Jan 21, 2008

Benteng Spelwijk, Banten Lama: suatu sore (liburan, tamat)




DAYA tarik kota Banten lama, yang pada tahun 1520-an dikenal berjaya dengan kerajaan Islamnya, selalu menggodaku untuk mendatanginya. Apalagi reruntuhan kerajaan, berikut benteng, kanal, serta bangunan masjid yang berdiri kokoh, masih bisa dijumpai di kawasan itu.

Dan, kesempatan itu akhirnya datang juga, awal Januari lalu. Berbekal pengetahuan seadanya tentang peninggalan Banten lama, saya coba meyakinkan istri agar mau mengunjungi kawasan bersejarah itu. Anggukan setuju, sebuah senyuman, dan kalimat tipis “boleh”, akhirnya menjadi kata pembuka sebelum akhirnya mobil kami melaju di jalan tol mengarah ke Merak, di ujung kanan Pulau Jawa…

Pertanyaan anakku “mau kemana kita hari ini”, kutunda menjawabnya, kecuali dengan mengatakan “ini kejutan buat Aida, tunggu saja ya..” Dan pada Sabtu siang itu, 5 Januari lalu, saya betul-betul menikmati perjalanan yang acap tertunda itu…

Di perjalanan, sempat khawatir hujan bakal merusak perjalanan. Namun hujan ternyata ‘cuma mampir sebentar’ saat mobil kami melaju di jalan tol. Berhenti sebentar pada sebuah tempat peristirahatan, mengisi perut dan bekal, mobil kami akhirnya memasuki kota tua itu (papan bertuliskan “kota Banten lama” cukup membantu kami sebagai penunjuk jalan – kira-kira letaknya 10 kilometer dari pintu tol).

Tujuan pertama kami adalah Masjid Agung Banten (dengan bangunan menaranya yang terkenal), tapi belum jauh melangkah mata kami tertumbuk pada sebuah papan tulis: Benda Cagar Budaya “Keraton Kaibon”. Letak bangunan yang tinggal reruntuhan itu, persis di sebelah sungai, dekat sebuah jembatan besi. “Eh, bangunan apa ini,” saya bertanya-tanya.

Kami pun menghentikan mobil, tapi rasanya sulit sekali menemukan lahan parkir – kami sempat was-was pula melihat gerombolan pemuda, yang ternyata tukang ojek motor. Dengan sedikit sok tahu, saya pun bergumam, “Oh, mungkin ini bangunan kerajaannya, sementara masjidnya ke arah sana lagi…” (kami tidak masuk ke dalam komplek reruntuhan, dan cuma memotret dari luar pagar).

Belakangan, aku akhirnya tahu, Keraton Kaibon – yang kini tinggal reruntuhan, tapi terlihat dirawat -- dulunya adalah keraton untuk tempat tinggal ibu salah-seorang sultan. Situs bangunan ini dipagari kawat berduri, walaupun sore harinya saya melihat arealnya dijadikan tempat bermain bola..

Dari situs ini, kami pun melanjutkan perjalanan – kami berlomba dengan waktu, karena “jangan sampai kita kemalaman di daerah yang belum kita kenal,” kata istriku. Dan melewati beberapa situs makam, dalam rentang waktu yang pendek, kami akhirnya sampai pada sebuah kawasan terbuka.

Agak bingung karena tidak ada papan penunjuk arah, kami akhirnya mengikuti sebuah jalan – dan parkir mobil seadanya. Di sebelah kiri terlihat para pedagang kaki lima, sementara di sisi kanan terlihat sebuah tembok tinggi – dan parit kecil di sekelilingnya. “Ini dia bangunannya, sepertinya benteng!” teriakku, walau aku tidak tahu apa namanya.

