Apr 20, 2008

'Kampung Arab' itu bernama Bayswater (1)




SEBUAH tempat jauh di seberang benua -- dan pasti jarang kukunjungi, tapi kehadirannya sungguh terasa akrab...

Itulah kenanganku terhadap sebuah wilayah, setingkat desa atau kelurahan atau distrik, bernama Bayswater. Lokasinya terletak di barat Kota London, yang berjarak ribuan kilometer dari tempatku berdiri sekarang...

Di bulan Maret lalu, yang hembusan angin utaranya masih terasa beku, saya mendatangi kembali tempat itu. Hampir semua sudut dari sebagian Bayswater, wujud fisik dan suasananya, nyaris tak berubah seperti saya datangi empat atau enam tahun silam: Kuil sinagog merah masih berdiri di sana, juga gereja ortodoks yang bunyi dentang loncengnya acap samar kudengar...

Ini memang sebuah perjalanan mengenang kembali, mengenang sejumlah pertanyaan yang belum terjawab. Enam tahun silam, layaknya seorang yang baru tinggal di sebuah tempat asing, saya pun digerakkan oleh rasa ingin tahu, untuk mengenal lebih jauh dan menjangkau segala sesuatu yang terkait dengan tempat itu -- sejarahnya, karakter penduduknya, atau apapun yang identik dengan Bayswater.

"Barangkali ini yang disebut sebagai upaya mendekatkan dengan tempat di mana kita tinggal," begitu yang kupikirkan saat itu.

Tapi itu tak mudah, pada akhirnya. Tetap saja saya selalu terbentur kepada melankoli betapa semuanya akhirnya tak bisa terjangkau -- betapapun kita mengklaim kemampuan daya indera kita! Dalam situasi seperti ini, biasanya saya lantas teringat novelis perempuan kelahiran Libanon, Nada Awar Jarnar, yang besar dan tumbuh di Australia, dalam novelnya Somewhere, Home (2003). Nadar yang sepertinya rindu akan "akarnya", akan masa lalu, serta sebuah kota masa kecilnya yaitu Beirut (di Libanon).

Melalui tokoh-tokohnya dalam novelnya itu, Nadar sepertinya ingin kembali berlaku "intim" terhadap masa lalunya, dengan kotanya. Akan tetapi, langkahnya itu tak memuaskannya. "Beirut," begitu tulis Nadar melalui tokohnya Maysa, "adalah mimpi yang berulang, sukar ditangkap sekaligus dikenal, kenangan dari pikiran yang berkelana..."

***
BAYSWATER, nama daerah itu, semula kukenal secara selintas dari teman-teman di London, yang pernah tinggal di sana. Sebagian temanku mengatakan, wilayah yang letaknya tidak jauh dari taman raksasa Kensington dan Hyde Park, di jantung kota London itu, disebut-sebut sebagai wilayah elit, dan banyak didiami warga imigran, utamanya Arab. "Itulah sebabnya, kau seperti pulang kampung, Fan," kata teman-temanku itu tadi, seraya tertawa.

Semula aku tak menanggapi serius ucapan itu. Dan aku selalu berupaya meyakinkan diri-sendiri bahwa sebutan "daerah kantong Arab" itu lebih sebagai sebuah anekdot, ketimbang sebuah kenyataan.

Itulah sebabnya kucoba menyisihkan pikiran itu dalam laci meja di kamarku yang hangat, atau di saku jaket tebalku, tapi toh gagal. Sebutan atau identitas itu -- "arab" lebih persisnya -- terus "mengganggu", tidak bisa hilang dari pikiran, mengendap, pernah hilang tapi muncul lagi, terus begitu.

Dalam situasi seperti itulah, saya akhirnya tiba di London, pada sebuah pagi, di awal Desember tahun 2002, satu tahun tiga bulan setelah peristiwa kekerasan yang disebut 11/9 di New York, Amerika Serikat. Seperti diketahui, pelaku kejadian kekerasan itu kemudian diketahui adalah orang-orang beridentitas Arab. Semua orang tahu itu, tak terkecuali warga London...

***
ENAM tahun lalu, ketika akhirnya taksi hitam yang membawaku dari Heathrow melintas di beberapa jalan di wilayah Bayswater, tak kudapati tanda-tanda "kampung Arab" seperti yang kubayangkan -- biasanya, pikiranku menerawang belasan silam, saat bermain atau bertemu keluarga di kampung Arab seperti di Malang atau Surabaya.

Yang kudapati, ketika aku menginjakkan kaki pertama kali di ruang depan tempat tinggal milik kantorku, di Jalan Prince Square, empat tahun silam, justru adalah bangunan bergaya Inggris. Disain eksterior atau interiornya terlihat seperti bergaya victoria -- sebuah gaya arsitektur yang konon menjadi tren di masa kekuasaan Ratu Victoria, dua abad silam. Terlihat seperti terpengaruh gaya Romawi, pintu depannya dihiasi dua pilar kokoh warna putih, bertingkat tiga, serta berjajar panjang -- sepertinya ini flat atau apartemen. Di pilar itu tertulis "Beaumount House".

Di dalam bangunan itu, selain ruangan kecil yang difungsikan sebagai kantor, terlihat pula ruangan santai. Seorang pengelola kulit putih kemudian menyambutku, dengan senyum ramah dan sebuah pertanyaan yang belakangan acap kudengar "bagaimana perjalanannya?"

Kulihat ruangan itu: tirai warna biru terlihat menutupi jendela berukuran besar, selain kursi sofa besar, serta sebuah tungku api. Sebuah pohon Natal dengan hiasan kerlap-kerlip terlihat mencolok di sudut. "Seperti inilah Fan, ruangan tamu atau keluarga rumah-rumah di Inggris, nggak berubah dari dulu," kata rekanan kerjaku, yang bersamaku berangkat ke London, kala itu.

Saya mengiyakan, seraya mataku terus menyelidik benda-benda apa saja yang ada di ruangan itu. Dan di atas tungku itu tadi, teronggok foto-foto, serta kartu ucapan. Ada pula sebuah almari, yang di dalamnya terdapat beberapa cinderamata yang berasal dari berbagai negara -- ya, sebagian besar tamu yang menginap di tempat itu adalah orang-orang dari luar Inggris.

Saya lantas diantar ke lantai atas, menuju ruangan kamarku. Saya lupa nomor berapa, tapi yang selalu kuingat: saya harus angkat dua koporku dengan nafas terengah-engah, karena harus melalui tangga melingkar -- karena memang tidak ada lift di gedung kuno itu. Karena itulah bunyi "bruk, bruk" di atas tangga kayu yang dilapisi karpet, yang kulalui, adalah suara-suara yang selalu kuingat sampai sekarang -- juga pikiran yang selalu terngiang-ngiang tentang Bayswater dan "kampung Arab" itu...

***

ADAKAH aku akrab dengan wilayah Bayswater, karena identitas yang dilekatkan padaku serta mayoritas penduduk di lokasi itu adalah orang-orang Arab? Pertanyaan yang belum terjawab ini kuulang lagi saat aku tiba di tempat yang sama, awal Maret 2008. Tidaklah salah juga apabila jawabanku adalah "ya", karena pikiran identitas tersebut tidak bisa hilang, walaupun aku selalu menanyakan ulang apa-apa yang disebut sebagai tradisi dan masa lalunya.

Harus kukatakan, nenek moyangku berasal dari Hadramaut, Yaman, dan memilih datang serta tinggal di Indonesia. Barangkali sejak tiga atau empat generasi sebelum kakek dari ayahku lahir di negeri ini, mereka datang ke wilayah dimana aku berdiri sekarang. Sebuah sejarah kemudian terbentuk, dan tradisi mengikutinya, berikut aturan-aturannya. Tapi lebih dari enam tahun lalu, aku memilih menikahi perempuan beridentitas Jawa-Padang...

