Feb 24, 2008

Majalah EPPO, nomor 39 Tahun 1979…

KALAU ada yang mengatakan, lebih gampang mengingat sebuah gambar ketimbang tulisan, ini bukanlah sekedar isapan jempol. Setidaknya begitulah pengalamanku, tatkala menemukan kembali majalah ‘cerita bergambar’ EPPO terbitan 1979, majalah milikku yang kubaca pertama kali 28 tahun silam – saat saya bercelana pendek, murid sebuah sekolah dasar...
Secara tak sengaja majalah itu kutemukan di dalam kotak plastik, yang kusimpan di gudang. Semula aku ingin melihat kembali foto-foto lama, koleksi kliping sepakbola dan sejumlah buku. Namun mataku lebih tertuju pada majalah itu, dan tergoda lebih lanjut untuk melihat kembali isinya…
Semula majalah ini tergeletak di sebuah lemari di rumah ibuku di Kota Malang (dulu, aku punya lebih dari 10 majalah itu). Dilatari semacam argumen “melihat masa lalu adalah sebuah kebutuhan”, maka majalah itu serta sebuah lagi majalah kanak-kanak milikku (yaitu ‘cerita bergambar’ terbitan Gramedia) kubawa ke Jakarta. Namun lantaran kendala tempat, akhirnya majalah itu kusimpan juga di gudang.
Dan, ketika tanganku membuka lembar per lembar majalah itu, sosok-sosok tokoh yang sebagian kuimpikan dulu, muncul kembali. Memang tidak semua berujud kartun, ada beberapa cerita yang digambar secara realis. Nah, figur-figur seperti ‘Storm’ (lelaki tanpa baju yang berpetualang melawan kejahatan, dengan partnernya seorang perempuan yang dijuluki ‘rambut merah’, diletakkan pada halaman-halaman pertama majalah ini) itulah yang kisahnya mengharu-biru masa kanak-kanakku.
Tapi, yang selalu membuatku selalu ingin tahu cerita lanjutan pada edisi berikutnya, adalah kisah fiksi berseri dengan latar sejarah Perang Dunia 2, berjudul ‘Partisan’. Melalui tokoh seorang mayor tentara asal Inggris bernama Dragon (saya dulu selalu terobsesi model rambutnya yang kuning, dan kumis tipis di wajahnya), cerita ini mengajak pembacanya mengarungi berbagai pertempuran seputar perang dunia itu.
Saya juga ‘jatuh cinta’ dengan kisah ini, karena goresan tinta pelukisnya – teliti, dan agak detil. Dan, karena begitu terbius kisah ini, aku masih ingat, dulu aku dan teman-teman di kampung, “main perang-perangan” dengan senjata dari kayu yang model senjatanya kuambil dari kisah ini, selain filem perang di televisi berjudul ‘Combat’ dan ‘The Spy Force’…
Cerita bergambar lainnya, yang juga membuat imajinasiku meletup-letup saat itu, adalah kisah pemain sepakbola asal sebuah klub di Belanda – namanya Roel Dijkstra, pemain depan dengan rambut blonde mirip legenda sepakbola Belanda sesungguhnya, Johan Cruyff. Aku menyukai cerita ini, juga dilatari kesukaanku bermain sepakbola.. (saya ingat, ada kisah Roel akhirnya dikontrak sebuah klub Inggris, dimana diceritakan lelaki berambut pirang itu menghadapi konflik dan intrik)
Tentu saja, cerita gambar dalam bentuk kartun di majalah itu, juga menjadi daya tarik – mulai detektif kocak Johnny Goodbye, Agen 327 dengan rekannya lelaki berambut gondrong, hingga Leonardo ‘si pencipta’, serta profil EPPO sendiri (lelaki dengan kacamata tebal, dan rambut agak jabrik…)
Toko Buku Surya Buwana
DIBESARKAN dalam keluarga dengan ayah seorang guru, tentulah sulit secara ekonomi untuk berlangganan majalah EPPO – aku ingat, dibandingkan majalah BOBO, majalah ini lebih mahal (tahun 1979, harganya 300 rupiah). Saya akhirnya membaca majalah itu di sebuah toko buku, yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah – namanya Surya Buwana. Di sanalah, pertama kali aku mengenal majalah itu.
Lantaran terbitnya bulanan (atau mingguan ya? Aku lupa), maka saya selalu penasaran setiap menjelang hari terbitnya. Pulang sekolah, di hari terbitnya, saya selalu nongkrong di depan toko buku itu. Biasanya majalah yang baru datang diletakkan di atas rak kaca, di bagian depan.
Di sanalah, terkadang berdiri dan sering jongkok, aku lahap isi majalah itu – bersama seorang teman tetangga yang seumur, namanya Hidayat (dulu, kita acap bersaing, siapa paling cepat membaca majalah itu – ha,ha.. kalau ingat semua ini, dan bertemu kembali dengan Hidayat, kita cuma bisa tertawa sekarang…).
Untungnya, pengelola toko buku itu begitu sabar menghadapi kami. Walaupun terkadang mereka berkata “bacanya nanti ya, karena sedang banyak pembeli”, mereka membiarkan kami masuk ke bagian dalam, dan dibiarkan duduk dipojok sambil membaca. Tapi, sebetulnya, bukan hanya EPPO yang kami baca, tentunya. Ada cerita bergambar yang kusebut pada awal tadi (terbitan Gramedia, tentang kisah-kisah terkenal di seluruh dunia) dan buku tentang penemuan dan petualangan – seingatku kala itu aku tidak tertarik lagi dengan Majalah Bobo. (Kini ganti anakku yang berlangganan majalah dengan mascot bergambar kelinci itu).
Saya lupa, kapan persisnya tidak lagi membaca majalah EPPO. Namun yang jelas, sejak toko buku itu pindah ke tempat lain (yang jauh dari rumahku), praktis aku tak lagi membacanya. Ada perasaan kehilangan saat itu, karena saya masih dibuat penasaran beberapa cerita dalam majalah itu, yang tidak lagi kuikuti -- di toko itu pula, saya pertama kalinya menemukan Tabloid BOLA, yang saat itu, tahun 1984, disisipkan Surat Kabar KOMPAS…
Beberapa tahun kemudian, sebuah penerbitan menerbitkan kembali kisah-kisah dalam majalah itu --dalam sebuah majalah terbitan khusus. Tapi, seingatku, aku tidak lagi tertarik, mungkin karena usia yang bertambah dan minat bacaan yang berubah. Kini, 28 tahun kemudian, aku kembali membalik-balik majalah yang mulai kusam itu. Melalui gambar-gambar tokoh rekaan di dalamnya aku pun kemudian mengenang, memotret beberapa halamannya, dan kemudian majalah itu kusimpan lagi…

No comments: