Jan 31, 2008

Mendiang ayahku dan majalah NG

KENANGAN itu selalu terjaga setiap kubuka halaman-halaman majalah National Geographic (NG) yang berbingkai kuning, di mana melalui tulisan dan gambar-gambar di dalamnya, aku diajak berjalan ke masa silam, untuk sebuah perjumpaan yang tertunda -- dengan ayahku.

 

**

EDISI pertama bahasa Indonesia majalah itu kudapatkan di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, beberapa menit sebelum aku terbang ke Bali, untuk liputan Kongres PDI Perjuangan di Sanur -- akhir Maret 2005. Saat kukeluarkan uang dan kubayarkan kepada petugas kasir di toko buku berukuran sekitar 4 meter kali 5 meter itu, perasaanku begitu hidup: aku akhirnya mampu membeli majalah itu, dan baru! (Harga majalah ini memang relatif mahal untuk ukuran harga majalah di Indonesia -- 40 ribu rupiah, tapi aku mafhum karena sebanding dengan kualitas kertas yang sungguh luks, serta kualitas foto dan gaya tulisan  yang yahud pula).

Keluar dari ruangan toko buku, kutenteng majalah itu dengan hati-hati, menuju ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk ke dalam pesawat. Ada perasaan aneh, mungkin lebih tepatnya bangga, saat tanganku menentengnya --  aku jadi  teringat perangai temanku di masa mahasiswa dulu, yang begitu bangga menggapit Majalah Time, saat melenggang di antara teman-temannya. Kekonyolan temanku itu tadi, kini kulakoni -- dengan sadar!

Itulah yang terjadi pada diriku, pada siang yang terang itu, apapun. Bagian depan majalah itu, yang laporan utamanya tentang penemuan fosil manusia purba di Pulau Flores, sengaja kuletakkan di bagian depan – agar orang-orang di bandara bisa ikut menikmatinya, tentunya.   

 

Perasaan aneh ini berlanjut saat aku merebahkan diri di kursi ruangan tunggu, sebelum dipanggil untuk masuk pesawat. Dalam waktu yang tersisa, kubuka halaman demi halaman majalah itu. Kuharap aku bisa membaca dari kata per kata -- dengan diselingi gerakan mataku melirik ke penjuru sudut ruangan, adakah calon penumpang membaca majalah yang sama.


Pikiranku kala itu memang tidak tunggal, kadang aku berusaha keras membaca satu artikel di majalah itu, tetapi di saat yang hampir bersamaan, perasaanku kubiarkan hanyut dalam jutaan  kata-kata yang tertera dalam majalah itu,  berikut makna yang timbul demikian, semenjak aku menemukannya di rak buku milik ayahku, lebih dari 20 tahun silam.

 

**   

 

TAK, tak, tak..,” suara seperti ini pernah  terdenyar nyaring, dari balik pintu kamarku. Suara itu keluar dari sebuah mesin ketik – aku lupa merek-nya. Melalui benda itulah, ayahku, menghabiskan waktunya di ruangan kerjanya yang selalu rapi dan  bersih (belakangan mesin ketik itu hilang, entah kemana, tapi aku masih ingat ayahku tidak  begitu memperlihatkan rasa kehilangan – walaupun, aku yakin, benda itu sangat penting buat dia yang gemar menulis) 

 

Ayahku, kelahiran tahun 1917, yang mendapat panggilan kesayangan “walid”,  adalah seorang guru Bahasa Inggris – dia mengajar secara privat, di mana murid-muridnya datang ke rumah. Sejak pensiun sebagai guru Bahasa Inggris bagi karyawan perusahaan minyak Stanvac, di Palembang, dia membuka les di salah-satu ruangan, yang letaknya di bagian depan rumah kami di kota Malang, Jawa Timur (ayah-ibu kami memboyong anak-anaknya, meninggalkan Palembang, tahun 1969, dan pindah ke Malang, Jawa Timur).

 

Di salah-satu ruangan rumah, seluas 3 meter kali 8 meter itulah,  ayahku menghidupi 5 orang anaknya – aku sendiri anak keempat.  Tapi, setelah beberapa tahun mendiami ruangan itu,  ayahku harus “rela” membagi ruangannya untuk dibagi, karena tuntutan ekonomi: separoh ruangan itu disewakan kepada orang lain, dengan dibatasi sehelai  triplek – saya ingat, jika ada kegaduhan di ruang sebelah, ayahku akan menggerakkan tangannya, mengetuk triplek pembatas itu (Belakangan, ruangan tersisa itu akhirnya harus dikontrakkan pula. Sebagai gantinya, ruangan untuk sholat, yang letaknya di sebelah kamar tidur anak-anak lelaki, disulap menjadi tempat  kerjanya). 

