Feb 5, 2008

Not One Less, kegigihan seorang guru...

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Kids & Family
“NOT one less” adalah sebuah judul filem, tentang kisah seorang guru pengganti di sebuah sekolah, di wilayah terpencil di negeri China. Ini bukanlah filem baru – diputar pertama kali tahun antara 1998-1999 (kami punya filem itu dalam bentuk VCD).

Setelah lama kusimpan, Minggu malam kemarin anakku meminta agar diputarkan filem itu -- disutradarai Zhang Yimou, yang dikenal melalui filemnya Raise the Red Lantern (1990)..

Saya dan istri, tentu senang, dan bersemangat menanggapi permintaan anakku. . Alasannya jelas; filem ini bertutur tentang sebuah kerja keras, tanggungjawab (dalam bentuk paling sederhana), serta bagaimana menghadapi hidup – dengan cara paling polos. “Aida nanti bisa lihat, bagaimana anak-anak itu harus hemat kapur tulis, karena mereka nggak punya duit..,” begitu kalimat pembukaku, sebelum filem itu diputar.

Seraya memeluk guling, dan terkadang berdiri, anakku lantas mencoba menyerap gambar-gambar bergerak itu –seraya bertanya tentang jalan ceritanya..

***

FILEM berdurasi 106 menit ini, dan pernah memperoleh penghargaan untuk gambar terbaik oleh Festival Filem Venice tahun 1999, dibuka dengan sebuah panorama pedesaan, di sebuah wilayah di negeri China. Kamera lebar menyorot alam yang berbukit-bukit, begitu luas, dan tiba-tiba muncul dua orang yang berjalan – satu lelaki tua dengan topi ala Mao, dan seorang perempuan belia dengan rambut dikuncir ke belakang. Mereka berjalan bergegas menuju sebuah bangunan tak terurus, sebuah sekolah dasar…

Guru Gao, lelaki tua itu tadi, adalah guru sekolah dasar tersebut. Karena sesuatu hal (seingatku karena orang tuanya sakit parah), dia harus meninggalkan murid-muridnya. Di sinilah cerita mulai dijalin, ketika seorang guru pengganti, Wei Minzhi, digambarkan berusia 13 tahun, menggantikannya -- sementara waktu.

Guru Gao sempat memprotes pejabat pemerintah yang menunjuk guru belia dan belum berpengalaman. Dalam sebuah percakapan, pejabat setempat menjawab, “sulit mencari guru sepadan di wilayah ini, untuk menggantikan posisi Anda.”

Kelas yang diasuh Guru Gao awalnya berjumlah 40 orang, namun belakangan berkurang menjadi 28 orang. Dilatari gambar sekolah yang bangunannya buruk itu, Gao meminta Wei (diperankan bukan oleh pemain professional, yang juga bernama Wei Minzhi) agar “selama saya pergi, jumlah muridnya jangan berkurang satu pun…”

Guru itu juga meminta agar Wei menghemat kapur tulis – yang harganya tidak terjangkau di wilayah itu (dalam filem ini, sempat digambarkan sebuah pemandangan yang indah, sekaligus miris, saat seorang murid begitu sedih melihat kapur tulis hancur-berantakan terinjak, sementara Guru Wei semula terkesan tidak-mau-tahu).

Sepeninggal guru Gao, kisah antara seorang guru baru dan murid-muridnya pun dijalin. Kamera kemudian menyorot ‘keramaian’ di dalam ruangan sekolah dan tingkah puluhan anak-anak berpipi merah dan berbaju lusuh -- mereka tidak berseragam seperti di sekolah normal pada umumnya. Dari jarak dekat, kamera juga menyorot wajah guru Wei, yang jarang tersenyum.

***

PADA awalnya, Wei terlihat enggan menjalin kedekatan dengan murid-muridnya. Dia lebih memilih berdiam di luar kelas, mengoborol dengan dirinya sendiri, sementara murid-muridnya dibiarkan beraktivitas – menyalin tulisan di papan tulis. Tapi sikapnya ini berubah, setelah salah-seorang murid lelakinya yang bandel, Zhang Huike (juga tidak diperankan oleh bintang professional, yang bernama Zhang Huike) membuat tingkah, yang memaksanya bertindak – sebuah awal yang membuatnya tersadar akan tanggungjawab yang diberikan Guru Gao itu tadi.

Rupanya amanat guru itu membekas pada dirinya. Dan, barangkali karena kepolosannya, Guru Wei kemudian menerjemahkannya secara “hitam-putih” – menyerupai sikap keras kepala, bahkan.

Sikap ini dia tunjukkan saat sekolahnya kedatangan tamu, pada sebuah siang. Ditemani seorang pejabat setempat yang bertopi ala Mao, tamu itu adalah pemantau anak berbakat di bidang olahraga. Seorang murid Wei diharuskan ikut ke kota untuk diasah bakatnya. Tentu saja Wei menolaknya. “Guru Gao minta saya melindungi semua murid di sini. Tidak boleh ada hilang dari sini,” kata Wei dengan muka bersungut. Dia bahkan lari pontang-panting mengejar mobil yang akhirnya membawa salah-seorang muridnya.

***

KESETIANNYA kepada amanat guru Gao, memang, akhirnya menjadi nyawa filem ini. Dibenturkan dengan kenyataan kondisi ekonomi yang menyedihkan di wilayah itu, Wei kembali dikejutkan saat Zhang, murid paling bandel di kelas, tidak muncul di kelas, pada sebuah pagi. Walaupun Guru Wei semula kesal dengan tabiat Zhang, hatinya pedih melihat bangku milik Zhang kosong.

Dengan bersemangat, Guru Wei, dibantu murid-murid lainnya, akhirnya ‘berjuang’ sedemikian rupa agar bisa menjemput Zhang di kota – dikisahkan anak lelaki itu mencari kerja ke kota, untuk mengurangi beban orang tuanya yang dililit utang. Di sinilah Wei, masih disokong murid-muridnya, berusaha sekuat tenaga untuk membawanya pulang.

Tapi persoalannya tidak mudah. Wei tidak punya uang untuk pergi ke kota. Berbagai cara pun dilakukan Wei dan murid-muridnya – mulai membantu mengangkut batu bata milik sebuah pabrik di desa itu (kamera dengan indahnya menyorot, diiringi sebuah musik yang murung, sehingga adegan gotong-royong menggotong batu-bata itu menjadi hidup).

Kisah kemudian berlanjut saat Wei dihadapkan kompleksitas dalam pencarian itu -- kamera secara kontras menyorot sudut-sudut kota, yang hiruk-pikuk, sementara Wei berjalan sendiri. Kamera juga menyorot Zhang, yang wajahnya tetap polos, tapi sikap bengalnya tidak lagi terlihat.

Dengan hanya bermodalkan nama dan alamat tempat kerja Zhang, Wei mengalami kesulitan demi kesulitan. Namun sikap keras kepalanya, dan pendiriannya yang keras, Wei akhirnya bertemu Zhang – dan membawanya kembali, walau dia mesti menunggu berjam-jam didepan sebuah halaman stasiun televisi swasta, tidur di emperan stasiun kereta, berdebat melelahkan dengan orang-orang..

15 comments:

Muthz ' said...

oh...aku pernah nonton neh mas, pernah di puter juga di transtv..i like it, kan aku juga guru hehehe

Affan Alkaff said...

memang Muth, filem ini luar biasa, kendati kisahnya berangkat dari kejadian sehari-hari: bagaimana menghadapi hidup secara riil... Dan, serius nih kau seorang guru? Kau cerita nanti ya... :)

Vania Koeberlein said...

wah perjuangan banget ya...apa ada di youtube ya, jd pengen nonton, bahasanya Mandarin kah mas? LUmayan bisa buat latihan

Affan Alkaff said...

ya, filem ini memang memakai bahasa Mandarin, Van.. Aku nggak tahu apakah ada di youtube atau nggak.. :)

niniel wda said...

filmya bagus.. tapi bintangnya kok cuma dikasi dua? Pelit ah!

Affan Alkaff said...

kau minta bintang berapa, Nil? Tiga? Boleh, boleh... :)

Purbasari D Jakarta said...

bagus ya? hem... boleh juga nih.

Muthz ' said...

iya mas aku dulu pernah ngajak english di lia dan beberapa kursus lainnya, sekarang mah private aje tapi jarang karena kerja di media yang jadwal kerjanya nggak fix..

Affan Alkaff said...

itu filem lama Sar, tapi terkadang kuputar ulang, karena rasanya nggak bosan-bosan melihatnya... :)

Affan Alkaff said...

betul ibu guru Muth :), praktis kerja di media itu, menyita waktu.. dan jam kerjanya itu acap berbeda dengan profesi lain..

Ervan Hardoko said...

Seharusnya sinetron Indonesia bisa seperti film ini. Nampaknya layak untuk ditonton nih....

Affan Alkaff said...

Ko, kalau tertarik, besok kubawakan VDC filem ini.. :)

agung ainul said...

Lho gak bagusan sekarang?? Anak SMA gampar-gamparan rebutan pacar...
Sampai anak-anakku kita larang nonton Sinetron...

Affan Alkaff said...

Sorry Gung, baru balas... Aku setuju, kualitas sinetron kita belum juga beranjak maju, tetap saja dari dulu...

rainanto budiono said...

andai aku punya bintang....film ini aku beri bintang yang terbanyak. andai aku punya jempol yang banyak....aku kasih semuan. intinya banyak pembelajaran yang diambil dari film ini...terutama buat guru Indonesia yang ada dipelosok. aku saja terharu perjuangnya