Sep 11, 2007

membayangkan mudik




MEMBAYANGKAN mudik lebaran, itulah yang kulakukan dalam dua-tiga pekan terakhir -- dan betapa mengasyikkan! Pada hampir tiap malam menjelang tidur, misalnya, kusempatkan ngobrol dengan anakku, Aida: membayangkan bagaimana nikmatnya mudik dengan kereta api (dia sudah 3 kali ikut mudik ke Malang, terakhir tahun 2005, dua kali naik pesawat, sekali kereta api).

“Aida mau duduk di mana, dekat jendela atau di sebelah koridor?”
“Dekat jendela dong, Lid, biar bisa lihat Pak Tani menanam padi,” jawab Aida dengan senyum yang melebar.

Istriku kuajak pula diskusi: apakah perlu dulu kita mampir di Yogyakarta, sebelum akhirnya berlabuh di Malang. “Barangkali kita nginap sehari di Yogya, untuk istirahat, jalan-jalan, sekalian jenguk buyutnya Aida,” begitu kubayangkan.

Sejauh ini, kami selalu naik kereta api ekspres Gajayana atau Argo Bromo Anggrek, untuk menuju ke Malang. Dan bila skenario mampir di Yogyakarta itu jadi, maka kami mesti naik kereta api ekspres Gajayana. Kereta ini melalui jalur selatan, sebelum akhirnya berlabuh di kota Malang. Masalahnya, menurut istriku, kereta ini berangkatnya sore, dan bisa semalaman di atas kereta. “Capek-kan?” istriku beralasan, dan aku mengiyakan.

Alasan ini memang masuk akal, dan biasanya kita tak bisa tidur nyenyak saat kereta melaju – ini pengalaman nyata saat kami berlibur, tahun 2003. Jadi, walau kita mengakui kelebihan kereta Gajayana bisa langsung menuju Malang, dan tidak lewat Surabaya (bukan rahasia lagi, setelah ada lumpur Lapindo di Sidoarjo, perjalanan darat dari Surabaya ke Malang, menjadi seperti “neraka” – lama, karena harus memutar) kami memilih alternatif kereta yang kedua. “Mau-nggak mau, kita naik Argo Bromo Anggrek, ya kan,” begitulah kurang-lebih kesimpulan kami.

Kalau nanti kami jadi naik kereta ini, maka perjalanan akan berlangsung pagi hingga malam – kereta tiba di stasiun Gubeng, Surabaya, sekitar pukul 7 malam. Saya lantas menengok wajah anakku, yang barangkali bisa lebih menikmati perjalanan di siang hari. “Nah, kita semalam bisa menginap di Surabaya, sebelum besoknya kita naik kereta api ekonomi ke Malang,” kami membayangkan demikian.

***

JUMAT, 7 September lalu, kuambil waktu liburku, untuk mengecek bagaimana memesan tiket kereta di Gambir. Tapi akhirnya kubatalkan datang ke lokasi itu, setelah kuketahui pemesanan untuk keberangkatan tanggal 13 Oktober, baru dibuka tanggal 13 September. Kami memang berencana mudik pada saat hari H lebaran. “Pasti agak sepi dibandingkan sebelum hari H,” ujar istriku.

Melihat pengalaman tahun-tahun sebelumnya, aku sudah membayangkan, betapa nanti antrian itu akan memanjang – dan aku berada di urutan buncit, karena datang terlambat, lantaran bangun kesiangan. Itulah sebabnya, selain alasan lain, kami lantas mencari jalan lain agar dapat tiket. “Kita beli saja dari biro perjalanan, atau pesan melalui telefon atau internet ke pihak kereta.” Tapi jawaban dari ujung telepon selalu sama: “Silakan pesan persis sebulan sebelumnya”. Artinya, saya harus menunggu tanggal 13 September ini…

***

SAMBIL menanti waktu pemesanan kereta, aku kini membayangkan apa yang bisa kami lakukan saat mudik nanti. Di bawah ini, sebagian album foto lama saat kami mudik tahun 2005 (naik pesawat) dan 2003 (naik kereta ekspres Gajayana)…

20 comments:

aya blue said...

