Apr 14, 2008

Perjalanan ke London itu

TITIK-TITIK kecil berwarna kuning itu makin terlihat menyala di lautan serba hitam, yang kulihat dari jendela pesawat.

Dan seiring pesawatku menukik turun perlahan, lamat-lamat ribuan titik tersebut berubah makin jelas sosoknya: cahaya lampu di cakrawala Jakarta, yang seolah menebarkan salam selamat datang.

Kemudian, lautan hitam yang sebagian riaknya dihiasi warna keperakan, akhirnya berganti menjadi daratan, yang memantulkan cahaya lampu itu tadi, di atasnya. Sensasi keindahan itu pun kurasakan.

Tapi, seperti dikatakan banyak orang, keindahan panorama itu hanyalah faktor kedua sebagai pelatuk rasa bahagiaku saat pesawat jelang mendarat. Yang utama, demikian kata orang-orang itu, adalah kegairahan jiwaku dalam menjalani apa yang disebut sebagai "konsep pulang".  

"Kita segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta… Hari Selasa, 1 April 2008, suhu di bawah berkisar antara 27 dan 31 derajat celcius...." Suara awak pesawat itu membuat rinduku makin tak tertahan, seiring jam tanganku menunjuk pukul 8 malam kurang 20 menit waktu Singapura, atau satu jam lebih cepat ketimbang Waktu Indonesia bagian Barat.

Saat-saat itulah perasaan aneh itu muncul, dan aku akhirnya bisa berujar lega, "saya akhirnya pulang..."

***

PERJALANAN pulang, seperti diutarakan para pengelana, hampir selalu tidak sedahsyat seperti di awal perjalanan. Tapi kali ini kasusku berbeda, tampaknya, saat kutinggalkan kota London, pada 31 Maret lalu, setelah kurang-lebih satu bulan tinggal dan merasakan dari dekat sosiologi kota yang acap bergerimis itu.

Sensasi "ingin cepat segera tiba di Jakarta", dan disesaki rasa rindu yang meluap, itulah yang membayangi perjalanan melelahkan hampir 22 jam dari London ke Jakarta.  

Akibat dibayangi atmosfir seperti itu, daya konsentrasiku tak sepenuhnya berjalan baik pagi itu, ketika kakiku masuk taksi, beberapa detik sebelum meninggalkan rumah penginapan milik kantorku, di kawasan Bayswater. Ditawari dicarikan taksi oleh pengelola penginapan (seorang perempuan setengah baya berambut kecoklatan, yang kusapa "Hello Wendy", kutolak secara halus -- mental tak suka merepotkan orang lain itu, rupanya sulit hilang, dan terkadang justru membuat aku repot sendiri).

Tapi aku akhirnya memilih mencari sendiri taksi itu. Celakanya, tak gampang menemukan taksi kosong di pagi yang mulai sibuk. Sedikit mengumpat, dengan jalan tergesa, akhirnya kudapatkan taksi kosong di seberang stasiun tube Queensway, selang beberapa menit, sementara waktu berjalan terus.

Dua kopor besar, satu tas punggung, serta sebuah tabung karton (berisi poster, yang kemudian tertinggal dan hilang di bandara Heathrow) pun menemaniku menuju Stasiun kereta Paddington -- sebelum melaju dengan kereta Heathrow Express menuju bandara. "Anda berasal dari mana? Hendak pulang ya?" sopir taksi itu mencoba membunuh pagi yang beku itu. Tapi pikiranku justru melayang-layang, mencoba merekonstruksi ulang perjalanan ini, satu bulan lalu...

***

DIHADAPKAN pada jarak budaya, iklim, dan barangkali bahasa, aku tiba di London, tanggal 2 Maret silam. Di bawah langit siang yang tak berwarna, di sepanjang perjalanan dari bandara ke penginapan milik kantorku, aku coba menyerap semua yang kulihat -- dan kuabadikan sebagian dengan kamera poketku, dengan alasan logis "sebuah gambar (potret) bisa mewakili seribu kata".

Tapi, tidak berhenti sampai di situ, aku juga berupaya selalu berfikir terbuka terhadap apa saja yang "dilahirkan" kota ini, dan menyerapnya -- walaupun awalnya agak sedikit syok! Mulai cara berpikir, sikap agnostik, sikap altruisme, gaya hidup urban, dan keragaman etnis, hingga masalah rasial. Semua keserap, dan kuenyahkan jauh-jauh keinginan untuk menilai, atau bersikap, atas segala yang terjadi di sana. Akhirnya, adalah "bagaimana menjalani hidup," begitu kata Albert Camus, sastrawan-filosof eksistensialis Perancis, "dan bukan lagi soal bagaimana berfikir."

Orang-orang yang tak paham bisa saja mengatakan: aku tak punya sikap. Namun itulah yang terjadi. Terkadang, menurutku tidak dibutuhkan sikap untuk menjalani sebuah kehidupan, di tengah kepungan informasi yang tidak sepenuhnya bisa kurengkuh untuk dipahami. Bukankah dengan tidak memilih itu juga sebuah sikap?  

Kusebut "aku tak punya sikap", kuambil contoh dari atmosfir kental yang mewarnai perjalanan ini, di mana isu terorisme, Islam dan barat, habis-habisan sungguh menyita dan menguras energi. Di bandara Heathrow, saat saya pertama kali menjejakkan kaki di London, pemandangan itu langsung menyergapku: setiap penumpang wajib melepas sepatu dan diperiksa ketat. Tapi toh aku melakoninya dengan sadar, tanpa ada pertanyaan.

Belum lagi pengalamanku berurusan dengan polisi London, dua pekan setelah tinggal di kota itu, gara-gara hobiku memotret. Segala identitasku dicatat -- toh, aku bisa menertawakan diri-sendiri dan polisi itu akhirnya berkata "anda lelaki baik, dan selamat jalan ya." 

Barangkali ini yang disebut sebagai perasaan skeptis, yang berujung apatis. Tidak mau tahu apa yang terjadi di sekeliling. Walaupun, saya sadar, informasi itu hampir selalu tersaji saban hari, sebagai konsekuen dari profesi yang kusandang. Ada memang perasaan gelisah, bertanya-tanya, lalu mungkin sedih dan amuk, tapi setelah itu, ya, sudah. Tidak ada lanjutannya, lupa, karena ada peristiwa lainnya yang muncul. Terus begitu, setiap hari, jam atau menit.

***

NAMUN toh hidup berjalan terus, dan kota London bukanlah semata-mata untuk "difikirkan", tapi juga "dinikmati" dan dijelajahi -- dengan rasa, tidak melulu dengan pikiran. Itulah sebabnya, sejak awal tiba di kota ini sampai detik-detik pesawatku meninggalkannya, semua yang kujumpai, kudengar, dan kurasakan, dengan segala daya yang ada, kunikmati sepenuhnya.

Di suatu pagi yang bersalju, misalnya, saya begitu syahdu saat lonceng gereja di belakang kamar yang kutinggali berdentang. Juga tatkala berjalan sendiri di Taman Kensington, masih di kawasan Bayswater, pada dingin yang menusuk, kubiarkan lamunan itu memenuhi otakku -- saya biasanya teringat sebuah kisah yang dirajut penyair Rabindranath Tagore yang melalui tokohnya "lebih memilih menjadi tukang kebun ketimbang politisi atau hartawan".

Atau, kubiarkan rasa melankoli itu berkibar-kibar, saat perasaan sepi itu menyelinap di antara deru kereta bawah tanah (tube, begitu disebut) dan hilir-mudik warga London yang berwajah pucat dan berjaket gelap. Atau, aku menangis tanpa air mata saat kakiku terkilir (dan bengkak), serta terserang demam di Birmingham, ketika tuntutan kerja ada di hadapan mata. Atau, aku tertawa gembira di saat menemukan restoran China yang menyajikan menu mie berkuah -- sebuah menu yang begitu nikmat disantap saat langit London berubah gelap. Atau, aku begitu syok saat seorang lelaki Inggris yang duduk di sampingku di atas pesawat menuju London secara tiba-tiba bertanya "apakah kau punya istri simpanan?". Atau, ketika aku terkagum-kagum saat masuk toko buku atau musium di kota ini yang begitu lengkap koleksinya...  

***

"WALID pulang!" Kalimat ini terlontar dari mulutnya yang mungil, saat aku dan istriku memarkir mobil di halaman rumah. Suara itu menyelinap dan memecah sisa-sisa rasa sepiku. Dan suara langkah kakinya semakin jelas terdengar, disusul suara anak kunci, dan sebuah wajah dari balik tirai. Kulihat rambutnya sudah lebat sepundak, tapi tawanya tidak berubah. Matanya tetap jernih.