Tapi dulu, dulu di masa muda, aku bisa marah tatkala seorang teman -- mungkin maksudnya berseloroh -- memanggilku "arab". Sebuah perasaan yang kutafsirkan dulu sebagai pembedaan, atau menganggap aku sebagai "orang lain".

Namun nada emosional itu lambat-laun kurasakan berubah, tatkala seorang teman di Solo, Jawa Tengah, mengatakan sebuah kalimat yang membuatku menjadi agak teduh, "Kau harus terima (identitas Arab) itu sebagai kenyataan sosiologis Fan.. Saya, ambillah contoh, akhirnya menerima sebutan itu sebagai olok-olok belaka, janganlah dibuat serius..."

***

LEBIH dari tiga pekan, tinggal dan hilir-mudik di sepenggal kawasan Bayswater, pada bulan Maret lalu, saya akhirnya makin mafhum atas predikat "daerah imigran Arab". Selain beberapa orang mengutarakan hal yang sama, saya coba mencari data lebih lengkap, dan akhirnya kuperoleh jawaban.

"Bayswater," begitu tulis sebuah situs internet, "adalah salah-satu wilayah kosmolit di London, yang salah-satunya ditandai banyaknya hotel berdiri di sana." (saya jadi ingat, melangkah pertama dari tempatku tinggal, ada dua hotel berdiri).

Dan, masih tulis situs itu, "Di Bayswater, utamanya di Edgware Road, banyak terdapat populasi orang Arab (Saya akhirnya berulang kali bertemu anak-anak muda Arab yang funky -- misalnya, dengan meninggikan suara audio mobilnya dengan musik hip-hop -- hingga yang masih menghormati tradisi). Tapi di sana, ternyata, juga ada komunitas orang Amerika, Yunani (saya jadi terkenang gereja ortodok di belakang kamarku, serta sebuah minimarket bercat biru), serta warga Brazil, dan orang-orang lokal."

Kesan wilayah itu ditempati berbagai etnis, memang terlihat mencolok, saat saya setiap hari berjalan kaki di Queensway (saya setiap hari melewati jalan ini dari rumah ke stasiun kereta bawah tanah, atau sebaliknya), sebuah jalan besar, yang dipadati turis dan restoran yang menjual makanan China, India, Arab, Spanyol, Rusia sampai "nasi goreng" ala Malaysia...


55 comments:

Bagdja Nugraha said...

Terima kasih mas atas sharing infonya.

Salam,
Bagja

Nabiha Shahab said...

Wah jadi flashback nih Fan... Sepuluh tahun yang lalu persis, pernah sih mampir di Beaumont house, tapi waktu itu tempat itu tidak bisa ditempati sepanjang waktu aku training, karena mau direnovasi. Jadi selama lima minggu di sana, aku pindah di tiga tempat... Memang sih malah jadi pengalaman... pertama di rumah ibunya Jonathan yang di daerah Selatan ke sananya harus naik BT, ngga ada tube. Terus pindah ke sana dan terakhir pindah lagi ke hotel dekat Tavistock square... pokoknya dari Bush House lurus aja ke arah Euston, lewatin Holborn, sebelah kiri deh...
Dulu waktu ke sana, ngga ada yang ngasih tau kalau Bayswater itu kampung arab -- taunya pas ke mall kecil di sana... lho kok banyak banget orang arab... ooo ternyata...
Antara stasiun Queensway dan Bayswater ada pertokoan kecil yang mengingatkan gue pertokoan jaman dulu di Pasar Baru... dari luar ngga terlihat seperti mall, tapi di dalamnya banyak toko-toko kecil. Sebagian besar jual barang-barang hippies dari mulai baju-baju katun india, sampai ada juga jasa melukis tangan dengan henna... :-) itu jaman Madonna juga mempopulerkan... aku ingat Menuk waktu lihat tanganku dia bilang: aduh rasanya pingin hapus, kelihatan kotor katanya hehehe... padahal lukisannya bagus.
Di pertokoan itu, ada juga sederetan pembaca nasib dari mulai palmistry, crystal ball sampai tarot... pokoknya new age banget... gue ngga yakin lo tertarik masuk ke sana Fan hehehe... masih ada ngga ya itu tempat...
Di daerah Bayswater juga gue pertama kenalan sama humous... itu lho sarapan khas Arab, yang seperti pasta dan terbuat dari Garbanzo beans (kita sih bilangnya kacang arab aja kali ya)...
Sayang foto-foto jaman dulu pada ngga tau kemana...
Makasih ya Fan ceritanya... :-)

Affan Alkaff said...

terima kasih kembali, kang Bagja...

