Jan 23, 2008

Tsunami Aceh, dan foto-foto itu...

"KAU berada di Aceh 'kan, saat tsunami itu terjadi?" Kalimat ini dilontarkan seorang rekan, pada pekan lalu, di sela-sela liputan perawatan mantan Presiden Suharto -- dia bercerita pengalamannya. Saya mengiyakan -- dengan menggerakkan dagu ke atas, tanpa mengeluarkan suara. Ada semacam keengganan mengingat kembali saat liputan tsunami Aceh, 4 tahun silam. Tapi, kupaksa mendengarkan celoteh temanku itu tadi, seraya terbayang kembali kejadian-kejadian saat itu...
Saya, setelah liputan itu, selalu berusaha melawan "keenganan" itu yang selalu muncul dari dalam setiap, walaupun sulit. Caranya, aku mencoba siap menerima apapun, entah itu kisah-ulang, cerita, foto, atau apalah. Harapannya, tentu agar aku lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi saat itu...
Dan, masih dalam kerangka keinginan itu, di bawah ini kusajikan lagi awal kisahku, yang kutulis 4 tahun silam, dua pekan setelah kejadian... Sudah saatnya saya bisa berbagi pengalaman ini:
DIBANDINGKAN hari-hari awal setelah bencana, suasana Banda Aceh siang itu relatif berubah. Suasana hiruk-pikuk di Bandar Udara Iskandar Muda, yang terlihat ramai di minggu pertama, kini tidak seramai dulu. Pesawat-pesawat berukuran besar yang bertugas mengirim bantuan ke lokasi terpencil di pesisir barat, misalnya, saat itu tidak terlihat sibuk.

