Sep 15, 2007

rapor biru anakku




RAPOR biru anakku? Apakah berarti semua angka rapornya tidak ada yang merah? Jangan salah sangka! Rapor biru itu cuma warna sampulnya, dan bukan terkait dengan isinya. Apa pasal? Karena rapor triwulan, atau tengah semester sekolah anakku Aida, sama-sekali tidak mencantumkan angka-angka – dan karena itu, jangan harap ada angka merah atau biru.

Di dalamnya, yang justru ditampilkan adalah penjelasan secara deskriptif bagaimana perkembangan perangai anak, serta sejauh mana anak itu mengapresiasi materi pelajaran sekolah. “Kita tak ingin setiap anak merasa terpojokkan karena ada yang nilainya 90 atau 40, misalnya. Ini kita lakukan karena setiap anak itu pada dasarnya memiliki keunikan,” ujar kepala sekolahnya, suatu saat.

Saya ambil contoh. Pada mata pelajaran art (seni), misalnya, dalam laporan hasil belajar itu dipilah lagi jadi 3 kategori, pertama, pengaplikasian konsep dan ketrampilan; kedua, pemakaian material; dan ketiga, kerjasama dan partisipasi. Nah, 3 kategori itu dinilai dengan berdasarkan 4 kriteria, yaitu apakah belum muncul, mulai terlihat, berkembang sesuai harapan, dan berkembang pesat. “Makanya, di sekolah kami tidak mengenal ranking,” masih menurut kepala sekolah.

Pada halaman terakhir buku itu, tim guru memberikan semacam komentar atas perkembangan setiap murid. Penjelasannya kualitatif, deskriptif dan bernada empati. Dimulai dengan kata “Aida adalah anak yang….” Tentu didalamnya dimasukkan pula semacam masukan, berikut jalan keluarnya.

Dan pada akhir pekan pertama September lalu, saya dan istriku – dan para orang tua lainnya, diundang untuk acara ‘malam orang tua’ sekaligus menerima buku rapor itu. Kami sengaja ijin tak masuk kantor. Yang menarik, sebelum rapor itu dibagikan, para orang tua mengikuti semacam program sekolah mirip anak-anaknya.

Jadi, saya dan orang tua lainnya – di kelas anakku hanya terdiri 16 siswa --, ikut baris sebelum masuk kelas, mengisi absensi, serta mengerjakan sebagian materi pelajaran murid kelas 1. Ibu gurunya juga memerankan seolah-olah di depan muridnya. Kita juga diberi tahu hasil olah ekerjaan dan kreasi anaknya. “Dengan demikian, para orang tua bisa memahami apa yang diperoleh, dikerjakan anak-anak, berikut tujuan dan maknanya, “kata wali kelasnya.

7 comments:

sensen gustavsson said...

Sekolahnya Aida, modern (unkonvensional) sekali metode pendidikannya ya. Hampir sama dengan di sini. Tapi di sini, anak-anak SD gak pernah terima lapor. Paling, setahun 2 x ada pertemuan ortu-guru dan murid untuk diskusi mengenai perkembangan anak. Baru di SMP (gak ada SMP sih, grade 8 dan 9) baru ada semacam raport. Anak-anak di sini selalu naik kelas, he..he..

ika ardina said...

Iya... sekolah ini memang berbeda metodanya, ga konvensional.. Dan dia mengklaim BUKAN sekolah internasional... melainkan "cuma" sekolah nasional biasa... Benar2 melihat anak murid sebagai individu, sebagai pelaku pendidikan bukan sebagai obyek.. Soal 'raport' itu sendiri sebenarnya sudah ada yang mempertanyakan kenapa bukan berupa angka-angka seperti raport jaman kita kecil... Artinya sebenernya orang2 yang berpola pikir "konvensional" masih banyak banget.. Sekolah artinya harus ada tanda yang jelas berupa angka untuk menentukan tingkat kepandaian seseorang, tanda itu haruslah dituliskan dalam "raport", jadi ortu bisa tau si anak itu "pinter", "biasa aja" atau "bego" hanya dari angka 0-10 itu... Yah untunglah ada sekolah yang mulai mendobrak hal2 seperti itu... Dengan begini orangtua lah yang harus belajar kan...

Affan Alkaff said...

Sen, bahagia juga kita hidup sekarang, setidaknya jika kita bandingkan jaman doeloe kita sekolah...hehehe.. Kalau sudah begini, biasanya yang keluar adalah cerita pengalaman yang kurang enak. Seperti gurunya yang killer, agak rasis, suka mukul, dan sarana yang minim, serta jumlah murid yang membludak.. Mudah-mudahan ya dengan membaiknya sistem pendidikan, entah di Jakarta dan Swedia tentunya, itu akan berimbas kepada kualitas anak didiknya.. ya, nggak, Sen..

Yiyik K said...

Kayaknya trend sekolah2 di Indonesia (atau seengaknya di kota2 besar) memang seperti ini ya... Makin banyak sekolah dan ortu yg beranggapan penilaian ke anak, terutama yg usia SD, lebih penting dilakukan secara kualitatif drpd kuantitatif - mirip2 di sini juga. Mudah2an makin banyak yg ikutan trend ini... :)

Affan Alkaff said...

Yik, aku barangkali termasuk yang skeptis, kalau sistem baru itu bisa berjalan di sekolah anakku. Saat kepala sekolahnya menerangkan visi sekolah itu (pada masa pengenalan), aku belum sepenuhnya yakin. "Jangan-jangan cuma sebatas kebijakan, tapi belum tentu ada tindaklanjutnya," begitu yang kupikirkan. Dulu aku juga berpikir: bagus di tingkat visi, tapi aku tak yakin yang di bawah bisa menindaklanjutinya. Tapi setelah berjalan sekian bulan, dan lihat prakteknya, sampai saat terima rapor itu, aku mulai percaya. Aku sih membayangkan, sistem ini dijalankan secara sadar, dan mudah-mudahan tak sekedar mode sesaat... :)

Yiyik K said...

Bener, Fan. Kalo sekolah itu udah jelas visinya, sekarang tinggal ortunya yg harus (bolak-balik?) diyakinkan bhw sistem spt itu punya kelebihan, krn satu2nya yg bisa mengubah arah kebijakan itu faktor tekanan dari ortu... :)

Affan Alkaff said...

sepakat Yik... dan itu artinya sebuah proses yang panjang ya...