May 21, 2008

May, filem berlatar kerusuhan '98...

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Drama
SEPULUH tahun setelah kerusuhan itu, yang menyisakan kehilangan, nestapa, dan luka, keluarga itu digambarkan bertemu kembali. Suasana gembira dihadirkan melalui senyum empat orang di dalam ruangan itu: May (diperankan pendatang baru Jenny Chang) dan anaknya, ibunya alias Cik Bing (Tuti Kirana), serta Antares (Yama Carlos), kekasih May.

Kamera yang semula menyorot dari jarak dekat, kemudian pelan-pelan bergerak pelan menjauh, dan sebagian penonton barangkali bernafas lega: akhirnya filem ini berakhir "bahagia"...

Tapi tunggu dulu. Ada beberapa "tanda", yang disusupkan sang sutradara (Viva Westi) dalam adegan tersebut, yang bisa berarti meruntuhkan anggapan penonton itu. Pertama, sang ibu tetap mengenakan gaun merah, persis seperti yang dia kenakan sepuluh tahun silam -- saat dia terakhir bertemu anaknya, May, sebelum kerusuhan terjadi, yang akhirnya memisahkan mereka.

Kedua, adegan akhir itu hanya berupa gambar, tanpa dialog, tetapi dilatari musik yang sungguh menyayat: sebuah bahasa gambar yang indah, tapi sendu, sekaligus menyentuh. Sutradara filem ini, Viva Westi mengaku, adegan reuni itu adalah mimpi keluarga tersebut. "Mimpi orang-orang yang ingin seandainya kejadian (kerusuhan) itu tak terjadi, maka kejadian akhir yang menyenangkan itu akan mereka alami."

***
JUDUL filem ini adalah May, yang diharapkan sebagai filem drama (percintaan) dengan latar kerusuhan Mei tahun 1998. May, yang dipakai sebagai judul filem, adalah nama seorang perempuan keturunan Tionghoa, tokoh utama dalam filem ini.

May awalnya diceritakan menjalin kasih dengan seorang lelaki bernama Antares namun hubungan ini menjadi hancur-lebur karena kerusuhan tersebut. Sang kekasih, saat kerusuhan 13 Mei 1998, digambarkan sibuk dengan perannya sebagai pembuat filem dokumenter -- dia tidak berada di sisi May, yang hari itu terjebak pada situasi rusuh, dan menjadi korban perkosaan. (May juga terpisah dari ibunya Cik Bing, yang harus mengungsi ke Malaysia).

Filem ini memang berdasarkan kejadian kekerasan sepuluh tahun itu, tetapi kejadian itu sendiri hanyalah latarnya. Ini adalah filem bagaimana manusia yang berada dalam pusaran kerusuhan, utamanya para korban, menghadapi hidup. Juga bagaimana orang-orang yang memanfaatkan kejadian itu, dan akhirnya gelisah.

Ibu yang terpisah dari anak, dan dua orang lelaki yang pernah yang melakukan kesalahan, dan berusaha keras untuk menebusnya.

Itulah sebabnya, sang sutradara kemudian memasukkan tokoh lain bernama Gandang (diperankan Lukman Sardi), yang kehadirannya ikut berperan atas nasib May dan ibunya. Saat kerusuhan meledak, ibu May dan warga keturunan lainnya panik dan menjual apapun agar dapat kabur ke luar negeri.

Gandang, yang bekerja sebagai tukang cuci sebuah hotel di Jakarta, dapat keuntungan, setelah Ibu May menjual sertifikat rumah demi mendapatkan tiket ke luar negeri, untuk menghindari kerusuhan. (Dalam filem digambarkan, suasana sebuah hotel di Jakarta, di mana terlihat warga keturunan yang panik. Di sini dimunculkan seorang pimpinan menengah hotel itu, yang 'mengambil' kesempatan, dengan menawarkan tiket ke luar negeri dengan harga selangit. Dan Gandang berada dalam pusaran itu...).

Gandang adalah orang yang akhirnya mendapatkan sertifikat itu. Selembar tiket yang kemudian mengubah hidupnya -- dari seorang pekerja rendahan di laundry hotel, menjadi seorang pengusaha laundry yang sukses.

***
SEPULUH tahun kemudian, Gandang dan Antares yang gelisah, menemukan kembali gambaran masa lalunya itu. Di sebuah kota di Malaysia, mereka secara terpisah bertemu kembali dengan orang-orang yang selama ini membuat keduanya merasa berdosa. Antares bertemu bekas kekasihnya, May, sementara Gandang menjumpai ibu May yang setengah linglung.

Filem yang menggunakan metode berlombat-lompat ini, dari masa kini ke masa lalu, dan sebaliknya, kemudian menyorot bagaimana dua orang itu membayar apa yang disebut sebagai kekeliruan masa lalunya. Dan ini tidaklah gampang...

Seperti dikatakan sutradara filem ini, Viva Westi, filem ini tidak merekonstruksi kerusuhan Mei '98, namun peristiwa itu lebih dimunculkan sebagai latar belakangnya. Sebagian penonton tentu penasaran bagaimana filem ini menggambarkan kerusuhan yang merenggut korban ribuan itu. "Kalau kejadian rusuh itu direkonstruksi ulang secara gamblang, maka bagi saya itu menyakitkan. Maka saya pakai media TV, yang saya refleksikan melalui kaca," kata Viva Westi. (Dalam filem kejadian rusuh itu ditampikan sekelumit, selain melalui TV, juga berupa gambar dengan jarak dekat dengan bunyi kaca pecah dan terikana orang-orang).

Kejadian perkosaan terhadap May, juga digambarkan secara simbolis. Dia digambarkan setengah terduduk, menangis, sebelum ditemukan penolongnya.

Dalam cerita filem ini, May semula menolak bayi dari rahimnya. Di sinilah tokoh lain dimasukkan, seorang jurnalis asing yang menyelamatkan May pada hari naas itu. Raymond, lelaki itu, kemudian yang membesarkan bayi itu hingga menjadi bocah berumur sembilan tahun.

Namun sebetulnya, ada satu tokoh lagi yang kurang ditonjolkan, yaitu Harriandja, yang diperankan aktor Tio Pakusadewo. Orang inilah di saat kerusuhan terjadi, menjadi tokoh yang diwawancarai Antares untuk proyek filem dokumenternya -- sepertinya dia seorang politisi yang saat itu menganjurkan reformasi. Dan sepuluh tahun kemudian, tokoh itu menjadi bos Antares.

"Saya sengaja menampilkan tokoh seperti dia, karena orang seperti itu gampang dijumpai. Dulu, mungkin dia sosialis, tapi sekarang dia adalah kapitalis," jelas Viva.

Menjelang akhir cerita, tokoh Gandang akhirnya menjual perusahaan miliknya, untuk apa yang disebut sutradara, sebagai upaya penyembuhan kesalahan masa lalunya. Uang hasil penjualan itu digunakannya untuk membeli kembali rumah milik Ibu May, sekalian membawanya pulang ke Jakarta. May juga berdamai dengan Antares, dan bertemu anaknya, namun ini bukanlah sebuah adegan akhir...

***
FILEM yang pengambilan gambarnya dilakukan di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, dan Malaysia ini, akan diputar secara serentak pada 5 Juni 2008. Pada 14 Mei lalu, para wartawan diundang dalam jumpa pers (dihadiri sutradara, produser serta para pemerannya), sekaligus menyaksikan langsung pemutaran filem berdurasi 105 menit ini. ***

10 comments:

ika ardina said...

mau ngajak aku nonton?:D

Affan Alkaff said...

..boleh..:)

helen lumban gaol said...

Aku nonton film ini tahun 2000 lalu dan sampai sekarang aku masih ingat kegigihan guru pengganti ini. Terharu nontonnya.

Yiyik K said...

Bintangnya kenapa cuma 3 Fan, apa yg kurang...? :) Kayaknya OK ya, pengin nonton ah kapan2...

Affan Alkaff said...

Yik, selain aktris kawakan Tuti Kirana, serta dua orang pendatang baru, ada lagi bintang lainnya. Anaknya Idris Sardi, yaitu Lukman Sardi, memerankan tokoh Gandang. Ada pula Tio Pasukadewo memerankan tokoh antagonis Harriandja. Yang lainnya perannya cuma pinggiran, yaitu Ria Irawan sebagai istri Gandang, Jajang C Noer sebagai perawat, serta Niniek L Karim memerankan mertua Gandang...
Aku sudah agak lama tak nonton filem Indonesia. Terakhir nonton filem Gie. Dan nonton filem May, itu pun karena diundang. Tapi ternyata kisahnya, juga jalan ceritanya, lumayan inspiratif... Mulai diputar di bioskop-bioskop ada 5 Juni nanti, Yikk. Barangkali setelah itu baru beredar DVD-nya (kau tentu bisa pesan)...

Muthz ' said...

wah...kayaknya harus nonton neh mas..

Affan Alkaff said...

Helen, komentarmu ini untuk filem Not One Less, filem tentang guru itu kan? Memang bikin haru filem itu... Nah, kalau filem May ini belum diputar Helen. Baru bulan Juni nanti diputar di bioskop-bioskop...

Affan Alkaff said...

..menurutku bagus Muthz. Selain momennya pas sepuluh tahun setelah kerusuhan itu, ada kisah dalam filem ini yang mirip dengan kejadian saat itu: banyak orang mengambil kesempatan di saat orang-orang kesusahan.... Sutradara mengaku, dia inginnya filem ini diputar tanggal 13 Mei lalu, namun pihak bioskop menolak, karena harus antri dengan filem-filem lain...

agung ainul said...

Kerusuhan Mei yang masih teringat sampai sekarang, waktu kantor masih di Senayan selepas sholat Dhuhur ada anak kira-kira umur 20 an tahun duduk dilantai depan pintu masuk kantor, nangis minta tolong ke Satpam kantor karena ditelpun Papanya rumahnya di glodok mulai terbakar. Aku hanya trenyuh tanpa bisa berbuat apa-apa... Semoga tidak ada lagi kejadian seperti itu lagi.

Affan Alkaff said...

.. Memang sedih, bila mengingat kejadian sepuluh tahun itu, Gung... Saat itu, aku sendiri meliput langsung kejadian itu, dan rasa sedih itu, juga marah, muncul timbul-tenggelam...