Apr 16, 2008

Membayangkan bakwan jagung di Birmingham..




KETIKA kenangan terhadap sebuah kota bernama Birmingham (di Inggris, sekitar dua jam naik kereta api dari London) muncul di benak, aku selalu teringat "bakwan jagung". Makanan campuran tepung dan butiran jagung yang digoreng itu kubayangkan, ketika aku kesulitan menemukan makanan yang pas saat tinggal sepekan di kota Birmingham, awal Maret 2008 lalu.

Kenapa bakwan jagung berulangkali muncul di bayanganku saat itu, tentu ada kisah di baliknya. Ceritanya begini. Di tahun 2004, tepatnya di bulan Februari yang udaranya masih kurasakan beku, aku diajak temanku, Anton Alifandi ke Birmingham -- dengan mengendarai mobil pribadinya. Bersama temannya, seorang redaktur Harian The Jakarta Post (maaf, aku lupa namanya) yang tengah sekolah di Birmingham, kami pun melewati jalan tol menuju arah utara daratan Inggris.

Melewati kawasan pedesaan di sepanjang jalan tol, panorama itu kemudian berubah, ketika mobil memasuki wilayah Birmingham. Cerobong asap, atap pabrik yang terlihat di kejauhan, menggantikannya. "Birmingham memang kawasan industri, dan jangan kaget banyak dijumpai imigran India, China di sini," kata Anton, saat itu.

Lebih dari dua jam perjalanan, seingatku mobil tak sampai masuk ke sudut tengah kota Birmingham. Udara dingin masih kurasakan, walau mobil Anton menyediakan mesin penghangat -- maklumlah, Ton, kawanmu ini dibesarkan di negeri yang kaya sinar matahari...

Perjalanan ke Birmingham ini, memang untuk mengantarkan wartawan The Jakarta Post itu, ke tempat tinggalnya. Aku lupa nama wilayahnya, tetapi seingatku, kediamannya seperti rumah kebanyakan di London: rumah berlantai dua, berdinding bata merah marun atau ke-oranye-an, degan cerobong asap di atasnya. Di dalam rumah itulah, "kehangatan" kutemukan. Tuan rumah, istri teman Anton itu tadi, ternyata adalah adik kelasku saat kuliah di kota Malang -- kami lantas sedikit bernostalgia.

Tak lama berselang, sebuah hidangan pun disajikan sang tuan rumah: bakwan jagung yang baru saja dientas dari penggorengan! Asapnya masih mengepul! Lalu, disusul kemudian sayur di dalam mangkok (aku lupa apa nama persis sayuran berkuah itu), kemudian selanjutnya adalah nasi putih panas. "Ya, ampun," benakku teriak kegirangan, saat itu.

Tak sampai setengah jam, makanan itu sudah masuk perutku. Aku tak begitu ingat apa reaksi Anton kala itu, tapi -- meski tak terucap -- sepertinya kami berdua sepakat: sajian itu dahsyat sekali dikonsumsi saat perut kami keroncongan disamun angin utara yang membuat aku mengigil itu...

(Dan bakwan jagung yang baru dientas dari penggorengan itu, yang masih mengepul asapnya, terus kubayangkan, sampai aku mendatangi kembali ke Birmingham, bulan Maret 2008 lalu, seorang diri, tetapi tetap masih dibekap udara dingin...).

***
SAYA begitu bersemangat, ketika mengetahui bakal naik kereta api dari London ke Birmingham. Kubayangkan di perjalanan itu, dari balik jendela yang lebar, aku bisa menikmati kesunyian pedesaan di pedalaman, perbukitan yang maha luas, langit biru, serta rumah-rumah bata merah dengan cerobong asapnya. Juga sapi, stasiun-stasiun kecil, dan wajah-wajah pucat sebagian penduduknya.

Dan saatnya pun tiba, Selasa pagi yang beku, 4 Maret lalu. Namun saat tiba di Stasiun Euston, aku sempat bingung cara melihat jadwal pemberangkatan kereta, yang belum pernah kualami sebelumnya. (Rupanya jadwal itu keluar, beberapa menit sebelum kereta berangkat -- sekitar pukul 11.05 GMT, barulah nomor platform 10 akhirnya keluar!)

Sejurus kemudian, para calon penumpang lantas bergerak cepat, ke arah kereta berbentuk seperti peluru. Kuikuti pula langkah mereka yang lebar-lebar, menuju kereta yang luarnya berawrna merah-kuning itu. Dan dengan tiket di tangan (yang dipesankan kantor), aku cari gerbong D, dan segera naik kereta bernama "Virgin"...

"Nyaman juga suasana di dalamnya," benakku berucap, seraya membayangkan pemandangan dari jendela yang bakal kulihat. Namun posisi tempat dudukku, ternyata kurang nyaman: kursiku tidak persis di tengah jendela...

***

"KETIMBANG London, suhu Birmingham lebih dingin, dan berangin. Maklum kan lebih ke utara," beberapa temanku sudah mengingatkanku, sebelum keberangkatan ini. "Dan jangan lupa: jangan terlambat makan," kata seniorku yang lain, seraya menyebut beberapa restoran Asia di Birmingham, yang bisa kudatangi. Aku mengiyakan semua nasihat ini, tapi toh nantinya aku kesulitan dengan makanan di kota itu, dan akhirnya jatuh sakit...

Demam, panas-dingin, begitulah yang kurasakan, semenjak hari kedua tinggal di Birmingham. Di kota ini, aku tengah bertugas meliput kejuaraan bulutangkis All England -- sejumlah atlit bulutangkis Indonesia ikut bertanding dalam kejuaraan perorangan ini. Dipaksa situasi, aku memaksa diri untuk makan tepat waktu. (padahal, aku selalu tak bernafsu makan jika badan didera sakit). Apapun yang ada, termasuk roti setengah bulat, yang atasnya diolesi pemanis warna putih, dan diberi cap "All England", pun kulahap..

Obat Paracetamol yang direkomendasikan kawanku Susilo, juga ketelan, seraya mencuri-curi waktu untuk tidur sejenak -- akibat obat itu. Dalam kondisi seperti ini, aku baru sadar: betapa sengsaranya hidup sendiri di negeri orang saat sakit mendera. Tapi demam itu akhirnya berangsur meredah. Dalam 2 hari, rasa meriang itu berangsur-angsur hilang. Di sinilah kemudian bakwan jagung yang baru dientas dari penggorengan itu, kembali membayang...

***
AKU selama sepekan (4 sampai 10 Maret 2008) menginap di Hotel Norfolk, yang terletak di sebuah jalan nan sepi agak menanjak -- "suasananya, mengingatkan kawasan Dago atas di Bandung, tapi minus angkot dan factory outlet," ucapku. Bangunan hotel yang sebagian besar pegawainya adalah imigran dari India, Pakistan, serta Eropa Timur ini, dindingnya terbuat dari bata warna jingga- kecoklatan.

Kamarku terletak di lantai dua, satu kamar tidur dan kamar mandi di dalam, lengkap pemanas ruangan dan televisi berukuran kecil. Ada jendela yang bisa dibuka di sisinya, di mana aku bisa melihat rumah-rumah di samping. Sekali waktu, aku iseng berjalan menelusuri jalan kecil di sebelah hotel, karena dari kejauhan kulihat bangunan gereja kecil beraksitektur lama -- yang bentuk dan suasana di sekitarnya mengingatkanku pada masa kanak-kanakku di Palembang).

**
DEMAM redah pada akhirnya, tetapi persoalan yang menimpaku tak beranjak sudah. Pada malam yang larut, usai meliput momen kejuaraan bulutangkis All England di gedung olahraga INA , aku berencana naik bus yang disediakan panitia. Lantaran takut dtinggal, aku mengencangkan lariku, sementara beban berat pada tas punggungku seperti tak tertahan. Melewati tangga menurun, kaki kananku terlalu cepat melangkah, dan bunyi "kraak!" terdengar. Bunyi itu berasal dari pergelangan kaki kananku. Ya, ampun sakitnya! Aku sempat beberapa detik tertelungkup, menahan sakit, sampai seorang ibu tua mendekatiku dan berkata "apakah kamu baik-baik saja?" Kujawab pelan ya, dan aku berupaya bangkit, walau pergelangan kaki itu kemudian membengkak. Di sini aku memarahi diriku sendiri, dan menahan tangis dalam diam...

Dengan jalan terseok, aku pun menaiki bus itu, bersama rombongan pemain Indonesia. Aku berpikir, alangkah baiknya kakiku dipijat, mungkin keseleo. Aku juga berpikir, barangkali ada ahli pijat yang ikut rombongan tim bulutangkis Indonesia. Tapi, "Pak Giat (tukang pijatnya) sudah balik ke hotel. Besok saja ketemu dia," kata salah-seorang pemain Indonesia. (Esok harinya, aku akhirnya bertemu tukang pijat itu, dan sekali pijat aku bisa berjalan normal, walau bengkaknya masih terlihat..)

***
TENTU saja, di luar kisah bakwan jagung, bunyi "kraak", serta demam itu, aku berusaha menikmati segala hal yang kualami, atau kusaksikan, selama aku tinggal sepekan di kota Birmingham. Satu diantaranya adalah pengalamanku tersesat, karena keliru naik bus kota. Ini terjadi malam hari, 8 Maret lalu, sekitar pukul 9 malam waktu setempat.

"Sorry, ini terminal terakhir. Anda tampaknya salah naik bus," kata sopir bus yang kunaiki itu. Aku setengah panik, dan mulut kemudian tergetar,"Lalu kemana saya harus pergi?" Pak tua yang berseragam ini, dengan tenang kemudian berkata. "Tunggu saja di halte di depan itu, nanti ada bus nomor.. (maaf aku lupa) yang mengarah ke hotel tempatmu tinggal. Sopirnya akan saya beritahu.."

Saya lega mendengarnya, walaupun tak sepenuhnya percaya. Dan cukup lama menunggu, seraya menahan dingin malam, aku kemudian berpikir macam-macam, dengan sedikit frustasi. Tiba-tiba ada bus berhenti, dengan nomor bus yang dijanjikan semula. Tapi aku ragu-ragu. Namun sejurus kemudian, sopir bus itu turun, dan mencari seseorang. "Ada yang mau ke arah Hotel Norfolk?" Hatiku berbunga-bunga mendengarnya....

Kisah lainnya? Tentu saja kunjunganku ke sejumlah tempat atau ikon di sepenggal kota Birmingham. Kusebut sepenggal, karena dalam sepekan itu, jalur yang kulalui hanyalah jalan dari hotel tempatku tinggal menuju gedung olahraga tempat kejuaraan bulutangkis digelar. Kecuali, jalur saat aku keluar dari stasiun kereta api Birmingham ke hotel, atau sebaliknya...

Selain gereja tua bernama Saint Augustine itu, kusempatkan mendatangi salah-satu pusat belanja kota Birmingham, yang disebut Bullring -- di salah-satu sudutnya berdiri kokoh patung besi banteng, yang acap dijadikan obyek foto para turis. Lokasinya tak jauh dari gedung olahraga itu. Tinggal jalan kaki, melintasi sebuah taman, gedung teater "The Rep" dan bangunan "War Memorial" (berbentuk kubah).

Di komplek pertokoan itu, ada pertokoan yang menjual barang mewah, hingga barang kaki lima. Nah, tak jauh dari patung bullring itu, berdiri gereja kuno -- aku lupa namanya, mungkin Saint Martin. Di dekat gereja itu, berdiri bangunan "postmo", menyempal, yang bernama The Selfridges. Bangunan mirip amuba ini berdiri berhadap-hadapan dengan gereja itu tadi.

Nah, di dekat gedung olahraga itu tadi, ada ikon kota Birmingham yang sungguh terkenal, yaitu aliran kanal -- yang mulai dibangun tahun 1820-an. Aku paling menikmati saat berjalan di sisi kanal ini, sebelum dan sesudah liputan di gedung tersebut. Yang menarik, kanal itu betul-betul diberdayakan, sehingga sangat atraktif bagi turis -- misalnya di sekitar gedung olahraga itu berdiri komplek bernama "Brindleyplace", yang menyediakan restoran dan pusat aktivitas macam-macam.

Lebih dari itu, kanalnya juga diberdayakan. Di atasnya masih melaju perahu yang disulap jadi restoran, atau perahu pos. Burung dan unggas juga dibiarkan bermain di atasnya. Dan satu lagi, kanal dan di sekitarnya, sungguh bersih..

Dari kanal ini, di sebelah kirinya berdiri sebuah lapangan terbuka. Ada gedung teater "The Rep" dan "war memorial" itu tadi. Dari sini, aku biasanya melangkah ke sebuah mal, yang banyak berdiri restoran. Favoritku adalah restoran Nando's -- gabungan afrika-portugis, yang menjual ayam goreng atau panggang dengan bumbu pedas yang khas...

Melewati bangunan itu, terhamparlah ikon kota Birmingham lainnya, yaitu "Victoria Square". Di dalamnya ada "Birmingham Musium and Art Gallery" dan gedung pemerintahan kota itu, serta sebuah patung seorang lelaki tengah duduk -- aku lupa siapa jati diri dia.

Walaupun tak seluas British Museum, lumayan juga menikmati beberapa koleksi seni klasik atau moderen di dalam musium itu. Dan kunjungan ini, tentu di sela-sela liputan pertandingan bulutangkis itu. Ini artinya, aku praktis tak banyak waktu -- "yang penting, aku mendatanginya, dan mengambil gambar," kataku, saat itu.

Dan setelah Minggu malam, Birmingham diguyur hujan deras yang berangin kencang, aku akhirnya harus meninggalkan kota itu, esok harinya (10 Maret). Agak bangun kesiangan, dan mengobrol panjang dengan wartawan asal Malaysia (kami diskusi ihwal Anwar Ibrahim), dan sarapan, aku harus berlomba dengan waktu -- agar tak terlambat naik kereta balik ke London.

"Jangan khawatir, aku tahu jalan alternatif, ke arah stasiun," sopir taksi berjenggot asal Pakistan itu, adalah dewa penyelamatku, pada pagi yang macet itu. Dalam waktu setengah jam, aku sampai juga di stasiun, berlari kencang, dan naik kereta "Virgin" warna merah yang penuh oleh penumpang itu. Selamat tinggal Birmingham! ***

8 comments:

ienas Tsuroiya said...

ini babak awal ya Mas? Masih sepii..

a alifandi said...

Kawan itu bernama Riyadi Suparno, Affan. Dia redpel di Jakpos sekarang. Kalau kamu kangen perkedel jagung itu, tinggal naik kendaraan ke Ciputat tempat dia tinggal sekarang.

arie alina said...

mmmmmmmmmmmmmmmhhhhhhhhh...... pengen ke situ...

Muthz ' said...

keren mas...aku tau pas balik ke indo minta di bikinin bakwa jagung khan krn ngidam heheh

Affan Alkaff said...

betul Nas, itu masih di babak-babak awal. Penonton sepi. Mulai terlihat ramai, saat perempat final, utamanya ketika pemain Inggris main. Tambah ramai lagi di babak berikutnya. Dan yang bikin ramai, penonton dari Asia -- Indonesia, Malaysia, dan China. Kalau orang Inggris, penontonya "sopan-sopan"... hehehehe

Affan Alkaff said...

Ya, ya.. baru ingat, cak: Riyadi Suparno. Kayaknya nggak pernah ketemu dia, semenjak pertemuan nan "hangat" di Birmingham itu. Tapi sungguh beda cak, kalau makan perkedel (bakwan) jagung di Ciputat yang terik itu dengan di Birmingham yang dinginnya menusuk-nusuk... hehehe

Affan Alkaff said...

yuuuuukkkk..... :)

Affan Alkaff said...

... Gereja tua itu, letaknya di perempatan jalan yang sepi. Aku sengaja ke sana pagi-pagi, tergoda menapaki jalan sepi itu. Rumahnya lucu-lucu, seolah-olah mengingatkan kita pada masa lalu, atau sesuatu yang nggak bisa dijelaskan... Dan soal bakwan jagung itu, serta membaca kisahmu itu, aku lantas berpikir: betapa kita sudah berakar, berurat-urat dengan apa yang disebut Indonesia, termasuk aneka kulinernya yang dilekatkan kepadanya... :)