May 4, 2008

Tak ada fanatisme di Stamford Bridge... (2)




SOROT mata orang-orang itu, kurasakan, tersedot pada kaos warna biru yang kukenakan. Semula aku menganggapnya semacam apresiasi atas atribut yang tertera pada kaosku. Tapi, lama-kelamaan, tatapan itu kurasakan tidak wajar. Aku akhirnya sadar. Seraya melirik rekan kerjaku, Anton Alifandi, yang ada di sebelahku, saat antri makan siang di kantin milik kantorku (di London), aku bertanya lirih kepadanya, "saya salah kostum ya?"

Saya lupa apa jawaban Anton kala itu. Namun kejadian di atas, yang berlangsung empat tahun silam, dampaknya kurasakan sampai aku kembali mengunjungi kota London, Maret lalu. Saya tidak pernah lagi mengenakan kaos itu sembarangan di sudut-sudut London. Kaos yang kukenakan itu memang berwarna biru, namun di bagian dada sebelah kanan ada tulisan "Chelsea Football Club" dan di belakangnya tertera tulisan "Zola"...

Rupanya, di sebuah negara yang dikenal masyarakatnya tergila-gila kepada permainan sepakbola, mengenakan kaos beratribut sebuah klub sepakbola (peserta liga utama Inggris) di tempat umum, dalam skala tertentu bisa dikategorikan sebagai sebuah peristiwa sensitif. "Kalau urusan siapa mendukung klub apa, itu jadi isu sensitif di sini, Fan," seloroh temanku di London, Maret silam.

Ada benarnya juga pendapat temanku itu. Seperti diketahui, di London, sedikitnya ada tiga klub liga utama Inggris, yang sekarang bertengger di puncak klasemen. Selain Chelsea, ada Arsenal dan Tottenham Hotspur. Klub-klub ini, sudah menjadi rahasia umum, punya pendukung yang fanatik. Mereka inilah yang rajin datang ke stadion untuk memberi dukungan kepada klub kesayangannya.

Saya lantas teringat sebuah artikel yang kubaca pada tahun 80-an -- saat itu saya sudah tergila-gila pada olahraga ini. Isi artikel itu menyorot tentang sepak-terjang sepakbola di Inggris, berikut kegilaan yang mengiringi para pendukungnya. Bahkan, demikian isi laporan itu, seorang jurnalis olahraga di kota London mengisi kolom "agama" -- pada sebuah dokumen -- dengan tulisan "sepakbola".

Saat itu, saat saya masih mengenakan celana pendek, begitu terheran-heran membaca artikel tersebut. Tapi, pengalamanku di London mengenakan kaos Chelsea, dan kemudian ditatap dengan mata penuh curiga oleh orang-orang di sana, itu tadi, makin membuatku sadar: Inggris memang negeri fanatik sepakbola!

***

"KAU mau kaos Chelsea atau Arsenal?" teman kantorku, sekitar tahun 2002, menawari sebuah pemberian saat dia pulang ke London. Saya tentu senang luar biasa mendengarnya. Tapi ditanya begitu, aku seperti biasa bilang "terserah kau, apapun aku suka." Kawanku itu, Yoko, akhirnya memilih membeli kaos Chelsea, tapi bukan dilatari motivasi fanatisme. "Kebetulan toko yang menjual kaos itu (Chelsea) tak begitu jauh dari rumahku," jelas Yoko.

Kaos pemberian temanku itu, akhirnya kukenakan, dan awalnya nyaris tanpa fanatisme -- saya, misalnya, tak mengetahui semua pemain Chelsea, saat itu. Tapi, percayalah, aku merawat kaos pemberian itu sepenuh hati, barangkali "karena harganya yang mahal" serta semacam dilatari faktor "gengsi" -- di belakang kaos itu tertera Zola, pemain nasional Italia (saat itu) serta ujung tombak The Blues. Ada semacam kebanggaan pula (dan mudah-mudahan bukan pamer), bisa mengenakan kaos itu kemana-mana..

Namun setelah sekian lama mengenakan kaos itu, ada perasaan aneh yang timbul pada diriku -- semacam bermantera! Perasaan ini yang semula cair kemudian mengental, dan menjelma rasa ingin tahu lebih banyak tentang klub Chelsea. Semangat ini tentu tidak berdiri sendiri, seingatku. Penyebabnya, di saat yang sama, klub itu kemudian mendatangkan banyak pemain top, setelah seorang milyuner Rusia (Abramovich) membelinya. "Banyak bertabur bintang di sana, yang artinya makin membuat saya penasaran untuk selalu menonton mereka bermain," jawabku, saat seorang teman bertanya, apakah aku pengagum Chelsea.

