Feb 22, 2008

Perdebatan itu tidak berujung di Bogor…


gjgjg
 
 1

kjkjkj
 
 1

ANAKKU yang tahu karakter “kurang tegasku”, kembali mendapat kesempatan untuk menguji sifatku itu. Dan, yakinlah, aku  juga diuji bagaimana menghadapi “sifat manjanya” – yang terkadang minta ampun deh... 


Semua ini terjadi tatkala kami – saya dan Aida, tanpa ditemani ibunya – jalan-jalan ke Kota Bogor, awal pekan lalu (ini adalah perjalanan aku dan Aida ketiga kali ke kebun raya di kota hujan, sejak tahun 2004). Dan sepanjang perjalanan itulah, bapak-anak ini saling uji kekuatan, berdebat,  bahkan terkadang diwarnai saling tarik urat…

 

“Ujian pertama”  mulai dia perlihatkan sepanjang perjalanan naik taksi ke Blok M, dan berlanjut di atas busway ke Stasiun Kota. Ia tahu aku membawa 2 bungkus permen, yang kusiapkan sebagai  “hadiah akhir pekan” – kami sengaja membatasi dia mengkonsumsi makanan itu, kecuali di akhir pekan.

 

Kuberi anak perempuanku  satu bungkus permen (yang bikin sensasi, katanya, karena dapat “meletus” di dalam mulut). "Kres, kres..," bunyi giginya. Aku katakan, lebih baik dihisap. Tapi Aida asyik dengan sensasi permen itu, dan tak menjawab -- permen itu akhirnya habis, saat taksi kami merapat di Pasaraya Blok M.

 

Aku tahu, setelah permen pertama habis, dia akan minta permen berikutnya. Dan itulah sebabnya, aku berkata pada diri-sendiri, “untuk sementara cukup satu bungkus permen, kecuali usai makan nanti.” Namun selang beberapa menit, aku toh mengiyakan permintaan, walaupun aku mengajukan syarat: tidak dihabiskan ya, karena nanti kenyang, sementara kau belum makan (Permen warna-warni isi coklat itu akhirnya habis, sesaat kereta listrik kami melaju, meninggalkan Stasiun Kota). 

 

Tapi seingatku, kupasang sikap tegas saat tiba makan siang -- di sebuah restoran di Stasiun Kota. Kali ini dia mengulangi lagi senjatanya.  Mulutnya baru mengunyah 3 sendok makan, dia sudah melontarkan kalimat “Walid, Aida sudah kenyang..”   (Kali ini, fiuh, aku menganggap diriku berhasil. Dia makan dan minum cukup, walaupun dalam proses itu selalu  dia menawar, dengan berulang-ulang mengatakan kalimat itu tadi).

 

Tidak kuasa, dan Teriak

TAPI perdebatan belum berakhir. Di atas kereta yang menderu,  anakku yang berusia 6 tahun lebih 2 bulan lagi-lagi membuat karakterku terbuka kembali. Saat sebuah kereta makanan (milik perumka) lewat di depan kami duduk, dia minta dibelikan snack kripik kentang. Saya tegas menolaknya, “karena Aida tahu kan (makanan) ini nggak sehat!” – kami selama ini tidak membiasakan dia mengkonsumsinya, dan berhasil.

Tapi apa daya, dia teriak, setengah menangis, ngotot, sementara penjualnya tidak beranjak dari depan kursi kami, sementara mata penumpang lain – seolah-olah – menyorotku. Kesadaranku pun runtuh, dan kembali gagal “bersikap tegas”. Kripik kentang itu akhirnya pindah ke tangannya, dia kunyah, dan penjual makanan itu pun berlalu. Saya tidak berkutik. 

 

Kisah pun berpindah di Stasiun Bogor. Barangkali paham bapaknya “bisa dikadalin”, anakku kembali berulah. Tanganku ditariknya menuju sebuah mini supermarket, tapi tak kutolak, karena aku berfikir untuk membeli tisu basah. Didalam ruangan itulah, sifat manjanya – yang terkadang keterlaluan – mencapai puncaknya. “Aida pokoknya mau permen lagi!” 

 

Saya tolak tegas-tegas kemauannya. Walaupun begitu dia tetap mengambil 2 permen, dan menyodorkannya kepadaku. “Tidak, tolong dikembalikan Aida… Sudah cukup makan permennya.” Menghadapi sebuah tembok, dia keluarkan senjata terakhir: menangis (..oh, airmata anak-anak, betapa polosnya, begitu yang kupirkan, pada awalnya).

 

Namun,  toh rasioku kali ini bicara. Kualihkan pembicaraan, “Aida tujuan kita ke Bogor, 'kan mau ke Kebun Raya Bogor, mau main air di kolam teratai ‘kan?” Mimik wajahnya draktis berubah, dan tangannya mau kugandeng. Dan dia menghapus sisa-sisa air matanya.

Tapi selang beberapa menit, setelah saya serahkan karcis kepada penjaga pintu keluar stasiun, dia minta dibelikan mainan “panah-panahan” (yang sudah lama dia idamkan). Dan, kebetulan, dia melihat barang itu di deretan para kaki-lima di depan stasiun Bogor.

 

Aku sebetulnya enggan, tapi aku berfikir, apa salahnya dengan mainan panah-panahan. Bukankah saya selama ini tidak terlalu memilah, mana mainan yang dikategorikan untuk anak perempuan atau lelaki.

 

“Ya, udah, habis dari Kebun raya, Walid janji beli panah-panahan,” kataku serius.

“Nanti tutup, Lid,” jawabnya ketus.

“Makanya, kita mesti cepat-cepat ke kebun raya, biar nanti bisa ke sini sebelum jam 5 sore,” jelasku, dengan nada meninggi.

 

Penjelasanku tampaknya bisa melegakannya. Kami pun beranjak naik angkot ke kebun raya.

 

Minta gendong

MEMASUKI komplek Kebun Raya Bogor, tanda-tanda “manja” Aida terlihat kembali.  Dia minta gendong, padahal kita baru berjalan kurang dari 20 meter. Saya menolaknya -- dan dia ngambek, jalan lebih cepat dan muka ditekuk. Namun kali ini aku bisa mengajaknya bercanda, dengan harapan bisa mengalihkan keinginannya itu.

Kuajak dia berlari-lari, menirukan suara monyet, atau serangga “gareng” – dia selalu  penasaran seperti apa sosok serangga itu, karena aku selalu mengatakan wujudnya mirip lalat tapi fisiknya sebesar genggaman tangan. “Nah, kalau capek kita duduk saja,” kataku. Kami lantas  duduk di bangku. Dia bisa tertawa akhirnya, setelah permintaannya beli es krim kukabulkan.

 

Saya lantas mengajaknya sebuah lokasi favorit di kebun raya: sebuah hamparan rumput dan kolam yang dihiasi teratai, dan di depannya berdiri anggun Istana Bogor. Saya duduk di sana, sementara Aida berlarian, dan mendekati dua ekor angsa -- di balik pagar pembatas istana.

 

Di Kejauhan tampak 4 orang Pasukan Pengamanan  Presiden (Paspampres) tampak santai, memancing ikan.

Kami lantas melanjutkan perjalanan, dan rengekan minta gendong muncul lagi --  dan terkadang  kukabulkan, tapi seraya kujelaskan “bila capek kita bisa duduk sebentar…” Kadang dia mau, tapi sisanya menolak. Biasanya bila kutolak, ngambeknya keluar – tangannya melipat ke dada, dan mulutnya ditarik ke bawah. (Saya biasanya tertawa dalam hati, soalnya seperti melihat sosokku sendiri di waktu kecil..).

        

Memang dibutuhkan ketelatenan saat menghadapi perasaan manjanya. “Gertakan” pada akhirnya tak akan mampu meluluhkannya, meskipun jurus itu kadang kulakukan – utamanya bila fisik didera rasa lelah.

 

Tapi barangkali suasana teduh di lokasi kebun raya, juga ikut mempengaruhi. Praktis, pada akhirnya “perdebatan yang tidak berujung” itu sedikit mereda, hilang disamun aroma lumut, bunyi jengkerik,  dan harum dedaunan pandan, serta riak sungai yang  membelah kebun itu…

 

Lebih dari satu jam mengelilingi sebagian sudut kebun raya, kami pun beranjak pulang. Sesuai janji, saya pun membelikan mainan panah-panahan – “Aida ingin jadi pemburu”, katanya spontan. Kuberitahu kemudian, mending jadi atlet panahan, ketimbang jadi pemburu, yang melukai binatang. (Di rumah, dia kutunjukkan profil Robin Hood, yang selalu menenteng panah..).

 

Di atas kereta listrik, dia terus memainkan panah itu. Tapi ini tak berlangsung lama, setelah dia tak tahan menahan kantuk. Kepalanya lantas dia senderkan pada pahaku, dan sepanjang perjalanan sekitar 1 jam menuju Stasiun Kota, dia akhirnya terlelap.

 

Sambil terkantuk, kuperhatikan garis wajahnya, dua telapak tangan mungil yang menopang kepalanya, serta kakinya yang ditekuk, aku kemudian berfikir dan bertanya: apakah yang kulakukan terhadap Aida selama perjalanan ke Bogor ini bisa bermanfaat buat anakku, dan, tentu saja, saya sendiri…     

    

  

29 comments:

ika ardina said...

Kalo lagi jalan sama aku, dia ga pernah tuh ngambek lama... Malu sendiri soalnya klo dia nangis2 karena yang dia mau ga aku bolehin... Tidak ya tidak...:D

restu dewi said...

hiihhh...Aida pengen lihat gareng...bukan gareng ,petruk,semar lho...
ini namanya gareng pong...binatang ini keluar kata orang tua2 kalau mau menjelang musim kemarau (jadi perpindahan dari habisnya musim hujan ke musim kemarau...kalau ditempatnya bude sich kadang 2 masih terdengar...
kalau ke Malang mampir ya... Aida

syaifuddin sayuti said...

fan...so sweet...

Affan Alkaff said...

Betul juga ya..:)

Affan Alkaff said...

makasih bude, nanti kalau ke Malang, Aida akan mampir... :)

Affan Alkaff said...

makasih Udin, terkadang butuh kesabaran, tapi juga butuh sikap tegas ya... Bagaimana pengalamanmu, Din? Sesama bapak nih..ha, ha,ha..

ika ardina said...

Kok baru cerita sekarang yang ini?????

Affan Alkaff said...

ha, ha,ha...

Toto_Waluyo . said...

waaah.....cerita yang hebat, pengen deh bisa bercerita seperti ini

Affan Alkaff said...

ah, bisa saja mas Wira... :)

Ervan Hardoko said...

Nanti kalau anakku sudah besar aku akan bawa jalan-jalan seperi kamu membawa Aida, Fan...

Affan Alkaff said...

Ko, saat kita berjalan dengan anak, kita seperti bercermin: seperti melihat melihat sosok kita dulu.. Ada tabiat yang dulu melekat pada diriku di masa kanak-kanak, yang kuanggap terkadang muncul pada anakku... Ini yang bikin kita tertawa, trenyuh, dan selebihnya gembira... :)

niniel wda said...

hahaha.. bapak kan memang begitu. Luluh dengan anak perempuan.. kakakaka

ika ardina said...

iya mbak... parah deh...

Affan Alkaff said...

lebih persisnya, terkadang gampang luluh, Nil.. hahaha..

ienas Tsuroiya said...

ha...mungkin kalo punya anak perempuan, suamiku jadi cepet luluh juga 'kali ya...

Lenah Susianty said...

Arfan, aku kok sulit ngebayangin kamu jadi bapak, mana bapak baik begini lagi, begitu ngurusin anaknya! mungkin karena kau kenal kamu waktu bujangan, jalan bareng ngeliput, ngeliaht lebih dari itu kok susah ya heheheh

Muthz ' said...

Aku juga sama kayak koko..blog ini menginspirasiku untuk cepat-cepat menikah dan punya anak..oh...jadi kebayang menuntun anakku ke istana bogor just like you and aida..hehehhe. Doain yak biar cepet nikah neh,,

dita maulina said...

Iya.. ya.. kenapa para bapak lebih cepat luluh ngadepin cewek2 ini..? hi..hi..
aturan sering melar kalau mereka ditinggal berdua..:)) yang kerennya lagi, cewek2 kecil ini tahu banget kelemahan walid/papanya :(

Affan Alkaff said...

Nas, pertanyaannya bisa dibalik.. bagaimana kalau anakku lelaki? Apakah aku bisa "tegas" bila tingkahnya seperti Aida? Ha, ha,ha... kayaknya aku ya barangkali tetap seperti itu ya... :)

Affan Alkaff said...

Len, tampaknya tipis ya bedanya antara "bapak baik" dan "bapak yang kurang tegas".. ha, ha,ha... Tapi memang benar Len, dulu kita berteman jauh sebelum kita masing-masing akhirnya menikah. Yang banyak disorot bagaimana kita menghadapi "berita", deadline dll.. Sementara, ada kehidupan pribadi yang sama-sekali jauh dari sorotan, jauh dari amatan...:)

Affan Alkaff said...

Mutzh, pengalamanku bermain dengan anak, bisa menghilangkan stres... ha, ha..

Affan Alkaff said...

Muthz, pengalamanku bermain dengan Aida, terkadang bisa mengurangi stres..ha, ha...

Affan Alkaff said...

ha,ha.. hayo para bapak-bapak lainnya cobalah beri kesaksian ... :)

Duddy RS said...

hehehe... diserang bertubi-tubi. sampe keteteran gitu!

Affan Alkaff said...

Iya Duddy, anakku itu cerdik, dia paham betul "kelemahan" bapaknya, sementara dengan ibunya, yang kuanggap tegas, dia "mati kutu".. ha, ha..ha...

Duddy RS said...

hahaha. selain cerdik, jurusnya jitu-jitu lagi. jadi korban. "dikadalin" terus!

Yiyik K said...

Duh... pinternya Aida ya ;-) Namanya juga anak, tau dong ortu mana yg gampang luluh & mana yg nggak mempan rayuan. Dan kalo berhasil dpt yg dimauin satu kali, ya... kenapa enggak nyoba sekali lagi, gitu loh :) Gimana kalo lain kali jalan2 sama ibunya juga? heheh.... gak nyambung ya?

Affan Alkaff said...

Yik, inilah kelemahanku, dan sebenarnya aku juga belajar untuk bersikap tegas. Kejadian di Bogor itu, tentu saja, tak mewakili seratus persen sosokku. Dalam beberapa hal, sikap tegas (yang tak harus dengan nada amarah, tapi lebih ke sikap konsisten) bisa kulakukan pada si Aida..
Kalau kita berjalan bertiga, tentu lebih muda ya. Bisa saling mengingatkan, saling dukung, sehingga membuat "si manja" ini nggak seenaknya... :)
Dan, seperti kau pernah bilang Yik, ini sebuah proses yang panjang... (yang terakhir ini mudah-mudahan bukan apologi, ya Yik...ha,ha,ha)