Jan 11, 2008

mendengar bunyi-bunyian di Ciater (liburan akhir tahun, bagian 1)




MELALUI suara-suara pada sebuah lembah, yang dialiri air hangat belerang dan kabut di kejauhan, kuabadikan ingatanku pada sebuah tempat. Suara-suara itu muncul bersahutan, utamanya jelang senja, melengkapi kesunyian yang seolah abadi.

Itulah pengalamanku, saat saya – beserta anak-istri dan mertua -- mengisi liburan di pemandian air panas dan penginapan Sari Ater, di kawasan Ciater, Kabupaten Subang. Kejadiannya pada akhir Desember lalu, ketika langit acap berwarna kelabu dan angin semilir menemani.

Tapi percayalah, suara-suara tersebut tidaklah muncul dari alam lain -- suara-suara itu barangkali pernah Anda dengarkan, bahkan amat sering, sehari-hari. Orang lain yang tinggal di tempat itu, mungkin juga istri dan mertuaku, aku yakin ikut mendengarnya. Namun ditelingaku, kala itu bunyi-bunyi tersebut kemudian menjadi berbeda.

Suara-suara muncul bersahutan, utamanya jelang senja tiba. Semuanya berirama, dan muncul dari arah yang berlawanan. Nadanya juga naik-turun, terkadang hilang karena disamun angin.

Awalnya kuanggap biasa, namun tiba-tiba ada tarikan dari dalam untuk mendengarkan lebih lanjut. Bunyi-bunyian yang pertama, muncul dari alat pengeras suara dari kantor pengelola penginapan itu. Sepertinya diputar dari sebuah kaset, suara itu adalah tembang Sunda, dengan kecapi dan degung sebagai alat musiknya. Sementara, dari arah yang berlawanan, dari corong menara mesjid terdengar lantunan ayat-ayat kitab suci..

Dan tatkala suara itu makin berirama, serta seiring kabut turun dari bukit berpohon pinus, rasa tentram, melankolis, mengenang sebuah tempat dan peristiwa, dengan sedikit melamun, pelan-pelan terbentuk di benakku. Kubiarkan ini terjadi apa adanya – tanpa campur tangan makna, dan keinginan untuk menganalisa. Saat itulah barangkali kurasakan apa yang disebut banyak orang sebagai keindahan..

Belakangan, setelah kejadian, aku mencoba bertanya tentang apa yang disebut sebagai mengalami keindahan. Pertama, kukatakan pengalaman itu sangatlah pribadi, dan tidak berlangsung lama – tapi membekas, karena aku selalu ingat kemudian. Kedua, ini lebih sebagai pertanyaan, apakah untuk mengalami keadaan seperti itu butuh suatu keadaan tertentu pula? Dan ketiga, betapa dahsyat kekuatan irama lagu atau musik! (saya lantas membayangkan bagaimana jadinya bila pidato para politisi diganti saja dengan alunan musik yang merdu..)

Bagaimanapun, tampaknya, di mana kita berada saat itu, tentu berpengaruh pula terhadap situasi batin, walaupun aku tak tahu persis berapa derajat pengaruhnya. Beruntung saat kami ke peristirahatan Sariater, tidak banyak pengunjung datang saat itu -- sehingga tak perlu pesan jauh-jauh hari, kami bisa mendapatkan kamar, serta kudapatkan situasi sepi itu tadi.

Rupanya, pilihan waktu kami ke sana, juga berpengaruh. Maklumlah, kami menyepi ke tempat itu, sehari setelah liburan Natal, dan lebih awal sebelum liburan akhir tahun. Tapi mengapa kami ke tempat itu?

Jangan kaget, perjalanan liburan kami jarang direncanakan secara matang. Acap mendadak, dan keputusannya dibuat dalam hitungan hari. Tapi percayalah, mengapa kami memilih Ciater, tentu ada latar belakangnya. Kali ini istriku adalah pelatuknya. Di masa kanak-kanaknya, istriku (yang lahir sekitar 15 kilometer dari sumber mata air belerang di Ciater) acap berlibur di sana. Itulah sebabnya, dia menyebut perjalanan ini sebagai wisata menjenguk masa lalu, alias bernostalgia.

Dan yang terjadi adalah, istriku – dan kedua mertuaku --sering membandingkan keadaan penginapan itu dengan kenangannya lebih dari 15 tahun lalu. “ Tak banyak berubah,” katanya dengan mata berbinar.

Aku sendiri sudah tiga kali ke sini. Ketimbang berlibur ke dataran rendah (pantai, misalnya), saya memilih di dataran tinggi. Rasanya aroma dataran tinggi, yang ditandai panorama pohon pinus di kejauhan, dan wajah beku penduduk desa yang bermantel, lebih menyenangkan ketimbang harus berkeringat, gerah…

Lokasi Sariater memang di dataran tinggi, sekitar 6 kilometer dari Gunung Tangkuban Perahu, di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dan tatkala masuk ke lokasi peristirahatannya, pemandangan dengan nuansa lama langsung terlihat. Harus kuakui, ada perasaan tenang, senang, nikmat, setiap memasuki sebuah tempat yang mengingatkan masa kecilku…

Taman yang luas, yang dihampari rumput hijau, yang dibiarkan begitu saja, tanpa dilekati atribut permainan baru. Di sana hanya terdapat ayunan besi yang selalu berderit jika digerakkan (mungkin karena kurang diberi pelumas), membuat masa kanak-kanak itu terlintas kembali -- kenangan akan masa lalu itu, rupanya bukan hanya milik istriku, tapi juga aku…

Dan bagaimana perasaan anakku? Saya tidak tahu, tapi pengalamannya menginap di sebuah peristirahatan yang tidak biasa (jauh dari rumah), menyediakan kolam renang (walau dia kurang suka air belerangnya), dan ayunan itu tadi, serta pengalaman naik kuda, tentu pengalaman yang menyenangkan…

Pengalaman berlibur ini, yang dihiasi suara-suara syahdu itu, tentu tak sepenuhnya indah. Pada malam hari, bebunyian lain justru menemani kami: gemuruh angin kencang membuat tidurku – dan istriku -- tak sepenuhnya nyenyak.. (bersambung)

13 comments:

boru martombak said...

Nunggu sambungan na :)

rahman AbduRahman said...

asikk keknya..

eny abdat said...

RUMPUT APA RUMPUT NICH...HEHHEHE...NGANTUK YACH NULISNYA.?

eny abdat said...

BIAR BAKPAO TAPI KEREEEEEEEENNNNNNNN

eny abdat said...

AIDA PASTI SENENG

ienas Tsuroiya said...

asyik banget liburannya..
Aida, Tante mau dong ikutan naik kuda:)

Affan Alkaff said...

ntar ya Ron...:)

Affan Alkaff said...

cobalah main ke sana, Rahman... asyik buat melamun hahaha :)

Affan Alkaff said...

cobalah main ke sana, Rahman.. asyik buat melamun hahahaha :)

Affan Alkaff said...

Iya, Enny, lebih tepatnya sejumput rumput, bukan hamparan rumput yang luas... :)

Affan Alkaff said...

istilah mobil bakpao itu kudapatkan dari seorang teman yang tergila-gila dengan mobil... Tapi memang bentuknya seperti bakpao..

Affan Alkaff said...

... saat naik kuda itu, dia itu antara senang dan takut.. tapi akhirnya naik, meski minta ditemani..:)

Affan Alkaff said...

...jadi Tante Ienas, kalau pas pulang ke Indonesia, jangan lupa ke Ciater... bisa naik kuda :)