DI SELA-SELA mengantar istriku memperpanjang Surat Ijin Mengemudi (SIM) -- di kawasan Kalibata, Jakarta -- aku mengajak anakku ke Makam Pahlawan Kalibata, tidak jauh dari lokasi itu. Kejadiannya hari Sabtu, 22 September, pada sebuah siang yang terik.
Ternyata Aida tak menolak -- dia sudah paham apa yang dimaksud pemakaman atau kuburan (dulu, dia kuajak melihat makam kakeknya di Malang, Jawa Timur). Dia juga sedikit-banyak tahu bahwa kematian adalah lanjutan dari kehidupan. Lagipula, "aku juga belum pernah ke makam pahlawan kalibata," begitu pikiran yang ada di benakku.
Tapi dasar anak-anak, yang dilihat Aida pertama kali adalah kolam ikan, yang ada di sekitar tugu pintu masuk.
"Airnya bening ya, Lid," katanya santai.
Dia kutunjukkan sebuah tugu, yang di dalamnya tertera nama-nama pahlawan nasional, seperti Perdana Menteri pertama Sutan Sjahrir, diplomat dan mantan Menlu Agus Salim, dan beberapa nama lain.
"Aida tahu kan Sjahrir?"
"Tahu..." celetuknya santai, seraya ngeloyor pergi dan berlari kecil, saat melewati sebuah tanjakan yang kemudian menurun. Dalam setiap kesempatan, di saat baca buku tentang Sjahrir, Hatta, Soekarno, dan juga Amir Sjarifudin, Aida kucoba kulibatkan...
Siang itu jelas komplek pemakaman sepi. Hanya ada 4 orang yang rupanya adalah petugas kebersihan. Pikiranku sudah kuarahkan untuk mencari makamnya Sutan Sjahrir, orang yang pikiran, sikap politik dan perjalanan hidupnya sempat menarik perhatianku. "Yuk kita cari makamnya Bung Sjahrir," kataku pada Aida.
Tatkala kali pertama melewati sudut pemakaman, Aida terlihat heran ketika matanya melihat sebuah pemandangan. "Kenapa kuburannya ada topi tentaranya, emangnya yang dikubur semua tentara?" Kujawab tak semua pahlawan itu tentara. Tapi soal topi tentara, aku tak bisa menjawab. "Nanti kita tanya orang yang paham ya.."
Di luar pertanyaan itu, Aida justru asyik dengan bunga-bunga kamboja yang gugur terbawa angin. Dia bahkan minta aku membantu membawakannya. "Ini bunga untuk mama," tegasnya. Tangannya yang mungil itu akhirnya disibukkan dengan bunga putih yang harumnya khas itu.
Sambil mencari makam si bung kecil, aku justru menemukan makam Baharudin Lopa, mantan Ketua Komnas HAM, mantan jaksa agung, yang masa hidupnya dikenal bersih -- persis di sampingnya makam Ibnu Sutowo, bekas Dirut Pertamina jaman Suharto. Ada pula makam eks Mendagri Rudini, Nyonya Nelly Adam Malik (berdampingan dengan pusara suaminya), serta mantan Wapres Sudarmono. Juga makam seorang pahlawan yang tak dikenal...
Sadar tak gampang menemukan makam Sjahrir, aku akhirnya bertanya kepada seorang petugas kebersihan. "Sjahrir? Meninggalnya tahun berapa?" Kusebut tahun 1966. "Oh, itu di sebelah sana," katanya seraya menunjuk sebuah sudut.
"Nah, Aida, ini makamnya Sjahrir," kataku setengah gembira. "Oh, ya Lid, bisa nggak Sjahrir kita hidupkan lagi..." Aida berkata, dengan tampang tak serius. Kujawab "nggak bisa dong.." Dia kemudian tertawa kecil.
Aida lantas kuminta menabur bunga kamboja itu di pusara Bung Sjahrir, yang semasa hidupnya dikenal sangat suka anak-anak (seorang jurnalis senior dan dikenal dekat pemikiran Sjahrir, suatu saat pernah mengungkapkan, sjahrir akan memilih bermain dengan anak-anak ketimbang seharian membaca buku di kamar)...
Usai kunjungan singkat itu, Aida memberikan bunga itu kepada mamanya...
