Apr 17, 2008

Mencocokkan jam di Greenwich...




DELAPAN bulan setelah kunjunganku ke sebuah wilayah bernama Greenwich, di kota London, aku mencoba mengingat-ingat kembali, kapan persisnya aku pertama kali bersentuhan dengan kata Greenwich. Dan, tidak mudah ternyata...

"Kayaknya waktu kita SD atau SMP ya, saat kita dapat pelajaran ilmu bumi atau geografi," kataku, dengan ada tanya, kepada istriku, pekan lalu.

Tapi aku juga lantas teringat, dulu mendiang bapakku acap mendengar siaran radio BBC London di tahun 70-an, melalui saluran SW -- yang terkadang berisik, dan acap hilang suaranya. Di setiap pembukaannya, sang penyiar berkata "BBC Siaran Indonesia... Pukul 22.00 waktu Greenwich, bertepatan dengan pukul 05.00 waktu Indonesia bagian barat...."

Walaupun detilnya tetap sulit untuk kuingat lagi, tapi perlahan aku berhasil membuka kembali ingatan tentangnya. "Orang Inggris-lah yang pertama mencoba membuat patokan waktu, dan titik nol-nya itu dibuat di Kota Greenwich," aku mencoba merekonstruksi apa yang dikatakan guruku, puluhan tahun silam.

"Maka kemudian, lahirlah istilah Greenwich Mean Time (GMT)..." (Belakangan aku paham, penemu sistem itu adalah orang Kanada)

***

"FAN, kalau ke London, jangan lupa ke Greenwich," Kalimat bernada ajakan ini disodorkan Endang Nurdin, rekan kerjaku di London. Dia utarakan ini, enam tahun silam, saat aku ada tugas ke kota itu. "Selain soal sejarah waktu itu, kau bisa menikmati taman yang maha luas...," ujarnya, dengan nada meyakinkan.

Aku seingatku mengiyakan ajakan itu. Tetapi toh, tiga pekan aku di sana, tak sempat juga aku mendatangi "kota waktu" itu. Dan ini kuulangi lagi di tahun 2004, saat aku mendatangi lagi London untuk kedua kalinya -- "aku belum tertarik mendatanginya," begitu kesimpulanku saat itu...

Sampai akhirnya pada sebuah Sabtu sore yang gerimis, tanggal 15 Maret lalu, aku memutuskan untuk mendatangi Greenwich ("bacanya yang benar itu Grei-nidh, Fan," kata Endang Nurdin,"Huruf W-nya ditelan.."). Itu pun setelah temanku itu menelepon khusus agar aku mampir ke tempat tersebut...

Aku ingat jam tanganku menunjuk sekitar pukul 3 sore GMT, saat aku berada di sekitar London Bridge, di pusat kota, setelah mengunjungi makam Karl Marx di Highgate, London Utara. Artinya, ada waktu sekitar 2 jam, sebelum Royal Observatory Greenwich (tempat titik nol waktu GMT itu berada) tutup...

Berbekal peta tube, dan informasi secuil, aku -- yang bernungkus dua setelan jaket dan dua helai kaos lengan panjang di dalamnya -- pun mendatangi stasiun kereta Tower Gateway, tak jauh dari bekas kastil Tower of London. Dari stasiun itu, aku naik kereta Docksland ke arah Westferry, dan ganti kereta lagi ke arah Lewisham, dan turun di Greenwich...

Layaknya sebuah wilayah yang banyak didatangi turis, maka di jalanan banyak kutemui orang-orang berbondong ke arah yang sama. Ini sungguh menguntungkan buat diriku, yang belum paham arah dan jalan menuju ke sana. Dan ketika gerimis sore mulai mengguyur Greenwich, aku menemukan kebaikan seorang perempuan setengah baya yang berambut pirang, yang bersedia mengantar sampai aku dapat "menemukan" tempat yang kutuju -- sebuah taman yang luas itu tadi...

Dan berlomba dengan waktu, dan sengatan udara dingin, aku pun menaiki taman berbukit (yang hampir semua pepohonannya beku, basah tanpa daun), berlawanan arah dari ratusan turis yang hendak turun. "Kalau di musim semi, atau musim panas, banyak orang mendatangi taman itu, Fan.. asyik sekali buat piknik," cerita Endang, temanku itu).

***

WALAUPUN tinggal sekitar 20 menit sebelum ditutup, puluhan turis masih banyak kujumpai di atas bukit itu. Hujan gerimis yang membasahi Greenwich, tak pula menyurutkan mereka "menikmati" (misalnya dengan foto bersama) pada pusat garis khayal pembagian waktu itu -- yang membagi dunia menjadi dua bagian, sebelah barat garis bujur barat 00, disebut bujur barat dan sebelah timur garis bujur 00 disebut bujur timur...

Seperti diketahui, apa yang kulihat di atas bukit itu, di sebuah sudut bangunan bernama Royal Observatory Greenwich itu, orang-orang di belahan dunia lain kemudian mendasari perhitungan waktunya sejak tahun 1884...

Selain menampilkan aneka ragam terkait dengan pembagian waktu, di dalam bangunan itu turis juga memperoleh hal lain. Selain informasi perihal astronomi, musium waktu berikut "maknanya" (saya lantas teringat, seloroh seorang teman: jika ingin punya waktu yang tepat, jangan lupa cocokkan jam-mu di Greenwich..), orang-orang dapat juga mengunjungi planetarium di komplek bangunan itu...

Para pengelola tempat wisata itu juga membuka semacam ruangan cinderamata. Mulai kartu pos, kaos tshirt, hingga gantungan kunci seputar tempat itu, dapat diperoleh di sana...

Namun sayang karena keterbatasan waktu, aku tak sempat mendatangi Musium Nasional Maritim, yang letaknya satu komplek di dalam taman itu. Saya akhirnya cuma sempat melongok dari luar pagar tinggi berwarna putih, membayangkan apa yang ada di dalamnya, sementara waktu berjalan terus...

***

SETELAH keluar dari areal 'gedung waktu' dan turun menuruni taman nan luas itu (aku sempat memergoki dua sejoli tengah bermesraan di bawah pohon, seraya berpayung..), aku keliling di sejumlah ruas jalan di sudut kota Greenwich. Seorang teman mengatakan, "Greenwich itu seperti kota yang berdiri sendiri, walau lokasinya tak jauh dari London." Ada benarnya juga, kupikir.

Betapa tidak. Selain banyak kutemui restoran di sana, adapula toko buku (namanya Waterstone, yang bisa membuat aku berlama-lama di sana), dan pasar yang menjual aneka cinderamata -- saya sempatkan masuk ke pasar tradisional itu. Di sini juga berseliweran bus double decker warna merah, yang bisa ke sejumlah jurusan -- tapi kuputusan tak naik bus warna merah itu, karena takut kesasar...

Dan sementara langit Greenwich makin mendekati biru tua, aku pun merasakan lapar -- yang tak terkira. Kucoba keliling jalan-jalan di sekitar itu, akhirnya kutemukan restoran China, yang sepertinya menjual mie kuah -- sebuah makanan yang kusuka, dan kujadikan alternatif selama di London, sekaligus obat rindu kepada Jakarta. Nama restorannya "Tai Won Mein". Kupesan mie kuah, dengan isi daging bebek...

Kenyang dan puas, aku seorang diri akhirnya meninggalkan Greenwich, dengan masih diantar gerimis kota itu. Kembali mendatangi stasiun tube, aku naik kereta yang sama, tapi mengarah dan turun di stasiun Bank. Di dalam gerbong yang sepi, aku berhadap-hadapan dengan 4 orang turis asal Spanyol, yang masih belia..

Dari Bank, aku pindah ke Centre Line menuju Queensway, stasiun terakhirku. Langit London berganti gelap, tetapi kehidupan di daerah itu justru masih belum terlelap. Dengan letih yang tersisa, dan dingin yang masih mendekap, aku tak menyia-nyiakan kehangatan kamarku di lantai atas, di penginapan tempatku di kawasan Bayswater. Kukenakan segera kaos kaki, dan kusembunyi di balik selimut, setelah membersihkan badan. Kulihat jarum jam di arlojiku menunjuk pukul 19.30 Waktu Greenwich Mean Time, atau GMT.. ***

7 comments:

ienas Tsuroiya said...

wahahha..jauh2 ke London, makannya mie ayam:p

ienas Tsuroiya said...

wah..keren yaa..

Affan Alkaff said...

Itulah Nas, aku juga heran... Betul-betul lidah Indonesia! :)

Affan Alkaff said...

itu lokasi yang (hampir) selalu menjadi tempat favorit untuk ambil gambar, Nas... Dan aku pun ikut pula :)

a alifandi said...

Wah kalau Affan sudah kenal Tai Won Mein berarti kamu memang sdh benar-benar kenal daerah Grenwich. Ela suka sekali mie di situ Affan, cuma kami jarang ke situ karena aku tak gitu suka dan agak jauh rumah kami dari sana. Oh ya menurut rencana, arena badminton 2012 akan dibuat di Greenwich, tp aku dengar terakhir batal dan akan pakai Wembley Arena, karena tak ada duit buat arena baru.

Affan Alkaff said...

... Hahaha... udara beku London itu yang bikin lidah ketagihan makanan yang berkuah, cak.. Untunglah, kutemukan restoran itu, yang gampang ditemukan: disudut jalan, dan memakai huruf Tionghoa... Tapi memang dahsyat rasanya! :)

Affan Alkaff said...

... Ini semua pasti gara-gara krisis global ya, cak...