Dan ketika pintu terbuka, kugendong dia. "Walid datang," ulangnya lagi. Kakinya lincah bergerak ke sana-kemari, seperti salah-tingkah. Mataku menjadi berkaca-kaca, dan aku pun ikut salah-tingkah. Rupanya benar kata istri temanku yang berkata "siap-siap saja kalau anakmu agak bersikap aneh saat kepulanganmu ini."

Dan sambil kuangkat barang-barang, tangannya terus berupaya menggelayut ke lenganku. Bola matanya yang coklat seperti berputar-putar melihatku dan pada tiga buah tas yang kubawa. Selang beberapa menit, seperti mudah ditebak, kalimat itu akhirnya keluar juga dari anakku, Aida, "Ayo, Lid, dimana oleh-oleh untuk Aida.." ***

47 comments:

haris fauzi said...

rabindranath tagore : tukang kebun
albert camus : mati dalam jiwa
bener ga ?
btw, welcome back my friend, to the show that never end...

Nabiha Shahab said...

Welkam baaaack... wahahaha ternyata tadi tuh gue ketemu lo baru banget dateng neh... masih pres? hehehe... welcome back to the overly polluted city... pasti kangen juga dengan suara bajay... tukang ojek yang ngga bosen-bosennye negorin... jek ojek ojek... :-D
London, kata Jonathan itu adalah "comfortable old shoe" - nah kalau buat gue itu hanya predikat yang cocok buat good ol' Jakarta... nyamanlah walaupun panas, berdebu, bikin bengek... :-P
Buat elo itu mungkin kota Malang yah?

syaifuddin sayuti said...

pantas gak pernah beredar, rupanya ke london tho.
oleh2nya mannna?

ienas Tsuroiya said...

..jadi oleh2nya apa nih buat Aida?hehehee..mau tahu aja nih:))

purwanti setia said...

mana nih oleh-olehnya :))

Julie Utami said...

Selamat datang kembali dan menghirup wnagi Jakarta yang "tujuh rupa". Iki tah akhire oleh-olehe Kera Ngalam? Ditunggu terusane Sam.Suwun.

krisna diantha said...

dapat cewek london gak? kan banyak keturunan india, idolamu dulu :-)

ika ardina said...

Bukan Bi... :D hehehehe... Kalo ada gue dan Aida...:))

helen lumban gaol said...

wah affan,aku senang mi kuah yang kau temukan di Elephant and Castle itu ternyata begitu berkesan. Aku tadinya ragu membawamu ke daerah kumuhnya London, yang 10 tahun belakangan jadi daerah tempat tinggalku.

Affan Alkaff said...

Betul Ris, itu kubaca dari buku Tagore yang berjudul "tukang kebun". Saya suka sekali puisi itu. Dan kutipan dari Albert Camus itu, aku lupa mengutip dari bukunya yang mana, karena seperti begitu mengendap pada diriku. Mungkin dari buku risalahnya saat dia masih belia itu, "mati dalam jiwa".

Dan soal kedatanganku, dan ucapanmu itu, kawan, kuucapkan terima kasih...

Affan Alkaff said...

Terima kasih Ebi...Persisnya aku datang sudah 2 pekan lalu, tapi baru sempat menuliskan kisahnya sekarang. Jadi, saat ketemu Ebi Senin pagi, itu aku sudah kembali "ke dunia nyata": macet, hawa panas, polusi dll. Dan memang, situasi seperti itu terkadang bikin kangen, saat lama meninggalkannya...

Ebi, konsep pulangku sekarang lebih ke Jakarta, ketimbang ke kota Malang. Tapi tetap saja, di saat tertentu (saat ramadhan, atau lebaran, misalnya), kota masa kecilku itu selalu memanggilku.. agar anak hilang ini sudi berziarah ke akarnya...

Affan Alkaff said...

betul Din, dan maaf baru sekarang baru bisa menyapa... Tunggu oleh-olehku berikutnya ya, Din :-)

Affan Alkaff said...

Halo Nas! Yang jelas, pertanyaan kedua Aida itu adalah, "Mana oleh-oleh permen bulat yang gepeng itu" serta "boneka kucing"...ha,ha,ha...

Affan Alkaff said...