Saya kembali tiba di kota Banda yang hancur itu, setelah sempat tinggal tujuh hari di awal kejadian tsunami. Sebagian wilayah kota Banda yang lolos dari terjangan tsunami, pekan itu juga jauh lebih hidup. Sejak enam hari di kota ini, saya, misalnya telah hampir tiap pagi minum kopi Aceh -- di sebuah warung tidak jauh dari pendopo, rumah dinas Gubernur Aceh. Nasi dengan gulai yang menurut selentingan dicampur dengan daun ganja juga sudah mengisi perutku.
Pasar-pasar yang menjual buah langsat, serta rambutan, sempat pula kudatangi. Wilayah yang luluh-lantak di dekat laut, seperti Pasar Malam Rex mulai terlihat dibenahi. Puing-puing dan rerutuhan yang dulu menyerupai bukit, kini tidak lagi terlihat, meski bangkai kapal nelayan berukuran raksasa masih teronggok di depan Hotel Medan.
Mayat-mayat yang di awal-awal masih gampang dijumpai di jalanan, saatitu tidak terlihat -- kecuali di bawah puing-puing yang belum tersentuh. Tapi yang tidak berubah adalah foto-foto itu, berikut keterangannya -- yang dicopy dan ditempel dalam lembaran kertas seukuran folio di beberapa sudut kota. Mataku otomatis akan tertuju pada gambar-gambar itu, karena dipasang di tempat yang begitu mencolok.
Di bandara, misalnya, kertas-kertas itu ditempel di tiang-tiang, diruang kedatangan bandara yang gampang terlihat. Walau kertasnya sudah terlihat lusuh dan sedikit terlipat di ujung-ujungnya, dan warna tintanya mulai buram, tetap membuat orang yang lewat di situ melihatnya.
Saya pun akhirnya merapat di depannya. Seolah gambar dalam foto-foto itu meminta berbagi kerinduan akan hidup. Juga, mungkin harapan akan pertolongan saat ombak setinggi setinggi 6-7 meter mengedor pintu rumah mereka – pada pagi itu.
“Dicari Unzir, suami 24 tahun dan Sani, istri 20 tahun.” Pasangan ini tinggal di Dusun Tualang, di Kabupaten Aceh Timur. Aku tak tahu alamat ini, tapi menurut cerita teman-teman, lokasi ini adalah bagian yang hancur akibat tsunami.
Dalam foto itu unzir dengan mata sayu tampak memelui Sani, sementara sang istri yang duduk di depan tangannya merengkuh dan membelai pipi atas unzir. Agaknya saat pemotretan, Sani agak malu-malu. Senyumnya dikulum. Sepertinya pemotretan dilakukan secara otomatis di studio boks.
Enam hari saya tinggal di Banda, kertas pengumuman lengkap dengan foto mencari keluarganya yang hilang, masih menempel di sudut-sudut kota, tapi ada yang mengatakan, kini sebagian keluarga korban -- satu bulan setelah kejadian, mulai bisa menerima kenyataan bahwa sebagian keluarga mereka memang telah mati.
Aku sendiri menyaksikan di sebuah lokasi pengungsian di wilayah Mata’i, di pinggiran kota, tidak lagi terlihat pengumuman yang disiarkan dari corong suara: tentang orang-orang yang kehilangan keluarganya. Ini terjadi setelah 3-4 hari setelah kejadian. Kini suara-suara itu hilang.
Tetapi siapa yang bisa mengukur apakah orang-orang itu telah bisa menerima kenyataan tragedi itu? Seperti apa bentuk kongkrit bentuk penerimaannya? Lantas, bagaimana dengan foto-foto itu yang dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga?
Saat-saat pertanyaan itu muncul, aku bertemu seorang kawan lama, yang sama-sama asal kota Malang. Kita dulu bertetangga, dan sekarang dia jadi relawan sebagai tukang cerita atau pendongeng bagi anak-anak korban di wilayah pengungsian.
Saya bertemu dia di lokasi pengungsi di wilayah Mata’i, tepatnya di komplek sekolah calon Tantama milik TNI. “Saya sering menjumpai anak yang masih trauma. Ketika saya sodori spidol dan kertas putih, mereka menggambar laut yang ganas dengan tsunaminya.” Begitu cerita teman saya itu.
Yuda Andi, nama teman saya di masa kecil itu, lantas menjelaskan model terapi yang dia terapkan. “Saya ajak mereka menggambar laut tapi dengan laut yang indah. Pantainya menakjubkan lengkap dengan matahari yang terbenam.”
Dia begitu yakin – karena, menurutnya, anak-anak itu harus menerima konsep takdir: bahwa Yang mencipta dunia itu ada, dengan keputusan takdirnya “entah buruk atau baik.”
Yuda, yang juga seorang karikaturis, menawarkan medium gambar sebagai obat untuk menyembuhkan trauma anak-anak korban tsunami.
Setelah bertugas beberapa hari, dia meninggalkan anak-anak itu. Di sinilah saya lantas bertanya lagi, apa yang bisa kau berbuat lagi terhadap anak-anak sementara kau harus balik ke Jakarta. Yuda lantas menjawab, “Aku buatkan gambar foto diriku, dengan harapan mereka selalu ingat saya dan pesan-pesan saya.”
Kupikir-pikir terapi temanku itu tidak lain adalah menghibur agar anak-anak itu bisa berusaha melupakan kejadian itu dengan kegiatan lainnya. Kali ini Andi menggunakan gambar sebagai hiburan.
Tapi, bagaimana dengan foto orang-orang hilang itu, yang dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga? Bukankah itu mirip dengan terapi gambar pantai indah yang diberikan temanku itu tadi kepada anajk-anak itu?
Pertanyaan itu muncul kembali saat saya membuka kembali beberapa halaman surat kabar Serambi Indonesia dan Waspada. Di sana, ternyata, kudapatkan dua halaman berisi pengumuman orang hilang -- berikut potret dirinya.
Kutatap foto diri mereka satu-satu, dan tidak terasa mataku berkaca-kaca. Kalau sudah begini, aku lantas bertanya ulang: jadi, sebetulnya siapakah yang trauma? Adakah saya yang sudah 6 hari disini, dan sebelumnya 7 hari tinggal di antara korban tsunami, ikut pula terkena trauma.
Aku tak begitu yakin akan jawabanku: apakah aku trauma atau tidak. Aku sendiri kesulitan punya satu kata yang tepat untuk mewakili apa yang disebut sebagai situasi perasaanku saat itu. Mungkin kata yang mudah-mudahan bisa mewakili: menikmati kesedihan – kesedihan yang tidak menetap, tepatnya. Soalnya aku kadang-kadang aku masih tertawa, tersenyum saat melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang datang dari luar atau sisi dalam diriku. (Banda Aceh, Januari 2005, sebulan setelah bencana tsunami…).

No comments: