Dec 16, 2008

Camden, 'Cihampelas'-nya London...




HUJAN gerimis dan udara dingin yang menusuk, tak menghalangi niatku mendatangi Camden Market, akhir Maret lalu. "Di tempat itu," kata temanku yang lama tinggal di London, Yusuf Arifin,"ada pasar murah, pernak-pernik, dan kau bisa menawar..."

Aku tertarik tawaran temanku itu, karena kupikir, aku bisa belanja pernak-pernik untuk sekedar oleh-oleh sebagian teman di Jakarta -- sesuai isi kocek yang tersisa, tentunya. Lagipula hari Jumat, tanggal 28 Maret lalu itu, aku libur. Dibayangi harapan yang membumbung, serta ditemani langit London yang (selalu) kelabu, kaki pun mantap menuju ke Camden, di utara kota itu.

Walaupun aku belum pernah ke tempat itu, tak ada risau sama-sekali. Ini tak lain karena sarana transportasi di kota London "sungguh ajaib". Itulah sebabnya, seorang teman setengah berkelakar berkata, "Kau tak mungkin tersesat di kota ini, asal kau pegang peta tube.."

Peta tube, atau kereta listrik bawah tanah, itu hanya berukuran sekitar 10 sentimeter kali 20 sentemeter. Tapi itu kusebut "azimat" karena begitu pentingnya. Di dalamnya digambarkan dengan sederhana: rute tube, nama stasiun, serta jalurnya, dengan warna yang berbeda.

Singkat cerita, pada pagi yang mulai diwarnai kesibukan, aku naik tube dari stasiun Queensway, naik jurusan Northern Line. Turun di stasiun Camden yang tengah direnovasi, aku dihadang gerimis itu. "Pak di mana Camden Market?" Seraya tersenyum seorang polisi meminta aku belok kanan, "dan itu adalah pasarnya..."

Camden Market (yang konon mulai dibangun berangsur-angsur di tahun 1975), aku akhirnya paham, mirip tempat belanja di Jalan Cihampelas Bandung -- bahkan sangat mirip, dengan dekorasi yang dibuat "berlebihan" di atas rumah bertingkat dua, yang disulap menjadi toko. Kemiripan lainnya adalah dentaman suara yang bersahutan, keluar dari alat pengeras suara di masing-masing toko.

Saya memang datang terlalu pagi, tetapi ada beberapa gerai yang sudah menjajakan dagangannya -- mulai kaos oblong sampai cincin, dan anting-anting. Seperti pusat perdagangan di Cihampelas yang terletak di Jalan Cihampelas, maka Camden Market itu berpusat di Jalan Camden High Street -- dari ujung dekat stasiun sampai ujung di sebelah kanal yang berusia tua (dibuka tahun 1820).

Di sepanjang jalan itu, aku menyaksikan rumah-rumah bertingkat dengan dinding berbata jingga-kecoklatan sebagian -- yang saling berdempetan. Eksterior rumah itu memang sebagian besar sudah "dihiasi" aneka atribut budaya pop -- mulai patung hingga lampu neon kelap-kelip -- yang disebutkan mulai dilakukan tahun 1990-an. Di antara bangunan-bangunan itulah, ada sejumlah tempat seperti pasar kecil yang berisi gerai-gerai kaki lima -- mulai makanan tradisional, perhiasan, barang loakan, sampai barang sisa impor, buatan tangan atau pabrik.

Saya berjalan terus, walau gerimis terus mendera. Dan seiring perjalanan waktu, turis lokal maupun asing pun makin gampang di jumpai di jalan tak berukuran besar itu. Bus double decker dari jurusan tertentu, juga terlihat hilir-mudik di depanku.

Layaknya turis yang datang ke tempat baru, aku juga berpikir "amankah tempat ini." Dan walaupun kuanggar tak seseram Pasar Senen di Jakarta, tetap saja kau waspada, jangan sampai aku kena jambret. "Jangan salah, Fan, di London pun ada copet loh," kata temanku, suatu saat.

Puas keliling tempat itu, aku akhirnya gagal memperoleh barang oleh-oleh. Kupikir tak ada yang istimewa, dan barangnya hampir sama dengan beberapa tempat lain di London. Aku akhirnya meninggalkan tempat itu, Camden Market, dengan diantar gerimis yang tak juga redah. ***



4 comments:

Muthz ' said...

whahahah..kirain bacaanya RED MUTHIA whwakakakka..aduh tasnya lucu ya, tapi mahal mendingan di cihampelas yak...

Affan Alkaff said...

Ya Muth, mending di Cihampelas, mungkin lebih murah.... :) Di sana, murah juga sih, tapi tetap saja kan pakai poundsterling, yang nilai tukarnya (saat itu) sekitar 15 ribu rupiah per 1 pounds...

a alifandi said...

Iki sing ganteng dhewe.

Affan Alkaff said...

hahahaha... Cak Anton, orang bilang itu gaya 'narsis', tapi kubilang dengan berkelakar: itu hasrat untuk membuat sebuah kenangan di sebuah tempat yang jauh, yang jarang didatangi... :))))