"KAU berada di Aceh 'kan, saat tsunami itu terjadi?" Kalimat ini dilontarkan seorang rekan, pada pekan lalu, di sela-sela liputan perawatan mantan Presiden Suharto -- dia bercerita pengalamannya.
Saya mengiyakan -- dengan menggerakkan dagu ke atas, dan ke bawah, tanpa mengeluarkan suara: nafas rasanya tercekat. Ada semacam keengganan mengingat kembali saat liputan tsunami Aceh, 4 tahun silam. Tapi, kupaksa mendengarkan celoteh temanku itu tadi, seraya terbayang kembali kejadian-kejadian saat itu...
Saya, setelah liputan tsunami Aceh, selalu berusaha melawan "keengganan" itu, walaupun rasanya begitu sulit -- tapi kupaksa selalu. Caranya, aku mencoba siap menerima apapun, entah itu kisah-ulang, cerita, foto, atau apalah. Harapannya, tentu agar aku lebih bisa menerima kenyataan yang terjadi saat itu...
Dan, masih dalam kerangka keinginan itu, di bawah ini kusajikan lagi awal kisahku, yang kutulis 4 tahun silam, dua pekan setelah kejadian...
Sudah saatnya saya bisa berbagi pengalaman ini:
DIBANDINGKAN hari-hari awal setelah bencana, suasana Banda Aceh siang itu relatif berubah. Suasana hiruk-pikuk di Bandar Udara Iskandar Muda, yang terlihat ramai di minggu pertama, kini tidak seramai dulu. Pesawat-pesawat berukuran besar yang bertugas mengirim bantuan ke lokasi terpencil di pesisir barat, misalnya, saat itu tidak terlihat sibuk.
Saya kembali tiba di
Pasar-pasar yang menjual buah langsat, serta rambutan, sempat pula kudatangi. Wilayah yang luluh-lantak di dekat laut, seperti Pasar Malam Rex mulai terlihat dibenahi. Puing-puing dan rerutuhan yang dulu menyerupai bukit, kini tidak lagi terlihat, meski bangkai kapal nelayan berukuran raksasa masih teronggok di depan Hotel Medan.
Mayat-mayat yang di awal-awal masih gampang dijumpai di jalanan, saat itu tidak terlihat -- kecuali di bawah puing-puing yang belum tersentuh. Tapi yang tidak berubah adalah foto-foto itu, berikut keterangannya -- yang dicopy dan ditempel dalam lembaran kertas seukuran folio di beberapa sudut
Di bandara, misalnya, kertas-kertas itu ditempel di tiang-tiang, di ruang kedatangan bandara yang gampang terlihat. Walau kertasnya sudah terlihat lusuh dan sedikit terlipat di ujung-ujungnya, dan warna tintanya mulai buram, tetap membuat orang yang lewat di situ melihatnya.
Saya pun akhirnya merapat di depannya. Seolah gambar dalam foto-foto itu meminta berbagi kerinduan akan hidup. Juga, mungkin harapan akan pertolongan saat ombak setinggi setinggi 6-7 meter mengedor pintu rumah mereka – pada pagi itu.
“Dicari Unzir, suami 24 tahun dan Sani, istri 20 tahun.” Pasangan ini tinggal di Dusun Tualang, di Kabupaten Aceh Timur. Aku tak tahu alamat ini, tapi menurut cerita teman-teman, lokasi ini adalah bagian yang hancur akibat tsunami.
Dalam foto itu Unzir dengan mata sayu tampak memeluk Sani, sementara sang istri yang duduk di depan tangannya merengkuh dan membelai pipi atas Unzir. Agaknya saat pemotretan, Sani agak malu-malu. Senyumnya dikulum. Sepertinya pemotretan dilakukan secara otomatis di studio boks.
Enam hari saya tinggal di Banda, kertas pengumuman lengkap dengan foto mencari keluarganya yang hilang, masih menempel di sudut-sudut
Aku sendiri menyaksikan di sebuah lokasi pengungsian di wilayah Mata’i, di pinggiran
Tetapi siapa yang bisa mengukur apakah orang-orang itu telah bisa menerima kenyataan tragedi itu? Seperti apa bentuk kongkrit bentuk penerimaannya? Lantas, bagaimana dengan foto-foto itu yang dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga?
Saat-saat pertanyaan itu muncul, aku bertemu seorang kawan lama, yang sama-sama asal
Saya bertemu dia di lokasi pengungsi di wilayah Mata’i, tepatnya di komplek sekolah calon Tantama milik TNI. “Saya sering menjumpai anak yang masih trauma. Ketika saya sodori spidol dan kertas putih, mereka menggambar laut yang ganas dengan tsunaminya.” Begitu cerita teman saya itu.
Yuda Andi, nama teman saya di masa kecil itu, lantas menjelaskan model terapi yang dia terapkan. “Saya ajak mereka menggambar laut tapi dengan laut yang indah. Pantainya menakjubkan lengkap dengan matahari yang terbenam.”
Dia begitu yakin – karena, menurutnya, anak-anak itu harus menerima konsep takdir: bahwa Yang mencipta dunia itu ada, dengan keputusan takdirnya “entah buruk atau baik.”
Yuda, yang juga seorang karikaturis, menawarkan medium gambar sebagai obat untuk menyembuhkan trauma anak-anak korban tsunami.
Setelah bertugas beberapa hari, dia meninggalkan anak-anak itu. Di sinilah saya lantas bertanya lagi, apa yang bisa kau berbuat lagi terhadap anak-anak sementara kau harus balik ke
Kupikir-pikir terapi temanku itu tidak lain adalah menghibur agar anak-anak itu bisa berusaha melupakan kejadian itu -- dengan kegiatan lainnya. Kali ini Andi menggunakan gambar sebagai hiburan.
