Jan 14, 2008

bila Jenderal Ter Poorten menangis di Kalijati (liburan akhir tahun, bagian2)




AWALNYA adalah sebuah gambar buram, yang kusimak lebih dari 25 tahun silam, pada sebuah buku sejarah dunia – milik kakakku, yang kulit bukunya dilapisi kertas warna coklat. Dalam gambar itu, terlihat sejumlah lelaki berseragam militer berhadap-hadapan di sebuah meja, di dalam sebuah rumah, pada sore yang lembab, 8 Maret 1942.

Dua lelaki berkulit pucat pada gambar tersebut terlihat tegang, memikirkan sebuah negeri -- dijuluki zamrud katulistiwa – yang bakal hilang. Sementara, di depannya, terlihat kepala beberapa lelaki (yang kubayangkan berkulit kuning) tengah membayangkan sebuah penaklukan baru.

Apa yang terjadi di balik foto buram (yang dicetak di kertas yang kualitasnya buruk, sehingga membuat aku dulu penasaran), serta kejadian sejarah di dalamnya, terus kuingat. Walau ingatanku mulai memudar, ada beberapa kata yang masih kuingat dari keterangan foto: “Jenderal Ter Poorten”, “8 Maret 1942”, “Penyerahan Tanpa Syarat Belanda atas Jepang” serta “Kalijati”…

***

KALIJATI, saat itu (tatkala aku masih bercelana pendek, murid sekolah dasar) kuanggap sebuah titik kecil di tengah belantara titik-titik besar pada sebuah peta pulau Jawa. Letak persis kota kecamatan itu, kalau tak kucermati secara seksama, tentu tidak kutemukan pada peta – terkadang, bahkan, kota kecil penghasil buah nanas madu itu acap kusalah-pahami sebagai Linggarjati (sebuah kota kecil lain yang berdekatan dengan Cirebon, yang juga bersejarah).

Tapi semuanya berubah, tatkala kukenal seseorang – yang akhirnya menjadi istriku, tahun 2000. Dia ternyata lahir dan masa kanak-kanaknya dibesarkan beberapa ratus meter dari rumah bersejarah tersebut (dulu rumah seorang perwira Belanda, bagian dari komplek pangkalan udara militer Belanda – dibangun tahun 1914).

Sejak 1949, pangkalan itu berubah menjadi pangkalan udara militer pertama Indonesia. Terletak di Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang, Jawa Barat (sekitar 175 kilometer dari Jakarta), belakangan namanya berganti menjadi Pangkalan TNI Angkatan Udara Suryadarma. Di pangkalan udara itulah, 65 tahun yang lalu, di rumah milik perwira Belanda itu, Belanda dibuat bertekuk lutut di hadapan Jepang – hilang sudah negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, yang mereka kuasai lebih dari 350 tahun!

Tahun 80-an, istriku dan keluarganya meninggalkan tempat bersejarah Kalijati, dan pindah ke Jakarta. Tapi kenangan masa kecilnya atas kota itu, selalu dia ceritakan kepadaku, berulang-ulang (“kau percaya-nggak, dulu aku pernah mandi di kubangan di komplek itu…” atau “rumahku dulu atapnya tinggi, maklum peninggalan Belanda…” begitu dia bernostalgia).

Dan aku, biasanya, takzim mendengarkan ceritanya -- seraya membayangkan bentuk rumah-rumah itu, halamannya yang luas dan berumput, serta kubangan itu. Tapi, tentu saja, fikiranku melayang pula, memikirkan gambar buram di buku sejarah itu – “aku ingin melihat dan membayangkan bagaimana Jenderal Ter Poorten itu berjalan gemetar, dan menangis meski dalam hati… “

***

KALIJATI, sebuah siang hangat berawan, 27 Desember 2007. Kulihat dari dekat rumah bercat krem, yang pintu lebarnya berkaca dan berwarna coklat tua. Sebuah monumen – berupa tonggak putih bertuliskan Jepang – berdiri di depannya. Di belakangnya ditempel papan bergambarkan bendera Indonesia, Jepang, Belanda, pada sisi depan tembok rumah itu. Berteras ubin abu-abu, rumah itu berhalaman luas. “Belakangan, rumah ini dikosongkan, dan dijadikan semacam museum,” jelas mertuaku, tanpa menyebut tahun persisnya – sayangnya, kami tak bisa masuk ke dalamnya.

Namun angin semilir yang berhembus siang itu, akhirnya mengantar kami ke sejumlah obyek bersejarah lain di komplek itu -- hanggar pesawat yang masih berdiri kokoh (walau berkarat sebagian dan berubah fungsi jadi museum, namun kujumpai pesawat albatros di dalamnya), bunker beton (namun tak lagi dihadiri lagi tentara Belanda atau Jepang yang mungkin kesepian di dalamnya), museum sejarah pangkalan udara itu (sayangnya dokumen dan datanya minim sekali) dan deretan rumah berdinding tebal (dua diantaranya pernah dihuni istriku, dan lainnya beberapa teronggok tak terurus)…

***

BEBERAPA hari setelah kunjungan itu, aku tergoda melihat kembali cuplikan sejarah dari peristiwa yang digelar di rumah itu. Semuanya berawal dari kedatangan Tentara Jepang, di Pantai Eretan Wetan, di pesisir Kabupaten Indramayu, awal Maret 1942, yang membuat panik orang-orang Belanda di pangkalan Kalijati -- hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari lokasi pendaratan. Sejarah kemudian mencatat, Kalijati adalah sasaran penting, sebelum kota Bandung.

Sempat terjadi pertempuran sengit di Ciater, 6 Maret, Kota Subang akhirnya dikuasai pasukan Jepang – dan pasukan Belanda mundur ke Bandung. Khawatir serangan itu berlanjut ke Bandung, sehari kemudian bendera putih dikibarkan pihak Belanda, tanda menyerah. Maka dibuatlah sebuah pertemuan di Kalijati, pada sebuah sore, 8 Maret 1942…

Sejarawan Belanda Lambert Giebels, dalam buku berjudul 'Biografi Soekarno (1901-1945)', yang dikutip sebuah media, mencatat sebuah percakapan antara juru runding Belanda dan Jepang -- Jendral Ter Poorten, selaku Panglima Belanda, hanya bersedia untuk kapitulasi Bandung saja. Namun, keinginan itu dengan tegas ditolak Panglima Imamura, yang mewakili Jepang, yang menginginkan kapitulasi untuk seluruh wilayah Hindia Belanda.

Dalam pertemuan itu, Letnan Jenderal Imamura bertanya pada Ter Poorten, "Kemarin Tuan mengeluarkan perintah untuk meminta gencataan senjata. Apakah itu karena Tuan tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertempuran?"

"Karena saya tidak mau melanjutkan lagi kesengsaraan perang ini," Jawab Ter Poorten.

Lalu Letnan Jenderal Imamura bertanya kepada Gubernur Jenderal, "Apakah Tuan bersedia menyerah tanpa syarat?"

"Tidak, saya tidak bersedia untuk menerima penyerahan tanpa syarat," sahut Gubernur Jenderal.

"Kalau begitu untuk apa Tuan datang kemari?"

Gubernur Jenderal menjawab, "Tuan meminta saya datang dan saya memenuhi undangan itu, karena saya mengharapkan untuk membicarakan dengan Tuan tentang pemerintahan sipil atas pulau Jawa."

Letnan Jenderal Imamura tidak menggubris jawaban itu. Ia berpaling kepada Ter Poorten, lalu mendesak, "Apakah Tuan menyerah tanpa syarat?"

"Saya hanya dapat menawarkan pada Tuan penyerahan kota Bandung."

"Kapitulasi Bandung tidak menjadi perhatian kita."

Letnan Jenderal Imamura mengulangi lagi pertanyaannya dan Ter Poorten tetap menjawab dengan kalimat yang sama.

"Tidak ada gunanya untuk mengulangi permintaan ini. Jikalau Tuan tidak menyerah, maka tidak ada jalan lagi bagi kami kecuali meneruskan penyerangan. Tuan dapat kembali segera ke Bandung. Saya akan memberi kepada Tuan satu pas, sampai lini terdepan, tetapi pada waktu Tuan melintasi lini ini, saya akan melakukan pemboman atas Bandung dengan pesawat yang telah siap sedia di lapangan ini. Tetapi saya akan memberi kepada Tuan kemungkinan terakhir untuk mempertimbangkan permintaan saya. Saya beri waktu 10 menit."

Dengan gertakan ini, seperti diketahui, akhirnya Belanda yang sudah bercokol di Hindia Belanda berabad-abad menyerah tanpa syarat.

***
ENAM puluh lima tahun kemudian, setelah peristiwa itu, saya selalu membayangkan Jenderal Ter Poorten menangis, menyesali keputusannya itu… (bersambung)

28 comments:

Vania Koeberlein said...

rasanya damai liat gambar ini

Vania Koeberlein said...

khas bgt jadul ya mas...
ternyata rasa penasaran mas sejak kecil terjawab skrg....

Vania Koeberlein said...

i love it...semoga gak dijamah tangan2 jahil yg mau memodern kan bangunan tua...amien

dita maulina said...

ini gundukan tanah yang di depan rumah garuda kan..? kalau iya berarti dulu ini tempat main prosotan kami :))

dita maulina said...

Aih..aih... rumah ini..:)) duh...jadi kangen pingin ngeliat sendiri

ienas Tsuroiya said...

masih terawat ya Mas?

krisna diantha said...

liburan yang menarik

suluhpratita ... said...

perjalanan napak tilas-nya asyik banget nih...

suluhpratita ... said...

hehe...lagi main petak umpet ya...:D:D:D

ika ardina said...

hehehehe... sayang 'kubangan' tempat gue 'mandi' dulu kelewat dan lupa difoto hahahahaaaaaaaa

Affan Alkaff said...

Iya, Van.. Rasanya melihat sebuah dunia kecil di sebuah negeri antah-berantah, yang susah dicari di Jakarta.. Padahal, lokasinya nggak jauh hanggar itu...Tempat itu kujuluki hutan kecil.. anakku kerasan main di sana, saat itu.. :)

Affan Alkaff said...

.. Rumah itu pernah ditempat istriku di masa kanak-kanak, dan menurutnya, tidak ada yang berubah wujudnya -- "kecuali warna catnya," celetuknya. "Mungkin biasa renovasi mahal, tapi bisa juga karena itu milik negara (TNI AU)," katanya lagi..

Affan Alkaff said...

Bangunan kuno itu dulunya gedung pertemuan. Saat ke sana, aku iseng masuk ke dalamnya, dan didalamnya kulihat ada net bulutangkis.. rupanya dia dijadikan tempat olahraga. Saya tidak tahu apakah sekarang masih dipakai untuk pertemuan...

Affan Alkaff said...

hahaha... aku bayangkan Dita dan kakaknya main perosotan di sana, dan mukanya belepotan kena lumpur... Tapi, kenapa ya dibangun gundukan itu? Dulu untuk melindungi kemungkinan ada serangan musuh? Hehehe.. sok tahu nih!

Affan Alkaff said...

Ayo, Dit, main ke sana... nostalgia, mengenang masa kecil.. hahaha

Affan Alkaff said...

Kayaknya dirawat Nas, dan masih digunakan untuk menyimpan pesawat tua dan beberapa pesawat terbang ringan.. Di dalamnya, di sebuah ruangan, juga ada musium...

Affan Alkaff said...

Kris, ketika liburan tiba, selau ada pertanyaan kemana lagi akan berlibur, yang tidak jauh dari Jakarta,.... Akhirnya jadilah berwisata sejarah seperti ini, setelah dari Ciater... hahaha

Affan Alkaff said...

Betul Ta, sebuah perjalanan ke masa lalu.. utamanya istriku.. Aku sendiri lebih ingin tahu seperti apa rumah bersejarah itu...

Affan Alkaff said...

... hahaha.. ini aku sengaja minta turun dari mobil, dan ngotot minta dipotret di bekas bunker itu, Ta...

Indah dan Iwan Esjepe said...

Pernah suatu ketika di tahun 1996 saya berjumpa dengan seorang kakek tua di Ciater, dia dapat menceritakan secara rinci pertempuran Jepang vs Belanda di Ciater itu, sayang saya tak sempat merekamnya. Saya tidak tahu apakah kakek tua itu masih sehat hari ini.