 

Setiap hari bertemu, dan setiap saat pula bisa bermain di ruangan kerjanya, membuat anak-anaknya akrab dengan benda-benda miliknya.  Itulah sebabnya, kami, anak-anaknya,  juga bisa tahu bagaimana dia begitu menyayangi, dan merawat secara teliti barang-barangnya – mulai buku filsafat, majalah berbahasa Inggris (juga majalah Tempo), perangko-perangko kuno (ada beberapa perangko bergambar Adolf Hitler, dicetak sebelum Perang Dunia kedua), kartu pos lama serta surat-surat pribadinya kepada para sahabat penanya di luar negeri (beberapa diantaranya adalah warga negara Turki, Inggris, dan Filipina).    

Rasa sayangnya itu dia tunjukkan dalam merawat buku dan majalah-majalah koleksinya -- dia akan menyampul sebagian bukunya bila perlu, dengan kertas warna coklat muda, bekas amplop berukuran besar. Dalam masanya, Walid juga membawa buku dan majalahnya ke percetakan, untuk dikemas ulang sampulnya – utamanya bila sudah mengelupas.

Di dalam lemari pribadinya, saya selalu melihat kapur barus. Itulah sebabnya, barang-barangnya, seperti buku atau kartu pos lama, selalu wangi. Kerapian memang identik dengannya --  hampir tanpa cacat! Tidak sampai di situ. Meja kerjanya juga selalu dibersihkan dengan lap basah, dan dibiarkan kering terlebih dulu, sebelum dia duduk rapi -- dan membuka-buka bukunya, atau mulai mengajar.

 

Ada satu buku yang gemar dia baca, dan kadang-kadang dilafalkan setengah keras. Aku lupa persisnya, tetapi itu catatannya tentang kata-kata mutiara atau kutipan orang kesohor tentang apa itu hidup -- semuanya dalam bahasa Inggris. Biasanya Walid tertawa kecil, saat kepergok membaca isi buku itu, dan baru kemudian menjelaskan apa makna tulisan itu.

Barangkali karena rajin menata ulang tempatnya, Walid jadi hafal di mana letak barang-barangnya -- karena itu, dia tahu dan sedikit protes, bila anak-anaknya mengutak-atik koleksinya, sehingga tidak lagi rapi seperti sedia kala.  “Siapa ini yang buka-buka buku, dan nggak ngembalikan dengan benar,” begitu kata-katanya yang kuhafal.

 

Salah-satu majalah kesayangannya adalah majalah berbingkai kuning itu tadi, National Geographic – yang dia letakkan di salah-satu sudut mejanya, dan ditumpuk nyaris rapi dan berurutan, sesuai waktu penerbitan.  Di masa kecilku, dia acap mengenalkan isi majalah berbahasa Inggris NG, yang dia beli dari sejumlah pasar loak di kota Malang.

 

 

Seingatku, di meja persegi itu ada beberapa terbitan majalah NG terbitan tahun 1950-an, serta edisi tahun-tahun setelahnya. Dan semakin tua usia majalah itu, ayahku meletakkannya pada sisi paling bawah. Kalau ditanya, apakah saya ingat semua isi NG milik ayahku, tentu tidak. Namun bila sekarang ini, saya melihat ulang tema yang sama, maka ingatan itu akan otomatis muncul lagi. “O, ya, aku pernah  membacanya,” kira-kira begitulah jawabanku kelak.

 

Yang kuingat sekarang ini, selintas, adalah kisah tentang sebuah kereta api diesel luks yang bisa membawa penumpangnya keliling Amerika, di tahun 50-an; ada pula kisah tentang sejarah Olimpiade kuno Yunani -- berikut gambar-gambarnya yang mencengangkan! Kisah-kisah dari sebuah negeri yang jauh,  pedalaman Afrika hingga ujung Kutub Utara, serta penelusuran  sejumlah negeri Arab yang eksotis, kisah sepenggal Afganistan (termasuk cover majalah bergambar gadis Afgan, yang belasan tahun kemudian dilacak NG dan berhasil), adalah tema-tema yang sempat kuingat. 

 

Pilihan ayahku membaca majalah itu, tentu juga didasari kesukaannya terhadap apa yang disebut sebagai ilmu geografi. “Kalau soal pengetahuan peta dunia, Walid dulu paling jago di sekolah. Walid hafal di luar kepala-kepala nama kota-kota di dunia..” katanya suatu saat.  Kusadari betul, cerita-cerita ayahku itu akhirnya membuat anak-anaknya, utamanya yang lelaki,  ikut jatuh cinta atas obyek yang menarik perhatiannya.

 

Saya dan kakak lelakiku, mulai tahun 70 dan 80-an, acap  membuka  majalah berbingkai kuning itu – biasanya lebih ingin tahu gambar-gambarnya. Terkadang tanpa sepengetahuan ayahku, saya menyelinap ke ruangan kerjanya,  dan  membuka-buka majalah itu dan menikmati  isinya. Sekarang aku sadar pula, bacaan tentang kisah-kisah itu membentuk watakku dalam memandang majalah itu… 

 

 

***


AGAK klise memang, tapi kupikir, majalah itu adalah contoh kongkrit sebuah karya jurnalistik yang baik. Pernah kubaca sebuah buku tentang teknis jurnalistik, dan di sana diberikan bagaimana  kisah wartawan NG mencari berita dan melaporkannya. Dari kisah itu, kusimpulkan bahwa untuk mengetahui keakuratan dan keseriusan kerja jurnalistik, maka NG adalah patut dijadikan contoh.

 

Bayangkan, seperti diakui penulisnya, mereka perlu turun ke lapangan selama sedikitnya 2 bulan, untuk menulis sebuah artikel yang cuma tidak lebih dari 3 halaman. Itu pun, setelah tulisan itu hendak memasuki proses cetak, si wartawan mengirim artikel setengah jadi itu kepada sumber beritanya -- untuk dicek ulang, apakah ada yang salah atau tidak.

***

SAAT aku pulang ke rumah ibuku di kota Malang, tahun 2005, masih kulihat puluhan majalah itu masih teronggok di lemari kayu, persisnya di rak bagian kiri  -- bayangan dan nafas Walid masih kurasakan dari lemari itu, yang barangkali salah-satunya barang peninggalan Walid, yang kini masih tersisa. Debu tipis menempel pada jari-jariku, saat kujamah majalah yang paling atas.

 

Tapi saat pulang pada Oktober 2007 lalu, semuanya tidak lagi kujumpai lagi.  Isi rak itu telah kosong! Ada perasaan nelangsa, saat peninggalan walid seperti perangko, majalah-majalah NG itu, tidak ada lagi di tempatnya -- walaupun bau wangi kapur barus masih tercium dari lemari itu...

 

Kuingin bertanya dikemanakan barang-barang itu, tapi kubatalkan.  (Saat Walid mulai pikun dan 'kehilangan' pekerjaannya sebagai guru privat, aku kadang-kadang berfikir bahwa karena itu Walid makin menderita. Begitu pula saat meja kerjanya dipindahkan. Awalnya, seingatku, ayahku itu masih memaksakan untuk tetap mengajar, walaupun sebagian muridnya makin berkurang. Tidak lama  kemudian dia terkena stroke awal tahun 2001, dan berujung kematiannya pada sebuah siang, 26 Januari 2002…)

***

 

KINI saya bisa membalik-balik majalah itu, dengan antusiasme yang bisa kukatakan mirip ayahku – walaupun tentu tidak serapi ayahku, tentu saja. (Walau aku terkadang dipaksa bertanya bila ada yang meminjam majalah itu, dan kemudian tidak berada kembali di tempatnya -- ha, ha, ha...). Dan setiap membuka halaman per halamannya, kurasakan semangat ayahku hadir bersamaku  – saya selalu pelan-pelan membuka per halaman, berusaha menikmati setiap kalimat atau paragraf yang ditorehkan para penulis kesohornya, serta mencermati karya jurnalistik foto dahsyat hasil jepretan fotografernya..

 

Dan setiap akhir bulan, kubuat diriku penasaran,  menunggu penerbitan edisi berikutnya. Ini terulang lagi saat saya bertugas ke luar kota, dua hari lalu. Usai meliput pemakaman mantan Presiden Suharto di Solo,  majalah edisi terakhir --yang tema laporan utamanya tentang peninggalan budaya Mesir kuno di Sudan -- kuburu dengan gelora tinggi di sebuah toko buku di kota Solo, Jawa Tengah, 29 Januari,  tiga hari setelah lima  tahun kematian ayahku…  (Jakarta, 31 Januari 2008) 

 

43 comments:

eny abdat said...

di doain aja walid yach,doa anak yg soleh insyaalllah yg diterima allah dan allah akan mengampuni dosa2 walid,damn menerima amal ibadahnya.