Affan Alkaff said...

.. itulah bedanya perjalanan kita, Ebi.. ha, ha.. Dulu, teman-teman di kantor hampir semuanya mengatakan, "kau bakal di kampung sendiri, Fan". Aku biasanya cuma tertawa... Dan soal toko-toko kecil yang menjual barang-barang hipies, sepertinya tak kujumpai. Tapi mungkin aku tidak fokus, sehingga aku tak memperhatikan tempat itu.Yang kuingat, biasanya yang jual makanan alias restoran, Ebi.. ha,ha.. di sana rasanya cepat lapar, walaupun akhirnya sulit memutuskan mau makan apa...

Affan Alkaff said...

Kayaknya nggak ada lagi Ebi, kecuali letak tokonya itu masuk ke dalam sebuah pertokoan kecil di dekat lokasi ice skating itu... Nah, adapun restoran khas Arab itu, ada beberapa restoran di sana, termasuk restoran yang setahuku baru -- lengkap dengan 'perlengkapan merokok ala Timur Tengah' itu (aku lupa namanya)... Tapi selama di sana, Ebi, aku lebih sreg dengan makanan China yang berkuah... kayaknya bawa'an homesick hahaha...

Yiyik K said...

Ini ya restoran langgananmu, Fan? :) Kalo liat di foto2 ini, cuaca kayaknya bagus terus... Atau memang foto2nya pas lagi cuaca cerah?

Affan Alkaff said...

iya, salah-satu restoran yang kudatangi lebih dari sekali, itu ada di daerah ini... Terkadang, untuk memutuskan makan apa, sulitnya minta ampun. Jadinya, itu tadi,lari ke restoran China, kentucky, atau sekali-kali ke Nando's -- di distrik ini juga ada restoran Portugal-Mozambik itu...
Dan soal cuaca, London seperti dikatakan teman-teman di sana, sulit diprediksi secara tepat cuacanya. Pagi yang terang-benderang, tiba-tiba dalam kurang dari dua jam bisa berubah gerimis. Tapi dalam 3 kali ke kota itu, Yik, aku selalu di antara bulan Desember, Januari dan Maret.. Jadi lebih sering abu-abu langitnya, kecuali Maret kemarin terkadang diselingi sinar matahari yang membuat langit cerah -- walau tetap saja suhunya antara 8 dan 12 derajat celcius (malam, terkadang sampai minus)...

ienas Tsuroiya said...

iya betul...warna merahnya itu lo,,,

*kalo di film Harry Poter, jadi lift menuju ke dunia sihir di bawahnya ya Mas, hehehee,,,

ienas Tsuroiya said...

mau...mau.....

haris fauzi said...

mas affan,
overall kok ga keliatan sbg 'daerah arab', nih...
yang sekilas berciri arab hanya restonya...
kafenya juga ga kaya deskripsi najib mahfudz...hehehehehhhee....

