KEMATIAN adalah bagian dari kehidupan itu sendiri -- jadi, jangan terlalu difikirkan, begitu kata kaum eksistensialis. Tapi tetap saja, kematian hampir selalu mengundang ratapan, tangisan, dan membuat orang untuk mengenang -- seolah mereka menolak apa yang disebut sebagai keterpisahan...
Kematian Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Soeharto, pada Jumat (7 Desember) pekan lalu, membuatku teringat aforisme itu. Mendiang Fuad, yang dilahirkan di Semarang, tahun 1929 ini, memang dikenal dekat pemikiran eksistensialis. Tapi kenapa aku tergoda mengenang almarhum?
Kepergian Fuad memang tak membuatku sampai meratap, namun peristiwa itu mengingatkanku pada sebuah kalimat yang pernah dia utarakan, lebih dari 13 tahun silam -- sebuah kalimat yang kelak mewarnai sikapku dalam menjalani hidup. Kini saya terkenang kembali kalimat itu, yang dia utarakan dalam sebuah wawancara dengan Tabloid Detik, tahun 1993.
”Saya merasa menjadi orang Arab, setelah Anda bertanya, apakah saya keturunan Arab..."
Begitulah Fuad Hassan menjawab pertanyaan "apakah betul Anda keturunan Arab" yang diutarakan reporter tabloid tersebut. Saat itu, saya merasa gagal memahami apa maksud kalimat guru besar Universitas Indonesia itu, yang pernah belajar filsafat di Universitas Toronto, Kanada. Berulangkali kucermati, tapi tetap saja tidak nyambung.
Seolah untuk menyelami, dan mengerti kalimat itu dengan sadar, butuh pengalaman yang panjang, juga berliku. Lalu, seiring dengan berlalunya waktu, dan banyak hal yang mendesak kupikirkan dan kukerjakan, aku akhirnya dipaksa melupakan kalimat tersebut.
Fuad Hassan memang telah tiada. Walau saya tak pernah mengenalnya secara pribadi, kalimat itu akan hidup terus, setidaknya pada diriku saat ini. Dan dalam ruang dan waktu di mana budaya komunal begitu mencengkeram kuat, kalimat mendiang Fuad itu kuanggap masih relevan -- paling tidak direnungkan ulang. Kuakui ide yang tertuang dalam kalimat itu memang tidak orisinal, karena telah difikirkan oleh para pemikir bahkan sebelum abad ini. Tapi kufikir Fuad meneguhkan kembali pikiran itu, dan menemukan momentumnya saat ini.
Aku tahu, kau akan mengatakan kematian adalah bagian dari kehidupan, dan berulang-ulang kau meminta agar aku enyahkan ratapan, karena "riwayatku hanya sampai di sini". Tapi, untuk kali ini, biarkanlah aku berucap: selamat jalan Fuad Hassan -- entah kemana.
16 comments:
wah..aku terharu membacanya Mas..
selamat jalan Pak Fuad...
saya jawa..kamu sunda..=ga boleh nikah.
ah.. keluargaku aja masih sering picik..
kita masih perlu belajar banyak..
selamat menuju keabadian pak Fuad Hassan..
saya suka gaya pak fuad yang selalu mencoba untuk "open mind for a different view..."
Aku sendiri ga ambil pusing pada pengkotak2an seperti itu pada saat sebelum menikah hehehe... pada saat akan menikah baru terbuka... ooo ternyata ini nyata.. Bahwa memang ada orang2 yang karena satu dan lain hal membiarkan dirinya percaya bahwa "kualitas" seseorang ditentukan oleh ras atau sukunya
Wah analisanya cukup dalam lho, Pak Fuad Hassan terbukti orang yg sangat berwawasan luas, dan jawaban yg pendek cukup membuat Affan mengartikan dan menginterprestasikan secara mendalam. Tp memang susah sich mendobrak apa2 yg sudah menjadi "umum",walau tidak semuanya positif dan benar, tp kadang semuanya yg sudah dianggap umum, dibenarkan oleh majoritas orang. Spt hidup ini yg dari jaman keemasan Sriwijaya, sudah ada pengkotak2an manusia, spt level sosial, suku, agama dll dsb. Terus berlanjut.
Smoga Pak Fuad bahagia di sisiNya, amien.
Hehehe... fan, bukannya arab termasuk ekslusif, ya? Pasti kamu generasi bebas merdeka. Semua teman "arab" gue kawinnya sama "arab" lagi, lho. Kalo gue sih sama, nggak peduli suku, ras. Agama? Ya... dikit2 dipertimbangkanlah.
Anyway, selamat jalan, Fuad Hassan. Indonesia needs more people like you.
terakhir ketemu pak fuad tahun 2004, di selasar depdiknas, sudirman, jakarta. masih merokok pak? enggak! udah lama brenti. cucu saya yang melarangnya. main biola? o... itu tak pernah brenti. apa ya aku harus punya cucu dulu baru brenti merokok?
terima kasih, Nas, tapi seperti itulah yang kufikirkan setelah kematian Fuad Hassan...
Rahman, pilihan untuk menikah itu, selalu banyak alasannya, tak terkecuali seperti yang kau sebutkan -- dan aku sepaham dengan istilah "perlu belajar banyak". Aku sendiri lebih melihat ke dalam diri, mengukur apakah nantinya saya bisa konsisten, atas pilihan yang saya buat...
Betul Haris.. Dan menurut istilahku, Fuad adalah tipe manusia yang bisa menertawakan diri sendiri, yang mengakui bahwa manusia itu konyol, paradoks, tapi dia tidak meratapi kenyataan seperti itu.. dan dia bukan tipe ideolog, yang mengagungkan sebuah kepercayaan sebagai seolah-olah soal serius.. hehehe :)
.. dan dibutuhkan dorongan yang kuat, entah dari dalam atau luar, untuk menjebolnya...
..Saya sepaham dengan Elly, tidak gampang mendobrak praktek feodal..
.. barangkali, Ully, seperti itulah tabiat kelompok pendatang minoritas di tengah masyarakat mayoritas: berusaha pertahankan budayanya atas hegemoni budaya mayoritas. Ini penjelasan sosiologis, barangkali, dan dijadikan pembenaran. Tapi aku beruntung sejak kecil tumbuh di komunitas yang multi suku atau ras, lalu belajar mengenal, dan ada dorongan dari dalam, sehingga sejak awal menanyakan klaim 'kesucian darah' yang akhirnya berubah penolakan...
... Dwi, aku nggak yakin Fuad berhenti sepenuhnya merokok .. dia meninggal setelah didiagnosa kanker paru-paru... Dan aku juga nggak yakin kalau Dwi nanti -- jika punya cucu -- berhenti merokok sepenuhnya.. hehehe
Tulisannya mas affa selalu deh... bagus2 banget... hehehe...
Terharu jadinya...
Pak Fuad tuch emang seorang yang OK banget dimataku...
Pemikirannya gak ada duanya...
Kita pasti kehilangan... cuma bukan untuk diratapi... seperti kata mas affan diatas...
makasih aya..
Post a Comment