restu dewi said...

duh...jadi sedih......Abul yatama...nggak sendirian lho....

krisna diantha said...

fan, sejak tahun lalu aku berhenti langganan national geographic. mulai bosan dan akhirnya diberikan kepada orang-orang yang lebih memerlukannya. masih ada beberapa, siapa tahu berguna untuk hannah. " banyak tugas sekolah yang harus bikin kliping," kata angela. jadi majalah ini juga akhirnya akan digunting-gunting hannah kelak :-)
sekarang aku langganan majalah geo, mirip national geographic tapi ini terbitan jerman. juga selalu beli edisi khususnya, utamanya yang meliput daerah khusus, misalnya jalan sutra atau kawasan balkan.

Ervan Hardoko said...

Saya selalu bermimpi bisa menulis dan bekerja untuk National Geographic

Vania Koeberlein said...

ah kenangan dengan Bapak ya....jd terharu dg Bp. Walid yg rajin dan kangen sama bapakku sendiri...sori koment gak nyambung dg temanya NG...

Ajeng Dee said...

national geographic itu impian semua jurnalis gue rasa... aduh mas affan, dalem banget deh. jadi terharu bacanya.

Sigit -sihitamlegit- said...

sebagai tetangga terdekat saat dikantor, gw bisa tau dari cara lu menyusun meja kerja, ada sisi walid senior yang tertanam kuat dalam walid junior.

ika ardina said...

yang hanya bisa dilakukan di kantor hahahahaha....

Ervan Hardoko said...

Brarti kalau di rumah walid tidak serapih di kantor ya?

Affan Alkaff said...

.. semoga doaku masih didengarkan, En...

Affan Alkaff said...

... hiks.. ibu Restu, jangan sedihlah..

Affan Alkaff said...

Iya, Kris, aku tahu kau juga salah-satu pembaca setia majalah NG. Aku ingat, dulu sejak di NUSA kau sudah langganan majalah itu, dan langsung dari Amerika.. Dan aku bisa bayangkan kalimatmu "akan digunting-gunting Hannah kelak..." ha, ha, ha...

Adakah bedanya antara NG dan isi majalah geo terbitan Jerman, itu Kris? Ceritalah kawan...

Affan Alkaff said...

Betul Ervan, gaya penulisan NG, berikut tema kongkrit yang mereka ungkap, berikut ideologinya itu, yang selalu bikin mimpi-mimpi kita itu...

Affan Alkaff said...

Betul Ervan, gaya penulisan NG, berikut tema kongkrit yang mereka ungkap, berikut ideologinya itu, yang selalu bikin mimpi-mimpi kita itu...

Affan Alkaff said...

Memang, Van, tulisan itu kubuat juga sebagai semacam obat kangen buat bapakku.. lagi melo nih :)

Affan Alkaff said...

mimpi kita semua ya, Jeng... Tapi, hiks, jangan menangis, Jeng... :)

Affan Alkaff said...

he, he.. sok tahu elo Git... setahu gw, meja elo yang justru rapi abissss.... :)

Affan Alkaff said...

hehehehe... betul Ko.. :)

ienas Tsuroiya said...

Aku juga suka banget baca NG. Fotonya keren2...

sensen gustavsson said...

Enak ya Fan, punya ayah yang selalu up to date pengetahuannya dan rajin serta teliti.. sedikit banyak pasti nular ke kamu juga..

kiky fitriyanti said...

mimpi saya...ada foto saya (jepretan saya lho...bukan yang ada tampang saya...) dipublis di NG indonesia...hihih kapan ya...
ayah saya juga demen banget NG dari dulu ... dia tetep keukeh majalah NG lama ngga boleh diloak....ckckkckc

Affan Alkaff said...

Iya, Nas, foto-fotonya keren abis...

Affan Alkaff said...

ha, ha... Sen, ada yang nggak nular sama-sekali ke aku, yaitu rajinnya itu... :)

Affan Alkaff said...

Yang mana, Ky, fotomu? Jadi penasaran nih.. yang edisi ke berapa? Atau covernya apa? Beritahu ya....

Dan soal loakan, aku juga belum tega ngeloakin NG yang lama-lama.. Rasanya, yang lama-lama pun asyik untuk dibaca...:)

Lily Salim said...

hihihiii, jd malu nich sama Affan, cowok malah rapih yaaa, di ruang komputerku, abracadabraaaa, banyak buku2, iklan2, prospektus, berserakkan ...Fan, beruntunglah dikau, diwarisi kwalitas itu sama ayahanda tercinta ...

krisna diantha said...

hampir sama fan, hanya gaya bahasanya aku lebih suka geo jerman ini. dia juga banyak laporan khusus-nya, yang lebih detail dan lebih elegan. national geographic aku kecewa ketika laporan tentang irak, mereka sampai menunda artikel sambungannya.

