May 20, 2008

Diinterogasi Polisi London...

HARI itu, Minggu pagi, 23 Maret 2008. Sebagian Kota London diguyur salju tipis -- dari jendela kamarku, terlihat atap gereja ortodoks terlihat memutih. Ada rasa malas beranjak dari tempat tidur, apalagi malamnya aku terbangun beberapa kali, karena dingin yang menusuk -- walau pemanas ruangan sudah kutinggikan, tapi tetap dingin!
Tapi aku akhirnya memilih bangun segera. Hari itu aku masuk sore, sehingga ada luang waktu untuk menikmati jalan-jalan kota London. Dan pukul 10 pagi, aku sudah di atas tube (kereta bawah) menuju stasiun Holborn -- kira-kira 20 menit dari stasiun dekat rumahku, Queensway. Tujuanku saat itu adalah British Museum (ini kunjungan kedua).
Setelah puas keliling sebagian museum, sekitar pukul 12.15 siang waktu setempat, aku meninggalkan tempat itu. Udara masih beku. Kugunakan syal dan topi, dan aku pun melangkah ke Jalan New Oxford, yang lokasinya tak jauh dari museum. Di sepanjang jalan itu sampai ujung Jalan Oxford, banyak berdiri toko yang menjual aneka sandang.
Saya rasanya tak juga bosan-bosan menapaki trotoarnya, untuk sekedar cuci mata. Terasa lapar, aku makan siang pada sebuah restoran yang menjual masakan Cina (namanya Wok in Box) , dengan harga 5, 50 pound, tetapi rasanya kurang enak -- tidak habis, tinggal separoh.
Setelah sempat masuk toko buku dan masuk ke sebuah taman di kawasan Soho, aku memilih balik ke arah Stasiun Holborn. Waktu menunjukkan pukul 13 siang. Dua jam lagi aku harus masuk kerja -- tidak jauh dari stasiun itu, berdiri kantorku, yang terletak di pertigaan Jalan Kingsway dan Jalan Aldwiych.


Di dalam perjalanan itulah, aku mengeluarkan kembali kamera saku. Ini memang kegiatan yang mirip hobi ("seperti melukis," kataku dalam hati). Setidaknya hingga siang itu, aku sudah mengabadikan lebih dari 20 obyek. Kali ini yang kuambil gambarnya antara lain sejumlah bangunan, suasana keramaian dekat stasiun Totenham Court Road, beberapa mobil berwarna yang diparkir, orang lanjut usia yang menunggu di halte, serta dua orang polisi yang tengah bertugas -- yang terakhir ini, aku sebetulnya aku ragu untuk memotretnya, tapi toh kulakukan.
Menjelang perempatan Jalan New Oxford Street dan Kingsway, aku memotret lagi sebuah kafe -- yang kuanggap unik eksteriornya. Dingin masih terasa menusuk. Tapi kondisi itu tak mematahkan semangat mengabadikan berbagai situs -- terakhir saat itu aku memotret tulisan Stasiun Holborn dan bus tingkat merah yang tengah berhenti...
Di sinilah, tiba-tiba muncul dua orang polisi berseragam warna hitam, dengan topi mirip helm -- khas polisi Inggris. Perawakan dua orang lelaki ini tinggi-besar. Rupanya, mereka adalah polisi yang kupotret beberapa menit lalu.
"Maaf," kata salah-seorang polisi, membuka pembicaraan, "Kami mau minta informasi kepada Anda, terkait isu terorisme, dan kebetulan Anda yang kami jumpai..."
Saya tidak panik, karena kupikir tak ada yang salah pada diri saya, dan lagipula mereka begitu sopan.
Mengapa Anda tadi memotret berbagai gedung, dan apa tujuannya?”
Saya jawab, kegiatan memotret itu lebih sebagai hobi. Kuperhatikan polisi kemudian mencatat jawabanku, dengan sebuah pensil. “Dan bangunan-bangunan di sini, menarik buat saya...”
Saya mencoba tersenyum ramah, setiap selesai menjawab pertanyaan, tapi mereka sepertinya serius.
Anda berasal dari mana?”
Kujawab “Indonesia”, seraya kukeluarkan paspor dari tas pinggangku. Polisi itu lantas membuka pasporku. Setiap halaman dibuka.
Disaksikan temannya di sebelahnya, polisi itu juga menanyakan nama lengkap, termasuk nama keluarga. (Aku sempat khawatir perihal fam keluargaku “Alkaff”, di mana kemudian aku berpikir ke belakang setelah kejadian 11 September 2001, teringat kisah warga negara Indonesia yang namanya ke-arab-an, sulit mendapatkan visa ke Amerika Serikat...).
Kuperhatikan secara seksama bagaimana paras dua orang polisi itu, juga kalimat yang mungkin muncul dari mulut mereka, setelah kusebut nama keluargaku...
Yang kudapat, justru angin dingin yang menusuk, membuat tangan dan kakiku bergerak-gerak. Saya tidak tahu apa yang ada di benak aparat polisi London itu, melihat gerak-gerik tubuhku.
Kau kedinginan? Sudah pakai baju rangkap?”
Saya lega mendengar pertanyaan itu. Mereka justru bereaksi atas bahasa tubuhku, ketimbang latar belakang identitasku. Dengan cekatan, seraya menyungging senyum, kutunjukkan baju rangkap tigaku.
Dari beberapa pertanyaan, hanya satu pertanyaan yang tak bisa kujawab: nomor rumah tempatku menginap serta kode posnya. “Tak masalah,” begitu polisi itu menjawab ketidaktahuanku. Tapi mereka tetap mencatat.
Ketika kukatakan aku berasal dari Indonesia, dan datang ke London dalam rangka kerja, seraya kusebutkan di mana tempatku bekerja, mereka bilang "kamu beruntung bisa kerja di sana."
Dan ditanya, kamu sedang apa di sini, Aku menjawab: jalan-jalan dan sekalian mau berangkat kerja. "Itu kantorku," kataku menunjuk bangunan di ujung jalan. Mereka mencatat lagi.
Tapi ketika pertanyaan menjurus umur, dan kujawab apa adanya, mereka sepertinya kurang percaya. "Apakah betul umurmu?"
Mata polisi sepertinya menyelidik, melihat sekujur tubuhku.
"Ya, umurku memang segitu," kataku agak masygul, dengan tetap memelihara senyum.
Dua orang polisi kemudian bercakap-cakap pelan. Aku tidak bisa mendengarnya. “Apakah betul ini umurmu?” Kali ini mereka memelototi tanggal kelahiran di dalam pasporku. Saya tidak kesal, namun pikiranku menebak-nebak, jangan-jangan polisi ini curiga pasporku palsu!
Seingatku, mereka bertanya perihal umur sampai tiga kali! Setelah pertanyaan ketiga, mereka pun bergantian memandangi sebagian kepalaku yang sudah ditumbuhi rambut warna keperakan. Polisi itu lalu saling lihat...
(Belakangan, aku mulai sadar kenapa polisi itu berulang-ulang menanyakan umurku. Dan aku menemukan jawabannya, setelah mendengar pengalaman temanku yang lama tinggal di London. Barangkali ini mirip seperti yang kualami. Suatu hari, temanku yang perawakannya kecil datang ke rumah sakit. Sang dokter terheran-heran saat temanku itu berkata umurnya sudah mendekati 40 tahun. Si dokter mengira dia masih berumur 20 tahunan..).
Terakhir, setelah puas bertanya, polisi itu berkata, "apakah Anda mau membawa copy catatan ini?”
Kujawab “ya”.
Salinan kertas ukuran 10 sentimeter kali 15 sentimeter itu pun berpindah ke tanganku.
"Silakan melanjutkan perjalanan, terima kasih... Anda orang yang baik."
Aku lega mendengarnya. Kulipat segera kertas salinan itu. Kita lalu berpisah baik-baik. Tapi sebelumnya, aku iseng menawar untuk foto bersama...
(saya jadi ingat, di zaman mahasiswa, tahun 1993, pada sebuah acara pendidikan pers mahasiswa, saya sebagai panitia pernah melakukan hal yang sama: mengajak foto seorang petugas Babinsa yang ditugasi memantau aktivitas kami. Dan berbeda dengan polisi Inggris yang menolak ajakan itu, Babinsa yang mengenakan kemeja dinas warna hijau itu bersedia kami ajak foto bersama – foto itu kusimpan, dan aku selalu tertawa setiap melihatnya) .
Seraya memasukkan lagi tangan pada saku jaket, aku lantas berjalan pelan menuju kantor. Ada perasaan kosong. Ada sedikit ketakutan, tapi ada pula pikiran lain yang menjawab rasa takut itu dengan kalimat “bukankah polisi itu tadi mengatakan kau lelaki yang baik”.
Kurang dari sepuluh menit, aku sampai di kantor. Ada waktu setengah jam sebelum masuk kerja. Tapi perasaan kosong itu terus membuntuti. Di kantin kantor, aku pesan segelas kopi hangat, dan memilih duduk di depan televisi – ada pertandingan Liga Utama Inggris, Manchester United lawan Liverpool, dengan kedudukan 3-0. Saya coba pindahkan pikiran ke pertandingan itu, tapi toh kubuka lagi kertas salinan polisi itu, dengan sedikit gemetar.
Pada kertas salinan itu, kulihat ada beberapa catatan. Di bagian atas, ada tulisan Metropolitan Police Service. Dan di bawahnya, ada tulisan Family Name, First Name, Sex, Age, yang harus di isi. Kemudian ada beberapa lagi, yang tak kupahami: IC code (ditulis angka 4), SDE Code: 09. Kemudian ada kolom yang sepertinya merujuk pada ciri khas tubuh, seperti berat badan.
Lantas, di bawahnya lagi ada beberapa kata yang harus diisi: alamat tempat tinggalku di London, dan apakah aku mengendarai sesuatu. Ada pula tulisan Stop and Account, yang mana polisi memberi tanda pada kolom Presence in area...
Sementara pada baris di bawahnya, ada tulisan Search Grounds. Pada baris itu, polisi itu menulis dengan pensil: *S.44 TERRORISM.. Disampingnya, ada tulisan lain .... (aku sulit membacanya) with camera.. Di bawahnya lagi, dia menulis lagi: * Photos of prominence and buildings...
Di baris ke enam, waktu dan tanggal kejadian, berikut lokasinya. Ada lagi tulisan yang sepertinya kode. Di baris berikutnya, polisi itu memberi tanda pada kotak yang isinya "saya tidak ditahan, dan hanya ditanya serta diberhentikan sementara".
Juga disebutkan saya cuma "seorang diri". Akhirnya, di ujung kanan kertas itu tertera nama petugas polisi itu. Namanya Luke, berikut kode dia... ***






No comments: