May 28, 2008

Kliping Sepakbola, kegilaan itu...


KEGILAAN terhadap sesuatu yang berbau sepakbola itu tidak berangsur hilang, walaupun usia terus digerus waktu. Dan sekarang, tanda-tanda kerasukan itu kembali kurasakan, dua pekan menjelang pembukaan kejuaraan sepakbola antar negara-negara Eropa, awal Juni nanti.
Wujud kegilaan itu bisa macam-macam, tetapi salah-satu diantaranya adalah mengumpulkan dan menempel guntingan berita dan foto kejuaraan itu dari koran atau majalah -- mengkliping, begitulah nama lainnya. Sebuah kegiatan yang kusebut menyerupai hobi kegiatan seni, yang sulit kuenyahkan tatkala memasuki momen seperti kejuaraan Eropa itu atau peristiwa akbar Piala Dunia...
Kadar kegilaan itu sekarang memang tidak seperti dulu, yang begitu menggebu. Kini saya tampaknya lebih realistis, lantaran kesibukan dan ada kehidupan lain yang lebih penting. Apalagi, sekarang ada kemudahan untuk mengakses internet (yang menyediakan data lengkap), serta banyak tersedianya media cetak yang memuat kejuaraan sepakbola itu.
Tapi kalau dikatakan hasrat hobi itu kemudian hilang, tentu saja tidak. Pada bulan lalu, misalnya, sebuah majalah sepakbola yang memuat persiapan kejuaraan itu sudah ada di tangan. Berita-berita seputar perhelatan sepakbola terbesar setelah Piala Dunia itu, juga kubaca habis setiap harinya. Namun apa penyebab kenapa kegilaan itu tak juga sirna?

***
SAYA tahu persis, kapan kegilaan berbau seni ini mulai menjangkitiku. Kejadiannya sudah berlangsung sekitar 30 tahun silam, tepatnya tahun 1978, ketika aku duduk di bangku klas 4 sekolah dasar -- saat aku mulai menyukai cabang olahraga tersebut. Kala itu, aku masih ingat, sebagian anak-anak di tempat tinggalku di kawasan Kauman, Malang, dihipnotis seorang lelaki gondrong yang mengenakan kostim garis biru-putih, dan ahli menggiring bola, serta mencetak gol. (Semula saya tidak tahu persis warna kostimnya, karena saat itu televisi di rumahku dan milik warga di sekitar rumahku masih hitam-putih).

Dialah bintang sepakbola Argentina, Mario Kempes, yang akhirnya ditahbiskan sebagai pemain terbaik dan pencetak gol pada kejuaraan Piala Dunia 1978, di Argentina. Dan mirip dengan yang terjadi pada pesepakbola zaman sekarang seperti David Bechkam atau Cristiano Ronaldo, atau Kaka, yang dikagumi anak-anak muda, Kempes saat itu pun dijadikan idola -- saya dulu begitu asing dengan nama Kempes, dan selalu heran "kok ada nama orang Kempes, seperti ban kempes saja...".
Itulah sebabnya, saya dan kakak lelaki pun memiliki kaos bergaris-garis (dibelikan ibuku), tetapi dengan garis hijau-putih, mirip yang dikenakan Kempes. Saat-saat itulah waktu bermainku habis untuk bermain sepakbola di alun-alun kota Malang, di depan Masjid Jami, sampai akhirnya seorang temanku di klas 5, bernama Happy Andrean (yang juga menggilai bermain sepakbola) memberiku beberapa lembar gambar pemain sepakbola-- seingatku digunting dari majalah olahraga Olimpik atau Prestasi (aku lupa persisnya, tetapi dua majalah itu yang kuingat acap mengulas sepakbola dunia).

"Ini untuk kamu, Fan," begitu kurang-lebih kalimat Happy yang diucapkannya di tahun 1979. Perawakan Happy tinggi besar, paras dan fisiknya mirip legenda pesepakbola Belanda, Johan Cruyff. Dia juga sempat bersamaku ikut kursus sepakbola di Klub Gajayana, Malang. Dan aku ingat, guntingan majalah itu adalah foto berwarna gelandang tim belanda Johan Neeskens (terakhir sempat menjadi asisten Frank Rijkaard, saat melatih klub Barcelona) tengah dibuntuti Mario Kempes. Satu lagi seingatku adalah foto diri Kempes usai mencetak gol di final piala dunia 1978 -- sebuah foto yang kemudian jadi ikon dan acap dicetak ulang, sampai sekarang.
***
SEKALI waktu, awal tahun 2000, kumpulan guntingan berita dan gambar seputar Piala Dunia 1998 (yang belum kutempel), diguyur air hujan, setelah atap kamar kos-ku di wilayah Manggarai Jakarta Selatan, bocor. Dengan perasaan agak sedih, kukumpulkan lagi kertas-kertas koran itu, dan kukeringkan di depan kamar. Teman-teman kos, juga pak kos, merasa heran melihat tingkahku, dan tertawa. Tapi itulah yang kulakukan, hingga kertas-kertas itu akhirnya berbentuk bundel kliping dengan judul 'Piala Dunia 1998 di Perancis'.
Bila seorang teman bertanya 'manfaat apa yang kau peroleh dengan kegiatan ini', aku biasanya seraya tertawa menjawab: kebahagiaan itu terasa saat proses mengumpulkan, menggunting dan menempel bahan-bahan itu -- yang dalam banyak hal membutuhkan waktu yang tidak sedikit, dan proses penyelesaiannya tidak langsung tuntas. Rasa senang itu kemudian timbul lagi, ketika di lain waktu, membaca ulang kliping itu -- kini terkadang ada godaan untuk melengkapi kliping itu dengan data-data atau gambar yang kudapatkan belakangan.

(Saya jadi ingat, dulu acap menunggu di sebuah toko buku dekat rumah, dengan harapan dapat lembaran Tabloid BOLA yang kualitas cetakannya jelek dan dijadikan bungkus koran lainnya. Kejadian ini terjadi tahun 1986. Lembaran-lembaran tabloid itu, yang biasanya tidak lagi rapi, kurawat ulang, kuguting dengan perlahan dan kutempel).
Dan kliping Piala Dunia 1986 di Meksiko, memang paling fenomenal, karena kukerjakan sampai 'berdarah-darah'. Kusebut demikian, karena tidaklah gampang mendapatkan guntingan koran yang tidak bisa kudapatkan dengan gratis. Maklum, saat itu keluargaku tak berlangganan surat kabar. Jadilah aku memanfaatkan uang saku untuk membeli koran atau tabloid Bola.
Ada perasaan gembira, ketika saat itu aku menemukan sebuah gambar pada koran bekas, yang dipakai ibuku sebagai pola jahitan. Aku ingat, gambar itu adalah pertandingan final Piala Eropa 1980, antara tim Jerbar lawan Belgia. Bernd Schuster (kini pelatih Real Madrid), gelandang fenomenal itu meloncat dengan Horts Hrubesch (ujung tombak Jerbar, dan pemain Hamburg SV) yang memenangkan pertandingan itu. Saya rawat gambar itu, dan kutempel dengan hati-hati -- walau ada bekas pinsil jahit di atasnya.
Lainnya adalah Kliping Piala Dunia 1990, yang walaupun menggunakan kertas folio bekas, aku merasa puas. Dan seperti kukatakan di awal, ada perasaan puas ketika membaca ulang kisah-kisah di balik guntingan berita koran itu. Di dalam kliping Piala Dunia 1986, misalnya, saya selalu teringat bagaimana wartawan Kompas Budiarto Shambazy menggambarkan suasana pertandingan antara tim Jerman Barat lawan Uruguay (di babak awal, dengan skor akhir 1-1) di sebuah kota di Meksio. Shambazy, aku masih ingat, menggambarkan terik matahari yang memanggang para pemainnya. "Panasnya mirip di Tanjung Priok pada siang hari, "tulisnya.
Atau, pada guntingan koran tentang Piala Dunia 1994, kutemukan nama Anton Alifandi -- sekarang menjadi kawan akrabku, dan rekan satu kantor -- yang disebut sebagai kontributor sebuah koran terbitan Jawa Timur dengan tiras tertinggi di Indonesia, di kota London. Tentu saja, di luar semua itu, aku bisa mendapatkan kembali data seputar kejuaraan itu, yang memuat berita detil, yang terkadang akhirnya dilupakan sejarah -- misalnya, saya sebut salah-satunya, faktor penyebab seorang pemain dicoret dari tim inti..

Adapun Piala Eropa, aku memulainya saat Piala Eropa 1984 digelar di Perancis. Ini bertepatan dengan munculnya Tabloid BOLA, yang dulu disisipkan di koran Kompas, setiap hari Jumat. Aku teringat, di Malang, Kompas baru datang siang hari, dan hari Jumat adalah hari yang kutunggu dengan berdebar-debar. Yang membuatku senang, gambar pada tabloid itu sudah berwarna dan cetakannya lebih jelas. Itulah sebabnya masih kusimpan foto tim Perancis lengkap, dengan pelatihnya Michel Hidalgo duduk di tengah diadit 23-nya pemainnya.
Tentu saja, semakin ke sini, pembuatan kliping itu semakin ideal. Selain datanya lebih lengkap, termasuk data pemain yang berlaga serta skor akhir, kumasukkan pula sumber guntingan korabn berikut kapan terbitnya. Ini yang terlihat pada kliping Piala Dunia 1998 di Perancis, sepuluh tahun lalu, yang kukerjakan di sela-sela kesibukanku sebagai wartawan koran NUSA. (Memang proses pembuatannya tak langsung jadi, dan selalu ada waktu jedah yang bisa memakan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Kliping Piala Dunia 1998 Perancis itu, misalnya, baru bisa kujilid awal tahun 2002, itu pun pertandingan finalnya belum kujilid sampai sekarang).
Dilatari kendala waktu, akhirnya tidak semua tumpukan koran itu selesai dalam bentuk kliping. Sebagian diantaranya masih berupa guntingan koran atau majalah, dan lainnya masih berupa tumpukan koran (piala Eropa 1996 di Inggris) serta kliping dalam beberapa buku. Ada pula koleksi puluhan poster tim sepakbola tahun 80-an -- termasuk tim Italia saat juara dunia 1982 (kubeli dengan harga seratus rupiah saat itu). Bahan-bahan itu akhirnya kusimpan dalam kardus plastik, dan sebagian ikut kuboyong saat aku pindah ke Jakarta, tahun 1997.
Dalam berbagai kesempatan, kesadaran untuk mengkliping itu kuanggap terlambat, setelah momen piala dunia itu berahkir lama. Di sinilah, ada godaan untuk mengumpulkan kembali data-data Piala Dunia 1978 dan 1982 -- walaupun akhirnya tidaklah muda. Jadilah aku di tahun 1990-an, berburu majalah bekas di pasar loak di jalan Kelud, kota Malang, untuk mendapatkan gambar-gambar era Mario Kempes 1978 atau Paolo Rossi 1982. Dan terkadang aku beruntung, bahan-bahan itu masih kudapatkan -- saya begitu gembira saat menemukan gambar hitam-putih tim Spanyol pada Piala Dunia 1978, saat melawan Brazil...


Sebagian koleksi gambar dan guntingan koran itu, akhirnya harus kutinggal di Kota Malang. Semuanya kumasukkan dalam kardus dan kuletakkan di bawah dipan. Di kala perasaan kegilaan itu muncul, saya biasanya bertanya pada diri-sendiri "apakah koleksiku itu bisa bertahan dari kehancuran akibat dimakan rayap atau kecoak ya.."
(Dulu, di tahun 80-an akhir, kamarku penuh degan poster sepakbola. Kamar yang kutempati penuh dengan gambar tim Italia, Polandia, Jerbar, dengan bintang-bintangnya seperti Zico, Junior, Rummeningge, atau Platini. Suatu saat teman kakaku menginap di kamar itu, dan dia berkomentar "ini lapangan sepakbola atau kamar ya" Aku tertawa senang mendengarnya...)
***
MELIHAT tumpukan koran berisi berita-berita dan foto pertandingan sepakbola itu, pada akhir pekan lalu, saya berpikir keras dengan sedikit frustasi: mau dikemanakan barang-barang itu, sementara aku tak punya waktu lagi untuk mengerjakannya. Berulangkali pertanyaan itu muncul, saya akhirnya cuma bisa menyimpannya (lagi), sehingga tumpukan itu makin bertambah banyak.
Masalahnya kemudian, adalah terbatasnya ruangan, sementara aku tidak sebersit pun untuk membuang bahan-bahan itu. Terdiri dari berbagai tumpukan koran, tabloid yang sudah kupilah-pilah, bahan-bahan itu meliputi data Piala Dunia 2002, 2006, serta 1994.
Sementara, data-data tentang Piala Eropa (PE) adalah PE 1996 (kusimpan di rumah ibuku di Malang), PE 2000, dan 2004.

Belum menemukan solusi yang pasti, akhirnya semuanya kusimpan secara rapi dalam peti plastik -- satu momen kejuaraan biasanya membutuhkan satu peti, sehingga keseluruhannya memakan 5 peti. Tapi aktivitas menyimpan ini bukanlah perkara muda, ketika saya tidak hidup sendiri. Biasanya yang kulakukan adalah "melibatkan" istri dan anakku, dengan mengatakan, "Ini adalah satu-satunya hobi Walid" (Walid adalah panggilan akrabku yang dilafalkan anak dan istriku).
Suatu saat, pelibatan itu tampaknya berbuah: anakku meniru kesukaanku membuat kliping sepakbola! Bedanya, anakku, Aida, suka menggunting dan menempel gambar-gambar tokoh kartun Jepang, Naruto. Saya pun dengan senang hati menyediakan lem, gunting serta buku gambar. "Kita nanti bisa membuat kliping sama-sama, pada sebuah meja yang besar ya," kataku berulang-ulang di hadapan anakku. Istriku lantas biasanya tersenyum. ***


No comments: