Nov 20, 2007

cari kelom geulis sampai ke Bandung…




APALAGI yang bisa disinggahi dari kota Bandung, selain deretan factory outlet, tempat kuliner, dan identitas kosmopolitan lainnya? Pertanyaan ini kami ajukan, di saat mobil kami yang berplat B, melaju kencang di jalan tol Padalarang, menuju kota itu, akhir pekan lalu (17-18 November). Tidak ada nada gugatan dari pertanyaan itu, cuma selintas kerinduan agar plesiran jelang ulang tahun pernikahan kami, 19 November lalu itu, tidak cuma berujung di situs-situs seperti itu...

Kerinduan semacam itu ada, juga lantaran kami tengah dituntut cari sandal kayu khas Sunda untuk anakku. Hampir saban hari dia menagih kami, sejak sekolahnya berencana bikin acara 'Sundanese Day', awal Desember nanti. Dan di Jakarta, di tengah rutinitas kerja dan alasan kesibukan, kami belum sempat juga mencarinya. Jadi, pencarian kelom geulis -- sandal selop yang terbuat dari kayu -- pun kami lakukan di sela jalan-jalan ke Bandung...

Berbekal semangat, tapi tanpa rencana yang matang, kami akhirnya masuk Bandung menjelang sore. Suasana cerah, beda seratus delapan puluh derajat saat kami berangkat: hujan deras sempat mewarnai separoh perjalanan di sepanjang tol Padalarang. Berbahagialah istriku yang begitu terobsesi kalimat "alangkah indahnya perjalanan di kala hujan"...

Dan tatkala mobil kami mulai merayap di jalan-jalan kota Bandung, pertanyaan berikutnya adalah, dimana kami harus menginap. Kami menanyakannya seraya tertawa -- menertawakan diri sendiri, persisnya. Untungnya, sebuah hotel kecil di atas Dago masih menyediakan satu kamar kosong...

Tapi berhasilkah niatan kami untuk tak mampir ke factory outlet? Tidak sepenuhnya, ternyata. Kami akhirnya kompromi -- mendatangi kembali tempat-tempat itu, walaupun dalam intensitas yang rendah: kami cuma beli sepatu boot pink untuk anakku (dia pernah memiliki boot biru, tapi sudah terlalu sempit kini), itu saja. Dan di penghujung malam, warung bubur Pak Zaenal, masih di kawasan Dago, kami datangi..

Keesokan hari, perburuan kelom geulis itu kami lakukan. Seolah masih hafal situs ekonomi kota itu, istriku masih yakin akan menemukannya di sejumlah tempat keramaian: Pasar dekat alun-alun hingga Jalan Braga -- tapi hasilnya nihil. Jawaban pasti diperoleh setelah dia menelpon kawannya asal kota itu..

"Kami berdiri sejak tahun 1942, dulu toko kami tidak di sini," lelaki tua itu berkata, seraya tangannya cekatan membetulkan posisi semacam paku pada kelom anakku. Diwarnai bunyi "ketak-ketok" (bunyi palu bertemu kulit dan kayu), saya amati sudut-sudut toko itu: semua bahannya hampir terbuat dari kayu, mulai kelom, payung kertas, sampai tempat penyimpanan barang-barang itu -- rasanya seperti melihat masa lalu kota Bandung, bisikku..

Saya lupa menanyakan nama bapak berambut perak itu, tapi wujud tokonya yang terletak di sebuah situs komersiil, Jalan Cihampelas, Bandung, sudah cukup menunjukkan jati dirinya....

Sebelum berburu kelom itu, kami makan siang di cafe Cisangkuy, dan mampir ke ke sebuah mal (kami membeli permen dari bahan susu dari daerah Pengalengan, Kabupaten Bandung). Kami sempatkan pula mencari oleh-oleh di pusat penganan di Cihampelas, serta mengabadikan sejumlah situs peninggalan kolonial kota itu..

Beranjak sore, kami meninggalkan kota Bandung, melalui Setiabudi, lalu Lembang. Tujuannya: pemandian air panas Ciater, Kabupaten Subang (ini kedatanganku kedua kalinya). Pemandangan drastis berubah, dari situs kota yang serba beton digantikan hamparan kebun teh, dan terkadang hutan pinus, dan kabut dikejauhan. Sekitar pukul 5, menjelang petang, saya dan anakku sudah berendam di kolam air belerang, yang hangat, dan berasap. Beserta adik iparku, istriku lebih memilih dipijat kakinya...

