Nov 24, 2008

Ciliwung Express, kelilling pelosok Jakarta...




DI DALAM gerbong kereta listrik yang kami tumpangi pada Jumat pekan lalu, hanya aku dan istriku penumpangnya. Satu orang lagi adalah lelaki bertopi, serta kondektur yang rajin hilir-mudik. Sisanya, adalah deru kereta, sejuknya AC, serta sesekali aroma pasar di pinggir rel -- yang menyelinap di celah-celah pintu kereta, yang kurang tertutup rapat.

Perjalanan menjelajahi rel tua dari Stasiun Manggarai ke Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu, memang bukan perjalanan "biasa" -- bukan seperti jalur rutin kami berangkat-pulang kerja, dari Stasiun Sudirman ke Stasiun Pondok Ranji, Tangerang. Di dalam KRL bernama "Ciliwung Express" (yang diresmikan sekitar 1 tahun lalu itu), perjalanan itu kami namakan "jalan-jalan"...

Dan "jalan-jalan" di atas jalur kereta lama itu, sudah lama kami rencanakan, jauh-jauh hari. Dan waktu itu akhirnya tiba, ketika hari Jumat lalu aku dapat jatah libur, dan istriku demikian pula -- sayangnya, anakku Aida tak bisa ikut, karena dia masuk sekolah.

"Pengin tahu ngerasain kereta Ciliwung, sekalian pengin lihat-lihat stasiun yang jarang kita jumpai," begitulah kurang-lebih alasan kami.

Seperti biasa tanpa bekal informasi jadwal KRL itu, pada pagi yang mendung, kami tinggalkan Stasiun Pondok Ranji, naik KRL Sudirman Express. Turun di Manggarai sekitar pukul pukul 09.30, kami sudah ditunggu kereta warna biru yang terlihat bersih itu. "Keretanya baru berangkat pukul 10 nanti," kata penjual tiket, seraya menyodorkan karcis seharga Rp 3,000 rupiah.

Sambil membayangkan sisa-sisa eksterior dan interior masa lalu Stasiun Manggarai yang masih tersisa, kereta pun berdesis -- pertanda mau berangkat. Jarum jam pada arlojiku menunjukkan pukul 10.15 menit -- artinya, terlambat seperempat jam dari jadwal semula. Tapi waktu molor itu tak kami hiraukan, saat hatiku mulai berdebar membayangkan stasiun-stasiun apa saja yang akan kami singgahi...

Yang lainnya, aku membayangkan bagaimana penulis sohor spesialis perjalananan, Paul Theroux, bisa mendeskripsikan perjalanan naik keretanya keliling Asia, yang dijelmahkan menjadi buku, dan dibaca banyak orang. (Salah-satunya bukunya berjudul The 'The Great Railway Bazar', tentang perjalanannya keliling Asia dengan kereta api).

Juga, kubayangkan perjalanan naik kereta api novelis Peter Zilahy dari sebuah kota di Honggaria menuju Yugoslavia -- dalam novelnya yang kontroversial 'The Last Window Giraffe' (edisi bahasa Indonesia, terbit Oktober 2008). "Sebelum tiba di Belgrade, kabut turun..." tulisnya di atas kereta 'Balkan Express', yang menghubungkan Budapest-Belgrade...

Entah apa yang dipikirkan istriku, saat itu. Tetapi setiap kereta kami mulai berjalan pelan (ini tandanya mau berhenti di stasiun tertentu), kami biasanya berujar kompak: "Ini stasiun apa ya?" seraya tanganku memencet tombol kamera, mengabadikan sekelabatan bangunan tempat orang berhenti, istirahat, dan melanjutkan perjalanan lagi...

Dari Stasiun Manggarai, kurang dari 10 menit, Ciliwung Express singgah di Stasiun Jatinegara, lengkap dengan bangunan lamanya -- melewati kawasan banjir bernama Bukit Duri, dengan sungainya yang kelam, serta rerimbunan pohon pisang, dan...sampah.

Tanpa sempat kami berpikir "kemana kereta ini bergerak", sekonyong-konyong kereta berhenti hitungan detik di Stasiun Kramat. Saya tak tahu, apakah ada penumpang naik di dalam kereta luks ini. Pemandangan selanjutnya, adalah rumah-rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, sampah, rumah gubuk, dan seterusnya, dan seterusnya... dan sungai hitam kelam!

Sampai Stasiun Senen, mata dan hati sedikit terhibur, karena stasiun kuno itu terlihat dirawat. ("Perawatan stasiun ini, juga ikut dibiayai dari penjualan tiket kereta eksekutif,"Dirut Perumka, yang kuwawancarai akhir Oktober silam, jelang Idul Fitri. Dia menolak anggapan bila Perumka kurang memperhatikan aspek kenyamanan kereta ekonomi).

Dalam hitungan menit, Ciliwung Express berhenti pada stasiun yang kuanggap sama-sekali asing, yaitu Kemayoran. Dari lokasi ini, aku semakin seperti berada di tempat antah berantah, termasuk ketika kereta ini masuk stasiun mungil berwarna merah muda, Rajawali. "Ini di mana nih!" kataku setengah girang dan terperangah. Istriku cuma tertawa kecil, keheranan pula. Di sini ada dua siswa SD masuk di gerbong kami.

Selanjutnya kereta kami berlari kencang, sepertinya memasuki kawasan pertokoan Mangga Dua, dan masuk stasiun yang tak kutahu namanya. Di kejauhan, hnya terlihat gedung jangkung, dan dataran luas berair -- sepertinya sudah dekat arah Kota, kupikir begitu.

Ternyata benar. Kami sempat melewati kawasan kota Tua, yaitu jembatan gantung, dan deretan gudang tua peninggalan VOC. Tapi kereta ini tak masuk Stasiun Kota, dan tiba-tiba kami membaca papan nama Stasiun "Angke" dan "Duri" -- sama seperti di stasiun awal, banyak gubuk, sampah, dan sungai hitam...

Ada satu lagi stasiun, yang sepertinya di kawasan Roxi, tapi tak sempat kucatat..

Dan seperti pernah kulalui sebelumnya, keretaku melewati jalur rel menuju Stasiun Tanah Abang -- tempat pemberhentian akhir kami. Waktu menunjukkan pukul sekitar 11 siang. Udara terasa sejuk, sepertinya mau hujan. Kami menghabiskan waktu di sini, sambil makan siang di sebuah warung -- yang dindingnya berhias kalender, yang isinya mengingatkanku kawasan Jatibaru, Tanah Abang, yang dulu dikenal sebagai pusat prostitusi.

Sambil menunggu kereta yang akan membawa kami kembali ke rumah, aku kembali membayangkan "jalan-jalan" itu tadi. Kereta luks itu tadi, aroma pasar yang menyelinap di sela-sela pintu keretaku, bau sungai hitam, ribuan gubuk liar yang tak berkesudahan, serta gerbong kereta ber-AC yang melompong, tak berpenumpang... ***

22 comments:

sensen gustavsson said...

Bagus banget keretanya Fan, apakah ini kereta untuk transportasi rutin atau kereta khusus nostalgia?

sensen gustavsson said...

Lumayan juga ternyata frekuensi jalannya. Tapi kok tumben gak ada penumpang dan keliatan bersih sekali? Bukannya kereta ini bisa jadi alternatif buat mengakali macet di rute biasa?

ienas Tsuroiya said...

kok sepi? biasanya penumpang berjejalan..

Affan Alkaff said...

Sen, ini kereta listrik baru (diresmikan sekitar 1 tahun lalu) untuk transportasi rutin. Jalurnya itu memutar di kawasan Jakarta Pusat, Barat, Timur, dan Utara. Mulai Manggarai, ke Jatinegara, Kramat, Senen, ke Tanah Abang, dan kembali ke Manggarai. Kira-kira 1 jam perjalanan... Keretanya memang bersih, Sen, dan ada petugas kebersihan selama perjalanan..

Affan Alkaff said...

Itulah Sen, kenapa nggak ada penumpang. Kita juga bertanya-tanya. Mungkin jadwalnya yang belum padat (sehingga orang lebih memilih naik angkot yang kapanpun ada), mungkin juga harga tiketnya (KRL ekonomi 1500 rupiah), atau jalurnya. Padahal, seperti kata Sensen, kereta ini mulanya disiapkan untuk mengatasi kemacetan...

