, karena selalu diulang-ulang, walau udah ditegur atau ditilang :(

harris hadinata said...

Waduh, sori mas, aku baru baca ceritanya. Alhamdulillah mas Affan gak apa-apa ya.

Bis kota di jakarta memang keterlaluan. Serba repot kalau ngomongin bis di Jakarta. Naik bisnya salah, gak naik bisnya juga salah. Kalau naik bis super ngeri rasanya, apalagi kalau mereka sudah ngebut dan tiba-tiba belok motong jalan untuk ngangkut penumpang yang ada di pinggir. Mungkin sama rasanya dengan naik roller coaster di dufan.

Gak naik bis juga salah, apalagi kalau kita ada di belakangnya. Banyak bis yang ngelewatin jalan TB Simatupang knalpotnya mengeluarkan asap hitam yang benar-benar pekat...kat...kat... Pokoknya langit mendadak gelap aja. Polusi berat tuh...

Btw, ceritanya kurang jelas tuh. Jadi penyebab kecelakaan itu kenapa? Karena nabrak Kijang? Terus nasib pengendara motor dan supir bisnya gimana?

Affan Alkaff said...

Makasih kawan Harris... kecelakaan itu, dari sudut pandangku yang duduk di dalam bus itu, diawali ulah sopir yang ngebut. Sepertinya menabrak entah apa, kemudian dibanting ke kiri, dengan kecepatan lebih tinggi, dan menabrak lagi..

Sampai di sini, saya tak tahu apa yang ditabrak, dan bagaimana itu bisa terjadi. Saya mulai mengetahuinya setelah turun dari bus, dan mendengar percakapan para saksi mata yang melihat kejadian itu..

Mereka bercerita, bus itu menyenggol kijang yang mau belok ke kiri. Tapi mereka tak tahu persis apakah sopir kijang hidupkan lampu sign atau belum, sebelum belok ke kiri.. (penumpang kijang selamat, cuma sisi kiri mobil itu lecet parah)

Nah, setelah nabrak kijang itu, bus itu dibanting ke kiri, melewati trotoar, dan menabrak pagar beton sebuah rumah atau kantor. Sepertinya sopir salah injak gas (mungkin panik), sehingga kendaraan itu melaju kencang..

Saya tidak tahu nasib sopirnya (sepertinya sehat bugar, selamat, setelah diamankan oleh warga yang ada di lokasi itu, sebelum polisi datang), tapi pemilik motor yang ringsek itu selamat -- hanya luka di kening. Saya lihat sendiri, dia mengucap syukur berulang-ulang. Rupanya saat bus itu menerjang, dia tidak berada di atas motor yang diparkir di trotoar itu, tapi berdiri 2 meter di sampingnya. "Saya cuma terpelanting ke belakang," katanya.

Belakangan, sesampai di rumah, aku mengetahui dari situs berita detik.com (melalui telepon seluler istriku), bahwa polisi menyimpulkan kecelakaan itu disebabkan oleh "sopir yang ugal-ugalan". Penumpang yang luka-luka disebutkan berjumlah 3 orang -- artinya tak ada yang meninggal. Berita ini didapatkan detik.com dari keterangan polisi, tanpa ada wartawannya di lapangan...

aya blue said...

huaaaaaaaaaaaaa..... jadi pengen nangis bacanyaaa......
Maaf baru baca blognya mas affan lagi...
Tapi walid affan dah much better dung...
Aida seperti itu karena aida sayang banget sama walid affan...
Salam sayang untuk aida yach...

Emang tuch bus atau angkot suka gak jelas bawanya... kadang sekenceng2nya atau sok dilambatin bawa mobilnya... klo dah gak betah langsung aja berhenti ditengah jalan dan ganti bus atau angkot lain atau ganti dengan taksi aja (klo ada uang hehehe).. Mereka gak inget nyawa kali yach... dikira nyawa orang itu dagangan apa bisa dibeli klo dah abis atau rusak uuuuu menyebalkan... hehehe....

Affan Alkaff said...

Aya, terima kasih... Dan aku saja kalau baca lagi, juga merasa syahduh..:) Tapi si Aida itu memang perasa.. mirip walidnya, kata ibunya.. hehehe. Aida terkadang masih selalu tanya, tadi walid pulang naik apa..