Tapi, tetap saja tak ada fanatisme di dalam perasaan itu. "Biasa-biasa saja," kataku lagi. Namun jujurkah aku? Barangkali fanatisme itu ada, namun takarannya yang berbeda? Menjawab pertanyaan ini, saya biasanya memberikan penjelasan seperti ini: Saya tidak sepenuhnya sedih disaat Chelsea kalah dalam sebuah pertandingan, atau saya bisa menerima alibi seorang kawan yang mengatakan "permainan Chelsea membosankan, lantaran cenderung bertahan"..

***

DI SEBUAH pagi yang bergerimis, dan dingin, pada hari Minggu, 16 Maret lalu, aku akhirnya mendatangi stadion milik klub Chelsea, Stamford Bridge. Semula mencoba jalan kaki, namun hanya sampai sekitar stasiun Gloucester Road. Dari sana, aku naik tube ke arah stasiun Fulham Broadway. Berjalan kaki sebentar, akhirnya terlihat stadion yang menurutku "tidak semegah yang kubayangkan semula." Gerimis masih mengguyur di sekitar stadion saat jam tanganku menunjuk pukul 10 pagi.

Bertemu seorang penggemar Chelsea, yang mengenakan kostim biru, dan sejumlah lelaki. Mereka berteduh di sisi samping stadion yang masih tutup, di dekat toko yang menjual aneka cindera mata terkait klub itu. Di tembok stadion, ada tertera tulisan yang isinya menjelaskan ada tur jalan-jalan ke dalam stadion. Saya tidak tertarik -- lagipula acara itu dibuka tidak setiap hari, dan harus bayar. (Jadilah saya cuma berjalan-jalan di areal stadion itu. Yang kuingat, ada sejumlah poster pemain top Chelsea -- termasuk Zola -- dipajang di tembok-tembok luar stadion). Saya akhirnya meninggalkan stadion, dan tak kurasakan darah adrenalinku naik-turun. Biasa saja...

***

FANATISME pada akhirnya harus luruh pada sikapku yang selalu mengambang. Dan ini tidak hanya bicara klub Chelsea. Sebagai penggemar sepakbola, dan dibesarkan di kota Malang, wajar saja bila ada yang bertanya "apakah aku penggemar klub Arema, asal kota Malang itu." Pertanyaan ini sempat dimunculkan Yusuf Bachtiar, kawanku, yang juga pembuat filem dokumenter tentang suporter sepakbola -- dia telah mendokumentasi sepak-terjang suporter Persija Jakarta (dan mendapat penghargaan bergengsi dari sebuah festival di Jerman) serta fanatisme suporter Arema.

Kujawab: Tidak sepenuhnya! "Saat Arema kalah, misalnya, aku tak sepenuhnya meratap," kataku. Tapi sejak awal, begitu jawabku menjawab pertanyaan Yusuf, cara pandangku melihat pertandingan sepak bola tak sepenuhnya diwarnai fanatisme. Saya terkadang datang ke stadion juga, namun tidak ada pemihakan seratus persen. "Memang ada dag-dig-dug saat tim kita kalah, sementara waktu tinggal 5 menit, misalnya. Tapi tidak lebih dari itu..."

Barangkali, demikian jawabanku, aku lebih tepat disebut sebagai 'penikmat' sebuah pertandingan, walaupun kadar pemihakan itu tetap ada -- saya justru agak melankoli apabila tim mapan dengan tradisi sepakbolanya yang panjang, kalah dan tersisih (saya akhirnya tak menonton final Piala Eropa tahun 2004, saat tim Yunani, yang penampilannya sangat membosankan, melaju ke final).

Saya lantas teringat seorang kolumnis Inggris yang selalu mendua saat menonton pertandingan sepakbola yang menghadirkan dua tim dengan tipe menyerang: di satu sisi dia ingin pertandingan itu berjalan terus, namun dia juga ingin pertandingan itu segera berakhir. "Saya mungkin seperti itu," kataku.