22 comments:
Bagus Fan.. digedein dan diframe
Coba agak sorean dikit.. dari pintu parkir.. sunset disitu indah banget
betul juga Nil.. Dan memang siang itu panas sekali.. fiuh. Untungnya aku pakai topi, dan akhirnya kupinjamkan pada si Aida... Kapan-kapan tentu aku akan datang menjelang senja..
foto fotomu bagus banget fan...
lu ternyata bapak teladan ya
.. Glen, ini judulnya bapaknya yang keranjingan dengan masa lalu.. aku nggak pernah tahu, apakah anakku memang betul-betul berkenan atau tidak jalan-jalan ke kuburan.. hehehehe
Aida cantik sekalii...
terima kasih.. itu bapaknya yang memaksa, agar dia sedikit tersenyum -- maklum hawanya panas sekali saat itu.. :)
9 Februari .... Selamat Hari Pers Nasional. Mudah-mudahan semangat Bung Sjahrir bisa menitis! :D
oh, ya, Dudy, baru ingat hari pers nasional sekarang.. he, he... semoga ya, dan terima kasih!
fan,
anak (mungkin terpaksa) ngikutin keranjingan bapaknya...
salma --anak saya-- juga lebih demen ndengerin dream theater ketimbang ndengerin sheila on 7, misalnya.......kedemenan dia sekarang album 6 degrees of inner turbulence...gara2 CD itu keseringan diputer di mobil yang notabene disetir bapaknya...
wakakakakakakakkk.........
betul Ris, walaupun sebagian orang mengatakan, termasuk Kahlil Gibran, "anakmu adalah bukan anakmu", nyatanya pengaruh bapak/ibu mau-tidak-mau selalu tertanam (mungkin sebagian) pada diri anak.. Ini barangkali lebih psikologis ya, kendati ada sisi lain (yang entah datang dari mana) pada diri anak yang kita tak selalu tahu...
Dan, apapun, berbahagialah kau Harris, saat anakmu (Salma) nanti kelak lebih faham makna lirik musik rock atau metal kegemaranmu... ha,ha,ha...:)
subhanallah cantiknya si aida...pintar lagi...
senyummu nak...manis sekali...
"makasih Tante Vania," kata Aida, setengah berbisik...;)
btw sudah dapat tahu belum jawaban atas pertanyaan Aida..'kenapa ada topi tentara di atas kuburan..? he..he..he. aku juga nanya tuh ..sampai sekarang belum ada yang bisa jawab. Kalau sudah tahu jawabannya kasih tahu aku ya... hi..hi..hi
belum Dit, belum terjawab.. Pasti kuberitahu Dita kalau udah dapat jawabannya. Cuma masalahnya, nanya ke siapa ya Dit... hua, ha,ha...
"Baharudin Lopa, mantan Ketua Komnas HAM, mantan jaksa agung, yang masa hidupnya dikenal bersih -- persis di sampingnya makam Ibnu Sutowo, bekas Dirut Pertamina jaman Suharto."....Pengelola TMP Kalibata ternyata sense of homour-nya gede juga ya cak....hihihihi
betul Her, dan dengan melihat langsung makam-makam 'para pahlawan itu', saya sadar betapa predikat pahlawan itu menjadi terbuka untuk diperdebatkan! Dan betul juga kata sampeyan, "pengelola TMP Kalibata ternyata sense of humor-nya gede... hehehehe...
yee..kabarnya kahlil gibran ga kawin ya ?...gimana punya anak....
jadi hadis dia ga sahih.....hehehehehe...ga aplikable.....
anakmu adalah hard disc.... install aja sebanyak2nya program yang baik...sebelum di instal program sama orang lain...huhuhuhuhuhuhuhu.....
Kawan Haris, kalau saya berpikir, harus dibedakan antara karya tulis seseorang dengan sosok, latar atau bagaimana dia menjalankan hidupnya. Saya bukan penggemar fanatik Gibran atau pembencinya (saya punya beberapa bukunya, dan dulu acap kubaca). Ada sebagian pemikirannya tetap relevan, walaupun menurutku tidak serta-merta 'bernilai' bila dipaksa untuk diaplikasikan secara gampang.
Dalam soal "anakmu adalah bukan anakmu", kuanggap itu bukan maksud Gibran, agar kalimatnya itu dipahami secara kata per kata atau kalimat. Dan untuk konteks sekarang, kupikir, aforisme Gibran itu tetap patut direnungkan -- tatkala ada kasus anak dijadikan komoditas, anak dijadikan sapi perah, anak disiksa oleh secara fisik-psikis oleh orang tuanya. Barangkali begitu aku menafsirkan kalimat-kalimat puitis Gibran itu, Haris...
Tapi, tentu saja, mungkin sebagai bacaan, akhirnya tafsir sepenuhnya menjadi otoritas para pembacanya. Karena kata sejumlah orang, "seorang penulis itu 'mati', setelah karyanya dibaca orang banyak... Sorry Haris, aku jadi agak serius nih.. ha, ha,ha..
Aku melok seneng mas, arek cilik-cilik kudu dikenalno ambek sing ngene iki, Bener sam, ben ngregani uripe dewe.
iya mbak, walau harus dikui, kedatangan ke pemakaman itu lebih mewakili kepentinganku. Sebagian teman memang bertanya-tanya "apakah anakmu itu suka kau ajak di tempat-tempat seperti itu?" Aku biasanya menjawab, "saya nggak tahu, tapi itu memang lebih sebagai keinginanku.." Tapi buru-buru temanku itu menjawab, "Saya dulu juga acap diajak bapakku ke museum, dan dulu mungkin tak begitu paham, tapi sekarang jadinya saya suka museum.."
Post a Comment