Affan Alkaff said...

Bung Iwan, pengalaman Anda bertemu saksi sejarah pertempuran itu, sungguh menarik..(Saya justru memperoleh informasinya justru dari bapak mertua, yang pernah bertugas di Kalijati). Mungkin kalau dilacak serius, tentu akan ketemu, kalau tentu masih hidup ya. Namun terlepas dari itu, kita mungkin baru sadar, kalau banyak peristiwa penting yang sifatnya lokal, banyak yang tidak tercatat dalam sejarah.. Di sini keprihatinan kita sama, bung Iwan...

Indah dan Iwan Esjepe said...

Kelas 3 SD hingga kelas 1 SMP saya selesaikan di kota Subang,
tak jauh dari Kalijati. 1976 - 1981.

Salam,

Affan Alkaff said...

..Kita memang seumuran, bung Iwan...:) Saya masuk klas 1 SD tahun 1975 di kota Malang, Jatim, dan selebihnya tinggal dan sekolah di kota itu, sampai akhirnya meninggalkannya tahun 1996... Adapun saya baru ke Kalijati, dan mampir ke rumah besejarah itu, ya akhir tahun lalu itu... Senang berkenalan dengan Anda...

Indah dan Iwan Esjepe said...

Ya, senang bisa berkenalan.
Jika begitu, saya 1 tahun lebih tua, lahir di Jakarta, masa kecil di Solo lalu pindah ke Subang, 1981 kembali ke Jakarta.

Perjalanan ke Malang saya yang terakhir adalah di tahun 1973. Dingin sekaliMalang saat itu.

Mahandis Yoanata said...

Fakta menurut buku "Vaarwel, Tot Betere Tijden" ditulis oleh JC Bijkerk 1973:

8 Maret 1942, Jenderal Imamura berangkat dari Batavia terlambat sampai ke Kalidjati kira2 pukul 17.00 karena Jembatan Kali Tjitaroem rusak. Perundingan dimulai 15 menit setelah kedatangan Imamura. Tim perundingan Belanda:
Di dalam ruangan perundingan: GG Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, Mayor Jendral Bakkers, Let.Jend. H. Ter Poorten.
Di luar ruang perundingan: Let.Kol. Mantel, Baron van Till, dan Kapten Gerhardz.

Tim perundingan pihak Belanda diminta datang lagi pada hari Senin 9 Maret 1942 pukul 13.50 untuk melaporkan daftar kekuatan militer KNIL: jumlah serdadu, kendaraan, meriam. Jika hal ini tidak dilakukan Jepang akan melanjutkan pemboman ke Bandung.

Seorang Kolonel Jepang, Nishiura bersaksi bahwa Hindia Belanda takluk kepada Jepang pada 9 Maret 1942 karena pembicaran pada 8 Maret 1942 hanya perundingan saja.

Perwakilan Belanda yang hadir di hari Senin 9 Maret 1942: Let.Jend. H. Ter Poorten, Mayor Jendral Bakkers, Let.Kol. Mantel, dan Kapten penerjemah Drs. J.D. Thijs.

***
Jadi dari fakta di atas, menurut saya kemungkinan foto ini dibuat hari Senin siang/menjelang sore 9 Maret 1942, saat protokoler penyerahan resmi (yang sampai sekarang tidak ditemukan bukti persetujuan kapitulasi Kalidjati tersebut).

Pertimbangan saya lebih kepada cahaya matahari yang datang dari sisi kanan (jika jam 17.00 tentu tidak seterang itu, sedangkan kalau itu cahaya lampu seharusnya datang dari atas meja) dan ketidakhadiran GG Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.

Sampai sekarang belum ada yang mengungkit kembali misteri foto tersebut dan public masih mengklaim bahwa foto tersebut adalah perundingan pada Minggu 8 Maret 1942.

Wah maap jadi panjang penjelasan saya.
Salam.

Affan Alkaff said...

Terima kasih bapak Mahandis, atas informasinya... Saya senang sekali mendapat fakta baru ini..

lisda ikhwantini said...

loh, ada panci?

Affan Alkaff said...

aku juga heran, kok ada panci segala.. tapi mungkin itu juga peninggalan penting dari tempat yang saya datangi..