Aduh.. aida.. kasihan banget.. kecapean yach..
Besok klo mudik.. minta ayah bawa bantal yach... ^_^
Met puasa aida..

krisna diantha said...

kami mungkin suatu saat naik kereta api bisnis atau ekonomi, mungkin juga pelni jakarta surabaya

sensen gustavsson said...

cakep ya, ibu dan anak..

ika ardina said...

Naik kapal itu sebenarnya rencana kami tahun 2005 lalu... Sayang, ga ada info yang jelas dari pihak Pelni untuk keberangkatan Surabaya-Jakarta...

sensen gustavsson said...

He..he.. Aku juga membayangkan beratnya mudik nanti, sendirian dengan 2 balita kami. Kalau Linn yang 4 tahun, aku gak khawatir, karena dia mulai mengerti situasi. Nah, aku masih pusing sama Robert, 2 tahun. Dia mengerti semua instruksi, tapi gak peduli.. asal dia asyik main. Kemarin, aku ke toko mainan, tanya staf di sana, aku harus naik pesawat 17 jam dengan 2 balita, apa yang harus kulakukan. Dia lalu menunjuk sejumlah "peralatan" hobi, mainan, yang didesain buat travelling. Ada aneka miniatur mobil, kereta, pesawat, traktor (kesukaan anakku), dari plastik tapi kualitas bagus yang aman buat anak-anak. Lalu ada kertas tulis/gambar yang dilapisi plastik, bisa dihapus sesukanya (ringan, cuma selembar kertas dan pena--di sini anak-anak hobi sekali menggambar) Lalu ada buku cerita dengan puzzle di dalam cerita gambarnya. Ada lagi cerita bergambar yang karakternya bisa kita pindahkan ke mana2 sesukanya dan bisa diubah setiap saat, juga hanya salam selembar kertas tebal, jadi gampang dibawa dan ringan. Terakhir, aku beli juga crayon. Tapi biasanya di pesawat, mereka juga bakal dapet mainan dari kru stewardesnya..

ika ardina said...

Sayangnya, anak2 itu pembosan hehehe... sebanyak apa bekal "mainan, buku, dll" yang kita siapkan, rasanya tetap saja kurang karena mereka akan mencari yang ga ada...:(

Affan Alkaff said...

ayablue, Aida itu kemana-mana bawa guling bayinya, bukan bantal.. hehehe. Dia akan bete kalau barang empuk itu lupa dibawa :) Coba dilihat, itu yang dipegangnya itu kan guling..

Affan Alkaff said...

Krisna, aku kayaknya dulu seperti kamu. Penginnya ajak Aida naik transportasi umum, entah bus, kereta, atau kapal sekalian... Kadang ini kesampaian, dan biasanya dimotivasi agar Aida paham kondisi di sekelilingnya... Kayaknya, Kris, ntar kita janjian naik kereta ekonomi ya.. pengin tahu bagaimana reaksi anak kita :)

Affan Alkaff said...

Sen, aku bisa membayangkan nantinya seperti apa perjalananmu itu... Dulu, saat kerabatku pulang dari Abudhabi, seorang perempuan dengan 3 orang anak kecil-kecil, juga menyiapkan 'mainan kesayangannya' masing-masing: ada boneka, mobil-mobilan... Tentu 12 jam perjalanan, cukup membosankan buat anak-anak, apalagi di dalam pesawat.. Nah, Sen, aku berharap semuanya lancar, seperti yang kuharapkan pula dalam perjalanan mudikku nanti... semoga ya... Kutunggu ceritamu dari perjalanan panjang itu...

krisna diantha said...

aku dari jakarta ke swiss cuma berdua aja dengan hannah, tapi pas transit di kuala lumpur semua pada lihat, karena hannah minta gendong saat antri, setelah itu ya ok ok saja

Yiyik K said...

Duh... asiknya yg siap2 mau mudik. Bagus juga kalo Aida sering diajak diskusi seputar mudik, biar dia bisa siap2 fisik & mental :)

niniel wda said...