Affan Alkaff said...

betul,betul, Ienas, kotak telepon merah itu dijadikan tempat 'masuk' ke dunia sihirnya Harry Potter dkk.. Sebetulnya, saat di sana, ada rencana datangi beberapa situs yang dijadikan lokasi pembuatan filem Harry Potter (misalnya, sebuah tembok di sebuah stasiun bawah tanah, yang dijadikan pintu masuk ke sekolah mereka..), namun karena kendala soal waktu, akhirnya nggak jadi ke sana... :(

Affan Alkaff said...

ha, ha.. Penginnya saya juga dipijat Nas, saat di sana, walau saya yakin bayarnya tak murah. Dan saya ingat, empat tahun silam lalu, aku mesti menunda potong rambut (dan pulang ke Jakarta dalam keadaan gondrong) gara-gara ongkosnya lumayan mahal: paling murah 15 pounds.. Tapi bila kuutarakan ini kepada seorang teman di London, dia menjawab "jangan pakai ukuran Indonesia (rupiah), untuk membeli sesuatu di London, pasti jadinya mahal"... Saya biasanya tertawa, dan lantas ingat: London adalah kota paling tinggi atau mahal biaya hidupnya, disusul Tokyo..

Julie Utami said...

Sam, salam lekum. Lek ngono aku entuk takon ya? Njenengan apa kagungan sedulur sing dadi Wakil Ketua DPR RI? Gek neng Cape Town onok sidang IPU, nyonyae bapak kuwi tak derekna nang Macassar Faure, ziarah onok makame Syekh Yusuf. Tibake,nyonyae imam masjid Macassar Faure iku ngaku-ngaku sedulure si ibu iku amargo podo-podo keturnan Hadramaut. Takon siji maneh yok sam. opo bu Heyder Affan kagungan mbakyu sing asmane bu Dini? Wah njenengan iku marai aku penasaran lho sam. Nuwun.

Affan Alkaff said...

Harris, kalau temanku tak beritahu kalau daerah itu didiami komunitas Arab, tentu saya berpikir seperti sampeyan.. Tapi memang secara fisik, daerah Bayswater itu mirip dengan tempat lainnya di kota London. Nah, aku pun baru tahu (bila daerah itu adalah tempat imigran Arab), setelah bertemu orang-orang Arab di daerah itu, ketika jalan-jalan, yakni dengan melihat perawakannya dan mendengar bahasanya...
Dan soal deskripsi Najib Mahfudz itu, aku pun sempat terlintas, kampung Arab di sana mirip dengan embong Arab di dekat Jagalan, Malang, itu Ris: ada orang jual sate, meubel, mesjid... ha, ha...

Affan Alkaff said...

Halo mbak Julie, akhirnya aku bisa menuliskan kisah ini.. Fiuh! Dan soal pertanyaan ini, kujawab: aku tak punya saudara yang jadi Wakil Ketua DPR. Adapun soal keturunan (Arab) Hadramaut, setahuku, mereka banyak yang merantau di Indonesia. Bahkan sebagian besar keturunan Arab di Indonesia, berasal dari Hadramaut. Walaupun saya pernah dengar kisah imam masjid Macassar Faure, saya tak tahu persis, apakah mereka juga berasal dari Hadramaut... Nah, kalau ibuku tak punya kakak atau adik yang namanya Dini...
(Ha,ha... mbak, aku kayak diwawancarai nih.. :))

Julie Utami said...

Hi....hi....hi..... Kesuwun. Imam majid di Macassar Faure istrinya memang keturunan Hadramaut, namanya kami panggil Auntie Jubaidah (sudah seperti saudara dengan kami). Waktu saya nganter tetamu yang istrinya anggota DPR itu tamu saya ditanya apakah nenek-moyangnya orang Hadramaut? Begitu dijawab iya, dikira saudaranya. Mas yang saya maksud, iparnya mas Affan ada yang namanya mbak Dini nggak? Solany teman saya BapaK Jawa ibu Minang lahiran di Malang, namanya mbak Dini. Mungkin iparnya mas Affan. Halah!! Kok aku jadi ngoceh macem-mace. Maap!!

Lenah Susianty said...