Pur, oleh-oleh untukmu nanti ya, kisah tentang warga Inggris yang sebagian keranjingan sepakbola... :)

Affan Alkaff said...

Iya mbak, dari pengalaman ini, saya lantas berpikir, saya sepertinya sudah berakar di Jakarta. Dua atau tiga hari setelah pulang, saya sengaja berpanas-panas, biar berkeringat, dan menghirup wewangian "tujuh rupa" itu... ha, ha.. senang rasanya setelah sempat membeku di London...

Affan Alkaff said...

nggak ada yang tertarik, Kris.. Soalnya aku dikira anak kecil, setelah melihat perawakanku ..ha,ha....

Affan Alkaff said...

Betul Helen, mie restoran China di Elephant and Castle dekat rumahmu itu, sungguh luar biasa nikmatnya.... Selama tinggal di kotamu itu, saya lebih sering ke restoran Cina. Sisanya, tentu saja, ke Kentucky (mereka jual ayam goreng yang meresap dan kentang gorengnya yang jumbo) atau Nando's (pedasnya itu yang lumayan sebagai obat rindu masakan Indonesia)...

purwanti setia said...

temenan lho. aku masukin ke buletin arema iku. mas affan sempat lihat di anfield atau emirates gak kemarin? Sip lah the reds melaju he he

Affan Alkaff said...

Ya Pur, tunggu ya. Saat di sana, ingin sekali nonton ke Emirates atau Stamford Bridge. Tapi mahalnya minta ampun, Pur, setidaknya untuk ukuran aku. Kata seorang teman, untuk pertandingan seperti klub-klub MU, Chelsea, Arsenal tiketnya bisa sampai 100 poundsterling! -- utamanya kalau beli mendadak di hari H. Tapi aku sempatkan mampir ke Stamford, lihat-lihat stadion itu....

boru martombak said...

wah...akhirnya ada juga nih dongeng na :)) .... seru yah..tp lebih seru teriakan aida :" walid datang" ya mas hehehehe

krisna diantha said...

KKO = kecil kecil ok

Muthz ' said...

wah..jadi bahan buat di jerman neh mas..takut homesick neh..

Affan Alkaff said...

Ya, Ron, klimaksnya saat bertemu anakku itu. Rasanya lega, walau setelah pertemuan itu, ujung-ujungnya dia langsung "menagih" oleh-olehnya... :)

Affan Alkaff said...

Aku baru sadar, Muth, ternyata aku "homesick" kemarin itu. Istilahmu pas sekali! Mungkin seperti itu ya perjalanan jauh dan lama tanpa ditemani anak dan istri. Dan soal rencanamu ke Jerman, tentu, kutunggu pula kisah-kisah selanjutnya. Sukses ya!

krisna diantha said...

menarik rek kisahnya, tapi gak ada romantisnya, cari cewek dong........sekadar ngobrol gitu loh, ntar aku ajari deh

Affan Alkaff said...

ha,ha,ha... kawanku Krisna ini dari dulu tak berubah... :)

Indah Lestari said...

Tulisan yg menarik, padahal ceritanya sederhana, tetapi karena gaya tulisan anda, jadi menyentuh dan spt membawa pembaca ke situasi sebenarnya. Salam kenal ya Pak Affan, aku teman Ika di beberapa milis, wah pasti Aida sudah kangen banget :)

Affan Alkaff said...

terima kasih Indah, dan salam kenal pula...

Yiyik K said...

Welcome back, Fan! Seneng ya sdh ngumpul lagi dg keluarga. Memang lain rasanya antara bepergian sendiri & dg anak-istri. Kalo dg keluarga biasanya tempat baru itu lbh gampang dinikmati.. eh, tapi itu kalo aku lho... :)

Affan Alkaff said...

Halo Yik! Perjalanan ke London kali ini kusikapi secara mendua. Di satu sisi menarik secara jurnalistik. Tapi disisi lain, saya mesti meninggalkan 2 orang paling dekat. Ya, jadinya, kayak paradoks... Kusebut aku akhirnya harus "menikmati" perjalanan ini, tentu saja karena tidak ada pilihan lain. Tapi, percayalah Yik, aku sepakat bahwa perjalanan ini menjadi kurang nikmat tanpa keluarga... terima kasih kawan!