Menjelang malam kami akhirnya tinggalkan lembah Ciater. Seraya mampir membeli buah nenas di wilayah Subang, kami berpacu dengan malam, untuk segera kembali ke dunia nyata, dunia keseharian Jakarta... Esok harinya, tanggal 19 November, adalah hari ulang tahun pernikahan kami...

19 comments:

rahman AbduRahman said...

yang ke berapa nih?..
smoga langgeng dan bahagia terus
sampai sepuh..

dita maulina said...

Kapan lagi ke Bandung..? he..he..he. nitip boneka kain

dwina prana said...

sekarang gaya dulu pake payung dan kelomnya, sekalian rehearsal buat kalau pake baju sunda betulan :D pasti cantik!

boru martombak said...

mauuuu !! enak banget nich ..srrruuuuppp

syaifuddin sayuti said...

bandung....kota kenangan fan bagi saya dan istri.
pengen juga napak tilas ke kota ini bulan depan....
selamat ultah pernikahan.

ferra freeman said...

Wah kangen ama nanas ini....:) tfs nice pic ya

ika ardina said...

Ih, jaman dulu gampaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget nemuin tukang jualan barang2 khas jabar deh... Di Braga, di dekat toko Canary lah setidaknya... Sedih juga.. bahkan di Bandung nyari benda2 khas sunda udah mulai susah

suluhpratita ... said...

wah..kalo aku yang makai..bisa langsung patah..hehehe

Affan Alkaff said...

.. Terima kasih Rahman.... kami menikah tahun 2000..

Affan Alkaff said...

Pertanyaan menarik, tapi tak gampang jawabnya, Dit... hehehe. Maklum, terkadang, tiba-tiba berangkat begitu saja, tanpa rencana muluk-muluk. Tapi percayalah, titipanmu itu kami catat, kami ingat-ingat... (kemarin sengaja nggak mampir ke Teko, karena hitung-hitungan kami selintas, kalau ke Teko itu maunya berlama-lamaan di sana.. hehehe)

Affan Alkaff said...

salam kenal Dwina... Sekarang, dia terus coba kelom itu di rumah, bahkan sambil lari-lari.. Mudah-mudahan kelom itu bisa 'bertahan' (tidak patah, dan kakinya tak terkilir) sampai acaranya digelar di sekolahnya.. hehehe

Affan Alkaff said...

kubilang pada istriku, rasa permen susu itu mirip dengan kebiasaan kakakku (di masa kecilnya), yang suka menggoreng susu bubuk atau kental, dimana rasanya mirip dengan permen itu.. Di Bandung, kami beli 2 bungkus permen itu, dan habis dikonsumsi anak dan istriku.. hehehe.. (Sekarang, ada penggemar baru dari Medan rupanya :D)

Affan Alkaff said...

Terima kasih Din... dan, kutunggu kisahmu dalam menapaktilasi kota Bandung..

Affan Alkaff said...

Terima kasih.. Kapan terakhir mengudap nanas Subang? Hehehe...Memang manis rasanya, setidaknya seperti itulah yang kucoba malam itu...

Affan Alkaff said...

Ta, jangan khawatir, kalau toh patah, aku yakin pemilik toko itu masih bisa memperbaikinya.. hehehe.

ienas Tsuroiya said...

aduuuh, cantik2 banget selopnya..
suka ngelihat aja, nggak pantes makenya, dan nggak cocok pula dipake di daerah sedingin Boston...

Affan Alkaff said...

... selopnya memang cantik-cantik, Ienas, walau kurang kegunaannya untuk dipakai sehari-hari, apalagi dipakai jalan-jalan di Boston (pada bulan-bulan ini sampai berapa derajat celcius ya?)..hehehe.. Mereka juga menjual selop dalam ukuran mini, misalnya, untuk ukuran gantungan kunci -- bagus juga ya untuk cindera mata...

Kami barangkali tidak akan pernah kesana, kalau tak ada tuntutan sekolah anakku. Tapi kemauan mereka bertahan dengan memproduksi selop kayu, wujud kongkrit khazanah tradisi lokal itu, yang patut dipuji...

ienas Tsuroiya said...

Hari ini 4 derajat C. Pokoknya udah di bawah 10 terus nih. Kemaren udah sempat di bawah nol. makanya males keluar rumah kalo nggak penting banget. Anginnya juga "galak"...ehm...jadi kangen panasnya Jakarta:)

Affan Alkaff said...

jakarta dalam sepekan ini tak diguyur hujan, dan panasnya naudzubillah.. hehehe