May 4, 2008

Waterlow park, Maret 2008...




BANGKU panjang warna coklat tua, yang sebagian agak kusam warnanya itu, seperti bisa bertutur tentang sebuah kehilangan -- seseorang yang kehilangan sang kekasih, sahabat, atau orang tersayang, atau entah siapa lagi yang mungkin begitu dipuja...

Kehilangan itu, yang mungkin tak selamanya, kurasakan setiap membaca kalimat-kalimat yang tertera di setiap bangku panjang, yang diletakkan di sudut-sudut taman itu. "..Rest in peace dear friend, I miss you so much..,"adalah salah-satu contoh kalimat yang dicetak di atas plakat, yang ditempel pada sandarannya. Di sana dicantumkan pula nama, dan barangkali tanggal kematian orang tersayang itu...

Kali pertama melihat bangku "ratapan" itu, aku terheran, dan setengah kagum, dan syahdu. Tapi aku berpikir cepat dan menyimpulkan: tentu bangku-bangku yang bersandaran itu adalah pemberian warga yang tinggal tak jauh dari areal taman itu -- secara sukarela. "Dan, mereka diberi hak untuk menuliskan semacam kata kenangan, untuk orang yang disayanginya..." pikirku.

Saya akhirnya berupaya membaca setiap kalimat-kalimat di setiap kursi kayu panjang tersbut, tetapi akhirnya tak tuntas. Selain jumlahnya yang tak sedikit, keindahan taman yang berkolam-angsa, berhias pohon beku tanpa daun, dan berhijau rumput nan luas dan basah, serta koak burung gagak dan gonggongan anjing berpenjaga dan bocah-bocah berlarian, akhirnya membuat pikiranku terbagi...

Taman luas yang letaknya di atas bukit itu, sebetulnya tak sengaja kudatangi. Delapan bulan lalu, tepatnya hari Sabtu, 15 Maret, di saat kota London diselimuti langit kelabu, aku bermaksud mendatangi kuburan Karl Marx di pemakaman kuno Highgate, di bagian utara kota tersebut.

Sebelum memasuki pemakaman itu, salah-satu rute yang mesti dilalui itu adalah taman tersebut. Namanya, Waterlow Park. Mula-mula kupikir nama itu diambil dari lokasi perang Pahlawan Inggris, Admiral Nelson saat mengalahkan laskar Napoleon, di "Waterloo", di wilayah Belgia. Ternyata aku salah...

Jawaban yang benar, tak perlu kucari jauh-jauh. Di salah-satu sudut taman itu, yang dihiasi aneka taman hias, berdiri sebuah patung lelaki. Dialah Sir Sydney Hedley Waterlow (1822-1906), mantan walikota London (periode 1872-1873), yang menghibahkan tanah miliknya untuk "taman umum". Semasa hidupnya, lelaki miliuner ini dikenal sebagai bankir, dan belakangan terjun di dunia politik. (Di saat berdiri di depan patung itu, aku sempat terlintas pikiran "seandainya ada orang kaya di Indonesia, mau mendonasikan secuil tanahnya untuk taman umum...).

Seolah tak ingin beranjak dari keindahannya, aku kembali berjalan mengelilingi lanskap taman berdanau itu, usai berziarah ke makam Karl Marx -- yang letaknya memang berdempetan. Sambil sesekali duduk di bangku "kehilangan", dan menahan dingin yang nyaman, kubiarkan diriku larut dalam "dunia" taman itu.

Berjalan sendiri, melamun, menghirup aroma pepohonan basah, itulah yang akhirnya kulakukan di sana. Pikiran kubiarkan mengalir, tanpa tendensi menganalisa, menikmati pemandangan yang ada: pasangan suami-istri yang salah-satunya mendorong kereta bayi, atau seorang kakek yang berkejaran dengan cucunya, dan ditemani anjingnya...

Disamun udara London sekitar 12 derajat celcius, berjalan lebih dari setengah jam di Waterlow Park, badan letih sungguh tak terasa. Tapi yang tak bisa dibohongi, tentu perutku yang lapar. Beruntung di dalam taman itu berdiri sebuah bangunan berwarna putih bernama "Lauderdale House" (didirikan sekitar tahun 1852, dan sekarang digunaka untuk pameran, aktivitas seni warga setempat).

Di bagian belakang Laundardale itu, didirikan kafe, dengan latar depan taman itu. Siang itu, ada lebih dari lima orang memesan makanan, yang sebagian besar membawa anak-istri. Saya pun mampir, dan memesan makanan "yang paling acap kucecap selama di London", heeem, kentang goreng dan secangkir teh susu. Di sini, ditemani langit London yang selalu kelabu, hati memang gampang disamun melankoli, tetapi terasa tentram.

Kupilih meja di luar kafe, agar pemandangan taman Waterlow bisa kurasakan -- setuntasnya! Kuhabiskan waktu dengan tak tergesa, rileks, apalagi di sana kurasakan waktu sungguh berjalan lambat. Hingga semuanya harus diakhiri, sebelum aku kembali melanjutkan perjalanan seorang diri ke sudut lain kota London, Greenwich... ***

12 comments:

syaifuddin sayuti said...

someday mungkin akan ada taman bakrie!

Affan Alkaff said...

ha,ha,ha... (sorry din aku ketawa duluan), tapi mudah-mudahan taman Bakrie itu segera terealisasi ya... Saya memang harus memelihara pikiran optimis, akhirnya Din...

syaifuddin sayuti said...

kalo lagi nyari Ical, hari ini dia hari ini ditanggap sama Press Club-nya Imelda tuh. dia akan buka-bukaan soal isu terkini.

Affan Alkaff said...

menarik, din!

Toto_Waluyo . said...

Bersih dan nyaman..

Affan Alkaff said...

betul mas, itu yang bikin aku -- dan banyak orang lainnya, aku yakin -- betah berlama-lama di taman itu...

Toto_Waluyo . said...

ini di tempeli pengunjung, apa pengelola taman mas..., taman patah hati kali... hehehe..

Toto_Waluyo . said...

nggak boleh pacaran di bangku itu ya :D

Affan Alkaff said...

... Agaknya, plakat bertulisan beserta bangku panjang itu, disumbangkan warga dalam satu paket. Aku ingat, bangku seperti ini (lengkap dengan tulisan itu), juga pernah kulihat di taman-taman lainnya di London. Nah, kalau soal patah hati, kayaknya iya ya... hehehehe

Affan Alkaff said...

Hehehe.. Mas Wira, aku belum pernah lihat orang pacaran di taman, saat aku ada di sana. Tetapi entahlah kalau malam hari, walau ini tak 'gampang', karena taman itu ditutup kalau malam hari... Namun percayalah mas, di sini gampang lihat orang 'pacaran' di tempat terbuka, walau menurut sejumlah teman tak seekstrim di Paris atau Madrid... :)

boru martombak said...

terasa peace na...nih...nongkrong sore pulang kerja enak kali ya...* naik metro nomor berapa nih mas ke sini? * :D hehehe

Affan Alkaff said...

Ada, ada, Ron! Kau naik aja metro nomor 34, turun di Kampung Keling, lalu belok ke kiri, di dekat gang buntu ya... hehehehe...