Affan Alkaff said...

Kita juga heran Nas, kenapa gerbong-gerbong itu melompong. Yang berjejalan itu, biasanya KRL ekonomi, arah Depok, Bogor, Serpong, atau lainnya. Ini kereta baru, yang semula disiapkan untuk mengurai kemacetan. Tapi itulah kenapa kereta ini tak dipadati penumpang...

Toto_Waluyo . said...

dengan perjalan yang pendek dan cukup singkat saja mas Affan bercerita sangat bagus, apalagi kalo keliling dunia..

haris fauzi said...

jadwalnya cukup rapat yah ? ada yang sampe malem ga ?
kesulitannya sebenernya pada jadwal yang renggang, jadi ga akomodir dengan kebutuhan kantor bagi yang biasa pulang malam...
kalo untuk karyawan yang tenggo sih pilih ekonomi, soalnya bisa ga bayar...hahahahaha...

Affan Alkaff said...

Terima kasih. Tapi percayalah, tulisan mas Wira juga semakin enak dibaca -- saya masih ingat kisah tentang 'tulisan tangan dokter' tempo hari, yang menurutku menarik sekali!... Saya juga terus belajar menulis, mas...

Affan Alkaff said...

Harris, kalau melihat jadwalnya, pertama, tampaknya kereta ini untuk warga Jakarta, yang wilayahnya dilalui kereta tersebut. Kedua, sepertinya diperuntukkan orang kantoran (yang bekerja) -- ada jadwal pagi, dan sore, hingga jam 7 malam. Masalahnya, menurutku, jadwalnya kurang banyak (istilahmu renggang), sehingga orang memilih naik angkot atau bus pada rute kereta tersebut. Lainnya, kereta ini terkadang masih molor... Dari kelemahan-kelemahan ini, seperti kau bilang, tentu orang akan memilih KRL ekonomi...

a alifandi said...

Wah deskripsi perjalanannya sdh spt Pol Teru. Kalau aku di Jkt, aku mau coba ini kereta api juga.

Affan Alkaff said...

...Cak Anton, saya baru tahu siapa Paul Theroux, saat ke London, bulan Maret lalu. Kalau tak salah koran Guardian memprofilkannya, dan kubaca tuntas, saat itu juga... Dari situ, ingin tahu berbagai karya tulisannya.

Terakhir, sesaat di Jakarta, aku temukan majalah National Geographie (terbitan tahun 80-an) yang memuat tulisan Theroux, tentang kisah perjalanannya naik kereta api dari Pakistan, India sampai Bangladesh... Menakjubkan, walau agak berbau gaya penulis yang berjarak dengan obyeknya....

Tapi apapun, ayo cak, datang lagi ke Jakarta, kita coba jelajahi pelosok Jakarta, dengan menapaki rel tua itu, seraya menghirup aroma kali Ciliwung yang hitam kelam itu, berikut sampahnya yang makin menggunung!

a alifandi said...

Mau Affan, aku sempatkan nanti kalau pas di Jakarta.

hima kame said...

Sip mas reportasene. Dengan umur 1 th, bagaimana kondisi kereta mas? terutama dari faktor keselamatan & kebersihan. Misal saat kereta jalan pintu nutup atau ada yg terbuka? Gerbongnya buatan INKA Madiun ya?

Kalau lihat gerbong Ciliwung Express 2 jadi inget sama kereta Yamanote Line, sama-sama hijau.

Affan Alkaff said...

Sam, ini perjalanan pertamaku naik Ciliwung Express. Tapi sepertinya terawat. Tak ada sampah di dalam gerbong, dan sempat kujumpai seorang tukang bersih-bersih, saat kereta jalan. Pintunya tertutup saat jalan, dan hanya buka saat berhenti di setiap setahun.

Aku tak menanyakan kepada pihak berwenang, siapa yang membuat kereta ini. Namun, dari logo INKA Madiun yang dipasang di dinding gerbong, dan ada cap INKA di roda besinya, aku pikir kereta ini buatan BUMN itu...

