Nov 12, 2008

Anda setuju, rumah Bung Karno dibangun kembali?

TAHUKAH Anda di manakah lokasi saat Bung Karno -- didampingi Bung Hatta di sebelah kirinya -- membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, di sebuah pagi, tanggal 17 Agustus 1945?

Tidak semua orang tahu, begitulah kenyataannya. Kondisi seperti inilah yang membuat prihatin sejumlah veteran, orang-orang yang terlibat dalam peristiwa penting itu, serta para saksi mata.

Sehingga, sebagian dari mereka berencana membangun kembali rumah tempat teks proklamasi itu dibacakan, yang kini telah rata dengan tanah. Sejumlah sejarawan, pemerhati sejarah dan disokong pihak permuseuman Jakarta, terus mengkampanyekan agar proyek rekonstruksi rumah proklamasi ini, dihidupkan kembali.

Tetapi mengapa sebagian arkeolog mempertanyakan proyek ini?

***

DI SEBUAH siang, pada bulan September lalu, saya mendatangi lokasi yang disebut-sebut bekas rumah milik Bung Karno. Saya memang tengah menyiapkan liputan tentang rencana pembangunan bekas rumah bersejarah itu. Seraya melangkah kaki ke arah tempat tersebut, saya membayangkan bagaimana bentuk rumahnya -- dalam ingatanku, gambaran yang selalu terlintas adalah, saat dua orang proklamator itu berdiri di teras depan rumah, yang beratap canopy terbuat dari kain bergaris-garis (seperti yang acap ditunjukkan foto usang karya fotografer IPPHOS...).

"Saya tidak tahu, di mana letak bekas rumah itu," kata seorang lelaki berkacamata, saat kutanya secara iseng. Percakapan ini terjadi di taman tugu Proklamasi, di Jalan Proklamasi, tak jauh dari bioskop Megaria atau Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Di dalam areal itu, sekitar 15 meter di sebelah kiri saya, berdiri patung Sukarno-Hatta, sementara di belakang ada tugu peringatan 1 tahun proklamasi, yang berukuran kecil. Adapun Gedung Pola (yang di tahun 60-an, disiapkan Sukarno sebagai tempat menggodok perencanaan pembangunan Indonesia ke depan).

Informasi di mana persisnya letak rumah itu, sebelumnya sudah kudapatkan, tetapi samar-samar. Ada yang mengatakan, rumah itu dulu berdiri di areal yang sekarang berdiri gedung POLA. Namun ada yang menyebut pula, letak persis teras rumah itu, kini dibangun tiang "halilintar". Saya siang itu akhirnya menemukan tiang beton yang lingkarannya berdiameter lebih dari 100 sentimeter, dan di atasnya terpasang logam berbentuk halilintar.

"Di sinilah dibatjakan proklamasi kemerdekaan Indonesia..." begitulah tulisan pada sebuah logam, yang ditempel di bagian bawah tiang tersebut.

***

SEMINAR rekonstruksi rumah Bung Karno, begitulah bunyi sebuah spanduk, yang dipasang di tembok depan Hotel Cemara, di kawasan Menteng, Jakpus. Digelar selama dua hari pada pertengahan Agustus lalu, acara ini dihadiri sejumlah pejabat dari kantor dinas Kebudayaan dan Permuseman DKI Jakarta, sejarawan, pemerhati sejarah, para veteran, serta seorang arkeolog.

Di sela-sela rehat makan siang, saya bertemu pemerhati sejarah yang juga wartawan senior, Alwi Shahab. Dia begitu bersemangat mendukung rencana pembangunan kembali rumah proklamasi itu. Menurutnya, sebagian besar generasi muda sekarang menganggap proklamasi kemerdekaan dibacakan di Istana Merdeka. "Sehingga rumah proklamasi yang sekarang menjadi gedung POLA itu, perlu dibangun kembali, karena tempat itu bersejarah," tegas Alwi.

Rencana ini sepertinya akan berjalan serius. Melalui seminar itu, sang tuan rumah, yaitu Kantor Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, akan membawa hasil seminar itu ke pemerintah pusat -- agar direalisasikan, dengan tentu saja sembari berharap dapat guyuran dana. Dan mudah ditebak, dalam diskusi hari pertama, semua peserta dan pembicara berduyun-duyun mendukung rencana pembangunan kembali rumah BK.

"Di rumah itu pula kabinet pertama RI bersidang beberapa hari setelah proklamasi kemerdekaan," tegas sejarahwan Universitas Padjadjaran, Bandung, Doktor Sobana Hardjasaputra.

Selain itu, Eddy Syafuan salah-seorang pembicara, yang juga pemerhati sejarah, mengatakan, mempelajari sejarah tidak cukup hanya melalui buku-buku sejarah. Warga masyarakat, menurutnya, perlu juga tahu di mana persisnya peristiwa sejarah itu terjadi.

"Kalau peristiwa proklamasi kemerdekaan, hampir semua tahu itu. Tapi anak-anak itu juga ingin tahu, seperti apa ya rumah BK seperti di foto-foto itu," tegas Eddy, bersemangat.

"Jangan sampai orang datang ke sana, dan berfikir bahwa BK membaca teks proklamasi itu persis di bawah patung proklamator... Itu salah kaprah!"

***

DARI seminar terungkap pula, kenapa Bung Karno membongkar rumah tersebut, pada tahun 1962 -- namun sepertinya tidak ada keterangan tunggal. Seorang peserta mengatakan, rumah itu dihancurkan, karena presiden pertama ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan ke Monumen Nasional (Monas). Sementara Eddy Syafuan mengatakan, rencana pembongkaran itu sempat dipertanyakan oleh Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung.

"Dan, ada lagi sentilan yang mengatakan, BK membongkar (rumah) atas desakan itu. Nah, di dalam salah-satu statement Henk Ngantung, dia mengatakan (anggapan) itu tidak benar. Malah seolah-olah (dia) mengatakan BK seolah-olah merestui (pembongkaran rumah tersebut)," jelas Eddy.

Alkisah, pada tahun 1962, tiba-tiba Sukarno memutuskan akan membongkar rumahnya, yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. "Berita itu," demikian menurut makalah yang dibuat oleh Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, "muncul secara ekstrim di berbagai koran ibu kota." Henk Ngantung, pejabat Gubernur DKI Jakarta saat itu, dilaporkan merasa prihatin terhadap rencana itu. Dia lantas menemui Presiden, membujuk agar membatalkan rencana itu.

Namun bujukan itu tak kuasa meluruhkan hati Sukarno. "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku," jawab Bung Karno di hadapan Henk Ngantung, seperti dikutip Alwi Shahab. Dan tanpa alasan yang jelas, menurut makalah itu, dan kini masih merupakan misteri, pembongkaran jadi dilakukan -- yang kemudian disesalkan sebagian orang di kemudian hari.

Tapi usaha Henk Ngantung, tidaklah seluruhnya sia-sia. Presiden dilaporkan setuju di kemudian hari, rumah itu dapat dibangun kembali.

"Untuk keperluan itu, Gubernur Henk Ngantung menugaskan sejumlah stafnya untuk membuat maket, foto-foto, dan menyimpan sejumlah perabot rumah tangga agar dikemudian hari dapat dipergunakan secara semestinya," kata pemerhati sejarah, Rushdy Hoesein, yang pernah dilibatkan dalam proyek pembangunan kembali rumah itu, di masa Presiden Suharto berkuasa.

***

DI SELA-SELA seminar itu, saya beruntung bertemu Rushdy Hoesein, lelaki berambut perak, yang pernah dilibatkan dalam upaya merekonstruksi rumah Bung Karno (yang ditinggali sejak tahun 1942), dulu. Rupanya, ide seperti ini pernah diupayakan, sekian tahun silam, tetapi juga gagal. Siang itu, dia membawa sebuah salinan buku yang isinya berupa disain dua dimensi rumah itu, berikut foto-foto. Dengan bersemangat, Rusdhy bercerita betapa rumah itu bersejarah.

"(Rumah itu) tempat tinggal BK, lalu tempat proklamasi Ketiga, (tempat) perundingan dengan Belanda jaman (perdana Menteri) Syahrir sampai perundingan Linggarjati (1947). Dan tahun 1949, tempat persiapan pengakuan kedaulatan rakyat (oleh Belanda). Kemudian tahun 1957, ada musyawarah besar, di mana Bung Hatta tak lagi menjadi wapres, dan masyarakat meminta agar dwi tunggal terbentuk lagi."

Rushdy lantas bercerita, di masa Presiden Suharto berkuasa, pernah ada ide untuk membangun kembali rumah itu. Saat itu, katanya, ahli sejarah, toko masyarakat, serta saksi sejarah meminta agar Presiden Suharto membangun kembali rumah tersebut. "Pak Harto mengatakan, 'Yang mbongkar saja nggak setuju... Sudahlah kita akan mengenang beliau... Saya akan bangun patung proklamator yang gede'," ungkap Rushdy menirukan Pak Harto.