Tentu, aku masih mendukung sebuah kompetisi sepakbola (walau tanpa fanatisme), kendati rusuh antar suporter selalu terulang. Saya tak memilih sikap ekstrim, misalnya, dengan membubarkan sebuah kompetisi (Ide 'anti kompetisi' pernah bergulir sesaat setelah tragedi Heysel, tahun 80-an, yang menewaskan puluhan suporter Juventus dan Liverpool, dalam final Piala Champions). "Bayangkan, apa jadinya dunia tanpa piala dunia, tanpa final Liga Champions!" ***



38 comments:

OKNO BAZOKE said...

ahhahahaa....thank...postingan bagus nih....bisa bagi cerita
fanatisme emang ada di setiap manusia....dan saya sedang belajar mengetahui fanatisme dan dampaknya ini lho belum nyambung. Kebetulan saya lagi mau aktif di grup psikologi di MP ini.
Thanks ya brow

DeNy RoBy said...

apik tenan sam...\
iku salah satu impianku iso nang Stamford Bridge, aku ngefans banget karo chelsea...
apik tenan sam...
malas utas awij.....

Affan Alkaff said...

terima kasih.. Saya juga selalu menanyakan fanatisme, tak terkecuali menanyakan seperti apa fanatisme pada diri saya, dan terhadap apa...

Affan Alkaff said...

.. salam Arema kawan Deny, dan terima kasih... Yuk, kapan kita ke Stamford Bridge.. ha, ha,ha.. Tapi sejujurnya, saya justru ingin tahu stadion Gajayana (di Kota Malang) yang dibongkar itu, sekalian bernostalgia melihat masa lalu stadion itu dulu, sebelum dibongkar... Dulu sering bermain bola di stadion itu, juga di lapangan bertingkat di sampingnya...

rahman AbduRahman said...

seru juga ya ternyata.. tapi ga sampai ditonjokin ama fans arsenal kan bang? coba deh pakai kostum jakmania di bandung.. dijamin pulang udah bengep2 di tonjokin the viking..atau sebaliknya..hehehe

Affan Alkaff said...

ha, ha.. betul Rahman. Saya jadi ingat, dulu saat liputan tentang sepakbola Indonesia, aku beli gantungan kunci di tempat poskonya The Viking, di Bandung. Dan sampai jakarta, benda itu kusimpan hati-hati, dan tidak kutonjolkan... Takut kepergok pendukung Persija! Memang susah menghadapi suporter yang seperti itu... tapi percayalah Man, walau aku disebut sebagai 'Arema' atau apalah, aku nggak segarang seperti sebagian suporternya... ha,ha,ha..

a alifandi said...

Semakin tua, semakin luntur emosi saya soal sepakbola. Seperti Affan juga, yg paling penting tim itu enak ditonton. Oleh krn itu saya suka nonton Arsenal dan Man Yoo main. Scr bathin sebetulnya saya merasa dekat dg Liverpool tp cara Benitez memasang pemain bikin saya kesal. Betul itu kata Valdano tahun lalu soal Liverpool dan Chelsea.

http://www.guardian.co.uk/football/2008/apr/30/chelsea.liverpool2

Intinya, Liverpool dan Chelsea mainnya kaya t***. Hanya krn pendukungnya terlalu fanatik, sejelek apapun suguhan mereka, masih dianggap benda seni:)

Affan Alkaff said...

Betul cak Anton, umur dalam banyak hal meluruhkan rasa emosional, termasuk dalam melihat sepakbola, walau terkadang rasa itu terkadang muncul tak terduga. Dulu, tahun 80-an, saya pernah begitu mengagumi tim nasional Jerman (Barat), di saat TVRI menyiarkan (siaran tunda) liga Jerman. Rasa kagum itu muncul dari kenal para pemainnya -- ada Rummenigge, Kaltz, Magath, dan bahkan Keegan (yang disewa Hamburg SV). Seingatku, aku saat itu belum terpikir melihat lebih jauh gaya permainannya. Namun toh lama-kelamaan rasa itu luntur, setelah liga itu tak ditayangkan lagi. Kemudian muncul tv swasta, dan liga Inggris atau Italia pun dikenalkan. Rasa emosional itu pun berpindah.. Saya jadi ingat, saya masih simpan poster MU (tahun 80-an), dengan pemainnya seperti Bryan Robson, Norman Whiteside atau Paul Parker... Dan sekarang, kebutuhan untuk menonton liga Inggris, tak lagi dirasakan secara menggebu. Mungkin sudah terbiasa setelah tayangannya dikurangi. Mungkin pula lantaran usia bertambah (tak kuat lagi begadang sampai malam), serta faktor keluarga. Kecuali untuk momen piala dunia, piala eropa (yang wajib nonton), atau babak final Champions Eropa, saya relakan tidur ketimbang menunggu hingga larut malam....

purwanti setia said...

kalau Arema kalah, aku gak bisa berkata apa-apa, nanar deh. Pulang ke rumah rasanya melayang, Sedih menyayat-yayat, apalagi kalau kalah di kandang sendiri untuk pertama kalinya ketika menjamu persipura liga kemarin. Aku gak tau apakah aku fanatik, yang pasti kadar fanatikku lebih besar daripada kadar mas affan he he. beda sekali ketika liverpool kalah dengan chelse di LC kemarin. Sedih tapi tidak sesedih kala Arema kalah. Liverpool ada di hatiku, tapi tidak sedalam Arema. Begitu MAs Affan soal fanatik itu, mungkin karena aku mengikuti Arema sejak awal dan aku Arek Malang

elok dyah said...

Wah akhire ke kandang Chelsea toh?

elok dyah said...

Wow, kapan ya aku bisa nonton bola langsung di UK?

ferra freeman said...

jauh-jauh ke london kok yg di foto'in malah poster pemain bola..he..he..he (namanya juga fanatik ya fan...fair enough dech:D..)

Affan Alkaff said...

Pur, seingatku saya juga berada di Malang, tatkala Arema 'diproklamasikan'.. Saya ingat ada klub 'Armada' yang disebut-sebut sebagai cikal bakal Arema. Saya teringat pula ada pemain lokal seperti Singgih Pitono, dan satu lagi nama pemain asal Papua (yang perawakannya kecil itu) -- ah, lupa namanya.. Dulu juga nonton ke stadion beberapa kali, kalau Arema main. Aku lupa persisnya, mungkin semuanya itu berubah saat beranjak kuliah dan menemukan dunia baru di pers mahasiswa. Barangkali juga lantaran atmosfir liga Indonesia saat itu masih belum hidup seperti sekarang -- ada istilah yang lazim saat itu "saya lebih kenal pemain liga di eropa ketimbang lokal". Mungkin juga di jamanku itu, masih peralihan dari liga amatir (perserikatan) ke liga profesional. Itulah sebabnya, saya lebih ingat pemain-pemain Persema (tahun 80-an) yang sebagian besar dari klub Gajayana (aku dulu ikut klub itu, untuk divisi remajanya), seperti: Parman (kipernya), libero Sutrisno (orang Kepanjen), Hartono (gelandang), Mariyanto (sayap, yang pernah ditarik PSSI Garuda) dll... ha, ha.. Pur, aku jadi nostalgia nih...

Affan Alkaff said...

iya Lok..

Affan Alkaff said...

.. Elok, aku sendiri baru sekali, tapi itu bukan pertandingan Liga Inggris. Namun Piala UEFA, antara klub Fulham lawan Herta Berlin, tahun 2002... lumayan seru! :)

Affan Alkaff said...

he,he.. betul Fer!

purwanti setia said...

miky tata ta mas, si raja mabuk, pemain papua itu? he he gantinya sudah ada, alex pulalo. zaman galatama dan perserikatan ayas masih SMA, tapi waktu itu ayas sudah kesengsem dengan arema. gak tahu ya, mungkin karena namanya arek malang. Persema sempat beberapa kali lihat, namun hanya partai-partai besar saja. galatama kan sudah profesional mas, sayangnya akhirnya dimatikan, PSSi kayaknya waktu itu gak siap jadi profesional kayaknya he he

Affan Alkaff said...

ha,ha... ya saya baru ingat sekarang: miky tata, "si raja mabuk" ! Kemana orang itu sekarang, Pur?

purwanti setia said...

di malang saja miky tata. kabarnya, anaknya juga pemain bola. dulu anak2 persma kerap ketemu miky tata di pojok toko avia he he. ingat gak mas, mendhem mendhem

Affan Alkaff said...

saya sudah lupa, Pur, tapi yang selalu terngiang kesukaan Miky suka minum itu... :)

krisna diantha said...

liat cewek dong, liat bola malahan

Affan Alkaff said...

.. kalau lihat cewek sih sering, Kris...

Feronika Marsella said...

Gile..!! sayang ya, gak bisa ketemu langsung sama Terry dkk. aku pengen banget nih nonton pertandingan Chelsea di Stamford Bridge. mungkin 10 taun lagi aQ baru bisa ke London 'n nonton pertandingan Chelsea (tapi mungkin saat itu Lampard dkk udah gantung sepatu kali, ya! T_T)

Affan Alkaff said...

Fero, sepuluh tahun lagi semoga keinginanmu itu tercapai... dan nanti itu aku yakin akan ada pemain seperti Lampard... :)

restu dewi said...

walah aku tuwas gr..tak pikir kaosan biru kaos-e arema mas....biar nggak menimbulkan saling iri..kapan2 pake kaos arema ae wis...hee...heee

Affan Alkaff said...

boleh. boleh saja pakai kaos arema yang biru itu, tapi jangan dipakai keluyuran di stadion Tambaksari Surabaya... :)

restu dewi said...

laiyo...nek nang Tambaksari kaosan Arema mengko dijak gelut karo bonek mas..

Affan Alkaff said...

.. Dari kisah soal kaos dan fanatisme ini, barangkali banyak orang, termasuk saya, perlu belajar lebih lanjut tentang psikologi massa ya.. Saya jadi ingat mendiang Agil Haji Ali, bekas manajer Tim Persebaya dan pemimpin redaksi koran Memorandum (terbit di Surabaya). Dulu, dulu sekali, di era kompetisi Perserikatan, dia sengaja mendatangi orang-orang yang disebutkan sebagai 'otaknya' pendukung Persema Malang, jelang pertandingan Persebaya lawan Persema di Stadion Gajayana (sebelum dibongkar). Upaya seperti ini, menurutnya, perlu dilakukan setidaknya untuk mengurangi kemungkinan rusuh antar dua suporter. "Kenapa tradisi seperti ini jarang dilakukan lagi?" Kata Agil, dengan nada masygul, kepada saya, dalam sebuah wawancara pada tahun 2001...

restu dewi said...

mas Affan disini kan lagi perebutan piala gubernur...entah apa jadi kalau Arema vs Persema seru..tawur sak kandang..

Affan Alkaff said...

.. saya berharap pertandingan itu berjalan seru, cantik, dan tak dinodai tawuran... Sayang energi habis hanya untuk rusuh..

hima kame said...

wis gak musim sekarang tawuran ... musimnya yo maen bola sing apik. sing nonton rame plus seru. jarno isok go internasional.

tapi sing ditunggu2 yo musim orang2 pada tahu diri. (nek ndik penjara yo mundur, nek korupsi yo mbalekno dst) ...

kapan yo?

hima kame said...

ayas sih gak begitu nge-fans sm Chelsea (meskipun jerseynya sama dgn arema, biru).
tapi nek digawakno sam affan soak'e mas Terry opo mas Lampard yo rutam nuwus.

Affan Alkaff said...

..setelah tak disibukkan tawuran, tentu dipikirkan bagaimana prestasinya bisa maju. Setuju saya. Tapi, mengkaitkan motif rusuh dengan persoalan korupsi, ya, menurutku tidak relevan. Korupsi ya harus tetap dibabat, juga kerusuhan harus pula dibabat... Bagaimana, sam?

Affan Alkaff said...

.. mudah-mudahan kalau ada rejeki, dan kalau diberi kesempatan ke markasnya Chelsea lagi ya..

hima kame said...

kalo korupsi dan kerusuhan (keruwetan) dlm sepakbola Indonesia jelas saling berhubungan sam. kondisi sekarang semua orang jenuh dgn persepakbolaan indonesia sing stagnan (mundur malah), pdhal dana sing muter untuk kompetisi jalan terus kan (dananya dr mana? mostly APBD/dana rakyat yg seharusnya buat kesehatan, pendidikan, bencana alam dll).

mending kalo dana APBD sdh dipake, terus berprestasi. ini kan nggak. aku nggak menuduh ada korupsi di dunia bola kita, cuman banyak "mubazir" yg terjadi disini.
kalo nggak ada "keuntungan" mosok pengurus yg jelas2 menyalahi peraturan induk bola dunia ngotot menjabat dibalik jeruji.

aneh. udah gitu ada yg mengkaitkan dgn ras & harga diri. demo dibales demo.
ini nggak ada hubungannya dgn ras, agama, harga diri dll sam, siapapun pengurusnya kalo amanah pasti didukung dan pasti organisasi yg dipimpinnya maju.

kalo nggak ya semakin banyak orang stress. kehidupan sehari2 makin berat, ya rusuh ujung2nya.

it's just my opinion sam

purwanti setia said...

lo sam, nang ndi ae rek kok ilang? pindah dadi fans e chelsea ta? wah gak olob ayas maneh yo hehe. suwe rek gak tau keok

agung ainul said...

Fan, gak foto pas pertandingan ??

Affan Alkaff said...

Selama sebulan di sana, aku nggak pernah nonton pertandingan liga Inggris, Gung. Alasannya, selain mahal (bisa sampai 100 pounds jika beli tiketnya pas hari H), juga persoalan waktu.. Beberapa pertandingan digelar, pas saat saya masuk kerja.. Jadilah aku cuma datang ke stadionnya saja, Gung... :)