Dengan melewati kerumunan penjual cinderamata, kami akhirnya bisa melihat menara masjid itu – warnah putih, berdiri anggun, dan memang mirip mercusuar! Namun niat kami ke masjid kami tunda dulu…

Tembok tebal setinggi sekitar dua meter, yang luas berdiri di ruang terbuka, akhirnya yang kami kunjungi lebih dulu. Inilah tembok reruntuhan Keraton Surosowan, yang disebut sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Banten tempo dulu…

Semula aku ingin ajak Aida (istriku tak tertarik) masuk ke dalam reruntuhan kerajaan itu, tapi kubatalkan setelah pintu masuknya terendam air – bekas hujan. Menurut beberapa arkeolog dan sejarawan, Istana Surosowan – yang luasnya sekitar 3 hektar -- dibangun ketika pasukan gabungan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin dan Pangeran Fatahillah berhasil mengalahkan Kerajaan Pajajaran dan merebut ibukota mereka, Banten Girang – sayangnya tahunnya tidak kuketahui.

Masih menurut para ahlinya, yang kukutip dari beberapa tulisan, Sultan Ageng Tirtayasa – yang dikenal sebagai sultan yang ikut memerangi kolonial Belanda -- mempercantik istana Surosowan dengan menyewa tenaga ahli dari Portugal dan Belanda , di antaranya Hendrik Lucasz Cardeel.

Benteng istana ini disebutkan pernah terbakar tahun 1605 dan 1607, sebelum dihancur-leburkan pasukan Daendels pada 21 November 1808. Namun demikian, seperti ditulis sebuah situs, kendati kini tersisa reruntuhan, situs Surosowan “masih cukup menarik sebagai salah satu obyek wisata arkeologis” – sayangnya, seperti saya saksikan sendiri, sore itu kompleks situs dipenuhi pedagang kaki lima, dan tanpa dijaga petugas…

Di samping situs istana Surosowan, sebuah kanal terlihat mengalir. Disebut-sebut kanal itu untuk mengalirkan air bersih dari sebuah sumber ke komplek istana itu – barangkali untuk keperluan mandi dan minum para sultan, putri serta keluarga besarnya (saya bayangkan para putri itu mandi di tengah kolam,di tengah istana yang kini tinggal reruntuhan...)

Dan masih di samping istana itu, berdiri masjid agung dan museum yang isinya peninggalan Kerajaan Banten lama. Kami pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini – “Semoga di museum itu ada penjelasan, atau konteks, dari situs-situs ini,” kataku pada istriku.

Walaupun isinya tidak lengkap, saya akhirnya punya gambaran lebih lengkap tentang kawasan situs arkeologis Kerajaan Banten. Di dekat pintu masuk museum, ada semacam miniatur (diorama) komplek kerajaan itu. Saya dan istri jadi paham, setidaknya lokasi situs lainnya – seperti Benteng Spelwijk, Menara masjid Pecinan, atau kemana arah kanalnya…

Di sana kutemukan juga sebuah lukisan sosok duta besar Banten di Inggris – hah, saya jadi ingat, ini bukti kongkrit kejayaan yang penah disandang Kerajaan Banten pada jaman itu: tercatat bangsa yang berniaga sampai ke Banten adalah Inggris, Spanyol, Portugis, Arab, Melayu, Gujarat, Persia, Cina, dan bangsa-bangsa lainnya – namun menurut sejarah, Belanda akhirnya menghancurkan kerajaan ini setelah terjadi perpecahan pada pewarisnya.

Setelah puas menjelajahi museum berukuran kecil itu, saya pun melirik masjid Agung. Diwarnai rasa was-was, karena dihadang anak-anak yang meminta uang, kami memutuskan tidak berlama-lama di pelataran Masjid Agung Banten Lama -- dibangun tahun 1566, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin, yang kemudian dilanjutkan pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

Kami akhirnya berhenti sekian meter dari menara masjid yang mirip mercusuar. Setelah ambil gambar, kami pun beranjak kembali ke mobil – kami parkir agak jauh, dan mesti melewati jalan keluar yang dipadati para penjual mulai CD bajakan sampai tasbih. “Aida ingin naik ke atas menara!” Protes anakku tak membuat kami berubah pendirian.

Dari sejumlah laporan, menara masjid itu disebut-sebut dirancang seorang arsitek Belanda, Hendrik Lucasz Cardeel, atas perintah salah seorang Sultan Banten. Itulah sebabnya, demikian menurut laporan itu, bangunan menara itu lebih mirip menara suar. Di sekitar masjid, disebutkan ada makam sejumlah Sultan Banten serta keluarganya…

Kini ada tiga situs lagi, yang belum kami kunjungi di kawasan arkeologis itu, yaitu Vihara Avalokitesvara (yang dibangun pada abad ke-16, dan konon terawatbaik sampai sekarang), menara mesjid Pecinan dan benteng Spelwijk.

Sayangnya, karena kendala waktu, kami akhirnya mendatangi menara masjid pecinan (kami cuma mampir sebentar, dan mengambil gambar di sini), benteng yang kusebut terakhir itu…

Saat mobil kami merapat di dekat benteng itu, terasa sekali bekas aroma peperangan antara Kerajaan Banten dan kolonial Belanda. Beberapa bangunan makam – milik penggede dan prajurit kolonial Belanda yang tewas saat perang dengan pasukan Banten – masih terlihat di pelataran benteng itu, walau tidak terawat. Dari catatan sejarah, disebutkan benteng seluas 2 hektar ini dibangun Belanda untuk menyaingi Keraton Surosowan – yang saat itu tengah diperbaiki. Letak benteng Spelwijk memang tidak jauh dari keraton itu, dan berjarak sekitar 600 meter dari tepi laut (konon, arsitek benteng itu juga tukang disain Surosowan: Hendrik L Cardeel).

Speelwijk, yang sore itu sebagian lahannya dibuat bermain sepakbola, sekarang memang tinggal reruntuhan. Dahulu benteng ini bekas keraton Kerajaan Banten, tapi tahun 1785 di hancurkan Belanda, kemudian dibangun menjadi benteng -- lengkap dengan ruangan bawah tanah…(aku sempatkan naik tembok benteng itu, mencoba membayangkan apa yang pernah terjadi di benteng itu..).

Pada sore yang hangat itu, akhirnya aku harus menyudahi lamunanku. Kuajak istri dan anakku memutar jalan (melewati sebuah kampong nelayan), melewati sebuah muara (yang airnya coklat), dan kapal-kapal nelayan, sebelum akhirnya kutinggalkan kota Banten lama… (tamat)

24 comments:

kiky fitriyanti said...

kok crowded ya...?

kiky fitriyanti said...

curently reading Rahasia Meede by ES Ito...belajar sejarah ternyata menyenangkan ya....:-D, kenapa bosen dulu waktu belajar di bangku sekolah...

Affan Alkaff said...

.. Itulah yang bikin kita gemes, sedih, karena peninggalan bersejarah itu nggak digarap serius. Para penjual, pengemis, dan tidak ada penjaga, terlihat di semua situs arkeolois di Banten lama.. Saya jadi ingat, suasana kontras justru berbeda di situs candi Prambanan, di dekat Yogya, yang begitu dirawat... Padahal, kalau situs Banten Lama itu -- yang luar biasa! --diberlakukan sama seperti Prambanan, tentu turis banyak akan datang..

Affan Alkaff said...

.. Aku belum baca buku itu, tapi memang belajar sejarah sungguh menyenangkan -- dari dulu, saya suka! Dan omong-omong bagaimana membuat pelajaran sejarah jadi menyenangkan, saya jadi ingat program Departemen Pariwisata dan Kebudayaan yang bikin program 'cara belajar sejarah yang menyenangkan', dengan datang langsung ke situs-situs bersejarah, jadi tak sekedar berteori di dalam kelas. Rencananya program ini akan ditularkan ke sekolah-sekolah... :)

ienas Tsuroiya said...

Cerita dan gambarnya menarik, as always....Thanks for sharing Mas..

Affan Alkaff said...

makasih, Ienas... :)

Yiyik K said...

Sayang ya perawatan & perlindungannya kurang. Yg aku rasa kurang juga di museum2/cagar2 budaya di Indonesia itu penjelasan tentang obyek2 yg ada... akhirnya kita2 yg nggak punya background tapi pengin tau lebih banyak, jadi nggak tertarik....

Yiyik K said...

heheh... kayak Spiderman :)

Affan Alkaff said...

Yik, memang betul, salah-satu kelemahan sebagian besar musium dan cagar budaya di sini, adalah kurang adanya informasi perihal benda-benda yang ada di sana.. Dan menurut seorang arkeolog, yang pernah kuwawancarai, kelemahan lainnya adalah jumlah kurator musium yang sedikit. Padahal, menurutnya, kehadiran kurator (yang paham tentang isi musium itu) penting sekali.. "Jadi", kata arkeolog itu,"belum ada musium di Indonesia yang ideal."...

Affan Alkaff said...

.. Aida ikut-ikut naik setelah lihat 2 anak lelaki itu naik duluan, Yik. Tapi kemudian dia ngambek karena nggak bisa naik..(akhirnya bapaknya yang naik, walau aku akhirnya sadar: wah, bisa rusak cagar budaya itu kalau dinaiki melulu...) :)

Lenah Susianty said...

jalan-jalan terus nih Fan? ga kebayang ya BAnten tuh menarik! aku dulu pernah ke pedalamannya banget buat ngeliput. rasanya ga kaya di Jawa

Affan Alkaff said...

Betul Len.. jalan-jalan melulu.. ha, ha.. Tapi memang Banten, utamanya kota tuanya (jangan ke kota barunya, seperti Serang, misalnya, karena gak ada apa-apanya, kata banyak orang..), yang luar biasa peninggalan masa lalunya... Nah, aku justru yang gak pernah ke wilayah Badui itu Len... Jadi, kapan Lenah ke Indonesia?

Lenah Susianty said...

akhir maret Fan!

krisna diantha said...

indah

Affan Alkaff said...

sempatkan ke Banten lama, Kris, saat kau mudik ke Indonesia nanti...

krisna diantha said...

sudah pernah dulu, namun kalau ada kesempatan ya dicoba lagi

Triandyati Rosmarini said...

Permisi...Numpang Kasih Comment dikit.
Menarik...membaca tulisannya Krisna, bagus banget ...liputannya.
Sering-sering ya..., bagus banget untuk bisa tunjukkan ke "all my kidz" tentang "indahnya negeri ini", meskipun lewat gambar-2. Ditunggu...

Affan Alkaff said...

terima kasih atas apresiasinya Rien, dan salam kenal... Dan, namaku Affan, bukan Krisna.. ha, ha, ha.. tapi tak apa-apa kok :)

Triandyati Rosmarini said...

Lha...??kok aq bisa ngarang Krisna ya...?? Kan harus pakai acara syukuran dulu..,he..he..Maaf ya...?? Pastinya itu karena ngantuk.

Affan Alkaff said...

.. Iya, syukurannya pakai bubur merah-putih segala loh.. ha,ha,ha... :)

haris fauzi said...

kalo ada rejeki mau nge-les-in anakku ke guru sejarah kaya kamu, Fan...
hahahahahahaaa.......

Affan Alkaff said...

boleh Ris, dan buat sampeyan pastilah gratis.. ha,ha.. dan modusnya, pastilah jalan-jalan ke museum, tugu peringatan, atau menapaktilasi sebuah peristiwa sejarah.. biar belajar sejarah tidak membosankan...

haris fauzi said...

mas affan,
dikantor sering ada akan praktek, dari SMA/STM/SMK. Suatu kali --setelah baca blog mas Affan--, saya tanya mereka :"....Di Kalijati jaman perang pasifik, ada perjanjian tentang apa yah ?"...dan ternyata mereka pada nggak tau. Saya ledek mereka,".....emang kamu suka pada bolos ya ?". Ah...mereka nggak demen pelajaran sejarah rupanya.....

Affan Alkaff said...

.. Haris, seperti yang terjadi pada siswa sekolah menengah itu, kau tahu, aku juga nggak suka beberapa mata pelajaran, diantaranya adalah matematika -- sampai sekarang! Saya tak pernah tahu persis apa latarnya, tetapi itulah yang terjadi sejak sekolah dasar sampai jaman kuliah (saya bersyukur saat kuliah, nggak ada mata kuliah matematika, walau tetap saja ketemu akuntansi publik dan statistik). Dulu, jaman SMA, gara-gara matematika dapat angka 5 di rapor, nggak bisa juara kelas.. itu juga karena wali klasnya guru matematika... Jadi, Haris, kupikir, apa yang terjadi pada siswa SMA yang magang di tempatmu itu, yang "nggak demen pelajaran sejarah" itu wajar. Minat seseorang atas sesuatu, tak selalu sama... Kok aku jadi serius, Ris? ha,ha,ha...