"Tapi orang 'kan menilai itu kan patungnya Pak Harto, meski sosok patungnya proklamator. Lagipula posisinya tak tepat, banyaklah koreksinya. Tapi, ya sudah, kita terima... Patungnya 'kan juga bagus," tambah Roesdy.

Disebutkan, tahun 2002, sejumlah veteran angkatan 45 pernah memunculkan kembali ide pembangunam rumah itu, dan tampaknya berlangsung serius. Melalui pembicaraan yang panjang, sampai tahun 2005, mereka sudah sampai pada satu titik, yaitu membangun kembali rumah itu sepersis mungkin dengan aslinya -- dan akan dijadikan musium proklamasi.

Bahkan saat itu sudah dibentuk Komite Pembangunan Rumah Proklamasi, yang disebutkan melibatkan kalangan profesional -- mulai arsitek yang berpengalaman dalam konservasi gedung bersejarah, serta sejarawan. Rushdy Hoesein, salah-seorang anggota komite itu, mengatakan, saat itu kerja panitia sangat serius, termasuk menggali pondasi bangunan tersebut, yang ternyata masih utuh.

Tetapi, proyek ini tidak berjalan. Dia menjelaskan, selain kendala dana dan masalah politik, penyebab lainnya adalah polemik tajam antara kalangan sejarawan dan arkeolog tentang cara merekonstruksi rumah itu. Rushdy kemudian menyebut nama seorang arkeolog senior, Profesor Mundardjito, yang disebutnya paling kritis mempertanyakan proyek itu.

Hari Kamis pada pertengahan September lalu, saya menemui Profesor Mundardjito di kediamannya, dan ternyata sikapnya tak berubah.

"Biarkan sisa fondasi bangunan yang ada, jangan didirikan bangunan di atasnya!" Tegas Mundardjito, yang dulu pernah berperan dalam pembangunan kembali Candi Borobudur. Dia mengusulkan, agar fondasi bekas bangunan itu digali dan diungkap, dan dikonservasi sedemikian rupa.

"Jadi, nanti biarlah orang mengerti seperti inilah denah bangunan yang tersisa apa-adanya. Namun masyarakat juga harus diberitahu, bahwa rumah ini dulu dibongkar, yang mungkin atas inisitaif Bung Karno sendiri," jelas Mundardjito.

Kalau ingin membangun rumah seperti aslinya, Mundardjito yang guru besar Universitas Indonesia, menyarankan begini, "Warga harus tetap diberitahu, bahwa ini bukan gedung aslinya, tapi kira-kira seperti inilah bentuknya," tandasnya.

Dan, menurutnya, bangunan tiruan ini jangan dibangun di atas fondasi aslinya. "Jangan dibangun di situ (fondasi yang lama), tapi di luar itu," kata Mundardjito, serius. Dia menambahkan, "Buat saja model (rumah)dalam bentuk miniatur, atau sebesar aslinya, itu silakan. Tapi tolong jangan di atas lokasi yang lama. Itu sangat ditentang arkoelog, karena itu tidak asli."

Keinginan Mundardjito ini bertentangan dengan niat orang-orang yang ingin mendirikan rumah baru di atas fondasi asli tersebut, seperti ditegaskan Eddy Safyuan, pemerhati sejarah.

Menurutnya, rumah baru lebih baik dibangun di atas fondasi bekas rumah yang lama. "Biarkan saja gedung POLA ada di belakang, jangan dibongkar, karena itu juga punya sejarah tersendiri," jelasnya, seraya menambahkan, gedung POLA adalah saksi bisu rencana Sukarno dalam melaksanakan kebijakan pembangunan semesta berencana.

Eddy menghormati alasan para arkeolog, yang berangkat dari segi disipilin ilmunya. Namun menurutnya, pembangunan rumah Sukarno adalah untuk kepentingan lebih luas. "Kenapa di negara besar seperti Amerika Seikat, bisa membangun kediaman presiden pertama George Washinton? Kenapa kita tidak ambil contoh baik seperti itu," katanya.

***

EDDY Safyuan dan para pendukung ide pembangunan kembali rumah itu, menganggap, yang penting rumah itu dibangun semirip mungkin dengan aslinya. Apalagi, mereka mengaku telah menemukan foto-foto, disain rumah itu sebelum dibongkar, serta saksi sejarah.