Hiraga Keaton said...

selamat datang kembali Cak Affan. Ditunggu posting-posting menariknya lagi. Saya kebetulan bikin rumah disini, anusapati.blogdetik.com

Affan Alkaff said...

Terima kasih, kawan Teguh.. Aku pastilah mampir ke 'rumahmu' itu, baik di anusapati.blogdetik.com atau teguhbudi.wordpress.com.. Senang bisa berkabar dengan sampeyan..

Duddy RS said...

ayo Aida, besok lusa, kerjain lagi Walid... hahaha!

Duddy RS said...

mengharukan...

Affan Alkaff said...

iya, Dud, ini judulnya saya kembali ke dunia nyata, dunia "saling ngerjain" antara bapak-anak...:)

Affan Alkaff said...

Iya, Dud, ini judulnya saya kembali ke dunia nyata, dunia "saling ngerjain" antara bapak-anak...:)

Affan Alkaff said...

Kau tentu sepakat Dud, bagaimana rasanya jauh dari anak...

aya blue said...

Selalu deh... tulisannya mas affan... aku selalu suka...
Gaya nulisnya, pemilihan katanya, semua OK....
Bikin yang baca mengawang2 dan diobrak-abrik perasaannya...

Btw.. selamat kembali... aku kira masih akhir bulan ini pulangnya hehehe...
Ditunggu cerita lainnya yaa... Salam untuk aida...

Affan Alkaff said...

makasih Aya, dan salam disampaikan...

Feronika Marsella said...

Hai Pak Affan, aku Fero...
Pak Affan suka sama club Chelsea ya?
stadionnya kayak gimana, nih? soalnya aku nge-fans berat sama club bawahan Roman Abramovich itu...
tentunya, aku juga suka sama kota London
pingin banget kesana, tapi belom kesampaian... haha...
enak juga, ya jadi jurnalistik... bisa pergi kemana-mana
please... ceritain lagi dong perjalanan ke Londonnya...

Affan Alkaff said...

Halo Fero, salam kenal ya..
Klub Chelsea? Heem.. Saya dulu 'dipaksa' menyukai Chelsea, karena enam tahun lalu seorang teman memberi kaosnya -- lengkap dengan nama pemain bernama Zola, asal Italia. Setiap memakainya, ada rasa ingin tahu banyak tentang klub ini, apalagi klub itu pelan-pelan naik peringkat atas. Rasa itu kemudian mengental, setelah Abramovich memborong pemain top. Banyak bintang di sana, yang artinya bikin penasaran untuk menontonnya. Tapi, di sisi lain, tetap saja tak ada fanatisme di dalam perasaan itu. Biasa-biasa saja -- apalagi kita tahu permainan Chelsea kurang menyerang (saya penikmat permainan indah, ketimbang urusan nama sebuah klub)...
Maret silam, saya sempat ke Stamford Bridge, tapi terlalu pagi dan hujan, sehingga tak masuk ke dalam stadionnya. Jadilah saya cuma berjalan-jalan di areal stadion itu. Yang kuingat, ada sejumlah poster pemain top Chelsea -- termasuk Zola -- dipajang di tembok-tembok luar stadion (nanti kusisipkan fotonya, pada tulisan yang kubuat menyusul)...
Fero, apapun, terima kasih atas apresiasinya... Salam

Muthz ' said...

adohhhh mas...baca kebetulan baca tulisan ini lagi, jadi ingat kampung halaman hahahha..walupun kadang pusing sama macetnya jakarta ternyata macet dan makan 300 perak di warteg adohh..bikin kangen

Affan Alkaff said...

.. saya lantas membayangkan, teman-teman kita yang puluhan tahun yang merantau di negeri orang: bagaimana perasaan mereka di saat mendengar lagu-lagu ciptaan Ismail Marzuki, yang bercerita tentang 'tanah air'.....

dita maulina said...

Mungkin harus Aida sama Mamanya harus dibawa juga, kalau pergi ke sana lagi. Biar gak kerasa sepi...:))

Affan Alkaff said...

Iya, Dit, tempo hari, kita sudah berencana untuk berangkat. Tapi karena berbagai alasan, akhirnya nggak jadi. Jadilah kita realistis.. :)

halira setiawan said...

Halo pak affan ak ina br bgt bca crtnya ok lho... inspiring bt ak...tak tggu crt selanjutnya yach..salam kenal

Affan Alkaff said...

Terima kasih Ina... dan salam kenal...