Affan Alkaff said...

he, he, he, he... percayalah El, aku tidak serapi yang kau bayangkan, sungguh... Kalau bapakku mungkin mendekati rapilah...

Affan Alkaff said...

harus diakui, Kris, dalam beberapa artikel yang berbau kepentingan Bush, NG terlihat nuansa agak lebih pro AS...

kiky fitriyanti said...

yei...orang masih impianku..belon kenyataan...:-D, *mengamini saja*

Affan Alkaff said...

amin, amin! :)

krisna diantha said...

idealnya tidak boleh demikian, ng kan sudah mapan. tapi apa saya memang terlalu naif, ya udah akhirnya berhenti saja langganan majalah itu. sekaligus kekaguman terhadapnya juga luntur

Affan Alkaff said...

menurutku, kau tetap saja langganan Geo, tapi sesekali beli NG... he, he.. Soalnya, seingatku, ada kutipan seorang jurnalis senior, yang mengatakan, "tidak ada karya jurnalistik sebuah media yang ideal selalu, karena pada prakteknya terkadang liputannya berhasil, tapi terkadang pula kepeleset.."

krisna diantha said...

sudah males fan he he he

Bagdja Nugraha said...

Ikut terharu...tulisan ini bikin saya terkenang dan bertanya "Bisakah aku membalas semua jasa2 kedua orangtuaku?"....
Allah yarhamhu..Amin

Affan Alkaff said...

Terima kasih, kang Bagja.. Pertanyaan itu juga ada pada diri saya, karena ibu saya kini masih tinggal di Malang. Tak bisa dipungkiri, dalam keseharian, selain memikirkan keluarga (anak-istri), pekerjaan, sebagian lain lagi memikirkan orang tua...

dwi joko widiyanto said...

membaca tulisan ini aku seperti mendengar "dad's room" dan "something you said"-nya david benoit.

Affan Alkaff said...

Dwi, suara seperti apa yang kau dengarkan dari dua judul itu? Berceritalah, kawan...

dwi joko widiyanto said...

"laki-laki itu membuka pintu kamar baca ayahnya, pelan-pelan. matanya basah. ruangan itu masih seperti dulu, temaram, sepi, tapi hangat. dia tertegun berdiri di pojok, bersandar pada rak buku cokelat tua. harum kapur barus. masih ada jam meja, sajadah, kursi goyang, dan mesin ketik tua. juga kursi rotan dekat jendela.....dst "

ayahku masih sehat, fan. mudah-mudahan panjang umur. tapi waktu aku mendengar dad's room, imajinasi macam itulah yang muncul. seorang laki-laki muda yang pulang kampung, membuka kamar baca ayahnya, dan tiba-tiba teringat segala tentang ayahnya yang sudah meninggal.

tapi bukan sepenuhnya imajinasi. aku pernah mengalami itu, tiga lebaran yang lalu, waktu aku mudik, nyekar ke makam eyang, dan membuka ruang bacanya.

Affan Alkaff said...

Dwi, terima kasih... Semoga ayahmu sehat selalu.. Terkadang, memang ada rasa kangen, untuk membincangkan kembali sesuatu yang dulu belum tuntas dibicarakan... Atau, bicara omong-kosonglah, belajar sesuatu, setelah sekarang saya jadi bapak... Mungkin tulisan ini juga diilhami rasa kangen itu.

Dan mendengar cerita eyangmu dan ruang bacanya, juga dad's room, juga mendiang ayahku, rupanya ada kesamaan 3 sosok ini: suka baca dan masing-masing punya ruang baca -- yang artinya, pasti di sana ada kapur barus, meja yang sedikit berdebu, dan kehangatan yang muncul dari ruang itu...

Sekali lagi, terima kasih, Dwi...

arie alina said...

baru baca.... huaa.. sayang... koleksinya Raib...
ayaaahkuu.. masih ada nooh.. gendong2in cucu nya..
ngajak maen cucu nya...
diem2 ngasih cucunya kopi.... huhh..kakek iseng!

Affan Alkaff said...

semoga ayahmu selalu sehat-sehat, Rie...

syaifuddin sayuti said...

nice story.
gw kagum dengan hubungan kalian Fan...

Affan Alkaff said...

terima kasih Din...