Tapi Mundardjito menganggap, syarat-syarat itu tidaklah cukup. Menurutnya, apabila ingin dibangun di atas fondasi yang lama, harus ada tembok yang tersisa, sehingga bisa diketahui bahan asli bangunan itu. "Namun semua ini tidak terpenuhi," katanya.

Lebih dari itu, menurut Mundardjito, jika proyek ini dipaksakan, bisa merusak keaslian situs asli fondasi itu. Dan cara berfikir seperti ini, tegas Mundardjito, bisa membahayakan kebenaran akademis yang relatif dan terus berkembang. Dia kemudian mengusulkan, agar dibangun maket berukuran kecil yang bisa ditinjau ulang. Maket ini menurutnya dapat diletakkan di dekat fondasi asli, berikut memberi latar belakang sejarah bangunan tersebut.

"Lay out itu bisa direkonstruksi, agar nanti ada sejarawan lain bisa menilai ulang, 'oh bukan begitu, tugunya bukan di situ'. Nah, ganti lagi, taruh di sini... Jadi, ini sebagai rekonstruksi yang akademik sifatnya, yang boleh diganti sesuai pemikiran orang-orang yang punya data baru. Ini namanya perkembangan pemikiran orang-orang, yang tidak terus jadi berhenti," jelas Mundardjito. Dia khawatir apabila gedung baru dibangun di fondasi yang lama, orang-orang dipaksa untuk berhenti berfikir.

***

TIDAK adanya titik temu diantara kedua pihak ini, sayangnya tidak tampak dalam seminar rekonstruksi rumah Bung Karno itu. Pembicara dan peserta seminar justru mengamini agar pembangunan itu jangan ditunda lagi. Mereka lantas usul, jika rumah baru itu berdiri, dijadikan musium seputar peristiwa proklamasi kemerdekaan.

Para peserta seminar kemudian menyatakan, akan berupaya sekuat tenaga untuk meyakinkan pemerintah pusat agar segera mengeluarkan dana, supaya proyek pembangunan kembali Rumah Bung Karno bisa segera terealisasi, dan sama-sekali tidak memasukkan keberatan para arkeolog. ***

6 comments:

rahman AbduRahman said...

aku membayangkan, pasti seminar itu membosankan..hehehe

Affan Alkaff said...

Sayangnya begitu, Rahmad.. Karena seingatku semua peserta mendukung ide pembangunan tersebut, tanpa ada yang terlihat kritis...

Muthz ' said...

mungkin krn kebanyakan orang tua kali ya mas..tapi aku suka tulisan ini ;)

Affan Alkaff said...

Hehehe... ada sebagian anak muda, Muthz. Tema-nya aku sungguh tertarik, tapi itu tadi, isi diskusi itu lebih didominasi semangat menggebu untuk membangun rumah itu, tetapi sepertinya melupakan substansi -- ada yang usul menggelar demo, agar proyek itu bisa terselenggara.... Aku sendiri datang terlambat. Untungnya, aku bisa wawancara orang-orang yang sejak awal kucari...

Lenah Susianty said...

aku kok bingung ad ayg menentang, menurut aku sih kalau ada nilai sejarahnya kaya gini malah memang perlu ada. Dan mestinay dibangun seperti rumah aslinya, nanti misalnya bisa dijadikan museum proklamasi ?

Affan Alkaff said...

Len, polemik soal pembangunan kembali rumah BK, kupikir, adalah perkara "bagaimana cara membangunnya". Kalangan sejarawan, tampaknya, ingin rumah itu dibangun persis di atas bekas fondasi bangunan asli. Dan bangunan dibuat mirip aslinya. Tapi seorang arkeolog, Profesor Mundardjito, minta bangunan baru tak didirikan di fondasi yang lama. Itu bisa dibangun di luar fondasi yang lama. "Fondasi yang asli itu, biarkan seperti itu, tapi digali dengan hati-hati, dan dikonservasi (diberi keterangan, dibuat garis pembatas, dan diberi penutup dll).

Dari keterangan Mundardjito ini, Len, saya lantas teringat, sejumlah bangunan bersejarah yang tinggal fondasinya saja. Tidak lalu dibiarkan oleh para arkeolog, tapi dirawat, diberi konteks, dipagari, seraya mencari data (tentang sejarah bangunan itu) secara terus-menerus...

Mundardjito sendiri tak menolak dibangun musium proklamasi, yang bangunannya mirip aslinya, tapi jangan di atas fondasi asli...

Saya sendiri tampaknya mendukung langkah arkeolog itu, Len...