Affan, aku pernah jadi penduduk Bayswater lebih dari setahun! seudha pertama di Beaumont hOuse, aku nyari flat di daerah itu. Flatku dulu dekat WHiteleys shopping center banget. Ini daerah yg ga pernah tidur, dan aku inget dulu waktu natal daerah lain sepi, toko tutup dsb, daerah ini sih seperti biasa ajah! Dan restoran India itu enaknya setengah mati, aku dulu sih sering ajak Yoko dan Helen makan di situ. Makannay pedes dan enak banget! AKu ga nyangka aku belum pernah ngajak Abby ke sana waktu dia di sini! Itu restoran Cinanya juga enak-enak. Ada Royal China yang dimsum nya super enak. Terus ada restoran jeoang yg aku suka juga! Aku yg suka lagi dari situ aku suka jalan sampe ke Queensway dan nyebrang itu udah Kensington, deket istananya Diana! yg suasananya beda dengan Queensway!

Lenah Susianty said...

Eh baru inget lagi, malah Abby yg ngasih tau ada tempat ngeramal yg mantap di situ! inget ga Abby ? di deket Queensway?

Julie Utami said...

Apa yang bikin mas Affan terkenang jalan ini sih? Ada perawan ayunya kah?

Julie Utami said...

Rasanya saya pernah kesini..... Di dekat situ ada hotel B&B banyak kan ya?

Julie Utami said...

Bener! Saya pernah kesni, beli T shirt buat oleh-oleh.

Nabiha Shahab said...

Kalau orang Inggris lebih familiar dengan nama hookah -- kalau di sini hoga (pronounciation yamani) -- di jordan bilang habel babel... kalau ngga salah mesir bilang shisha... :-)

Nabiha Shahab said...

Kayaknya gue inget pergi sama Helen deh... kayaknya sama elu juga bu... tapi ngga inget kapan... kayaknya pas pertama dulu ke sana, inget ngga lo minjemin jaket, gara-gara gue kedinginan...

haris fauzi said...

jualan kebab dan teh tarik..... :)

Affan Alkaff said...

Ups! Maaf, saya salah jawabnya! Tapi iparku tak ada yang namanya Dini, dan keluarga istriku tinggal di Jakarta, mbak...

Affan Alkaff said...

Betul Lenah, daerah itu ramai sekali, dan saya biasanya lari ke Whiteley, kalau lagi bosan dan bingung mau jalan-jalan kemana lagi.. :) Dan restoran India Khan's itu, aku juga pernah ditraktir Yoko makan di sana.. memang enak. Tapi kemarin, aku suka masakan China, Len, utamanya yang berkuah-kuah... Salah-satunya di restoran Tuk-tuk itu, Len...

Affan Alkaff said...

ha,ha.. lebih tepatnya karena itu daerah baru, asing, sehingga menarik untuk digalih, mbak..

Affan Alkaff said...

Lena, saya juga suka 'ngelamun' di taman Kensington itu.. :)

Affan Alkaff said...

.. itu daerah turis, sehingga tak sulit menemukan hotel di sana...

Affan Alkaff said...

.. selain gampang menemukan hotel, di Bayswater, utamanya di Jalan Queensway, tak sulit menemukan toko-toko kecil yang menjual suvenir. Biasanya yang menjual adalah orang-orang India... Tahun berapa ke London, mbak?

Affan Alkaff said...

Ya, saya baru ingat, itu namanya shisha... Ada rasa macan-macam, termasuk strawberry segala...

Affan Alkaff said...

Jual kebab dan teh tarik, di Embong Arab di Malang? Wah, kemajuan Ris.. ha,ha.. lama sekali nggak ke sana, kecuali saat lebaran tempo hari, beli sate dan gule di retsoran Cairo... :)

Julie Utami said...

Ya betul. Saya dua kali jalan kesana. Pertama waktu anak-anak masih SD tahun 1999. Kedua, tahun 2005. Souvenirnya banyak pilihan dan harganya rada murahan dibanding di tempat lain.

a alifandi said...

Tulisannya bagus Affan, kental seperti kuah rawon berlemak. Foto-fotonya cantik juga. Saya sdh lama sekali tak ke Bayswater, sesekali suka ke Kensdington Gardens dekat stasiun Queensaway.

Affan Alkaff said...

Terima kasih, Cak Anton.. Barangkali ini karena soal yang kutulis itu menyangkut persoalan "ke dalam diri", jadi ada rohnya.. ha, ha, ha..

helen lumban gaol said...

wah, gua harus bawa anatoly ke jalan ini 'fan. Sby warga Rusia yang tinggal di London, dia wajib tahu nih. Soal Bayswater, kampung Arab, aku jadi ingat komentar temen Indonesiaku yang udah lama tinggal di Jerman soal Bayswater. "Wah aku pengennya ngeliat Inggris, kok ketemunya orang Arab semua len". Tapi belakangan dia kaget juga waktu kubawa ke Chinatown. Temenku itu, Indonesia keturunan Cina, bilang :"Wah kok boleh di Inggris ada kampung Cina, kampung Arab. Di Jerman, nggak mungkin bisa, penduduknya bisa marah ngeliat ada satu etnis berkumpul di satu tempat."

Affan Alkaff said...

ha, ha, ha.. serius Anatoly belum pernah ke Bayswater, persisnya jalan itu? Saya tertarik, pertama, karena selama tinggal di sana, selalu lewat jalan itu hampir saban hari. Kedua, rasanya aneh ada jalan dengan nama sebuah kota di luar negeri... :)

Affan Alkaff said...

.. Helen, apakah dengan demikian, Inggris bisa dikatakan sebagai negeri yang relatif ramah terhadap imigran? Kalau dibandingkan negeri seperti Perancis, Belanda, atau Jerman, sepertinya pertanyaanku itu jawabannya "ya", setidaknya bila merujuk pemberitaan yang muncul selama ini... Pasti Helen lebih tahu jawabannya, dan ceritalah kawan...
Dan mungkin pula, pengalaman setiap negara bisa berbeda dalam menyikapi kehadiran imigran, berikut ekses yang dilahirkannya.
Di Indonesia, seingatku mengutip sejumlah penelitian dan tulisan, di masa kolonial Belanda dulu, kampung Arab dan China dibangun, justru agar mereka "tidak berbaur" dengan apa yang disebut kalangan pribumi. Jadi, ada semacam politik demografi untuk memecah masyarakat berdasarkan latar ras atau etnisnya...

purwanti setia said...

kapan ya bisa ke tempat-tempat itu he he

Affan Alkaff said...

Pur, dulu aku juga mengajukan pertanyaan yang sama... :)

restu dewi said...

wah...disc.untuk turis.perlu dicontoh kayaknya? kalau disini ada turis malah harganya di mahal-mahalkan..

Affan Alkaff said...

mbak, itu memang strategi dagang, dan itu layak dilakukan di kota turis seperti London.. Mereka menjual macam-macam suvenir, kaos berlogo London, sampai yang aneh-aneh.. Tapi tahulah strategi bisnis, tulisan diskon selalu mereka pasang besar-besar di pintu masuknya... :)

niniel wda said...

de javu Fan?

Affan Alkaff said...

.. lebih tepatnya kembali dibayang-bayangi akar identitas itu, Nil.. :)

Ahsan 'Glen' Andi Husain said...

Tulisannya menarik dan enak dibaca bung

Julie Utami said...

Pastinya deh, karena yang punya site 'kan memang jurnalis asli. Ya toch mas Affan?

Ayo dong nulis lagi. "Pelanggan" pada setia datang ke sitenya lho........

Affan Alkaff said...

terima kasih bung Glen...

Affan Alkaff said...

Mbak Julie, bisa saja.. saya juga terus belajar menulis, mbak... Terima kasih ya..

lisda ikhwantini said...

ada kebabnya ga ya? mmmmm

lisda ikhwantini said...

serem ga ya klo jalan disitu? takut ada yang iseng

lisda ikhwantini said...

disana juga ada yang berjilbab ya?

Affan Alkaff said...

aman kok..setidaknya pengalamanku sendiri :)

Affan Alkaff said...

ada..

kedai buku said...

--asik mas--identitas yang berlapis!

hana jamiilah said...

Tulisannya asik n menarik ...Ngomong2 mas Arema ya? Pernah tinggal di Kampung Arab Malang kah?