Fan... Gajayana gak seperti dulu lagi. Kondisinya agak berat. Kalo mau naik Argo Bromo siang sih.. aku saranin sih.. jangan. Terakhir mudik 2 minggu lalu, aku naik Argo Bromo.. telat melulu. Sampai surabaya jam 8 malam. Kebayang.. kalo kalian bertiga berangkat, Aida pasti capek. Apalagi elo pulang pas rame-ramenya mudik.

Saranku sih.. mending naik gajayana langsung malang. Pulangnya, baru mampir Yogya. Dari malang ada kereta ekspress pagi (patas) kayak pakuan gitu deh.. sekitar Rp 15 rebu, turun gubeng aja. Langsung sambung kereta api Sancaka, sekitar RP 70 rebu deh. Kereta eksekutifnya lumayan, kayak Argogede. Ada dua jadwal.. berangkat pagi jam 7 pagi dan sore, jam empat sore dari Gubeng. Sampai Yogya.. kalo pagi, sekitar jam 12 gitu. Kalo malem.. sekitar jam 8. Tapi kalo mau ekonomi.. ada juga turangga dari Semut..Sekitar Rp 25 rebu, .Nyampe Yogya-Solo sekitar jam 12 gitu deh.

Kecuali kalo dari Malang mau langsung Yogya, gak mau repot, naik travel dari situ. Sekitar cepek deh. (moga-moga gak kena harga lebaran). Langsung dijemput dan diantar.

Hehe.. aku sih lagi berdoa, semoga bandara Juanda jadi dipindah ke Kediri. Kan lumayan buat kita ngirit abis. Apalagi surabaya baru uji coba untuk kereta patas untuk jalur barat.. Surabaya, jombang, kertosono, kediri, blitar dan malang.. gak lewat lumpur!

Met Mudik deh!!





Affan Alkaff said...

makasih Nil.. aku kayaknya nggak jadi ke Yogya, jadi langsung ke Malang. Nah, apakah naik argo atau gajayana, kutimbang-timbang pilih argo, karena berangkatnya pagi dan sampai Surabaya, malam hari.. Jadi, kami bisa istirahat malam di Surabaya... Kalau naik gajayana, Nil, kita jelas semalaman si kereta, dan jelas nggak bisa istirahat...

setuju Nil, kalau bandara Juandanya dipindah. Aku tentu saja minta dipindah ke Malang :)

Affan Alkaff said...

kalau mental, Yik, barangkali dia udah ngerti ya, cuma fisik itu yang kupikirin... :(

niniel wda said...

hihihi.. Malang atau Kediri sami mawon.. hehe.. pokoke pindah luwih cedek! kamu kenapa gak pake pesawat aja. Kan ada tuh yang ke Malang.. luwih cepet kan!

Affan Alkaff said...

Nil, penginnya kita naik pesawat....:)

suluhpratita ... said...

aku selalu iri pada orang-orang yang mudik...
kapan ya..bisa menikmati heroiknya mudik..hihihi..
maklum nih..lahir dan gede di jogja...kerja di jogja..kawin sama orang jogja yg jarak rumahnya gak nyampe 2 km..hehehehe...

Affan Alkaff said...

Ta, membayangkan mudik memang nikmat, juga saat tiba di kampung dan bernostalgia dengan kerabat dan teman lama. Tapi, membayangkan saat belum dapat tiket, itu yang bikin sengsara.. hehehe. Sejauh ini tiket pulang itu belum kudapat. Mungkin, paling sengsara, nanti kami pesan tiket kapal laut Pelni (Jakatta-Surabaya)... Tapi betul juga katamu mudik itu penuh heroisme... hehehe.
Dan nikmati saja Ta saat Yogya nanti sepi karena ditinggal mudik penghuninya...

niniel wda said...

hehe.. udah.. lebaran aja di Jakarta.. hehe..!

Affan Alkaff said...

wah, bisa pening kepala Nil, kalau dua tahun di Jakarta melulu... :)