Sep 16, 2007

Di bawah Museum BI, ditemukan benteng




SEBUAH reruntuhan benteng kota yang didirikan sedikitnya 400 tahun lalu, ditemukan di bawah komplek sebuah museum di kawasan kota tua Jakarta. Inilah benteng kota yang merupakan cikal-bakal kota Jakarta, sekarang ini. Penggalian arkeologis ini menemukan fondasi salah-satu sudut benteng itu, juga piring, pipa rokok serta gigi milik orang Belanda. Mengapa penggalian ini penting, dan bagaimana metode penggalian arkeologis ini dilakukan?

RUANGAN Museum Bank Indonesia, yang letaknya di depan Stasiun Kota dan disamping Museum Bank Mandiri, Jakarta, siang itu terlihat didatangi para pengunjung. Museum yang terus dibenahi itu dulunya adalah kantor Bank Indonesia, yang mulai dibangun tahun 1910 dengan nama De Javasche Bank – milik pemerintah colonial Belanda.

Sebagian pengunjung barangkali mengagumi arsitektur gedung yang terlihat terawat itu. Tapi belakangan rasa kagum itu makin bertambah, karena di dasar kompleks museum itu ditemukan sebuah sejarah panjang berdirinya kota Jakarta. Eddy Basuki adalah Duty Manager Museum Bank Indonesia (BI).
“Memang sejak awal diduga di areal BI ini, dulunya ada bangunan-bangunan tua sudah yang terkubur. Nah, sebelum berdirinya Javasche Bank, ini adalah bangunan rumah sakit yang ada di dalam suatu benteng. Nah, karena berada di dalam, berarti ada benteng yang melingkupi…”

Penasaran ingin mengetahui seperti apa bentuk benteng yang terkubur itu, saya ditemani seorang staf museum, mendatangi lokasi penggalian. Letaknya ternyata di halaman belakang gedung itu. Di lokasi itu ada sebuah lubang dan di dalamnya ada susunan batu bata dan karang.

Memang, bangunan itu sudah tidak berbentuk. Yang tertinggal hanyalah fondasi salah sudut benteng, atau disebut bastion. Namun demikian, menurut arkeolog Profesor Mundardjito, yang memimpin proses penggalian ini, temuan ini penting.

“Kita mau coba untuk menunjukkan kepada masyarakat di kota Jakarta, bahwa di bawah kota yang sekarabng, terdapat kota-kota lama. Dan kita ingin membuktikan bagian-bagian yang ada, karena kota ini umurnya 400 tahun lebih. Jadi nanti orang nanti bertanya, mana sih kota yang dulu itu atau sisa-sisanya itu. Jadi kita ingin menjelaskan kota ini jati dirinya sudah lama, identitasnya sebuah kota lama. Nah, kalau itu tidak ditunjukkan, orang tidak akan melihat bukti itu,” jelas Mundardjito.

Seolah berlomba dengan kecepatan perkembangan kota Jakarta yang seakan tidak mempedulikan masa lalunya, Profesor Mundardjito begitu bersemangat saat dipercaya Bank Indonesia untuk menemukan bukti-bukti keberadaan benteng kota itu.

Sejak bulan Juli lalu, maka proses pencarian bukti arkeologis pun dilakukan. Mundardjito yang berpengalaman melakukan penelitian serupa, mengaku ini pekerjaan yang tidak gampang, karena terlau banyak struktur bangunan di bawah tanah. Itulah sebabnya, bekas guru besar Universitas Indonesia ini menggunakan peta-peta kuno Jakarta sebagai metodenya:

“Dan benar bisa ketemu, berdasarkan peta-peta itu. Peta-peta itu dimulai dari tahun 1628, 1650, 1667, 1681, 1740, 1780, 47, 50, terus digabung, lalu dikaitkan dengan citra satelit google earth tahun 2007, dioverlay dengan keadaan sekarang. Dari situ, kita masih melihat ada sungai, jalan, ada bekas kanal, sehingga kita bisa mengetahui, oh, dulunya ini ada sesuatu di bawah. Nah, atas dasar itu, kita gali di bawahnya,” katanya.

Kesulitan itu akhirnya terbayar. Setelah dilakukan penggalian pada kedalaman 40 sentimeter, Mundardjito dan timnya menemukan susunan batu bata. Di bawahnya lagi mereka menemukan susunan bongkahan batu karang. Inilah fondasi salah-satu bastion, yang seluruhnya berjumlah 27, bagian dari benteng kota. Namanya bastion Hollandia, yang letaknya di sudut barat daya benteng.

Benteng itu sendiri tingginya 3 meter lebih. Didalam galian itu, mereka juga menemukan sejumlah artefak. “Ada keramik eropa, keramik cina, ada bekas paku, plat besi, piring, ada bata yang warna kuning, ada pula genteng, pipa rokok keramik Belanda yang panjang. Dan, yang menarik ada gigi palsu, dibuat dari keramik. Dulu itu ‘kan rumah sakit. Ada pula gigi taring, yang dicabut akarnya sampai terlihat akarnya. Jadi ada dokter yang nyabut…”jelas arkeolog ini seraya tertawa.

Dari penelitian atas dokumen sejarah, serta sejumlah gambar atau lukisan tentang panorama Jakarta kuno, Mundardjito menyimpulkan, benteng kota ini dibangun antara tahun 1629 dan 1650. Musium Fatahillah adalah bangunan pusat di dalam benteng.

Kalau memakai peta sekarang, menurutnya, benteng kota ini membentang dari museum Bahari di dekat pelabuhan Sunda Kelapa sampai pelataran Museum Bank Indonesia dan Bank Mandiri. Museum Bahari sendiri adalah bagian dari benteng tersebut.

Tapi mengapa akhirnya benteng ini dibongkar pada masa Gubernur Jenderal Daendels?
“Daendels pada abad 18 telah membongkar tembok kota benteng itu, dan batu batanya digunakan untuk membangun gedung Depkeu di lapangan Banteng. Kenapa dibongkar? Karena kota Batavia lama itu, banyak penyakit, malaria, tipus, kolera. Kira-kira ada 19 macam penyakit yang membuat orang Belanda meninggal dunia, bahkan kira-kira 90 persen lebih meninggal. Oleh karena itu, Daendels mengusulkan agar dipindahkan. Nah, mulai saat itulah kota lama terlihat tidak ada lagi, digantikan kota yang baru,” paparnya.

Dari peta tahun 1917 yang dimiliki Profesor Mundardjito, kota Jakarta kuno memperlihatkan perubahan drastis. Benteng kota tidak ada lagi, dan kanal-kanal sebagian ditimbun, yang sebagian menjadi rel kereta api dan trem. Lainnya menjadi jalan seperti yang tersisa pada masa kini. Setelah penggalian tahap awal ini dilakukan, Mundardjito ingin mengembangkan lebih lanjut. Tapi apakah semua lokasi bekas benteng akan digali?

“Nah kalau beberapa spot (titik) kita sudah tahu, ya itu sudah cukup buat kita. Kita tidak akan membuka seluruhnya ‘kan. Membongkar-bongkar bangunan sekarang, ‘nggak. Cuma di tempat-tempat kosong, barangkali perlu kita tampakkan sebagai bagian dari sebuah kota, dan berhubungan satu sama-lain. Jadi kita lihat ada inter action, antara satu tempat dengan tempat lain, ketika itu ‘kan. Di situ kepentingannya. Tapi kita tidak bisa mengikuti semuanya itu, tinggal sisa-sisanya kita tunjukkan. Jadi nanti harus kita buka, kita beri kaca jadi bagian outdor museum, biar orang bisa lihat. Sementara Indoor museum di dalamnya. Pengunjung bisa melihat semuanya”.

Jika sisi utara benteng kota itu sudah diketahui, yaitu Musium Bahari, dan pada sisi selatan ditemukan galian di bawah museum Bank Indonesia, maka Mundardjito masih punya keinginan menggali sudut bagian barat dan timur. Tentu ini tidak mudah, begitu katanya, karena di atasnya barangkali sudah berdiri bangunan yang juga dikategorikan bersejarah.

“Satu pelestarian di kota seperti ini, harus ada win win solution. Dalam arti kita trade off, mana yang harus bisa kita dikorbankan. Tetapi di dalam pengorbanan itu, ada bagian yang harus ditampakkan. Andaikata ada dinding yang sudah rusak, kita mau ganti baru, barangkali bisa saja, kalau tidak ada jalan lain. Tapi ada bagian yang lama biar tetap dan ditutup kaca. Nah, tunjukkan yang lama dan ini yang baru. Sehingga apa yang lama dan yang baru, orang bisa melihat evolusi perkembangan tekonoligi dan macam-macam. Jangan lupa yang itu.”

Kehadiran anak-anak yang memadati salah-satu ruangan di Museum Bank Indonesia inilah, yang nantinya diharapkan Mundardjito dapat mengetahui perjalanan kota Jakarta, melalui penemuan fondasi benteng itu. Masalahnya, menurutnya, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bukti-bukti itu. Dia mencontohkan pembangunan terowongan yang menghubungkan stasiun Kota dengan pelataran depan Bank Mandiri, yang dianggapnya kurang memperhatikan penggalian yang benar.

“Tentu harapan saya, arkeologi perkotaan ini harus dikembangkan. Jangan sampai kota itu , bekas bangunan dibongkar dan dijadikan mal, lalu digantikan yang baru, tanpa memperhatikan apa yang ada di bawah. OK saja kalau orang mendirikan sekarang. Tapi sebelumnya digali lebih dulu, supaya bisa ditampakkan, difoto dan direkam dan bisa ditunjukkan. Peristiwa itu ‘kan harus diketahui oleh kita. Dan dibuktikan. Nanti kita menjadi negara dongeng dong, kalau kita menuliskan dulu di sini ada ini, ada bangunan ini, mana sekarang, nggak ada. Cari sini, sana, nggak ada lagi, karena dibongkarin semua ‘kan. Itu namanya kita negara dongeng…”

(Disiarkan Radio BBC Siaran Indonesia, untuk rubrik seni dan budaya, hari Minggu, 16 September 2007)

11 comments:

Tomo Dewanto said...

akhirnya penggaliannya diterusin gak mas ?
2001 pernah job di sana waktu masih dipakai untuk pengedaran uang. tak banyak orang yang tau kalo dibawah gedung tua itu dulu terdapat emas cadangan devisa yang jumlahnya berbatang-batang.
salam kenal mas :)

Affan Alkaff said...

Bung Tomo, salam kenal...

Saat saya datangi lokasi pada September lalu, bekas penggalian ditutup plastik. Arkeolog Mundardjito -- yang bertanggungjawab mengerjakan proyek itu -- mengatakan, "proyeknya untuk sementara dihentikan, dan belum tahu kapan akan dilanjutkan".

Sayangnya saya tak bertanya kepada otoritas BI tentang tindaklanjuk proyek itu. Namun menurut Mundardjito, ada kendala teknis yang dihadapinya. Mulai soal banyaknya bangunan di keliling situs penggalian, sampai banyaknya piranti macam-macam di dalam tanah.

Dan untuk menuntaskan proyek ini, menurutnya, butuh waktu dan uang. Artinya, katanya, proyek ini sangat tergantung BI, apakah mau melanjutkannya atau tidak...

Saya pribadi menilai, BI sepertinya serius untuk melanjutkan proyek itu. Setidaknya itu terlihat dari komitmen dan keseriusan mereka membangun museum tersebut. Saya masuk ke dalam museum itu, dan setahuku, jika dibandingkan dengan museum lainnya, isi dan materinya sungguh bagus!
(Saya ambil contoh, mereka tidak menggunakan teknologi api untuk menghilangkan cat di sekujur pintu atau jendela, agar kayu aslinya kembali terlihat, karena khawatir bisa merusak.. dan untuk itu, para tukangnya diwajibkan menggunakan secara manual pakai tangan dengan alat bantu semacam pisau..)

Mudah-mudahan, seperti diinginkan Mundardjito, nanti situs itu dibangun museum outdor, seiring pembangunan museum indor yang hampir tuntas.... Semoga ya!

caca caca said...

Salam kenal Pak Heyder...

Saya lagi mencari peta Batavia (terutama area benteng batavia tahun 1620an). Bpk bisa bantu saya dimana saya bisa dapatkan peta tersebut? Sya sudah cari di google, cuma mungkin keywordnya salah. Dan saya juga ingin tahu, berapa luas benteng batavia (kurang lebih) dan manakah yang menjadi batasan dari benteng batavia pada masa tersebut?

Terima kasih sebelumnya...

Affan Alkaff said...

salam kenal juga, dan terima kasih... Maaf ya, saya tak paham tentang peta kuno Batavia. Saya juga sama-sekali tidak mengikuti secara detil tentang peta kuno Indonesia... maaf ya.

caca caca said...

Hehehe... baik! terimakasih untuk waktunya...

Muthz ' said...

oh..iya mas, yang ini letaknya memang di sebelah museum bank mandiri, tapi karena aku waktu itu wisata malam hari jadi memang nggak bisa liat museum BI nya..interesting, one day aku akan sempetin ke sana..tapi masih di lanjutin nggak yak penggaliannya?

Affan Alkaff said...

lebih dari 3 bulan, Muthz, aku tak ke sana lagi.. jadi, tak tahu apakah proyek itu dilanjutkan atau tidak...

Mahandis Yoanata said...

Mungkin yang dimaksud awal abad ke-19, karena Si Toean Goentoer itu memerintah Hindia Belanda tahun 1808-11.

Laporan yang menarik Pak...

Affan Alkaff said...

Terima atas masukan dan apreasinya, Pak Mahandi... juga salam kenal..

kezia paramita said...

kemarin saya sempat ke mbi, dan lihat sekilas ke lokasi penggalian. tapi kok tidak ada tanda2 pekerjanya. sepertinya sudah tidak dilanjutkan lagi. sayang sekali, saya pengen banget lihat benteng yang terpendam itu, mungkin kedepannya bisa menjadi aset bi untuk diperlihatkan kepada masyarakat..indonesia yang lebih melek sejarah

Affan Alkaff said...

..Saya sepakat dengan Anda: ingin sekali melihat sisa bangunan benteng itu dimunculkan kembali, dan diberi konteks, sehingga masyarakat bisa mengetahui masa lalu kota Jakarta.. dan mau belajar, agar tak gampang merusak kotanya... Salam kenal, dan terima kasih....