Omong-omong soal kereta Yamanote Line, aku jadi ingat video klip grup musik The Police (Sting dkk) yang pengambilan gambarnya dilakukan di atas kereta listrik Jepang, di sekitar akhir 70-an atau awal 80-an (mungkin judul lagunya "Walking in the moon"). Nah, perawakan gerbong KRL Jepang di lagu itu mirip dengan KRL yang berseliweran dari Bogor ke Jakarta, atau Serpong-Jakarta, sekarang ini. Artinya, kereta itu dipakai di Jepang tahun 70 dan 80-an, dan "dijual dengan harga murah" di Indonesia belakangan, dan terpakai sampai sekarang... Hahahaha.

Seperti apa KRL Yamanote Line itu, kawan? Jalurnya kemana saja? Ceritalah kawan, dan selipkan beberapa foto dari kereta itu...

krisna diantha said...

oh penyanyi tua, lagumu sederhana
(ah pingin nyanyi aja kok, boleh kan)

retno palupi said...

Affan, aku jadi pengin naik Ciliwung Express.. Keberangkatannya cuma dari Manggarai aja, atau bisa dari terminal lain? Berapa jam sekali jadwal pemberangkatannya?

Affan Alkaff said...

ha,ha,ha,ha... boleh,boleh Kris, tak ada yang melarang...'Kan cuma liriknya yang bisa kubaca, sementara nyanyianmu -- yang mungkin sumbang, heem --- tak sampai terdengar.... :)

Affan Alkaff said...

Retno, kereta ini titik awal berangkatnya dari Stasiun Manggarai, dan kembali lagi ke Manggarai. Tapi dia selalu berhenti di setiap stasiun yang dilaluinya, antara lain yang kuingat: Jatinegara, Kramat, Senin, Kemayoran, dll, Tanah Abang, dan kembali ke Manggarai.

Ada dua kereta Ciliwung Express. Yang pertama, ke arah Tanah Abang terlebih dulu, dan yang kedua, ke arah Jatinegara terlebih dulu..

Nah, jadwal keberangkatan dari Manggarai sebagai berikut: 07.32 pagi, 08.50 pagi, 10.00 pagi, 15.30 sore, 16.42 sore, 17.55 petang, dan 19.00 malam....

Saya tak tahu jadwal sampai di setiap stasiun yang dilaluinya. Tetapi waktu keseluruhan yang ditempuh sekitar 1 jam...

O,ya tadi, saat berada di Stasiun Sudirman (Dukuh Atas), saya sempat melihat kereta Ciliwung Express dari arah Manggarai, yang ternyata cukup padat dipenuhi penumpang. Mungkin pada jam tertentu, pagi utamanya, dan sore barangkali, gerbongnya cukup dipadati penumpang -- sepertinya sebagian besar orang kantoran. Sementara saya tempo hari naik pukul 10 pagi, sepi...

Adhitya Prasetya said...

Mas Heyder Affan,
lewat komentar ini, saya minta izin untuk dapat menggunakan foto-foto kereta api dan stasiun yang telah Anda upload di situs heyderaffan.multiply.com untuk memperkaya artikel-artikel mengenai dunia perkeretaapian Indonesia yang ada di situs Wikipedia. Alasan kenapa saya harus meminta izin dari Anda adalah karena kebijakan di Wikipedia mengenai hak cipta sangat ketat. Wikipedia sangat menghargai hal ini. Harap dimengerti bahwa situs ini sama sekali bersifat non-profit, tanpa ada tendensi ekonomi, dan benar-benar ditujukan sebagai sesuatu sumber informasi bebas bagi semua orang.

Jika Anda mengizinkan, yang akan dilakukan adalah, di semua foto karya Anda akan diberi kredit "(c)Heyder Affan" dan akan diberi pranala ke akun Anda di multiply.
Mohon dipertimbangkan.

Terima kasih sebelumnya,

Adhitya Fajar Prasetya

Affan Alkaff said...

Maaf Bung Adhitya, saya baru baca pesan Anda -- belakangan saya jarang membuka blog saya ini. Jika untuk kepentingan seperti Anda jelaskan, silakan saja mengunduh foto-foto ini...

Salam kenal,

affan

Adhitya Prasetya said...

Terima kasih atas izin yang diberikan.