Dec 2, 2008

Bila tim sepakbola sekolah anakku bertanding..




"PAK Syaiful, bantu kita dong..." suara memelas itu terlontar dari mulut seorang bocah. Keringat sebesar biji padi terlihat mengucur deras di dahinya, sementara kakinya hanya mampu melangkah perlahan di lapangan sepakbola itu. Matanya agak memicing, menahan terik matahari di atas kawasan Simprug..

Pak Syaiful, sang pelatih, hanya terdiam -- sepertinya kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab permintaan tersebut. Saya yang kebetulan berada disamping sang pelatih, dan beberapa orang tua, juga mendengar kalimat itu. Jujur saja, saya ingin tertawa mendengarnya, walau perasaan getir itu muncul pula..

Saat kalimat itu meluncur dari bocah itu, dan meruntuhkan "keteguhan" para orang tua, tim sepakbola sekolah anak saya, kalah 2-1. Walau ini uji persahabatan, tapi kenyataan di lapangan pada hari Minggu (30 November) lebih dari itu! Seperti tersengat, para orang tua, juga pelatih, berlomba untuk bersorak-sorai menyuntikkan semangat kepada anak-anak itu. "Ayo, balas, balas! Kamu bisa!..."

Dengan bersemangat, tim sepakbola sekolah anakku mampu menyamakan skor 2-2. Saat gol itu terjadi, saya berdiri di dekat gawang tim sepakbola Sekolah Madania, lawan tanding sekolah anakku. Seolah bagian dari tim itu, saya pun berteriak keras "gol...".

Dan mirip atraksi para pesepakbola profesional, si pencetak gol itu lantas dikerubuti kawan-kawannya. Saling menindih. Senyum itu pun mengembang di mulut mereka, termasuk si bocah pelontar kalimat di atas...

***

LANTAS di mana anakku, Aida Ameera? Anakku tak ikut dalam tim sekolahnya, walaupun dia sebelumnya ingin bergabung di dalamnya. Aku dan istriku menjelaskan, "Untuk ikut tim sekolah, kamu harus ikut ekstrakurikuler sepakbola. Kalau Aida tertarik, nanti didaftarkan ya..."

Tak gampang meyakinkan kalimat itu padanya. Dia sepertinya marah tak masuk tim. Menurutnya, ada satu teman perempuannya tak ikut ekstrakurikuler sepakbola, namun bisa ikut di dalam tim itu. Itulah sebabnya, saat diajak istriku menonton pertandingan itu, Aida menolak.

Kami membujuknya, tetapi dia seperti patah arang. Bujukan kami akhirnya bertuah: dia bersedia datang ke lapangan Simprug milik Pertamina itu, tetapi dia mengajukan syarat "Aida nggak mau jadi suporter," tegasnya dengan agak bersungut.

Saya dan istri tak bisa menolak permintaaannya. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pertandingan, dia berulangkali berkata, bahwa dia lebih suka main basket ketimbang sepakbola -- sebuah ucapan yang menurutku bertolak dari keinginan awalnya. Kalimat itu dia utarakan, dengan raut muka mungil itu dibuat serius. (Alisnya yang tipis menaik, mirip tokoh "si muka masam" dalam legenda 7 kurcaci dan putri Snow White..)

***

TANGIS sesenggukan itu terdengar pelan pada pemain putri itu, ketika tim Sekolah Tara Salvia akhirnya kalah 3-2. Satu gol finalti di penghujung pertandingan itu, membuat anak-anak itu sepertinya tak menerima kenyataan tersebut. Para orang tua juga sempat terdiam mula-mula, walau akhirnya mereka kemudian mencoba bijak. "...Nggak apa-apa, kalian sudah tampil hebat! Ini kan pertandingan pertama kalian!"

Para orang tua kemudian menghampiri anak-anaknya. Diberinya para bocah (paling besar klas 4 SD) itu semangat, juga pelukan sayang. Pak Syaiful, sang pelatih, juga memberi pidato yang teduh. "Menang atau kalah, tak penting.. Yang penting kalian bermain sportif," katanya lagi. Anak-anak itu lantas bersalaman dengan para pemain lawannya...

Saya pun mengajak anak-anak itu untuk berfoto bersama. Semula agak berat, mereka kemudian melakukannya. Sebagian berdiri, dan sebagian lagi setengah duduk -- mirip kesebelasaan profesional. Mereka juga beryel-yel dengan sang pelatih. Para orang tua -- suporter itu -- kemudian mengeluarkan aneka penganan dan minuman...

Bagaimana sikap anakku atas kejadian ini? Walaupun terkesan enggan larut dalam kekalahan itu, belakangan di atas mobil dia berujar," Aida gemes, marah! Kok anak-anak Madania itu bilang kepada kita "selamat ya atas kekalahannya..." Saya dan istriku terdiam sejenak, dan tertawa pelan...***

14 comments:

ika ardina said...

sebenernya dia ga mau KITA ngeliat kalau dia pengen nendang bola hahahaha

Affan Alkaff said...

betul juga ya...

Julie Utami said...

Ha.....ha..... udah persis pemain professional nih. Keren ya?!

Julie Utami said...

Ini anak makmur nih pak, lihat aja tubuhnya subur.

Julie Utami said...

Salam untuk putranya sing ayu pak.

Affan Alkaff said...

Betul mbak, mereka sepertinya mengenal betul gaya pemain pesepakbola top saat merayakan gol... Lantas aku, sebagai penonton, jadinya membayangkan menonton pertandingan bola yang betulan... :)

Affan Alkaff said...

Saya juga terkadang berpikir "betapa anak-anak sekarang tubuhnya bongsor, karena asupan gizi yang luar biasa.." Tapi anak itu, yang habis cetak gol, dan merayakannya dengan menutup mukanya, seperti yang dilakukan pertama kali oleh pemain Spanyol di Piala Dunia 1994 di Amerika... (Saya lupa namanya)...:)

Affan Alkaff said...

"Makasih ya ibu Julie," kata Aida, anakku, setelah kutunjukkan komentar mbak Julie. Dia sedang makan siang, saat aku baca pesan ini...

aya blue said...

ampunn... minum tuch???
ckckckck...

aya blue said...

padahal pengen tuch..
Aidaaaa... main ma tim MI Angels aja..
Ketemu di Hanggar yach.. nanti diajarin main futsal deh... ^_^

Affan Alkaff said...

..Itulah sebabnya, aku mempotretnya, Aya! Betapa tingkah anak-anak itu menarik, dan selalu menggelitik orang-orang yang udah tua...:)

Affan Alkaff said...

Hehehe... aku nggak yakin dia mau Ya', karena seingatku dia suka tim yang berseragam biru -- macam Chelsea atau tim nasonal Italia, walaupun dia hafal wajah pemain AC Milan Kaka atau 'si cerdik' Inzaghi... :)

zainuddin tonama said...

Kapan ya giliran kita ikut penal piala dunia?...

zainuddin tonama said...

MAU...