Tapi, bagaimana dengan foto orang-orang hilang itu, yang dibiarkan menempel dan dilihat banyak orang, sehingga ingatan itu selalu terjaga? Bukankah itu mirip dengan terapi gambar pantai indah yang diberikan temanku itu tadi kepada anak-anak itu?
Pertanyaan itu muncul kembali saat saya membuka kembali beberapa halaman
Kutatap foto diri mereka satu-satu, dan tidak terasa mataku berkaca-kaca. Kalau sudah begini, aku lantas bertanya ulang: jadi, sebetulnya siapakah yang trauma? Adakah saya yang sudah 6 hari di sini (Banda), dan sebelumnya 7 hari tinggal di antara korban tsunami, ikut pula terkena trauma?
Aku tak begitu yakin akan jawabanku: apakah aku trauma atau tidak. Aku sendiri kesulitan punya satu kata yang tepat untuk mewakili apa yang disebut sebagai situasi perasaanku saat itu.
Mungkin kata yang mudah-mudahan bisa mewakili: menikmati kesedihan – kesedihan yang tidak menetap, tepatnya. Soalnya aku kadang-kadang aku masih tertawa, tersenyum saat melihat, mendengar, atau merasakan sesuatu yang datang dari luar atau sisi dalam diriku. (Banda Aceh, Januari 2005, sebulan setelah bencana tsunami…).
22 comments:
waktu tsunani Aceh..aku masih cuti melahirkan..jadi masih setiap hari kerjaan melototi TV pas tayangan anak2 kecil yg meninggal duh....tak tega..menangislah pasti....geri
ga mau baca ah..buat sedih ... pasti nangis :(
Ayo Fan, nulis lagi. Kata banyak orang pintar, menuliskan pikiran dan perasaan kita, juga bagian dari "penyembuhan" yang efektif. Selain itu, ya buat catatan sejarah juga.. Menurutku, kamu beruntung bisa menjadi satu dar sedikit saksi sejarah bencana alam yang sedemikian dasyatnya. Thanks mau berbagi di sini..
iya, sedih kalau inget itu...
iya, sedih kalau inget itu..
maafkan saya, Ron...
Terima kasih, Sen.. Beruntung, saat setahun kejadian itu, kantor menugaskan aku lagi ke Aceh. Jadi, bisa lihat ada perubahan, bisa merasakan adanya semangat hidup dari keluarga korban...
Affan memang beruntung bisa jadi bagian sejarah dahsyat itu. Sementara Gw mau jadi bagian sejarah meninggalnya Suharto belum berhasil, meski sudah ngelumut di RSPP. (just kidding...:D)
aduh fan, tulisanmu bikin aku sedih karena harus mengingat peristiwa itu lagi!
Nil, maaf ya..
menyentuh. mudah-mudahan kita bisa menuai hikmahnya...
:((
terima kasih, semoga...
beruntunglah kau ada disitu Fan.
saat itu aku 'terpenjara' di kantor mengatur liputan kawan2 di aceh sana.
minimnya kru membuatku hanya menjadi penyambung liputan kawan2 di lapangan.
sedih ya....:(
betul :((
Udin, memang dari sisi jurnalistik, ini liputan paling menantang, karena ini salah-satu tragedi terbesar abad ini.. Dan memang tidak mudah. Tentu peranmu, sebagai 'penyambung liputan' kuanggap sangat penting, karena saat di lapangan, melihat kenyataan yang pedih itu, terkadang bikin orang kehilangan orientasi.. yang tentu butuh kehadiran orang lain yang berjarak dari kejadian...
Ky, dulu awal-awal, sekian bulan setelah liputan itu, terkadang mata ini gampang basah kalau melihat anak-anak kecil.. Sekarang, setelah aku liputan lagi setahun tsunami dan melihat kemajuan di Aceh, perlahan-lahan perasaan itu kembali 'normal'...
untungnya aku masih sempat ke aceh jauh sebelum tsunami.
saat itu menjelang pemilu 99, saat GAM masih berkuasa.
yang paling kuingat, saat itu sempat diinterogasi oleh orang GAM nyaris satu jam hanya untuk melihat-lihat sarang mereka. mereka takut aku bagian dari TNI.
Yang membuat aku penasaran, Din, sebelumnya aku tak pernah ke Aceh sebelum tsunami... Dan aku tak pernah merasakan apa yang kau alami itu: sebuah resiko yang mesti diemban jurnalis... Sebaliknya, aku justru bertemu bekas tentara GAM, yang sudah meletakkan senjata setelah perdamaian itu.. (ah, Din, aku jadi ingat kemarin aku bertemu si Feri, kameramen RCTI itu..)
Mas Affan, kejadian itu juga merenggut nyawa dua orang bocah Singapura dengan kakek-neneknya yang orang Banda Aceh asli, warga di seberang Masjid Raya Banda Aceh. Anak-anak itu pergi berlibur akhir tahun ke sana tanpa pernah kembali lagi, dan tak juga ada bekas-bekasnya. Nenek-kakek ditemukan beberapa minggu kemudian, lalu dimakamkan di Singapura (tempat putri-putrinya yang hanya tinggal 2 orang bermukim), malam hari diiringi deraian hujan yang nyaris tanpa henti dan lolong anjing serta erangan kucing di Pemakaman Aman Abadi. Saya ada di sana, saya menyaksikannya dengan air mata yang membaur bersama hujan yang mengantarkan mereka dipeluk tanah malam hari yang basah. Semua mengguratkan kesan yang dalam.
mbak Julie, membaca tulisan ini, saya bisa merasakan apa yang kusebut kepedihan, dan kehilangan, yang terjadi di komplek pemakaman itu..
Post a Comment